Kamis, 05 Januari 2006

Memahami Perubahan Organisasi Kepolisian



Memahami Perubahan (Organisasi) Kepolisian

Sutrisno


Paper ini diorientasikan untuk  membantu menjawab persoalan besar tentang  reaksi Polri dalam merespon perubahan lingkungan.

Strong statement
Pekerjaan  kepolisian berlaku tetap/konstan secara universal, yaitu pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum (order maintenance / public order & security) dan penegakkan hokum (law inforcement).  Jika kedua hal ini (order maintenance dan law inforcement)  bergeser maka lembaga kepolisian bias mengemban fungsinya dalam masyarakat. Maka respon (perubahan) lembaga kepolisian terhadap perubahan lingkungan luar sejauh mennyangkut efektifitas dan efisien dalam melakukan fungsinya.  Dalam kerangka ini paling tidak secara fundamental kepolisian Indonesia telah melakukan tiga kali perubahan, dilihat dari pengaturan undang-undang sebagai landasan tugasnya: UU Kepolisian nomor 13 tahun 1961  diganti dengan UU nomor 27 tahun 1998, dan terakhir  dalam kurun waktu empat tahun berubah melalui UU nomor 2 tahun 2002. 
Dalam skala makro-mondial sejak dekade 1990-an terjadi semacam “homogenisasi” model  struktur politik dan format sebuah pemerintahan diselenggarakan. Fukuyama menengarai gejala mondial ini  sebagai The End of Ideology; merajainya struktur tunggal sebagai implikasi dari ‘kemenangan’ demokrasi (liberal). Wacana yang berkembang dalam struktur tunggal ini  sejak dari ‘memperkecil negara (state)’ agar mempunyai daya efektif dan efisien, clean governance,  hingga  Washington Consensus dalam tata kelola ekonomi. (Perubahan) Insitusi Polri tidak lepas dari gelombang tarikan level makro ini.  Pembedaan subtantif pembabakan perubahan lembaga kepolisian diatas dapat ditarik  melalui pengaruh konstelasi politik mondial, antara pasca tahun 90-an dengan tahun sebelumnya. Perubahan kedua dan ketiga merupakan pengaruh wacana mondial demokrasi. Sementara undang – undang kepolisian  yang pertama dibentuk  dalam kondisi kuatnya negara otoritarian, dimana militer mendominasi hampir pada seluruh sendi interaksi social politik. Meskipun keduanya, tahun 1998 dan 2002,  secara analitik berbeda dalam konstelasi politik pada level Indonesia. UU nomor 27 tahun  1998 dibuat dalam situasi ‘ketergesaan’ eforia reformasi, empat tahun kemundian, tahun 2002, mulai disadari bahwa undang-undang itu belum mampu merespon gerak polisi dalam memandu fungsinya, selain  juga persoalan tertutupnya control  (akuntabilitas) atas lembaga ini.  Hari ini, undang – undang kepolisian tahun 2002 oleh sementara kalangan masih dipandang jauh dari memadai, utamanya dalam merespon tuntutan demokrasi. Yaitu pada control atas lembaga kepolisian (persoalan akuntabilitas), fungsi kepolisian dalam tata kelola keamanan, kaitannya dengan otonomi daerah,  dan segmen –segmen yang menyangkut kewenangan kepolisian dengan lembaga lain yang juga mempunyai peran yang sama (militer, criminal justice system, dan Depertemen Pehubungan).
(Perubahan) kerangka normative tersebut dalam gejala empiricnya merupakan respon atas bias pada fungsi kepolisian (tindakan polisi). Gejala empirik yang muncul di permukaan, dalam sejumlah temuan penelitian, diantaranya adalah brutalitas dan militeristik polisi (Penelitian Imparsial ;1985), rendahnya respon polisi tehadap laporan yang disampaikan masyarakat (Penelitian PTIK;2003), diskriminasi polisi dalam menangani kejahatan (PTIK;2003), korupsi di tubuh Polri (Penelitian kolektif skripsi mahasiswa PTIK angkatan ke-49; 2004), pesimisme public atas kinerja polisi (Penelitian PTIK;2003, dan  polling Kompas 2005), kurangnya akuntabilitas public (Penelitian Ridep Insitute; 2005), dan hasil kajian Transparency International Indonesia tahun 2008 tentang Korupsi di Tingkat Depatemen.   

Kajian Organisasi;  Memahami perubahan
           
Lynne G. Zucker (Ann. Rev. Socio 1987. 13: 443—64) menengarai dua hal mendasar dalam  (perubahan) organisasi melalui tekanan normative,  yaitu  respon atas lingkungan luar organisai, dan factor didalam organisasi itu sendiri. Artikulasi tekanan normative dari luar (bisa) dalam bentuk standar prosedur operasi. Perlakuan organisasi atas standar prosedur operasi ini kemudian menjadi ukuran legitimasi atas tindakan organisasi.  Bagi institusi kepolisian prosedur merupakan ‘inovasi’ organisasi yang lahir dari ketegangan antara norma yang berasal dari luar (dalam hal ini HAM dan aturan main demokrasi) dengan tuntutan efisiensi dan efektifitas pekerjaannya. Law inforcement yang dilakukan seorang anggota polisi pada sisi tertentu akan lebih efektif dan efisien dengan jalan menyertakan kekerasan (militeristik), namun cara – cara semacam ini tidak direkomendasi oleh nilai demokrasi. Titik silang dua tegangan ini dimoderasi dalam prosedur operasiolan kepolisian. Richard Strand [1] dalam artikel A System Paradigm of Organizational Adaptations to the Social Environment menyebutnya sebagai “causal relationships among the demands and responses”  Organisasi kepolisian yang mengorientasikan pada kecepatan (dalam mengungkap kasus) , efisiensi dan “kalkulasi angka” merefleksikan  dalam konteks acara pidana (criminal procedure) yang mengedepankan presumption of guilt (praduga bersalah).  Kecepatan dan efisiensi dalam mengungkap suatu kasus pada tahap penyidikan dibatasi oleh waktu secara ketat. Sementara pada kontek praduga bersalah ini mempunyai semangat bahwa perilaku criminal harus segera ditindak, si tersangka dibiarkan sampai dia sendiri yang melakukan perlawanan. Karakter represif  polisi dengan demikian hadir dalam pekerjaannya membasmi kejahatan karena dua hal, pertama  yang diutamakan agar pelaku kejahatan jangan sampai lolos dari hukuman, kedua, polisi dibatasi waktu untuk mengungkap suatau kejahatan itu. Akibatnya dalam tahap penyidikan terdapat unsur pemaksaan pengakuan sebagai pelaku kejahatan.  
Perilaku polisi yang militeristik di atas (melakukan kekerasan yang tidak pada tempatnya dan arogan) merupakan bagian agenda reformasi kepolisian. Temuan Hung-Eng Sung[2], tetang “Police Effectiveness and Democracy”   bahwa persepsi public terhadap  perilaku militeristik kepolisian dipengaruhi kuat oleh perilaku rezim kekuasaan (politik),  namun “koherensi”nya perilaku kekerasan/militeristik polisi  itu tetap bagian dari agenda reformasi. Hemat saya, cara sterilisasi polisi dari realitas politik rezim kekuasaan adalah berlaku umum, bahwa seakan-akan perilaku militeristik kepolisian itu berdiri sendiri. Kemudian oleh karena itu perilaku militeristik ini masuk pada agenda reformasi kepolisian tidak dilihat dari kontek yang lebih luas.  Pada (rencana) disertasi  bagian ini dilihat dalam kaitannya dengan  factor eksternal yang mempengaruhi  reformasi kepolisian.  Untuk Indonesia, hemat saya, karena kepolisian adalah bagian dari administrasi pemerintahan maka  keduanya (polisi dan perilaku rezim menyatu, bersenyawa). Ketidak percayaan pada polisi sama dengan ketidak percayaan pada  rezim penguasa. Andrew Goldsmith[3] mensinyalir, “The major of distrust in government are promise breaking, incompetence, and the antagonism of government actors toward those they are supposed to serve’   
 Yang relefan adalah penelitian James F. Hodgson[4] dalam menjawab pertanyaan ‘mengapa polisi melakukan kekerasan bukan pada tempatnya?’ James F. Hodgson menjawab pertanyaan tersebut dengan melacaknya dari sisi organisasi.  Dalam Police Violence in Canada and the USA; Analysis and menegement, Hodgson melihat sebab sebab kekerasan yang dilakukan polisi dalam kaitannya dengan model pengorganisasian. Hodgson menggunakan analisa mikro sosiologi, memfokuskan perilaku petugas kepolsian secara individual. Dan, studi Hodgson ini ‘generik’ dari sosiologi kekerasan, sosiologi kerja, sosiologi organisasi, dan sosiologi pengetahuan.  Organisasi kepolisian di Canada dan USA dilihatnya telah ketinggalan zaman. Organisasi yang berjalan adalah warisan abad ke-19 sementara system social telah berkebang sedemikian rupa sehingga organisasi itu tidak lagi kompatibel. Ciri khas organisasi kepolisian abad ke 19 bergaya militer, otoriter; model ini muncul waktu itu dalam kerangka pengawasan atas (kejahatan) public, penegakkan hokum.
Hari ini, system social bergeser,  yang dibutuhkan masyarat atas polisi lebih pada pelayanan social dan menjaga ketertiban. Jadi, akan lebih tepat jika organisasi diorientasikan pada pembinaan keamanan. Dalam pengertian ini  polisi dituntut menjadi seorang “pemikir” ketimbang sebagai “watchdog”. Belakangan di Indonesia paradigma kepolisian ini dikenal dengan  istilah Perpolisian Masyarakat (Polmas).
Rekayasa organisasi sebagaimana disarankan Hodgson itu baru dalam upaya pembenahan ‘hardwere’, di lingkungan Polri dikenal sebagai perubahan instrumental (dan separuhnya pada tataran structural). Hal lain yang tak dapat diabaikan adalah persoalan cultural. Harry Barton [5], Understanding Occupational (Sub) culture – a Precursor for Reform, melihat factor cultural dalam resistensi reformasi di tubuh kepolisian . Meskipun dalam kajiannya di Inggris dan Weles, kiprah polisi yang mengayomi masyarakat mempunyai tradisi yang sangat kuat, dan apresiasi public terhadap polisi cukup positif. Namun faktor organisasi yang ditengarai membangun ‘budaya polisi’ (occupational sub culture)  yang manjadi resisten terhadap perubahan. 
 Budaya solidaritas, misalya, disebut oleh Borton dalam kepolisian seiring dengan munculnya immunitas dan anti transparansi.  Solidaritas di kalangan kepolisian terbentuk sejak awal ketika mereka pertama sekali mendapatkan tugas. Kondisi ini di Indonesia terbentuk sejak pendidikan di Akpol. Sangat terlihat angkatan di Akpol ini ‘bermain’ dalam politik jabatan, jika Kapolri angkatan 71, angkatan lain di posisi strategis akan segera maraca terancam meskipun senioritas tetap berlaku namun nampaknya sekedar pada interaksi “privat” yang non kekuasaan riil. Artinya kesantunan masih sangat terasa dalam interaksi semacam itu.
Budaya solidaritas ini juga pada ujungnya menyulitkan otonomi individual polisi. Padahal dalam profesionalisme pertanggungjawaban bersifat otonom. John K. Cochran dan Max L. Bromley[6], The Mith (?) of The Police Sub Culture, menguatkan studi Barton. Bahwa, utamannya karakter kerja organisasi kepolisian umumnya rigid, struktur otoritas militeristik. 

Temuan James F. Hodgson tentang kekerasan[7] ( perilaku militeristik) di atas dilakukan bukan pada tempatnya oleh polisi menjadi sangat penting. Melalui “kekerasan simbolik”—Pierre Bourdieu, konsep “kekerasan” dalam kepolisin dapat dielaborasi dalam pemaknaan yang meluas tanpa terjebak dalam logika pengembangan secara peyoratif yang cenderung bertendensi dramatic/hiperbolik. Maka dipandang perlu dalam makalah ini secara eksklusiv elaborasi sejumlah konsep yang dikembangkan Pierre Bourdieu.
Bagi Pierre Bourdieu konsep “kekerasan” memungkinkan dikembangkan dalam pengertian meluas, bukan sekedar dalam batasan pengertian fisik  atau ancaman fisik sebagaimana riset Imparsial tentang “Brutalitas Polisi” yang dilakukan pada tahun 2005. Sebagai satu-satunya lembaga pemerintahan yagn diserahi mandat oleh negara sebagai otoritas keamanan dalam negeri adalah absyah melakukan kekerasan dalam batas kerangka yang direstui rakyat/masyarakat melalui aturan main ( undang-undang atau peraturan pemerintah). Maka selain terdapat kekerasan oleh otoritas kepolisian yang tidak absyah, dalam pengertian yang meluas Pierre Bourdieu mengembangka konsep “kekerasan simbolik”. Konsep “kekerasan simbolik” dapat dipakai disini untuk menjelaskan (kemungkinan) polisi relasinya dengan masyarakat dalam kerangka interaksi yang cenderung melahirkan fenaomena koruptif , maupun interaksi internal di tubuh (organisasi) kepolisian dalam dimensi yang sama.

       




Kondisi reformasi Polri aktual (kondisi struktural, instrumental, dan kultural) dalam masyarakat demokrasi pasca kejatuhan Rezim Orde Baru   adalah bentukan dari dua realitas;  desakan eksternal Polri dan dinamimika internal Polri. Desakan demokrasi ini oleh Hantingtton difahami sebagai ’gelombang ketiga’ dimana seluruh komunitas masyarakat tak berdaya menghindar dari gagasan dengan ikon liberal, meskipun dengan sedikit variasi  di sana sini. Oleh Francis Fukuyama gejala ini disebutnya sebagai the end of  ideology. Desakan eksternal Polri secara analitik datang dari masyarakat sipil, masyarakat politik, dan interelasi dengan elemen negara (Dephan, Dephub). Desakan tersebut tidak ditelan mentah-mentah di kalangan Polri, respon Polri terhadap desakan tersebut paling tidak dapat dipilah dalam dua dimensi. Pertama, adanya pergulatan pemikiran dalam tubuh Polri, dalam hal ini (untuk sementara, asumsi dasarnya;  ada kalangan Polri ’reformis’ dan kalangan Polri ’konservativ’). Dimensi kedua adalah kultur Polri yang dibentuk oleh sejarah panjang.


 
Relfeksi
·         (Tradisi) kekerasan dilakukan polisi yang tak pada tempatnya nampaknya terjadi hampir umum dalam kepolisian. Agak terkecuali Jepang, seperti digambarkan Liqun Cao dan Steven Stack, namun issu mengganggu yang menyelimuti polisi Jepang adalah persoalan skandal. Upaya jalan keluar atas persoalan internal dalam dimensi cultural, hemat saya, telah kehabisan akal. Sepanjang (rekomendasi) penelitian di atas kembali ‘mengotak-atik’ dimensi organisasi dan dimensi aturan (regulasi) dalam memberikan jalan keluar persoalan kultur kekerasan polisi yang bukan pada tempatnya. Di Indonesia upaya ini dengan cara instrumental. Barangkali akan cukup efektif dengan merumuskan kembali jargon dan symbol-simbol kepolisian. Misalnya, meredifinisi ulang Tri Brata. Namun, litratur penelitian kea rah ini tidak / belum saya temukan.

·         Sejumlah hasil penelitian yang diangkat disini juga tak menyentuh adanya konflik internal di tubuh kepolisian. Kondisi ini bisa terjadi karena adanya perbedaan tafsir dalam mereformasi kepolisian. Di Idonesia gejala ini cukup terlihat, misalnya yang sangat nyata adalah pada masa pemerintahan Gus Dur dan setelahnya. 
           

           


           






[1]. Academic of Management Review 1983, vol. 8, No. 1.
[2] . dalam   www.emeraldinsight.com/1363-951X.htm
[3]. Dalam artikel Police Reform and The Problem of Trust,  pada http://tcr.segepub.com/cgi/content/abstract/9/4/443
[4] . http://www.emerald-library.com/ft
[5] . http://www.emeraldingsight.com/researchregister
[6] . http:/www. emeraldingsight.com/researchregister
[7] . Konsep “kekerasan” ini memungkinkan dikembangkan dalam pengertian meluas, bukan sekedar dalam batasan pengertian fisik  atau ancaman fisik. Sebagai satu-satunya lembaga pemerintahan yagn diserahi mandat oleh negara sebagai otoritas keamanan dalam negeri adalah absyah melakukan kekerasan dalam batas kerangka yang direstui rakyat/masyarakat melalui aturan main ( undang-undang atau peraturan pemerintah). Maka selain terdapat kekerasan oleh otoritas kepolisian yang tidak absyah, dalam pengertian yang meluas Pierre Bourdieu mengembangka konsep “kekerasan simbolik”. Konsep “kekerasan simbolik” dapat dipakai disini untuk menjelaskan (kemungkinan) polisi relasinya dengan masyarakat dalam kerangka interaksi yang cenderung melahirkan fenaomena koruptif , maupun interaksi internal di tubuh (organisasi) kepolisian dalam dimensi yang sama.