Sabtu, 02 April 2016

Mahatma Gandhi's Quote


 
 
“Sudahlah tak usah banyak bicara, kritik sana kritik sini, kecam sana kecam sini, menuding sana menuding sini, tapi bekerjalah dalam diam demi kemaslahatan bersama, demi kesejahteraan bersama, bonum commune, karena disitulah letak inti dari demokrasi”.

Mahatma Gandhi (1869 – 1948)

Semiotika Kepolisian



Semiotika Kepolisian

Kalau polisi dihadapkan pada dua pilihan antara penegakan hukum dengan  ketertiban masyarakat,  manakah  yang lebih utama ?  Pertanyaan semacam ini selain menjadi bahan diskusi sehari-hari di ruang pendidikan formal kepolisian sejak dari  PTIK hingga Sespimti, juga  merupakan isu paling tua sejak kehadiran polisi sebagai sebuah profesi.  Sebagai profesi,  artinya ia bekerja secara modern: dilatih dan digajih. Ini prinsip utama yang membedakanya dengan polisi  pra modern yang meskipun juga dilatih namun sepenuhnya merupakan  refleksi  kuasa sang raja. Di dalam sistem politik otoritarian dan umumnya era pra modern  tidak ada yang mengantarai untuk dirujuk sebagai sumber bertindak  selain sang raja,  sehingga diskresi kepolisian hanya pada tafsir atas sabda Sang Raja. Disini diskresi kepolisian hampir tidak pernah salah.  
Jadi, jadi polisi era pra modern cenderung mudah, tidak perlu berkemampuan menafsir realitas. Tidak perlu cerdas seperti polisi sekarang. Bayangkan, polisi hari ini dituntut  tidak sekedar harus mempunyai kemampuan menafsir  otoritas/kuasa yang didalamnya musti  menimbang orang nomer satu, nomer dua  dan seterusnya, tetapi juga harus menafsir teks legal formal,  dan jangan lupa sekaligus harus menafsir realitas sosial. Tidak berlebihan kalau sejumlah kalangan memandang bahwa kerja polisi saling berkelindan antara mahir berhukum juga sekaligus mahir bersosiologi.  
Rentetan kesibukan Bareskrim Polri awal tahun yang menyeret rekan-rekan sejawat penegak hukum KPK merupakan pergulatan klasik tentang bagaimana ia menjawab pertanyaan besar  di atas.  Sebagai realitas yang serba bisa ditafsir sedemikian rupa,  antara penegakan hukum sebagai persoalan teks hukum  dan  ketertiban masyarakat sebagai sebuah gejala tatanan masyarakat,  tidaklah begitu nyata senyata siang dan malam. Coba saja telisik, yang pertama, apakah masyarakat akan kacau atau menjadi tidak tertib kalau polisi memilih penegakan  hukum? Di lain pihak apakah yang dimaksud penegakan hukum itu memang murni persoalan  hukum? Keduanya tidak jelas sejelas siang dan malam itu. 
Tetapi yang jelas kesibukan Mabes Polri awal tahun ini memilih ‘yang hukum’, ketimbang  ‘yang masyarakat’. Tentu saja, dasar argumen penangkapan  harus standar-formalistik. Sebagaimana disampaikan otoritas kepolisian kepada publik: normatif. Kerangka normatif semacam ini pun tidak luput dari serangan publik. Alih alih tak ada bahasa lain yang patut digunakan kalangan penegak hukum  selain  bahasa legal formal yang normatif, yang mempunyai watak warna hitam-putih. Kalaupun ada yang abu-abu, melalui kerja mesin hukumlah  ia ‘dikembalikan’ kepada  hitam atau putih.