Semiotika
Kepolisian
Kalau polisi dihadapkan pada dua pilihan antara
penegakan hukum dengan ketertiban
masyarakat, manakah yang lebih utama ? Pertanyaan semacam ini selain menjadi bahan
diskusi sehari-hari di ruang pendidikan formal kepolisian sejak dari PTIK hingga Sespimti, juga merupakan isu paling tua sejak kehadiran
polisi sebagai sebuah profesi. Sebagai
profesi, artinya ia bekerja secara
modern: dilatih dan digajih. Ini prinsip utama yang membedakanya dengan polisi pra modern yang meskipun juga dilatih namun sepenuhnya
merupakan refleksi kuasa sang raja. Di dalam sistem politik
otoritarian dan umumnya era pra modern tidak
ada yang mengantarai untuk dirujuk sebagai sumber bertindak selain sang raja, sehingga diskresi kepolisian hanya pada tafsir
atas sabda Sang Raja. Disini diskresi kepolisian hampir tidak pernah salah.
Jadi, jadi polisi era pra modern cenderung mudah,
tidak perlu berkemampuan menafsir realitas. Tidak perlu cerdas seperti polisi
sekarang. Bayangkan, polisi hari ini dituntut tidak sekedar harus mempunyai kemampuan
menafsir otoritas/kuasa yang didalamnya musti
menimbang orang nomer satu, nomer dua dan seterusnya, tetapi juga harus menafsir
teks legal formal, dan jangan lupa
sekaligus harus menafsir realitas sosial. Tidak berlebihan kalau sejumlah
kalangan memandang bahwa kerja polisi saling berkelindan antara mahir berhukum
juga sekaligus mahir bersosiologi.
Rentetan kesibukan Bareskrim Polri awal tahun yang menyeret
rekan-rekan sejawat penegak hukum KPK merupakan pergulatan klasik tentang bagaimana
ia menjawab pertanyaan besar di atas. Sebagai realitas yang serba bisa ditafsir
sedemikian rupa, antara penegakan hukum
sebagai persoalan teks hukum dan ketertiban masyarakat sebagai sebuah gejala
tatanan masyarakat, tidaklah begitu
nyata senyata siang dan malam. Coba saja telisik, yang pertama, apakah
masyarakat akan kacau atau menjadi tidak tertib kalau polisi memilih penegakan hukum? Di lain pihak apakah yang dimaksud penegakan
hukum itu memang murni persoalan hukum?
Keduanya tidak jelas sejelas siang dan malam itu.
Tetapi yang jelas kesibukan Mabes Polri awal tahun ini
memilih ‘yang hukum’, ketimbang ‘yang masyarakat’.
Tentu saja, dasar argumen penangkapan harus standar-formalistik. Sebagaimana
disampaikan otoritas kepolisian kepada publik: normatif. Kerangka normatif
semacam ini pun tidak luput dari serangan publik. Alih alih tak ada bahasa lain
yang patut digunakan kalangan penegak hukum
selain bahasa legal formal yang
normatif, yang mempunyai watak warna hitam-putih. Kalaupun ada yang abu-abu,
melalui kerja mesin hukumlah ia
‘dikembalikan’ kepada hitam atau putih.