Senin, 16 Februari 2015

Prospek Reformasi Sektor Keamanan



Prospek Reformasi Sektor Keamanan
(Sebuah Pendekatan Sosiologi Politik)

 
Jika hari ini sama dengan hari kemarin,
 berarti kau merugi
Muhammad SAW


‘Sektor keamanan’ bukan terminologi yang difahami secara seragam, utamanya  mengenai aktor-aktor keamanan yang terlibat didalamnya. Tulisan pendek ini membatasi aktor keamanan secara minimalis, hanya menyangkut militer dan kepolisian, bahkan lebih khusus konsentrtasi pada institusi kepolisian. Kalau pergeseran format tata kelola sektor keamanan sebagai bentuk mengadaptasi lingkungan global, lingkungan global ini pada dasarnya terus bergerak. Artikel pendek ini adalah pembacaan atas bergeraknya lingkungan global yang memungkinkan ‘menembus’ sektor tata kelola keamanan itu.

 Prolog:
Isu Sentral Reformasi Sektor Keamanan
           
Pergeseran konstelasi kekuatan pada tingkat global, yang dimulai dengan bangkrutnya ideologi kiri pada dasawarsa 90-an menjadi isu mendasar bagi reformasi tata kelola keamanan di Indonesia.  Tentu saja secara normatif pembaruan tata kelola  sektor keamanan ini harus tetap diletakkan dalam bingkai peta besar reformasi.  Disinilah persoalannya, justru peta besar ini nampaknya masih ‘ghoib’ di  sepanjang lebih dari satu dasawarsa ini. Yang membantu untuk membaca peta ‘ghoib’ ini hanyalah sebuah asumsi dasar  tentang paradigma baru yang menempatkan  masyarakat sebagai asset dalam ikhwal keamanan dan order/keteraturan,  masyarakat bukan lagi dilihat sebagai kendala (obstacle).   A Centre for Security Development and The Rule of  Law (DCAF), misalnya, menyebutkan, “security sector reform is based on the assumption that societies are better off with a security sector that is an asset, not an obstacle, to peace, security, development and stability”.  
Namun demikian tetap sajan di kalangan aktor-aktor pengendali keamanan -- juga para pengkritiknya -- bekerja keras menafsir barang ‘ghoib’ ini. Tolok ukur yang lebih operasional dalam menafsir asumsi dasar ini adalah upaya membangun format yang kompatabel antara  struktur institusi keamanan dengan demokrasi dan apa yang terjadi pada skala global. Disini juga mengandung persoalan, seakan-akan demokrasi berwajah tunggal dan konstelasi global bersifat konstan.[1] Misalnya, gagasan Montesque perihal pemisahan kekuasaan (trias politika) dipandang sebagai kitab suci dan dibaca secara skriptual. Padahal, dalam ‘laboratorium’ sepuluh tahun lebih reformasi Indonesia memberikan pelajaran bahwa pil trias politika ini tidak bisa serta merta ditelan bulat-bulat.[2] Pasalnya semangat pemisahan kekuasaan justru menjadi energi bagi  argumentasi  ego sektoral institusi.
Itulah sebabnya banyak institusi -- bukan sekedar kepolisian -- (merasa) melakukan yang legal (legalitas) tetapi minus legitimasi. Legalitas adalah ikhwal kesesuaian antara tindak kekuasaan atas tata aturan main tertulis; legimasi bukan semata-mata menyangkut aturan main tertulis tetapi respon atas moral universal. Sementara term “reformasi”-pun bukanlah suatu gagasan yang telah selesai dan utuh. Sekedar mengajukan batasan yang ‘aman’ bagi definisi term reformasi ini, adalah:  sebuah pencarian format baru dari otoritarian ke arah  tata kelola kehidupan yang demokratis dan beradab. Kalau definisi ini diterima  berarti reformasi merupakan  proses yang tidak pendek karena pada dasarnya menyoal secara terus menerus prinsip-prinsip adaptasi  struktur, kultur dan proses institusi atas  lingkungan yang berkembang di luarnya.
Secara analitik paling tidak terdapat dua kondisi yang melatari  perlunya reformsi sektor keamanan. Pertama -- dan paling utama -- pergeseran konstelasi kekuatan pada tingkat global, khususnya setelah rontoknya sejumlah negara-negara  berhaluan (ideologi) kiri. Kedua, menyangkut postur dan sistem keamanan dalam negeri yang tidak efisien dalam merespon nilai demokrasi. Disini,  di sisi militer,  ruang tugasnya yang secara de vacto maupun de jure terlalu gemuk.  Kegemukan ruang tugas militer secara langsung  mengganggu ruang kerja sipil yang menjadi raison de etat  format demokrasi[3]. Kegemukan ruang tugas ini juga mengganggu konsentrasi institusi pada tugas-tugas utamanya (kemampuan perang, profesionalisme militer). Sementara di sisi  institusi kepolisian adalah pada pewarisan nilai-nilai selama lebih dari 30 tahun dibawah pembinaan militer. Kondisi ini bukan sekedar pewarisan budaya tetapi juga menyangkut implikasi pada postur, organisasi, dan hubungan antar subsistem di dalam institusi ini.