Prospek
Reformasi Sektor Keamanan
(Sebuah
Pendekatan Sosiologi Politik)
Jika hari ini sama dengan hari kemarin,
berarti kau merugi
Muhammad
SAW
‘Sektor keamanan’ bukan
terminologi yang difahami secara seragam, utamanya mengenai aktor-aktor keamanan yang terlibat
didalamnya. Tulisan pendek ini membatasi aktor keamanan secara minimalis, hanya
menyangkut militer dan kepolisian, bahkan lebih khusus konsentrtasi pada
institusi kepolisian. Kalau pergeseran format tata kelola sektor keamanan sebagai
bentuk mengadaptasi lingkungan global, lingkungan global ini pada dasarnya
terus bergerak. Artikel pendek ini adalah pembacaan atas bergeraknya lingkungan
global yang memungkinkan ‘menembus’ sektor tata kelola keamanan itu.
Prolog:
Isu Sentral Reformasi Sektor
Keamanan
Pergeseran konstelasi kekuatan pada
tingkat global, yang dimulai dengan bangkrutnya ideologi kiri pada dasawarsa
90-an menjadi isu mendasar bagi reformasi tata kelola keamanan di
Indonesia. Tentu saja secara normatif
pembaruan tata kelola sektor keamanan
ini harus tetap diletakkan dalam bingkai peta besar reformasi. Disinilah persoalannya, justru peta besar ini
nampaknya masih ‘ghoib’ di sepanjang
lebih dari satu dasawarsa ini. Yang membantu untuk membaca peta ‘ghoib’ ini
hanyalah sebuah asumsi dasar tentang paradigma
baru yang menempatkan masyarakat sebagai
asset dalam ikhwal keamanan dan order/keteraturan, masyarakat bukan lagi dilihat sebagai kendala
(obstacle). A Centre for Security Development and The Rule
of Law (DCAF), misalnya, menyebutkan, “security sector reform is based on the
assumption that societies are better off with a security sector that is an
asset, not an obstacle, to peace, security, development and stability”.
Namun demikian tetap sajan di kalangan aktor-aktor
pengendali keamanan -- juga para pengkritiknya -- bekerja keras menafsir barang
‘ghoib’ ini. Tolok ukur yang lebih operasional dalam menafsir asumsi dasar ini
adalah upaya membangun format yang kompatabel antara struktur institusi keamanan dengan demokrasi
dan apa yang terjadi pada skala global. Disini juga mengandung persoalan,
seakan-akan demokrasi berwajah tunggal dan konstelasi global bersifat konstan.[1] Misalnya, gagasan Montesque perihal pemisahan kekuasaan (trias politika)
dipandang sebagai kitab suci dan dibaca secara skriptual. Padahal, dalam
‘laboratorium’ sepuluh tahun lebih reformasi Indonesia memberikan pelajaran
bahwa pil trias politika ini tidak bisa serta merta ditelan bulat-bulat.[2]
Pasalnya semangat pemisahan kekuasaan justru menjadi energi bagi argumentasi
ego sektoral institusi.
Itulah
sebabnya banyak institusi -- bukan sekedar kepolisian -- (merasa) melakukan
yang legal (legalitas) tetapi minus legitimasi. Legalitas adalah ikhwal kesesuaian
antara tindak kekuasaan atas tata aturan main tertulis; legimasi bukan
semata-mata menyangkut aturan main tertulis tetapi respon atas moral universal. Sementara term “reformasi”-pun bukanlah suatu gagasan
yang telah selesai dan utuh. Sekedar mengajukan batasan yang ‘aman’ bagi
definisi term reformasi ini, adalah: sebuah
pencarian format baru dari otoritarian ke arah
tata kelola kehidupan yang demokratis dan beradab. Kalau definisi ini
diterima berarti reformasi merupakan proses yang tidak pendek karena pada dasarnya
menyoal secara terus menerus prinsip-prinsip adaptasi struktur, kultur dan proses institusi atas lingkungan yang berkembang di luarnya.
Secara
analitik paling tidak terdapat dua kondisi yang melatari perlunya reformsi sektor keamanan. Pertama -- dan paling utama --
pergeseran konstelasi kekuatan pada tingkat global, khususnya setelah rontoknya
sejumlah negara-negara berhaluan
(ideologi) kiri. Kedua, menyangkut postur
dan sistem keamanan dalam negeri yang tidak efisien dalam merespon nilai demokrasi.
Disini, di sisi militer, ruang tugasnya yang secara de vacto maupun de jure terlalu gemuk. Kegemukan ruang tugas militer secara
langsung mengganggu ruang kerja sipil
yang menjadi raison de etat format demokrasi[3]. Kegemukan
ruang tugas ini juga mengganggu konsentrasi institusi pada tugas-tugas utamanya
(kemampuan perang, profesionalisme militer). Sementara di sisi institusi kepolisian adalah pada pewarisan
nilai-nilai selama lebih dari 30 tahun dibawah pembinaan militer. Kondisi ini
bukan sekedar pewarisan budaya tetapi juga menyangkut implikasi pada postur,
organisasi, dan hubungan antar subsistem di dalam institusi ini.