Paradigma Konflik
Sutrisno
Teori-Teori dari
Paradigma Konflik meletakkan pusat persoalan berbeda dengan paradigma
sebelumnya (paradigm order dan paradigma pluralis). Yang menjadi teka-teki teka-teki
pada paradigma ini ; Bagaimana institusi atau organisasi masyarakat memberikan
kontribusi pada variasi konflik? Apa
peran negara di dalam konflik ? bagaimana sejumlah institusi (yang berkaitan
dengan ‘kepemilikan’ kekuasaan) dalam proses sejarah ? bagaimana peran insitusi
yang memproduksi barang kebutuhan dalam hubungan sosial? Bagimana tujuan obyektif dan material
membantuk perilaku manusia ? dengan cara bagaimana budaya dan ideologi mempunyai
peran legitimasi dalam struktur sosial ?
Konsep Hegelian tentang Manusia
Hegel
(1770-1831) seorang penganut filsafat idealis, dalam beberapa hal mengikuti Kant [1]. Pandangan tentang manusia dari Kant yang
di-amini Hegel bahwa manusia adalah
mahluk yang mempunyai pikiran, dan karenanya ia aktiv. Hakekat manusia terletak
pada aktifitas berfikirnya (an active
mind). Posisi ini ia merumuskan ide tentang sesuatu lebih penting daripada
sesuatu itu sendiri. Jadi yang dikatakan idealisme, realitas adalah masalah
pikiran. Metode Hegel untuk memahami dunia pikiran tentang kesadaran.
Persoalannya
kalau Hegel dan Kant sama-sama berada pada kubu idealis, bagaimana kedua orang ini berada pada
padarigma yang berbeda dalam mempengaruhi sosiologi ? Karena pandangan Hegel tentang manusia membuka
ruang bagi realisme yang kemudian dikembangkan habis-habisan oleh Karl Marx.
Ini yang membedakannya dengan Kant. Dimulai dari proses ‘pengetahuan’;
mengetahui, bagi Hegel obyek yang
diketahui dan subyek yang mengetahui saling mengembangkan. Manusia menyatu dengan
seluruh realitas. Pengetahuan bersifat absolut. Jadi meskipun idealisme Hegel ditolak
Marx namun sesungguhnya Marx mewarisi
pandangan Hegel tentang manusia.
Proudhon : Visi tentang
Masyarakat
Proudhon
menjadi penting di sini karena sebagai
eksemplar tentang gambaran konflik masyarakat. Ia memandang bahwa hak milik
adalah hasil pencurian (proverty is theft).
Penjelasannhya adalah previlase bukanlah merupakan investasi tenaga kerja
sebagaimana para pekerja menyumbangkan tenaganya. Pada kontek ini menegaskan
bahwa manusia sejak kelahirannya memiliki hak-hak tertentu; hak atas kebebasan,
kesmaan, dan kedaulatan. Hak-hak ini pada kenyataanya dirampas dalam sistem
kapitalis. Negara tidak pernah bisa responsif terhadap keinginan masyarakat,
proposisi ini ia lihat sebagai hukum universal dari politik.
Namun
gagasan Poudhon tersebut tidak tetap dalam merespon kondisi masyarakat itu
sendiri. (atau mungkin juga pergeseran gagasan ini dipengaruhi semata
‘psikologi’ Proudhon sepanjang respon politik atas gagasannya). Belakangan, ia
bukan ingin menghapus hak milik pribadi, karena pemilikan pribadi yang
kecil-kecil adalah hasil kerja keringat. Yang ia ingin hapus adalah hak milik
besar yang dipandang sebagai hasil penghisapan.
Gambaran Marxis tantang Ilmu Kemanusiaan
Manusia
adalah produk dari proses kerjanya. Maka teori sosiologi berpijak pada upaya
pembongkaran relasi manusia pada hubungan produksi itu. Relasi manusia pada
hubungan produksi ini merupakan keteraturan yang tertentu, deterministik,
terdapat hukum dalam hubungan-hubungan itu, dan dapat diduga/ prediksi. Sekedar
membandingkan dengan Paradigma Pluralis, Teori
Pluralis yang berangkat dari asumsi idealis, tindakan manusia tak dapat
diprediksi, maka metode kualitatif dipakai untuk menangkap kesadaran aktor. Ini
berbeda dengan Terori Konflik khususnya menyangkut asumsi yang berkaitan dengan
penjelasan sosiologisnya. Teori Konfllik acapkali menggunakan pendekatan
sejarah dalam penelitiannya untuk menangkap struktur institusional yang bersifat kontradiksi dan menyebabkan
perubahan sosial.