Minggu, 06 April 2008

Paradigma Konflik




Paradigma Konflik

Sutrisno

 Teori-Teori dari Paradigma Konflik meletakkan pusat persoalan berbeda dengan paradigma sebelumnya (paradigm order dan paradigma pluralis). Yang menjadi teka-teki teka-teki pada paradigma ini ; Bagaimana institusi atau organisasi masyarakat memberikan kontribusi pada variasi konflik?  Apa peran negara di dalam konflik ? bagaimana sejumlah institusi (yang berkaitan dengan ‘kepemilikan’ kekuasaan) dalam proses sejarah ? bagaimana peran insitusi yang memproduksi barang kebutuhan dalam hubungan sosial?  Bagimana tujuan obyektif dan material membantuk perilaku manusia ? dengan cara bagaimana budaya dan ideologi mempunyai peran legitimasi dalam struktur sosial ?

Konsep Hegelian tentang Manusia
            Hegel (1770-1831) seorang penganut filsafat idealis, dalam beberapa hal  mengikuti Kant [1].  Pandangan tentang manusia dari Kant yang di-amini Hegel bahwa  manusia adalah mahluk yang mempunyai pikiran, dan karenanya ia aktiv. Hakekat manusia terletak pada aktifitas berfikirnya (an active mind). Posisi ini ia merumuskan ide tentang sesuatu lebih penting daripada sesuatu itu sendiri. Jadi yang dikatakan idealisme, realitas adalah masalah pikiran. Metode Hegel untuk memahami dunia pikiran tentang kesadaran.  
            Persoalannya kalau Hegel dan Kant sama-sama berada pada kubu idealis,  bagaimana kedua orang ini berada pada padarigma yang berbeda dalam mempengaruhi sosiologi ?  Karena pandangan Hegel tentang manusia membuka ruang bagi realisme yang kemudian dikembangkan habis-habisan oleh Karl Marx. Ini yang membedakannya dengan Kant. Dimulai dari proses ‘pengetahuan’; mengetahui, bagi Hegel  obyek yang diketahui dan subyek yang mengetahui saling mengembangkan. Manusia menyatu dengan seluruh realitas. Pengetahuan bersifat absolut. Jadi meskipun idealisme Hegel ditolak Marx namun sesungguhnya Marx  mewarisi pandangan Hegel tentang manusia.


Proudhon :  Visi tentang Masyarakat
            Proudhon menjadi penting di sini  karena sebagai eksemplar tentang gambaran konflik masyarakat. Ia memandang bahwa hak milik adalah hasil pencurian (proverty is theft). Penjelasannhya adalah previlase bukanlah merupakan investasi tenaga kerja sebagaimana para pekerja menyumbangkan tenaganya. Pada kontek ini menegaskan bahwa manusia sejak kelahirannya memiliki hak-hak tertentu; hak atas kebebasan, kesmaan, dan kedaulatan. Hak-hak ini pada kenyataanya dirampas dalam sistem kapitalis. Negara tidak pernah bisa responsif terhadap keinginan masyarakat, proposisi ini ia lihat sebagai hukum universal dari politik.
            Namun gagasan Poudhon tersebut tidak tetap dalam merespon kondisi masyarakat itu sendiri. (atau mungkin juga pergeseran gagasan ini dipengaruhi semata ‘psikologi’ Proudhon sepanjang respon politik atas gagasannya). Belakangan, ia bukan ingin menghapus hak milik pribadi, karena pemilikan pribadi yang kecil-kecil adalah hasil kerja keringat. Yang ia ingin hapus adalah hak milik besar yang dipandang sebagai hasil penghisapan.

Gambaran Marxis tantang Ilmu Kemanusiaan
            Manusia adalah produk dari proses kerjanya. Maka teori sosiologi berpijak pada upaya pembongkaran relasi manusia pada hubungan produksi itu. Relasi manusia pada hubungan produksi ini merupakan keteraturan yang tertentu, deterministik, terdapat hukum dalam hubungan-hubungan itu, dan dapat diduga/ prediksi. Sekedar membandingkan dengan Paradigma Pluralis, Teori  Pluralis yang berangkat dari asumsi idealis, tindakan manusia tak dapat diprediksi, maka metode kualitatif dipakai untuk menangkap kesadaran aktor. Ini berbeda dengan Terori Konflik khususnya menyangkut asumsi yang berkaitan dengan penjelasan sosiologisnya. Teori Konfllik acapkali menggunakan pendekatan sejarah dalam penelitiannya untuk menangkap struktur institusional yang  bersifat kontradiksi dan menyebabkan perubahan sosial.