Rabu, 27 April 2016

Tentang Insyaallah vs. Kepastian


Makna “Insyaallah” didalam Islam

           Pagi ini ada pengajian di Mesjid Darul ilmi,  mohon izin saya alpa. Siap salah.  Ada suatu yang mendesak untuk saya tulis, sebelum saya lupa atau sibuk yang lain.  Mendesak bangt. Begini, semalam saya mendapat posting video via Wats Up tentang seorang  sahabat yang pindah agama dari islam.   Diantara alasan convert (pindah agama) ini adalah analisinya  pada kata ‘insyaallah’. Kata ‘insyaallah’ ini difahami olehnya bahwa dalam Islam tak ada kepastian dan jaminan Allah masuk surga. Orang mslim kalo ditanya, apakah Anda, (dijamin) masuk surga ?  Jawabannya, “insyaallah”.  Jawaban semacam ini difahami oleh sahabat yang murtad tadi sebagai ‘tidak pasti’. Menurutnya, untuk apa memeluk agama kalo nggak pasti  mengantar ke surga!

Bagi saya keberagamaan – salah-benar sebuah agama -- tidak bisa berhenti disimpulkan  pada sisi-sisi elementer  tanpa menariknya kepada dimensi teologik. Yang mendasar adalah persoalan teologik atau ketuhanan ketimbang budaya atau sosiologik yang bersifat elementer. Bagaimana memisah yang elementer dengan yang subtantif ? Mudah. Caranya, pertama,  pada bagaimana agama memandang Tuhan; Kedua, bagaimana agama memandang kebaikan. Ketiga, bagaimana agama memandang/menempatkan akal. Melalui kerangka ini setiap yang elementer bisa dijelaskan benang merahnya pada aspek teologik. Tentu saja surga adalah persoalan penting, tetapi bukan surganya yang harus didiskusikan tetapi bagaimana menempatkan surga dalam kerangka itu.  Yang elementer harus bisa dilacak dan dijelaskan dari sisi teologiknya.