Memahami Perubahan (Organisasi) Kepolisian
Sutrisno
Paper ini diorientasikan untuk
membantu menjawab persoalan besar tentang reaksi Polri dalam merespon perubahan lingkungan.
“Strong
statement”
Pekerjaan kepolisian berlaku
tetap/konstan secara universal, yaitu pemeliharaan keamanan dan ketertiban
umum (order maintenance / public order & security) dan penegakkan hokum
(law inforcement). Jika kedua hal ini
(order maintenance dan law inforcement)
bergeser maka lembaga kepolisian bias mengemban fungsinya dalam
masyarakat. Maka respon (perubahan) lembaga kepolisian terhadap perubahan
lingkungan luar sejauh mennyangkut efektifitas dan efisien dalam melakukan
fungsinya. Dalam kerangka ini paling
tidak secara fundamental kepolisian Indonesia telah melakukan tiga kali
perubahan, dilihat dari pengaturan undang-undang sebagai landasan tugasnya: UU
Kepolisian nomor 13 tahun 1961 diganti
dengan UU nomor 27 tahun 1998, dan terakhir
dalam kurun waktu empat tahun berubah melalui UU nomor 2 tahun
2002.
Dalam skala makro-mondial sejak dekade 1990-an terjadi semacam
“homogenisasi” model struktur politik
dan format sebuah pemerintahan diselenggarakan. Fukuyama menengarai gejala mondial ini sebagai The
End of Ideology; merajainya struktur tunggal sebagai implikasi dari
‘kemenangan’ demokrasi (liberal). Wacana yang berkembang dalam struktur tunggal
ini sejak dari ‘memperkecil negara
(state)’ agar mempunyai daya efektif dan efisien, clean governance,
hingga Washington Consensus dalam tata kelola ekonomi. (Perubahan)
Insitusi Polri tidak lepas dari gelombang tarikan level makro ini. Pembedaan subtantif pembabakan perubahan
lembaga kepolisian diatas dapat ditarik
melalui pengaruh konstelasi politik mondial, antara pasca tahun 90-an
dengan tahun sebelumnya. Perubahan kedua dan ketiga merupakan pengaruh wacana
mondial demokrasi. Sementara undang – undang kepolisian yang pertama dibentuk dalam kondisi kuatnya negara otoritarian, dimana
militer mendominasi hampir pada seluruh sendi interaksi social politik.
Meskipun keduanya, tahun 1998 dan 2002,
secara analitik berbeda dalam konstelasi politik pada level Indonesia.
UU nomor 27 tahun 1998 dibuat dalam
situasi ‘ketergesaan’ eforia reformasi, empat tahun kemundian, tahun 2002,
mulai disadari bahwa undang-undang itu belum mampu merespon gerak polisi dalam
memandu fungsinya, selain juga persoalan
tertutupnya control (akuntabilitas) atas
lembaga ini. Hari ini, undang – undang
kepolisian tahun 2002 oleh sementara kalangan masih dipandang jauh dari
memadai, utamanya dalam merespon tuntutan demokrasi. Yaitu pada control atas
lembaga kepolisian (persoalan akuntabilitas), fungsi kepolisian dalam tata
kelola keamanan, kaitannya dengan otonomi daerah, dan segmen –segmen yang menyangkut kewenangan
kepolisian dengan lembaga lain yang juga mempunyai peran yang sama (militer,
criminal justice system, dan Depertemen Pehubungan).
(Perubahan) kerangka normative tersebut dalam gejala empiricnya
merupakan respon atas bias pada fungsi kepolisian (tindakan polisi). Gejala
empirik yang muncul di permukaan, dalam sejumlah temuan penelitian, diantaranya
adalah brutalitas dan militeristik polisi (Penelitian Imparsial ;1985),
rendahnya respon polisi tehadap laporan yang disampaikan masyarakat (Penelitian
PTIK;2003), diskriminasi polisi dalam menangani kejahatan (PTIK;2003), korupsi
di tubuh Polri (Penelitian kolektif skripsi mahasiswa PTIK angkatan ke-49;
2004), pesimisme public atas kinerja polisi (Penelitian PTIK;2003, dan polling Kompas 2005), kurangnya akuntabilitas
public (Penelitian Ridep Insitute; 2005), dan hasil kajian Transparency
International Indonesia tahun 2008 tentang Korupsi di Tingkat Depatemen.
Kajian Organisasi;
Memahami perubahan
Lynne G. Zucker (Ann. Rev. Socio 1987. 13: 443—64) menengarai dua hal mendasar dalam (perubahan) organisasi melalui tekanan
normative, yaitu respon atas lingkungan luar organisai, dan
factor didalam organisasi itu sendiri. Artikulasi tekanan normative dari luar
(bisa) dalam bentuk standar prosedur operasi. Perlakuan organisasi atas standar
prosedur operasi ini kemudian menjadi ukuran legitimasi atas tindakan
organisasi. Bagi institusi kepolisian
prosedur merupakan ‘inovasi’ organisasi yang lahir dari ketegangan antara norma
yang berasal dari luar (dalam hal ini HAM dan aturan main demokrasi) dengan
tuntutan efisiensi dan efektifitas pekerjaannya. Law inforcement yang dilakukan seorang anggota polisi pada sisi
tertentu akan lebih efektif dan efisien dengan jalan menyertakan kekerasan
(militeristik), namun cara – cara semacam ini tidak direkomendasi oleh nilai
demokrasi. Titik silang dua tegangan ini dimoderasi
dalam prosedur operasiolan kepolisian. Richard Strand [1]
dalam artikel A System Paradigm of
Organizational Adaptations to the Social Environment menyebutnya sebagai
“causal relationships among the demands and responses” Organisasi kepolisian yang mengorientasikan
pada kecepatan (dalam mengungkap kasus) , efisiensi dan “kalkulasi angka”
merefleksikan dalam konteks acara pidana
(criminal procedure) yang mengedepankan presumption
of guilt (praduga bersalah).
Kecepatan dan efisiensi dalam mengungkap suatu kasus pada tahap
penyidikan dibatasi oleh waktu secara ketat. Sementara pada kontek praduga bersalah ini
mempunyai semangat bahwa perilaku criminal harus segera ditindak, si tersangka
dibiarkan sampai dia sendiri yang melakukan perlawanan. Karakter represif polisi dengan demikian hadir dalam
pekerjaannya membasmi kejahatan karena dua hal, pertama yang diutamakan agar pelaku kejahatan jangan
sampai lolos dari hukuman, kedua, polisi dibatasi waktu untuk mengungkap suatau
kejahatan itu. Akibatnya dalam tahap penyidikan terdapat unsur pemaksaan
pengakuan sebagai pelaku kejahatan.
Perilaku polisi yang militeristik di
atas (melakukan kekerasan yang tidak pada tempatnya dan arogan) merupakan
bagian agenda reformasi kepolisian. Temuan Hung-Eng Sung[2], tetang “Police Effectiveness and
Democracy” bahwa persepsi public
terhadap perilaku militeristik
kepolisian dipengaruhi kuat oleh perilaku rezim kekuasaan (politik), namun “koherensi”nya perilaku
kekerasan/militeristik polisi itu tetap
bagian dari agenda reformasi. Hemat saya, cara sterilisasi polisi dari realitas
politik rezim kekuasaan adalah berlaku umum, bahwa seakan-akan perilaku
militeristik kepolisian itu berdiri sendiri. Kemudian oleh karena itu perilaku
militeristik ini masuk pada agenda reformasi kepolisian tidak dilihat dari
kontek yang lebih luas. Pada (rencana)
disertasi bagian ini dilihat dalam kaitannya
dengan factor eksternal yang
mempengaruhi reformasi kepolisian. Untuk Indonesia, hemat saya, karena
kepolisian adalah bagian dari administrasi pemerintahan maka keduanya (polisi dan perilaku rezim menyatu,
bersenyawa). Ketidak percayaan pada polisi sama dengan ketidak percayaan
pada rezim penguasa. Andrew Goldsmith[3]
mensinyalir, “The major of distrust in government are promise breaking,
incompetence, and the antagonism of government actors toward those they are
supposed to serve’
Yang relefan adalah
penelitian James F. Hodgson[4]
dalam menjawab pertanyaan ‘mengapa polisi melakukan kekerasan bukan pada
tempatnya?’ James F. Hodgson menjawab pertanyaan tersebut dengan melacaknya
dari sisi organisasi. Dalam Police Violence in Canada and the USA; Analysis and menegement,
Hodgson melihat sebab sebab kekerasan yang dilakukan polisi dalam kaitannya
dengan model pengorganisasian. Hodgson menggunakan analisa mikro sosiologi,
memfokuskan perilaku petugas kepolsian secara individual. Dan, studi Hodgson ini
‘generik’ dari sosiologi kekerasan, sosiologi kerja, sosiologi organisasi, dan
sosiologi pengetahuan. Organisasi
kepolisian di Canada dan USA
dilihatnya telah ketinggalan zaman. Organisasi yang berjalan adalah warisan
abad ke-19 sementara system social telah berkebang sedemikian rupa sehingga
organisasi itu tidak lagi kompatibel. Ciri khas organisasi kepolisian abad ke
19 bergaya militer, otoriter; model ini muncul waktu itu dalam kerangka
pengawasan atas (kejahatan) public, penegakkan hokum.
Hari ini, system social bergeser,
yang dibutuhkan masyarat atas polisi lebih pada pelayanan social dan
menjaga ketertiban. Jadi, akan lebih tepat jika organisasi diorientasikan pada
pembinaan keamanan. Dalam pengertian ini
polisi dituntut menjadi seorang “pemikir” ketimbang sebagai “watchdog”. Belakangan di Indonesia paradigma kepolisian
ini dikenal dengan istilah Perpolisian
Masyarakat (Polmas).
Rekayasa organisasi sebagaimana disarankan Hodgson itu baru dalam
upaya pembenahan ‘hardwere’, di lingkungan Polri dikenal sebagai perubahan
instrumental (dan separuhnya pada tataran structural). Hal lain yang tak dapat
diabaikan adalah persoalan cultural. Harry Barton [5],
Understanding Occupational (Sub) culture
– a Precursor for Reform, melihat factor cultural dalam resistensi
reformasi di tubuh kepolisian . Meskipun dalam kajiannya di Inggris dan Weles,
kiprah polisi yang mengayomi masyarakat mempunyai tradisi yang sangat kuat, dan
apresiasi public terhadap polisi cukup positif. Namun faktor organisasi yang
ditengarai membangun ‘budaya polisi’ (occupational sub culture) yang manjadi resisten terhadap
perubahan.
Budaya solidaritas, misalya,
disebut oleh Borton dalam kepolisian seiring dengan munculnya immunitas dan
anti transparansi. Solidaritas di
kalangan kepolisian terbentuk sejak awal ketika mereka pertama sekali
mendapatkan tugas. Kondisi ini di Indonesia terbentuk sejak
pendidikan di Akpol. Sangat terlihat angkatan di Akpol ini ‘bermain’ dalam
politik jabatan, jika Kapolri angkatan 71, angkatan lain di posisi strategis
akan segera maraca terancam meskipun senioritas tetap berlaku namun nampaknya
sekedar pada interaksi “privat” yang non kekuasaan riil. Artinya kesantunan masih sangat
terasa dalam interaksi semacam itu.
Budaya solidaritas ini juga pada
ujungnya menyulitkan otonomi individual polisi. Padahal
dalam profesionalisme pertanggungjawaban bersifat otonom. John K. Cochran dan
Max L. Bromley[6], The Mith (?) of The Police Sub Culture,
menguatkan studi Barton. Bahwa, utamannya karakter kerja organisasi kepolisian
umumnya rigid, struktur otoritas militeristik.
Temuan James F. Hodgson tentang kekerasan[7]
( perilaku militeristik) di atas dilakukan bukan pada tempatnya oleh polisi
menjadi sangat penting. Melalui “kekerasan simbolik”—Pierre Bourdieu, konsep
“kekerasan” dalam kepolisin dapat dielaborasi dalam pemaknaan yang meluas tanpa
terjebak dalam logika pengembangan secara peyoratif yang cenderung bertendensi
dramatic/hiperbolik. Maka dipandang perlu dalam makalah ini secara eksklusiv
elaborasi sejumlah konsep yang dikembangkan Pierre Bourdieu.
Bagi Pierre Bourdieu konsep “kekerasan”
memungkinkan dikembangkan dalam pengertian meluas, bukan sekedar dalam batasan
pengertian fisik atau ancaman fisik
sebagaimana riset Imparsial tentang “Brutalitas Polisi” yang dilakukan pada
tahun 2005. Sebagai satu-satunya lembaga pemerintahan yagn diserahi mandat oleh
negara sebagai otoritas keamanan dalam negeri adalah absyah melakukan kekerasan
dalam batas kerangka yang direstui rakyat/masyarakat melalui aturan main (
undang-undang atau peraturan pemerintah). Maka selain terdapat kekerasan oleh
otoritas kepolisian yang tidak absyah, dalam pengertian yang meluas Pierre
Bourdieu mengembangka konsep “kekerasan simbolik”. Konsep “kekerasan simbolik”
dapat dipakai disini untuk menjelaskan (kemungkinan) polisi relasinya dengan
masyarakat dalam kerangka interaksi yang cenderung melahirkan fenaomena
koruptif , maupun interaksi internal di tubuh (organisasi) kepolisian dalam
dimensi yang sama.

Kondisi reformasi Polri
aktual (kondisi struktural, instrumental, dan kultural) dalam masyarakat
demokrasi pasca kejatuhan Rezim Orde Baru
adalah bentukan dari dua realitas;
desakan eksternal Polri dan dinamimika internal Polri. Desakan demokrasi
ini oleh Hantingtton difahami sebagai ’gelombang ketiga’ dimana seluruh
komunitas masyarakat tak berdaya menghindar dari gagasan dengan ikon liberal,
meskipun dengan sedikit variasi di sana
sini. Oleh Francis Fukuyama gejala ini disebutnya sebagai the end of ideology. Desakan
eksternal Polri secara analitik datang dari masyarakat sipil, masyarakat
politik, dan interelasi dengan elemen negara (Dephan, Dephub). Desakan tersebut
tidak ditelan mentah-mentah di kalangan Polri, respon Polri terhadap desakan
tersebut paling tidak dapat dipilah dalam dua dimensi. Pertama, adanya
pergulatan pemikiran dalam tubuh Polri, dalam hal ini (untuk sementara, asumsi
dasarnya; ada kalangan Polri ’reformis’
dan kalangan Polri ’konservativ’). Dimensi kedua adalah kultur Polri yang
dibentuk oleh sejarah panjang.
Relfeksi
·
(Tradisi) kekerasan dilakukan
polisi yang tak pada tempatnya nampaknya terjadi hampir umum dalam kepolisian.
Agak terkecuali Jepang, seperti digambarkan Liqun Cao dan Steven Stack, namun
issu mengganggu yang menyelimuti polisi Jepang adalah persoalan skandal. Upaya
jalan keluar atas persoalan internal dalam dimensi cultural, hemat saya, telah
kehabisan akal. Sepanjang (rekomendasi) penelitian di atas kembali
‘mengotak-atik’ dimensi organisasi dan dimensi aturan (regulasi) dalam
memberikan jalan keluar persoalan kultur kekerasan polisi yang bukan pada
tempatnya. Di Indonesia upaya ini dengan cara instrumental. Barangkali akan
cukup efektif dengan merumuskan kembali jargon dan symbol-simbol kepolisian.
Misalnya, meredifinisi ulang Tri Brata. Namun, litratur penelitian kea rah ini
tidak / belum saya temukan.
·
Sejumlah hasil penelitian yang
diangkat disini juga tak menyentuh adanya konflik internal di tubuh kepolisian.
Kondisi ini bisa
terjadi karena adanya perbedaan tafsir dalam mereformasi kepolisian. Di
Idonesia gejala ini cukup terlihat, misalnya yang sangat nyata adalah pada masa
pemerintahan Gus Dur dan setelahnya.
[1]. Academic of Management Review 1983, vol. 8, No. 1.
[2] . dalam www.emeraldinsight.com/1363-951X.htm
[3]. Dalam artikel Police Reform
and The Problem of Trust, pada
http://tcr.segepub.com/cgi/content/abstract/9/4/443
[4] . http://www.emerald-library.com/ft
[5] . http://www.emeraldingsight.com/researchregister
[6] . http:/www. emeraldingsight.com/researchregister
[7] . Konsep “kekerasan” ini memungkinkan dikembangkan dalam pengertian
meluas, bukan sekedar dalam batasan pengertian fisik atau ancaman fisik. Sebagai satu-satunya
lembaga pemerintahan yagn diserahi mandat oleh negara sebagai otoritas keamanan
dalam negeri adalah absyah melakukan kekerasan dalam batas kerangka yang
direstui rakyat/masyarakat melalui aturan main ( undang-undang atau peraturan
pemerintah). Maka selain terdapat kekerasan oleh otoritas kepolisian yang tidak
absyah, dalam pengertian yang meluas Pierre Bourdieu mengembangka konsep
“kekerasan simbolik”. Konsep “kekerasan simbolik” dapat dipakai disini untuk
menjelaskan (kemungkinan) polisi relasinya dengan masyarakat dalam kerangka
interaksi yang cenderung melahirkan fenaomena koruptif , maupun interaksi
internal di tubuh (organisasi) kepolisian dalam dimensi yang sama.