Rabu, 04 Maret 2015

Perihal Memahami Begal



Perihal Memahami  Begal

Sutrisno

Atas fenomena begal yang ramai belakangan ini  Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah dengan institusi pendidikan kita dan berharap akademisi melakukan riset serius atas fenomena ini. Dua hari kemudian kriminolog Ronny Nitibaskara menulis di harian Kompas (28/2/2015). Kriminolog ini secara ekspresif dan informatif  memberikan penjelasan perihal asal-usul jenis kejahatan jalanan ini. Namun demikian, dalam konteks kebutuhan ‘pragmatik’, paling tidak sebagai sebuah wawasan  bagi aktor negara  memahami ikhwal begal serta asal usulnya sebagaimana ulasan Ronny Nitibaskara adalah satu hal, hemat saya masih dibutuhkan penjelasan yang bersifat “menukik”, misalnya yang mendasar justru terletak pada pertanyaan, “mengapa fenomena begal (baru) membuncah memasuki  tahun ini ?  dan, mengapa membegal ? ”
Pertanyaan semacam ini mengandung dua orientasi. Pertama, melalui pertanyaan ini berarti identifikasi secara jernih sejumlah faktor langsung maupun tidak langsung kaitannya  dengan  fenomena begal yang telah meresahkan masyarakat belakangan ini. Poinnya, pengetahuan terhadap pembedaan faktor langsung dan tidak langsung ini kaitannya dengan aspek praksis yang akan dilakukan oleh otoritas negara. Tentu yang dimaksud otoritas negara dalam kaitan ini bukan berhenti pada kepolisian. Orientasi kedua, pertanyaan semacam ini secara sealigus agaknya mementahkan analisis yang melulu berangkat dari perspetktif makro yang merunut dari struktur sosial yang menghasilkan ketimpangan ekonomi.  Pasalnya, struktur sosial semacam  ini tidak hanya eksis sekedar dalam waktu dekat ini. Bukan cerita baru bahwa struktur sosial yang meminggirkan kelompok tertentu telah hadir sejak tahun 70-an, sebuah dekade  dimana kita sebagai bangsa menikmati kelimpahan minyak. Kemudian, hingga kini secara  trial and error kita sebagai bangsa merekonstruksi struktur yang bersahabat bagi sesama. Hemat saya, atas merebaknya begal ini yang harus disadari bahwa aparat kepolisian bukanlah insitusi tunggal dimana  alamat responsibilitas itu harus diletakan. Pada sisi lain kepolisian tidak perlu ‘difensif’, dengan berpandangan miring terhadap media  bahwa seakan-akan ada skenario yang membesar-besarkan realitas begal ini. Pemberitan media atas maraknya begal di sejumlah lokasi tentu merupakan  informasi yang berguna bagi masyarakat. Apalagi bagi mereka yang berkaitan langsung terhadap keamanan dirinya, informasi ini menjadi kompas kewaspadaan.  

Perspektif  Messo
Pendekatan pada level struktur makro atas fenomena begal diantaranya sebagaimana disinggung dalam artikel Ronny Nitibaskara tentu saja tidak bisa diabaikan, namun dalam kerangka metodologik struktur makro diletakkan dalam posisi conduciveness. Artinya, Struktur-makro tidak bisa menjelaskan gejala yang dimaksud  secara langsung, ia hanyalah sebuah prakondisi yang masih membutuhkan prasyarat untuk manifes sebagai sebuah fenomena begal. Alih-alih  analisis pada struktur-makro  hanya relefan sejauh  gejala yang dimaksud atau yang diamati telah memenuhi unsur untuk dikategorikan sebagai sebuah masalah sosial. Istilah ‘masalah sosial’ sekedar untuk menunjukan penekanan bahwa gejala yang  diamati bukanlah merupakan  realitas psikologis.  Apakah fenomena begal telah memasuki kategori sebagai masalah social ?  Iya, karena paling tidak  secara statistik kejadian begal  menunjukan pola (trend).
Keterbatasan analisis pada level struktur makro dalam menjelaskan realitas semacam begal telah menjadi perhatian sejumlah sosiolog. Misalnya saja Peter L. Berger et al. (1973).  Baginya   struktur sosial yang memproduksi ketimpangan dalam jangka waktu tertentu merupakan stimulan bagi lahirnya kantong-kantong sosial baru (new-social enclaves). Variasi kantong-kantong marjinal ini tentu saja secara otomatis bervariasi pula cara-cara mengartikulasikan perilaku pelanggaran hukum. Tidak mudah menyeberang dari kantong sosialyang satu ke kantong sosial yang lain.  Teknologi komunikasi dan internet yang oleh Daniel Bell (1974) dilihat sebagai instrumen yang mengerutkan dunia (dunia semakin mengecil atau menyatukan dunia), dalam kerangka Berger justru memecah agen-agen sosialisasi dalam kantong-kantong social itu tadi. Setiap kantong sosial  dengan agen sosial khusus mengkonstruksi budaya yang juga eksklusif (sub-culture). Melalui kerangka semacam ini kelompok-kelompok begal meskipun berangkat dari struktur sosial yang sama, mereka sama-sama ‘korban’ struktur social,  namun mempunyai  cara kerja yang berbeda. Data Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa kelompok Lampung mempuyai tradisi yang paling kejam dibandingkan kelompok begal lain.
  Disini Berger merevitalisasi pendekatan  marxian pada dua dimensi.  Pertama, kalangan Marxian  membaca struktur sosial yang dimaksud melulu dalam basis ekonomi, padahal individu adalah aktor aktif yang menafsir. Kedua, struktur sosial yang memproduksi ketimpangan  dibaca oleh kalangan Marxian secara ‘kacamata kuda’ sebagai biang keladi yang melahirkan perilaku menyimpang di kalangan kelompok sosial yang termarjinalkan. Poin kedua inilah yang paling digemari oleh  sejumlah akademisi maupun peneliti sosial di lingkungan kita untuk membaca perilaku menyimpang dan kejahatan jalanan. Teori ini seperti ‘kunci inggris’ yang bisa untuk menjelaskan realitas sosial apa saja, sehingga terasa othak-athik gathuk  yang cenderung  hiperbolik. Paling tidak akan kehilangan daya analitik.   
Merujuk Berger struktur sosial yang memproduksi ketimpangan (marjinalisasi) tidak hanya memecah formasi masyarakat pada kantong-kantong sosial secara herarkhis (stratifikatif), namun  secara otomatis membuka peluang deferensiatif. Kondisi ini konsekwensi dari  pluralisasi kehidupan sosial.  Dalam pluralisasi kehidupan sosial akan selalu dibayang-bayangi pecahnya lembaga kontrol sosial. Efektifitas lembaga pengendalian sosial yang resmi cenderung melemah karena harus “berbagi” dengan institusi lain, utamanya tarikan kuat lembaga-lembaga non-formal. Atau dalam formulasi yang terbatas lembaga semacam ini adalah kelompok-kelompok pertemanan (peers group). Yang prinsip, daya tarik lembaga non formal ini terletak pada  tawaranya dalam penyelesaian persoalan hidup sehari-hari. Membegal adalah salah satu cara penyelesaian persoalan itu, ia merupakan cara yang paling “rasional” –karena mudah -- dibandingkan cara-cara lain. Masyarakat dan tentu juga negara “menyediakan” lembaga non-formal semacam ini. Negara bisa mengontrol lembaga formal dan semi formal, tetapi tentu saja tidak menjangkau lembaga-lembaga non formal. Untuk melakukan begal syaratnya Hanya membutuhkan sedikit skill dan beberapa kawan.
Maka jika harus ditarik rekomendasi dari cara berfikir Berger,  dalam jangka pendek adalah bagaimana membuat ‘pekerjaan’ membegal yang mudah ini menjadi sulit. Caranya, memberikan informasi kepada masyarakat sebanyak-banyaknya dan sedetail-detailnya ikhwal begal ini. Masyarakat mempunyai daya kuratifnya sendiri. Kebijakan ‘tembak di tempat’ terhadap begal sebagai sebuah solusi jangka pendek akan efektif jika memang kebijakan ini terbukti atau memang terjadi. Disini akan lebih efektif pada cara kerja undercover anggota kepolisian, bukan pada patroli. Dalam jangka menengah ada baiknya kedepan kepolisian sebagai lembaga resmi mempunyai media sendiri yang secara khusus memasok informasi mengenai kejahatan jalanan.