Pembacaan Konflik Aras
Negara
(sebuah pendekatan epistemologi-marxian)
Abstract
Masyarakat modern
(baca: kapitalisme) dengan kehadiran negara, mengalami blunder dalam
mengendalikan konflik dan potensi konflik. Betapa tidak, secara subtantif
kehadiran negara sendiri tidak bisa mengambil jarak dengan kelas sosial. Jadi,
negara mengalami persoalan didalam
dirinya sendiri, ia tidak mampu menghindar dari kontradiksi internal. Refleksi terhadap negara dengan kerangka semacam ini
dipenghujung tahun 2015 melalui gonjang-ganjing
saham Freeport menjadi menemukan relefansi.
Kata Kunci
Konflik Kelas, Demokrasi, Negara
Memasuki abad ke-21 dimana kapitalisme mulai menapaki
kematangannya, dan dua dasawarsa yang lalu negara “pendaku” sosialis-komunis
semacam Uni Sovyet[2]
rontok, justru di pusat kapitalisme --di New York -- terbit sebuah buku kecil, Why Read Marx Today?[3]
Buku kecil yang terbit tahun 2002 ini ditulis
Jonathan Wolff, seorang filsuf University College London. Pertanyaan dasar buku ini, bagaimana
masyarakat sampai bisa mengorganisasikan dirinya sendiri atas dasar kelas?
Pertanyaan ini penting karena sifatnya yang subtantif dalam membedah fenomena konflik (konflik
sosial) sejak awal terbentuknya masyarakat hingga berkembangnya organisasi
masyarakat yang kompleks pada hari ini. Bagi Marx, gejala kelas merupakan
manifestasi konflik sosial, paling tidak konflik yang bersifat latent. Proposisi
semacam ini (konflik laten) belakangan
sudah mulai di-sensitif-i kalangan otoritas keamanan (atau khususnya Polri)
dalam pengendalian konflik sosial melalui formulasi konsep yang sangat umum
dikenal sebagai Faktor Korelatif Kriminogen (FKK). Kalau demikian, apa yang
difahami kalangan otoritas keamanan tentang FKK dalam format grand discourse
kapitalisme yang tampil dalam wajah demokrasi hari ini ? Bagaimana formulasi FKK merespon konsep
‘kelas’-nya Karl Marx? Bagaimana pula,
paling tidak, secara strategik kepolisian dan otoritas keamanan lain mengendalikan/mengontrol
FKK? Kalau, toh kepolisian mengalamatkan jawabannya pada strategi Polmas,
sejauh mana ia mempunyai kompatibilitas dengan rezim sistem sosial yang menjadi
wacana besar kapitalisme ini (yang didalamnya termasuk rezim politik, rezim
ekonomi) ? Pada era Orde Baru otoritas keamanan hadir di parlemen (sebagai
utusan golongan) sehingga bisa secara langsung memberikan warna pada setiap
regulasi menyangkut keamanan dan tata kelolanya. Hari ini, kehadiran otoritas
keamanan di parlemen tentu dipandang menodai demokrasi.
Tentu saja tulisan pendek ini tak hendak menjawab sejumlah
pertanyaan besar semacam itu. Namun, sejumlah pertanyaan pelik itu diperlukan
sebagai lanskap persoalan pengendalian keamanan hubungnnya dengan sistem sosial
yang sublim seperti hari ini. Hemat
penulis di luar pertanyaan semacam ini masih
ada persoalan mendasar dalam regulasi. Yaitu, terminologi konflik sosial dalam
Undang-Undang Nomor 7/2012 Pasal 1 cenderung didefinisikan sebagai gejala yang
bersifat fisik,
Konflik
adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok
masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas
yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu
stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.