Jumat, 11 Juli 2014

Democratic Policing



Menakar Democratic Policing  di Indonesia
 
“Jika hukum dan tatanan bersifat sedemikian rupa, 
hingga menuntut Anda menjadi agen ketidakadilan 
terhadap sesama manusia, maka saya katakan pada Anda:
langgar saja hukum itu”
Henry David Thoreau (1817-1862)

Prolog
Demokrasi sebagai sebuah konsep, selain merupakan ruh masyarakat modern, adalah karena daya tariknya yang mempunyai kekuatan imperatif mengisi peradaban manusia hari ini. Seakan akan peradaban manusia pasca revolusi Perancis tidak lagi mempunyai gagasan ideal lain selain demokrasi. Daya tarik ini  terletak pada sistem kekuasaan yang terbatas (David Held:1995;180). Pada institusi otoritas pengendali keamanan, democratic policing bukan sekedar kebutuhan sosiologis-politis,  tetapi legitimasi tindakan otoritas keamanan itu atas moral (moral dalam tata sosial/ social order). Ketika para pegiat  demokasi mengkritik praktek pengelolaan keamanan yang tidak demokratis maka kritik ini mendapatkan amunisinya dari  ‘moralitas’ semacam itu. Kritik semacam itu tidak bermuara pada legalitas rasionalnya (hukum positiv) tetapi juga legitimasi moral[1]. Disini persoalanhya, praktek kepolisisian (tindakan polisionil), pada satu sisi harus efektif, sementara demokrasi acapkali justru mengundang hiruk-pikuk yang dirasa mengganggu penyelesaian persoalan.   
Namun demikian ‘iman’ demokrasi tak dapat digoyahkan hanya karena hiruk-pikuk yang tak efektif dan efisien atas praktek demokrasi itu sendiri. Jika itu terjadi (hiruk-pikuk, simpang-siur), bagi kalangan yang mengimani demokrasi maka godaan efektifitas dan efisiensi ini bukanlah dialamatkan pada demokrasi: tetapi pada pemahaman yang salah tentang syariat dalam menapaki demokrasi. Atau, bid’ah demokrasi.


Skema Persoalan:
Antara tata kelola keamanan, ekonomi, dan (model) demokrasi

Sebagaimana umumnya negara yang baru lepas dari rezim otoritarian, Indonesia pasca 1998 harus menghadapi tiga sisi dari bentuk struktur ‘segi tiga’; kebebasan, pertumbuhan ekonomi, dan keamanan. Dalam mengelola tiga sisi itu --belajar dari  Rezim Suharto – bangsa ini mendapatkan pelajaran bahwa tata kelola keamanan yang ketat akan mengorbankan kebebasan (sipil), akan tetapi  secara bersamaan ketatnya tata kelola keamanan diikuti agen ekonomi yang efektif menggenjot pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, longgarnya tata kelola keamanan berarti membuka ruang kebebasan sipil sembari di dalamnya mengandung inefisiensi pada produksi.