Menakar
Democratic Policing di Indonesia
“Jika
hukum dan tatanan bersifat sedemikian rupa,
hingga
menuntut Anda menjadi agen ketidakadilan
terhadap
sesama manusia, maka saya katakan pada Anda:
langgar
saja hukum itu”
Henry David Thoreau (1817-1862)
Prolog
Demokrasi sebagai sebuah konsep, selain merupakan ruh
masyarakat modern, adalah karena daya tariknya yang mempunyai kekuatan imperatif
mengisi peradaban manusia hari ini. Seakan akan peradaban manusia pasca
revolusi Perancis tidak lagi mempunyai gagasan ideal lain selain demokrasi. Daya tarik ini terletak pada
sistem kekuasaan yang terbatas (David Held:1995;180). Pada institusi
otoritas pengendali keamanan, democratic
policing bukan sekedar kebutuhan sosiologis-politis, tetapi legitimasi tindakan otoritas keamanan
itu atas moral (moral dalam tata sosial/ social order). Ketika para pegiat demokasi mengkritik praktek pengelolaan
keamanan yang tidak demokratis maka kritik ini mendapatkan amunisinya dari ‘moralitas’ semacam itu. Kritik semacam itu
tidak bermuara pada legalitas rasionalnya (hukum positiv) tetapi juga legitimasi
moral[1].
Disini persoalanhya, praktek kepolisisian (tindakan polisionil), pada satu sisi
harus efektif, sementara demokrasi acapkali justru mengundang hiruk-pikuk yang dirasa mengganggu penyelesaian
persoalan.
Namun
demikian ‘iman’ demokrasi tak dapat digoyahkan hanya karena hiruk-pikuk yang
tak efektif dan efisien atas praktek demokrasi itu sendiri. Jika itu terjadi (hiruk-pikuk,
simpang-siur), bagi kalangan yang mengimani demokrasi maka godaan efektifitas
dan efisiensi ini bukanlah dialamatkan pada demokrasi: tetapi pada pemahaman
yang salah tentang syariat dalam menapaki demokrasi. Atau, bid’ah demokrasi.
Skema Persoalan:
Antara tata kelola keamanan, ekonomi, dan (model)
demokrasi
Sebagaimana umumnya negara yang baru lepas dari rezim otoritarian,
Indonesia pasca 1998 harus
menghadapi tiga sisi dari
bentuk
struktur ‘segi tiga’; kebebasan, pertumbuhan ekonomi, dan keamanan. Dalam mengelola
tiga sisi itu --belajar dari Rezim
Suharto – bangsa ini mendapatkan pelajaran bahwa tata kelola keamanan yang ketat akan mengorbankan
kebebasan (sipil), akan
tetapi secara bersamaan ketatnya tata
kelola keamanan diikuti agen ekonomi yang efektif menggenjot pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, longgarnya tata
kelola keamanan berarti membuka ruang kebebasan sipil
sembari di dalamnya mengandung inefisiensi pada produksi.