Menakar
Democratic Policing di Indonesia
“Jika
hukum dan tatanan bersifat sedemikian rupa,
hingga
menuntut Anda menjadi agen ketidakadilan
terhadap
sesama manusia, maka saya katakan pada Anda:
langgar
saja hukum itu”
Henry David Thoreau (1817-1862)
Prolog
Demokrasi sebagai sebuah konsep, selain merupakan ruh
masyarakat modern, adalah karena daya tariknya yang mempunyai kekuatan imperatif
mengisi peradaban manusia hari ini. Seakan akan peradaban manusia pasca
revolusi Perancis tidak lagi mempunyai gagasan ideal lain selain demokrasi. Daya tarik ini terletak pada
sistem kekuasaan yang terbatas (David Held:1995;180). Pada institusi
otoritas pengendali keamanan, democratic
policing bukan sekedar kebutuhan sosiologis-politis, tetapi legitimasi tindakan otoritas keamanan
itu atas moral (moral dalam tata sosial/ social order). Ketika para pegiat demokasi mengkritik praktek pengelolaan
keamanan yang tidak demokratis maka kritik ini mendapatkan amunisinya dari ‘moralitas’ semacam itu. Kritik semacam itu
tidak bermuara pada legalitas rasionalnya (hukum positiv) tetapi juga legitimasi
moral[1].
Disini persoalanhya, praktek kepolisisian (tindakan polisionil), pada satu sisi
harus efektif, sementara demokrasi acapkali justru mengundang hiruk-pikuk yang dirasa mengganggu penyelesaian
persoalan.
Namun
demikian ‘iman’ demokrasi tak dapat digoyahkan hanya karena hiruk-pikuk yang
tak efektif dan efisien atas praktek demokrasi itu sendiri. Jika itu terjadi (hiruk-pikuk,
simpang-siur), bagi kalangan yang mengimani demokrasi maka godaan efektifitas
dan efisiensi ini bukanlah dialamatkan pada demokrasi: tetapi pada pemahaman
yang salah tentang syariat dalam menapaki demokrasi. Atau, bid’ah demokrasi.
Skema Persoalan:
Antara tata kelola keamanan, ekonomi, dan (model)
demokrasi
Sebagaimana umumnya negara yang baru lepas dari rezim otoritarian,
Indonesia pasca 1998 harus
menghadapi tiga sisi dari
bentuk
struktur ‘segi tiga’; kebebasan, pertumbuhan ekonomi, dan keamanan. Dalam mengelola
tiga sisi itu --belajar dari Rezim
Suharto – bangsa ini mendapatkan pelajaran bahwa tata kelola keamanan yang ketat akan mengorbankan
kebebasan (sipil), akan
tetapi secara bersamaan ketatnya tata
kelola keamanan diikuti agen ekonomi yang efektif menggenjot pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, longgarnya tata
kelola keamanan berarti membuka ruang kebebasan sipil
sembari di dalamnya mengandung inefisiensi pada produksi.
Proposisi semacam ini ditentang mayoritas kalangan
pemikir demokrasi pasca 1998. Namun demikian tak perlu dipungkiri proposisi
ini mempunyai basis empirik yang sangat kuat,
bahwa pola hubungan
bersifat resiprokal
antara ketatnya tata kelola keamanan dengan kebebasan (sipil) dan efektifitas
ekonomi. Proposisi hubungan segi tiga itu sempat dipegang teguh kalangan teknokrat
Indonesia. Meskipun
belakangan disadari bahwa kebebasan sipil dan longgarnya tata kelola keamanan
ternyata bisa juga
berdamai dengan pertumbuhan ekonomi. Gagasan ini paling tidak
dipengaruhi filsafat moral-ekonomi yang dikembangkan Amartya Sen dipenghujung tahun 1990-an. Amartya Sen,
pemenang Nobel
bidang ekonomi atas karyanya dalam ekonomi kesejahteraan pada 1998 ini
memberi inspirasi moral dengan
’mendammaikan’ struktur dimensi segi tiga itu[2].
Hampir sepuluh tahun kemudian Eric Maskin, yang juga penerima Nobel bidang ekonomi memperkuat
temuan Amartya Sen. Prinsip yang ingin ditegaskannya bahwa hanya mengandalkan
ukuran Produk Domestik Bruto (PDB) tidak akan menyelesaikan persoalan
ketimpangan yang melebar meskipun pertumbuhan ekonomi sangat tinggi. Liputan menarik soal ini dalam Harian Kompas, 5 Seprtember 2012. Dari Eric
Maskin didapatkan bahwa globalisasi,
atau disini dimaknai keterbukaan terhadap pasar global ternyata menaikan
pendapatan rata-rata. Namun demikian, lagi-lagi, globalisasi merupakan salah
satu faktor ketimpangan kesejahteraan.
Kode Moral dalam Tata
Kelola Keamanan
Maka,
bagaimana membaca relasi ekonomi dengan tata kelola keamanan dalam format
demokrsi ? Kode moral pertama adalah
pembacaan yang memberikan ruang kebebasan tanpa harus terjebak pada anarkhisme
dan relativisme moral. Kebebasan yang
merupakan sisi pertama dari segi tiga
itu
dipandang sebagai artikulasi ruh demokrasi. Pada pasca 1998 kebebasan dimaknai dalam dimensi yang cenderung meluas.
Perluasan makna kebebasan ini terkadang
bersifat peyoratif, sehingga memberikan implikasi pada
gugatan terhadap instrumen negara yang hampir
melumpuhkan sendi otoritas pendefinisi realitas atas kehidupan berbangsa.
Di sini politik identitas dipandang sebagai keniscayaan hingga
reformasi difahami sebagai sarana legalitas adu kekuatan dalam mewujudkan
primordialisme; uang menjadi instrumen agung
yang
tak malu-malu lagi menggeser keadaban
publik dalam modus berpolitik (public virtue). Sisi kedua,
pertumbuhan atau gerak roda ekonomi. Sisi ini agaknya
sulit sekali menghindari jebakan demokrasi liberal; sehingga sisi
ketiga, keamanan, diletakkan pada bingkai liberlisme itu. Dalam artikulasi yang vulgar
bahwa otoritas keamanan sulit beringsut dari pusaran privatisasi, sebagaimana mekanisme yang terjadi pada faktor-faktor
produksi yang lain.
Setiap sisi dari segi tiga ini bergerak sinergis-imperatif:
jika sisi yang satu bergeser, sisi yang
lain mengikuti pergeseran itu.Tata kelola keamanan yang terlalu ketat -- sebagaimana
pada era otoritarian -- meskipun sesungguhnya relatif efektif mengawal roda
ekonomi namun pada pasca reformasi ini justru mencederai ruang kebebasan. Ruang
kebebasan ini acap kali dialamatkan pada substansi demokrasi ; namun pada sisi
lain rezim demokrasi masih harus dibebani dimensi ekonomi (pertumbuhan dan
pemerataan). Persoalannya, bisa jadi rezim tata kelola keamanan menempati ‘norma’ sendiri
dalam struktur hubungan segi tiga itu. Norma dalam pengertian dasar adalah
‘ukuran’.
Disini menarik mengambil ilustrasi Indonesia tahun
1980-an. Pak
Harto belakangan baru menyadari pentingnya membuka ruang kebebasan sipil pada
derajat tertentu sehingga rezim militer tak perlu lagi terlalu kuat mendominasi
keadaan bukan saja pada aras politik tetapi juga dalam sosial dan ekonomi.
Struktur rezim keamanan bergeser: Kopkamtib, intrumen militer yang mendominasi
definisi keamanan, dibekukan digantikan Bakorstranas. Pergeseran ini pada
derajat minimal menjadikan institusi
kepolisian mulai mendapat tempat. Tetapi juga dalam perkembanganya institusi
kepolisian ini tidak sepenuhnya otonom karena
eksternalitas geo-politik Indonesia merangsang lembaga ekstra non
yudisial Bakortranas membangun definisi-definisi sendiri atas realitas
keamanan. Bakortranas pada dekade ini sangat getol mengidentifikasi gejala-gejala pergerakan ideologi (kiri
maupun kanan) yang dipandang sebagai mengganggu pembangunan[3].
Jadi, jika kembali pada proposisi awal,
ketika konsep keamanan bergeser dari makna klasik yang melulu bersifat
fisik[4]
kepada pengertiannya yang bersifat non-fisik maka elemen cakupan keamanan ini
pun meluas.
Bersamaan dengan perluasan cakupan keamanan ini otoritas keamanan (kepolisian)
tak bisa lagi mendominasi definisi atas realitas keamanan itu secara otonom. Pembacaan
semacam ini akan lebih jelas melalui kerangka pikir Emile Durkheim. Pergeseran bentuk masyarakat solidaritas mekanik ke
masyarakat solidaritas organik, dalam kerangka Durkheim, merupakan kondisi sine qua non dari deferensiasi
struktural yang semakin tajam; disini ketika sistim hukum restitutif secara imperatif menggeser sistem hukum
represif maka kepolisian sesungguhnya acapkali tertinggal dalam mekanisme
sistim hukum yang baru ini. Organisasi kepolisian gaya lama yang militeristik,
misalnya, tak mudah untuk segera menggeser kepolisian mengikuti sistem hukum restitutif. Sejumlah
riset penting menunjukan hal itu.
Misalnya, risetnya Harry Burton tentang Understanding Occupational (Sub)culture – a Precursor for Reform[5]. Kepolisian di Inggris dan Weles yang dikaji
Burton bahwa meskipun apresiasi publik terhadap kepolisian cukup positiv, namun
faktor organsiasi yang membangun ‘budaya polisi’ (occupational sub-cultur) menjadikan kepolisian resisten terhadap
perubahan. Utamanya budaya solidaritas seiring
dengan imunitas dan anti transparansi. Ini menjadi PR
serius bagi reformasi kepolisian Indonesia.
Bukan sekedar perlu semacam re-difinisi atau pemaknaan ulang terhadap
term ‘soliditas’ dan ‘solidaritas’, namun term ini mengundang makna tak sedap
bagi kalangan di luar institusi kepolisian karena acap kali dibaca dalam dimensi memperkuat
impunitas penegakkan hukum kalangan kepolisian. Filsuf besar Cicero berujar, Impunitas
non modo a judicio sed etiam a sarmone; bebas dari hukuman itu tidak hanya
ditentukan oleh pengadilan tetapi juga oleh gunjingan orang.
Tumpukan
regulasi dengan segala gradasi yang
mendefinisikan realitas keamanan tak
lagi bisa dipegangi oleh kepolisian sebagai penegak hukum dalam kerangka moral deontologis-Kant.
Karena hadirnya kekuatan ‘di luar sana’
yang juga mendefinisikan realitas keamanan. Pada
derajat ini tak bisa dipungkiri relefansi sebuah pertanyaan yang mengaitkan
hukum dengan kehendak publik. Tegasnya, bagaimana kaitan antara hukum dengan
kehendak publik? Pemikir negara hukum klasik seperti Rousseau menegaskan hukum merupakan kehendak umum yang
dilembagakan, dengan demikian hukum mengacu dan mendasarkan pada kepentingan
bersama. Sementara, kegamangan kalangan
kepolisian dalam memegangi sepenuhnya teks hukum ini tak perlu dibaca sebagai
sepenuhnya kelemahan otoritas keamanan ini dihadapan entitas sosial lain di
tengah masyarakat (meskipun hal ini juga
mungkin terjadi). Disini menarik tulisan Fachry Aly di Jaringnews.com,13 April 2012 14:45 WIB,
mengalamatkan kegamangan kepolisian ini pada faktor wacana HAM,
“Dengan latar
belakang HAM ini, ada dua kecenderungan psikologis terjadi: di satu sisi, para
demonstran yakin bahwa mereka akan terlindungi dari tindak kekerasan aparat. Di
sisi lain, aparat polisi, sebagai penegak hukum, merasa ragu menerapkan
disiplin karena khawatir melanggar garis batas HAM”.
Yang harus dilacak sebelum menentukan faktor
langsung atau faktor terdekat atas (tindakan) kegamangan adalah konstelasi
sosial yang melatari tindakan itu. Disini menarik menangkap gejala yang menonjol pada pergeseran struktur nilai pasca 1998, sehingga
‘kreatifitas’ otoritas kepolisian merespon perubahan
yang menghasilkan dua dimensi tujuan tindakan kepolisian; antara penegakkan
hukum dengan ketertiban.[6]
Dua dimensi tujuan tindakan kepolisian ini merupakan realitas yang tak pernah
dikenal pada era kejayaan Orde Baru atau dominasi struktur otoritarian. Pada
era Orde Baru dua konsep ini (penegakan hukum dan ketertiban) bersetubuh: hukum
adalah ketertiban itu sendiri. Dalam
simplifikasi Rousseau di atas, hukum
sejajar sengan kehendak publik.
Ruang interpretasi otoritas kepolisian sebagai penegak hukum garda depan
pun meluap. Realitas
yang membuat gamang penegak hukum adalah
pengaruh publik terhadap proses penegakkan hukum
yang nota bene ia lakukannya. Monica den Boer[7]
dalam kerangka ini menyebutnya, “…akan
selalu ada wilayah abu-abu dimana undang-undang tidak dapat memberikan jawaban
yang pasti (logika situasional)”. Nilai keadilan dirasakan kalangan publik acap kali tidak paralel
dengan rumusan hukum positiv. Bahkan, melalui liberalisme media massa, suara publik yang sesungguhnya minor bisa
dengan mudah menjadi lantang dan mendominasi
realitas; ia menjadi mayoritas (the
loudly sound)[8]. Pengertian yang
dikandung dalam term ‘mayoritas’ menjadi sublim karena istilah ini bukan lagi
merujuk pada makna harfiah kalkulatif. Pada sisi ini lah pembajakan atas demokrasi mendapatkan
relefansinya : media / perss bukan sekedar berfungsi sebagai urat nadi
demokrasi namun juga bisa berubah
menjadi monster demokrasi.
Meskipun dalam format demokrasi rezim tata kelola
keamanan diletakkan dibawah otoritas sipil
namun dalam praksis tidak sesimpel sebagaimana yang tertuang di atas
kertas regulasi.
Apalagi bagi masyarakat Indonesia yang sepanjang
sejarah bernegara, selama 64 tahun, hanya empat tahun
mempunyai pengalaman otoritas sipil memegang kendali
yaitu dalam era demokrasi liberal. Bukan sekedar persesuaian kultur masyarakat
dalam struktur baru yang tertuang di atas kertas kerja politik ini, akan tetapi
yang jauh lebih serius adalah jejaring
kekuatan lama ikut masuk dan terlibat bersama agen-agen perubahan kemudian
bermetamerfosa memanfaatkan struktur baru reformasi. Sejumlah hasil reset serius
membuktikan proposisi ini, mulai dari Jefry Winters (2000); Laode Ida (2010); Aditjondro (2004); David Boucher dan Vedi R. Hadiz (2003).
Pada
dimensi pertama, relasi
otoritas lembaga keamanan (dalam hal ini kepolisian) dengan otoritas politik
dan entitas sipil ini mengandaikan (atau mempersyaratkan) kematangan otoritas
politik itu sendiri. Dan, pada sisi lain kemampuan entitas masyarakat sipil
atau masyarakat non-politik dalam mengartikulasikan kepentingan / kehendaknya (burgerlich)[9].
Karena selain ruang regulasi masih kosong, juga regulasi yang ada ini masih
mempunyai peluang tafsir. Ukuran kontrol
terhadap struktur hubungan segi tiga itu adalah agar bentuknya tak terlalu runcing tetapi juga tak terlalu
panjang di bagian bawahnya. Segi tiga sama sisi merupakan konstruksi struktur yang ideal. Dimensi kedua, persoalan kejelasan ruang
kerja otoritas penegak hukum ini sekaligus relasinya (utamanya) dengan entitas
militer, dan dimensi ketiga adalah menyangkut profesionalisme penegak hukum. Tiga
dimensi ini sekaligus merupakan faktor fundamental penyangga demokratisasi.
Antara DP dengan CP:
Sebuah Diskusi Kontemplatif
Terminologi democratic
policing
(DP) di Indonesia tidak begitu kuat gaungnya
dibandingkan dengan community policing
(CP) atau perpolisian masyarakat. Sebagian pemikir
kepolisian di Indonesia mengartikan dua konsep ini merujuk pada realitas yang
sama, sebagian lain
menempatkan CP sebagai salah satu bentuk praktek DP. Dimensi tafsir atas konsep
ini menempati sudut pandang yang saling melengkapi (resiprokal), karena realitas sosial yang terus
bergeak, di satu sisi memang serba tak lengkap jika membatasi diri pada satu
sudut pandang.
Namun, terlepas dari
apapun kontestasi tafsir dua terminologi
itu, CP merupakan
‘anak emas’ bagi pengendali otoritas keamanan negeri ini. Bahkan community
policing mendapat posisi penting sebagai sebuah kebijakan.
Sejumlah literatur serius tentang CP di Indonesia rasanya belum afdhal jika tak menyebut Robert Trojanowicz, seorang profesor
dari Universitas Michigan, yang mengembangkan konsep ini pada dekade tahun
1980-an. Ia merumuskan CP sebagai,
a
philosophy of full-service, personalized policing where the same
officer patrols and works in the same area on a permanent basis, from a
decentralized place, working in a proactive partnership with citizens to
identify and solve problems.[10]
Pembobotan yang jauh lebih kuat terhadap CP daripada
DP bisa jadi
merupakan sebuah ilustrasi tentang cara berfikir kalangan otoritas keamanan
yang meletakkan persoalan keamanan berada pada entitas non-negara. Otoritas keamanan
ini memandang persoalan juga keamanan berada “di luar sana”.
Sementara dalam DP ikhwal tata kelola keamanan terletak pada kemauan otoritas
pengendali rasa aman itu untuk share
dengan otoritas diluar dirinya. Ini lebih merupakan persoalan kesiapan
instrumen negara (kepolisian, Pemda, DPR/D) dalam share sesama mereka atau dengan sejumlah otoritas pendefinisi
otoritas pada ranah masyarakat sipil. Pada
kerangka ini menarik proposisi yang dikembangkan David Alan Sklansky dalam
http://www.law.columbia.edu,
“Police professionalism and community policing are in this sense
different paths to the same destination:
“democratic policing.” The
second enduring assumption is that democratic policing means making the police
answerable to democracy, not bringing the benefits of democracy to police
officers themselves. The democracy in
democratic policing is external, not internal, to law enforcement. The thinking is that external and internal
democracy are two different things, and that at least in this context they are
mutually incompatible.”
Proposisi Sklansky ini menempatkan
keagungan konsep democratic policing itu. Democratic policing dalam kerangka Sklansky nampaknya menjadi
tujuan dari seluruh upaya kerja kepolisian. Bahkan dua konsep penting,
profesionalisme kepolisian dan CP diletakkan menjadi alat kerja yang berujung pada
DP.
Penekanan
yang terlampu berlebihan pada CP sembari melupakan tujuan yang bersifat koherensi DP alih-alih bias pada proses
panjang paradigma polisionil. Maka,
konsep “pemberdayaan
masyarakat”
dengan segala aneka eufimismenya merupakan
anak kandung CP ketimbang DP. Konsep “pemberdayaan masyarakat” – istilah yang
akrab dipakai rezim Orde Baru ini -- menjadi
artikulasi cara berfikir yang tidak lebih
dari cara memandang entitas sosial “di luar sana” sebagai obyek yang dikenai
tindakan (tindakan pembinaan). Entitas sosial “di
dalam sini” – di dalam institusi kepolisian – merupakan
otoritas alien datang dari langit yang
mempunyai kecerdasan diatas rata-rata.
Disini,
entitas sosial otoritas pengendali rasa aman ini
mempunyai “epsitemologi priyayi” yang ber-afinitas dengan orientalisme. Logika
orientalisme memandang bahwa mereka yang ‘di luar sana’ sebagai tidak beradab;
bandingkan dengan oksidentalisme yang menjadi arus balik bahwa sesungguhnya
entitas ‘di luar sana’ justru merupakan
ruang sosial yang menjanjikan keadaban. Oksidentalisme, jika disini ditegaskan sebagai kalangan organisasi masyarakat sipil memandang
persoalannya justru pada entitas pemangku otoritas negara: persoalan keamanan
dari kriminalitas tingkat jalanan hingga white
collor crime jika dilacak secara
sosiologis sesungguhnya dapat ditarik benang merahnya pada instrumen negara
(termasuk rezim otoritas keamanan itu sendiri).
Epilog
Maka dalam konteks itulah
dapat difahami kerangka pikir Monica
(Tanpa Tahun; 25)
bahwa DP lebih
tepat diterapkan dalam masyarakat transisional. Namun demikian sangat perlu
menarik garis batas perihal apa yang dimaksud masyarakat transisi. Istilah
masyarakat transisi nampaknya sebuah adjektiv yang tak pernah mempunyai
penjelasan yang cukup dalam elaborasi Monica dan kawan-kawan. Pengabaian
terhadap kejelasan wujud masyarakat ini akan kehilangan dasar analitis atas
argumentasi pentingya penerapan konsep ini pula. Sehingga yang terjadi di Indonesia,
konsep ini nampaknya dipandang tak
begitu fundamental dibandingkan dengan pendalaman wacana Polmas (Perpolisian
Masyarakat). Pada bagian di bawah akan disinggung konsekwensi pilihan dua
konsep ini. Pendekatan sosiologi klasik cukup membantu menjelaskan konsep ini.
‘Masyarakat transisi’ pada dasarnya adalah sebuah proses yang ‘belum selesai’
menuju pada model tertentu, utamanya pada derajat benturan trialektika antara
struktur, proses, dan kultur.
Dalam
konteks Indonesia (namun juga terjadi secara umum), independensi kepolisian
(pada mulanya) dipandang sebagai obat mujarab reformasi hukum dan tata kelola
rezim keamanan. Gagasan Montesque tentang pemisahan kekuasaan ini oleh kalangan
yang gigih membela demokrasi dipegangi erat sebagai sabda yang tak bisa
berdamai dengan lokalitas. Belakangan ternyata gagasan lawas Montesque menghadapi persoalan, karena
rupanya atas nama independensi lah
institusi kepolisian mendefinisikan realitas secara otonom hingga out of control. Bagi pemikir demokrasi substansial sulit
memahami kasus-kasus yang menyandung petinggi kepolisian, seperti dalam kasus
Korlantas yang mengemuka pada bulan Ramadhan tahun ini, menjadi poin yang
penting untuk ditangani kawan-kawannya sendiri. Kasus-kasus semacam ini akan
selalu mengganggu Montesque dalam tidur panjangnya.
Wallahu alam.
DAFTAR
PUSTAKA
Baldwin, Robert dan Richard Kinsey.2002.Police, Power and Politics: Kewenangan
Polisi dan Politik, terj. Kunarto,
Cipta Maninggal, Jakarta.
Burton, Harry. Understanding Occupational
(Sub)culture – a Precursor for Reform,
Chandoke, Neera.1995.State and Civil Society, Sage Publication, New Delhi, India.
Dahrendorf, Ralph.1985.Law and Order, Westvew Press, Colorado.
Daruwala, Maja. Democratic policing is a citizen service, dalam
http://southasia.oneworld.net
Friedman, Lawrence M.2009. Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, terj. Khozim,
Nusa Media, Bandung.
Hart, H.L.A.2009.Law, Liberty and Morality, terj.
Ani Mualifatul Maisah, Genta
Publishing.
Held, David.2006.Models of Democracy, Polity Press,
Malden, USA.
Held, David.1995.Demokrasi dan Tatanan Global: Dari Negara
Modern Hingga
Pemerintahan Kosmopolitan, terj.
Damanhuri, Pustaka Pelajar, Jakarta.
Van den Boer,
Monica dan Changwon
Pyo. (Tanpa Tahun).Tata Kelola
Perpolisian
Yang Baik, Asia-Europe Fondation dan Hans Seidel Foundation
Indonesia.
Marx, Gary T. Police and Democracy dalam mit.edu/gtmarx/www/dempal.html.
Marx, Gary T. Some Reflection on the Democratic Policing
of Demonstration, dalam
mit.edu/gtmarx/www/polpro.html.
Monica, Van Den Boer dan Changwon Pyo.(Tanpa Tahun).Tata Kelola Perpolisian
yang
Baik,
Asia-Europe Foundation dam Hans Siedel Foundation Indonesia.
O’Donnell, Guillermo, at al.1993.Transisi Menuju Demokrasi; Tinjauan berbagai
Perespektif, LP3ES, Jakarta.
Prasad,Devika.(2006).Strengthening Democratic Policing in the Commonwealth
Pacific, Commonwealth
Human Rights Initiative.
Prihantono,T. Jessica Evangeline dan Iis Gindarsih
(Peny.).2007. Keamanan
Nasional: Kebutuhan Membangun Perspektif
Integratif versus Pembiaran
Politik dan Kebijakan, Propatria
Institute.
Rahardjo, Satjipto.2002.Polisi Sipil: dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Penerbit
Kompas, Jakarta.
Sen, Amartya.1997. Equality
of What?, Contemporary Political
Philosophy: An
Anthology, Robert E. Goodin and Philip Pettit
(eds), Oxford, Blackwell.
Sklansky, Alan David, Democratic Policing Inside and Out,
dalam
Skolnick, Jerome
H. 1999. On Democratic
Policing, Police Foundation, 1201
Smelser,
Neil dan Richard Swedberg.2005.The
Handbook of Economic Sociology,
Princeton University,
Oxford.
Sutanto.2006.Polmas Paradigma Polisi Baru, YPKIK,
Jakarta.
[1] .
Praktek penegakkan hukum (law inforcement)
yang dilakukan kepolisian acapkali terasa relefan ‘diperlawankan’ dengan
perampasan dimensi keadilan. Jika proposisi ini benar, adalah menunjukan kesenjangan antara
nilai tekis legal rasional dengan moral keadilan yang bergentayangan di luar
intitusi hukum positiv. Secara sosiologis, berkembang simplifikasi dalam
membaca realitas kesenjangan itu, bahwa institusi hukum ketinggalan dari
perubahan sosial.
[2]. Amartya Sen (1997) dalam makalah kecilnya, Equality of What? seperti mengakhiri debat berkepanjangan wacana
pilihan model pembangunan antara gaya kiri atau kanan. Amartya justru menukik
pada gagasan filsafat moral yang selama ini dipandang telah baku:
mendiskusikan gagasan dasar keadilan
utulitarian, utilitas total dan Rawlsian.
[3]. Untuk penjelasan lebih jauh tentang
kiprah Bakortranas dalam tata
kelola keamanan, lihat misalnya Honna (1999).
[4]. ‘Ancaman fisik’ merupakan
instrumen keamanan dalam pengertiannya yang paling purba. Dalam masyarakat
deferensiasi struktrual yang semakin tajam ancaman atas keamanan ini lebih
dominan pada aspek-aspek non-fisik. Dalam teknis hukum, instrumen pidana mulai goyah sementara instrumen
perdata cenderung mendapatkan signifikansi.
[6]. Alih-alih pergeseran ini memempunyai afinitas dengan realitas
pergeseran ‘nilai moral’ yang terjadi di eropa abad ke-18. Revolusi sosial
Perancis yang melengserkan paksa Raja Luis ke-14 memberi inspiras bahwa hukum
dan moral bukan untuk tuhan tetapi untuk kebahagiaan umat manusia.
[7]. Monica
Van den Boer dan Changwon Pyo. (Tanpa Tahun, hlm. 23).Tata Kelola Perpolisian yang Baik,
Asia-Europe Fondation dan Hans Seidel Foundation Indonesia.
[8]. “The loudly sound” ini –
kecil tetapi bersuara lantang -- acap
kali mengicuh realitas. Bahkan lembaga
riset pun (bisa) gagal menangkap realitas ini. Dalam kasus Pilkada DKI tahun
ini, misalnya, semua lembaga riset gagal menangkap kemungkinan aliran
suara ke Jokowi. Suara ini berasal dari
kubu yang mayoritas yang bisu, silent majority.
[9]. Istilah burgerlich ini
dipakai O’Donnel (1992) dalam mengelaborasi kematangan masyarakat sipil dalam
perubahan sosial di kawasan Eropa
Selatan dan Amerika Latin. Kosep ini mengacu pada pengertian suatu kelompok
yang tidak hanya memperoleh hak yang diakui secara eksis, setelah kejatuhan
rezim otoritarian, sekaligus secara terbuka kelompok ini menangani
masalah-masalah mereka sendiri dan bertindak bersama dalam mempertahankan
kepentingan mereka yang sah.
[10]. http://onconcord.com/Police/concordv2.asp?siteindx=P20,15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar