Jumat, 11 Juli 2014

Democratic Policing



Menakar Democratic Policing  di Indonesia
 
“Jika hukum dan tatanan bersifat sedemikian rupa, 
hingga menuntut Anda menjadi agen ketidakadilan 
terhadap sesama manusia, maka saya katakan pada Anda:
langgar saja hukum itu”
Henry David Thoreau (1817-1862)

Prolog
Demokrasi sebagai sebuah konsep, selain merupakan ruh masyarakat modern, adalah karena daya tariknya yang mempunyai kekuatan imperatif mengisi peradaban manusia hari ini. Seakan akan peradaban manusia pasca revolusi Perancis tidak lagi mempunyai gagasan ideal lain selain demokrasi. Daya tarik ini  terletak pada sistem kekuasaan yang terbatas (David Held:1995;180). Pada institusi otoritas pengendali keamanan, democratic policing bukan sekedar kebutuhan sosiologis-politis,  tetapi legitimasi tindakan otoritas keamanan itu atas moral (moral dalam tata sosial/ social order). Ketika para pegiat  demokasi mengkritik praktek pengelolaan keamanan yang tidak demokratis maka kritik ini mendapatkan amunisinya dari  ‘moralitas’ semacam itu. Kritik semacam itu tidak bermuara pada legalitas rasionalnya (hukum positiv) tetapi juga legitimasi moral[1]. Disini persoalanhya, praktek kepolisisian (tindakan polisionil), pada satu sisi harus efektif, sementara demokrasi acapkali justru mengundang hiruk-pikuk yang dirasa mengganggu penyelesaian persoalan.   
Namun demikian ‘iman’ demokrasi tak dapat digoyahkan hanya karena hiruk-pikuk yang tak efektif dan efisien atas praktek demokrasi itu sendiri. Jika itu terjadi (hiruk-pikuk, simpang-siur), bagi kalangan yang mengimani demokrasi maka godaan efektifitas dan efisiensi ini bukanlah dialamatkan pada demokrasi: tetapi pada pemahaman yang salah tentang syariat dalam menapaki demokrasi. Atau, bid’ah demokrasi.


Skema Persoalan:
Antara tata kelola keamanan, ekonomi, dan (model) demokrasi

Sebagaimana umumnya negara yang baru lepas dari rezim otoritarian, Indonesia pasca 1998 harus menghadapi tiga sisi dari bentuk struktur ‘segi tiga’; kebebasan, pertumbuhan ekonomi, dan keamanan. Dalam mengelola tiga sisi itu --belajar dari  Rezim Suharto – bangsa ini mendapatkan pelajaran bahwa tata kelola keamanan yang ketat akan mengorbankan kebebasan (sipil), akan tetapi  secara bersamaan ketatnya tata kelola keamanan diikuti agen ekonomi yang efektif menggenjot pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, longgarnya tata kelola keamanan berarti membuka ruang kebebasan sipil sembari di dalamnya mengandung inefisiensi pada produksi.
Proposisi semacam ini ditentang mayoritas kalangan pemikir demokrasi pasca 1998. Namun demikian tak perlu dipungkiri proposisi ini mempunyai basis empirik yang sangat kuat,  bahwa pola hubungan bersifat  resiprokal antara ketatnya tata kelola keamanan dengan kebebasan (sipil) dan efektifitas ekonomi. Proposisi hubungan segi tiga itu sempat dipegang teguh kalangan teknokrat Indonesia. Meskipun belakangan disadari bahwa kebebasan sipil dan longgarnya tata kelola keamanan ternyata bisa juga berdamai dengan pertumbuhan ekonomi. Gagasan ini paling tidak dipengaruhi filsafat moral-ekonomi yang dikembangkan Amartya Sen dipenghujung tahun 1990-an. Amartya Sen, pemenang  Nobel bidang ekonomi atas karyanya dalam ekonomi kesejahteraan pada 1998 ini memberi inspirasi moral dengan ’mendammaikan’  struktur dimensi segi tiga itu[2]. Hampir sepuluh tahun kemudian Eric Maskin, yang juga penerima Nobel bidang ekonomi memperkuat temuan Amartya Sen. Prinsip yang ingin ditegaskannya bahwa hanya mengandalkan ukuran Produk Domestik Bruto (PDB) tidak akan menyelesaikan persoalan ketimpangan yang melebar meskipun pertumbuhan ekonomi sangat tinggi.  Liputan menarik soal ini dalam Harian Kompas, 5 Seprtember 2012. Dari Eric Maskin didapatkan bahwa  globalisasi, atau disini dimaknai keterbukaan terhadap pasar global ternyata menaikan pendapatan rata-rata. Namun demikian, lagi-lagi, globalisasi merupakan salah satu faktor ketimpangan kesejahteraan.    

Kode Moral dalam Tata Kelola Keamanan
Maka, bagaimana membaca relasi ekonomi dengan tata kelola keamanan dalam format demokrsi ?   Kode moral pertama adalah pembacaan yang memberikan ruang kebebasan tanpa harus terjebak pada anarkhisme dan relativisme moral.  Kebebasan  yang merupakan sisi pertama dari segi tiga itu dipandang sebagai artikulasi ruh demokrasi. Pada pasca 1998 kebebasan dimaknai dalam dimensi yang cenderung meluas. Perluasan makna  kebebasan ini terkadang bersifat peyoratif, sehingga memberikan implikasi pada gugatan terhadap instrumen negara yang hampir melumpuhkan sendi otoritas pendefinisi realitas atas kehidupan berbangsa. Di sini politik identitas dipandang sebagai keniscayaan hingga reformasi difahami sebagai sarana legalitas adu kekuatan dalam mewujudkan primordialisme; uang  menjadi instrumen agung  yang tak malu-malu lagi menggeser  keadaban publik dalam  modus berpolitik (public virtue). Sisi kedua,  pertumbuhan atau gerak roda ekonomi. Sisi ini agaknya sulit sekali menghindari jebakan demokrasi liberal; sehingga sisi ketiga, keamanan, diletakkan pada bingkai liberlisme itu. Dalam artikulasi yang vulgar bahwa otoritas keamanan sulit beringsut dari pusaran  privatisasi, sebagaimana  mekanisme yang terjadi pada faktor-faktor produksi yang lain.
Setiap sisi dari segi tiga ini bergerak sinergis-imperatif: jika sisi yang satu  bergeser, sisi yang lain mengikuti pergeseran itu.Tata kelola keamanan yang terlalu ketat -- sebagaimana pada era otoritarian -- meskipun sesungguhnya relatif efektif mengawal roda ekonomi namun pada pasca reformasi ini justru mencederai ruang kebebasan. Ruang kebebasan ini acap kali dialamatkan pada substansi demokrasi ; namun pada sisi lain rezim demokrasi masih harus dibebani dimensi ekonomi (pertumbuhan dan pemerataan). Persoalannya, bisa jadi rezim tata kelola keamanan menempati ‘norma’ sendiri dalam struktur hubungan segi tiga itu. Norma dalam pengertian dasar adalah ‘ukuran’.
Disini menarik mengambil ilustrasi Indonesia tahun 1980-an. Pak Harto belakangan baru menyadari pentingnya membuka ruang kebebasan sipil pada derajat tertentu sehingga rezim militer tak perlu lagi terlalu kuat mendominasi keadaan bukan saja pada aras politik tetapi juga dalam sosial dan ekonomi. Struktur rezim keamanan bergeser: Kopkamtib, intrumen militer yang mendominasi definisi keamanan, dibekukan digantikan Bakorstranas. Pergeseran ini pada derajat minimal menjadikan  institusi kepolisian mulai mendapat tempat. Tetapi juga dalam perkembanganya institusi kepolisian ini tidak sepenuhnya otonom karena  eksternalitas geo-politik Indonesia merangsang lembaga ekstra non yudisial Bakortranas membangun definisi-definisi sendiri atas realitas keamanan. Bakortranas pada dekade ini sangat getol mengidentifikasi gejala-gejala pergerakan ideologi (kiri maupun kanan) yang dipandang sebagai mengganggu pembangunan[3]. Jadi, jika kembali pada proposisi awal,  ketika konsep keamanan bergeser dari makna klasik yang melulu bersifat fisik[4] kepada pengertiannya yang bersifat non-fisik maka elemen cakupan keamanan ini pun meluas.
Bersamaan dengan perluasan cakupan keamanan ini otoritas keamanan (kepolisian) tak bisa lagi mendominasi definisi atas realitas keamanan itu secara otonom. Pembacaan semacam ini akan lebih jelas melalui kerangka pikir Emile Durkheim. Pergeseran bentuk masyarakat solidaritas mekanik ke masyarakat solidaritas organik, dalam kerangka Durkheim, merupakan kondisi sine qua non dari deferensiasi struktural yang semakin tajam; disini ketika sistim hukum restitutif  secara imperatif menggeser sistem hukum represif maka kepolisian sesungguhnya acapkali tertinggal dalam mekanisme sistim hukum yang baru ini. Organisasi kepolisian gaya lama yang militeristik, misalnya, tak mudah untuk segera menggeser kepolisian  mengikuti sistem hukum restitutif. Sejumlah riset penting menunjukan hal itu.
Misalnya, risetnya Harry Burton tentang Understanding Occupational (Sub)culture – a Precursor for Reform[5].  Kepolisian di Inggris dan Weles yang dikaji Burton bahwa meskipun apresiasi publik terhadap kepolisian cukup positiv, namun faktor organsiasi yang membangun ‘budaya polisi’ (occupational sub-cultur) menjadikan kepolisian  resisten terhadap perubahan. Utamanya budaya solidaritas seiring  dengan imunitas dan anti transparansi. Ini menjadi PR serius bagi reformasi kepolisian Indonesia.  Bukan sekedar perlu semacam re-difinisi atau pemaknaan ulang terhadap term ‘soliditas’ dan ‘solidaritas’, namun term ini mengundang makna tak sedap bagi kalangan di luar institusi kepolisian karena  acap kali dibaca dalam dimensi memperkuat impunitas penegakkan hukum kalangan kepolisian. Filsuf besar Cicero berujar,  Impunitas non modo a judicio sed etiam a sarmone; bebas dari hukuman itu tidak hanya ditentukan oleh pengadilan tetapi juga oleh gunjingan orang.
  Tumpukan regulasi dengan segala gradasi  yang mendefinisikan realitas  keamanan tak lagi bisa dipegangi oleh kepolisian sebagai penegak hukum dalam kerangka moral deontologis-Kant. Karena hadirnya  kekuatan ‘di luar sana’ yang juga mendefinisikan realitas keamanan.  Pada derajat ini tak bisa dipungkiri relefansi sebuah pertanyaan yang mengaitkan hukum dengan kehendak publik. Tegasnya, bagaimana kaitan antara hukum dengan kehendak publik? Pemikir negara hukum klasik seperti Rousseau menegaskan hukum merupakan kehendak umum yang dilembagakan, dengan demikian hukum mengacu dan mendasarkan pada kepentingan bersama. Sementara, kegamangan  kalangan kepolisian dalam memegangi sepenuhnya teks hukum ini tak perlu dibaca sebagai sepenuhnya kelemahan otoritas keamanan ini dihadapan entitas sosial lain di tengah  masyarakat (meskipun hal ini juga mungkin terjadi). Disini menarik  tulisan Fachry Aly di  Jaringnews.com,13 April 2012 14:45 WIB, mengalamatkan kegamangan kepolisian ini pada faktor wacana HAM,
“Dengan latar belakang HAM ini, ada dua kecenderungan psikologis terjadi: di satu sisi, para demonstran yakin bahwa mereka akan terlindungi dari tindak kekerasan aparat. Di sisi lain, aparat polisi, sebagai penegak hukum, merasa ragu menerapkan disiplin karena khawatir melanggar garis batas HAM”.

 Yang harus dilacak sebelum menentukan faktor langsung atau faktor terdekat atas (tindakan) kegamangan adalah konstelasi sosial yang melatari tindakan itu. Disini menarik  menangkap gejala yang menonjol pada pergeseran struktur nilai pasca 1998, sehingga ‘kreatifitas’ otoritas kepolisian merespon perubahan yang menghasilkan dua dimensi tujuan tindakan kepolisian; antara penegakkan hukum dengan ketertiban.[6] Dua dimensi tujuan tindakan kepolisian ini merupakan realitas yang tak pernah dikenal pada era kejayaan Orde Baru atau dominasi struktur otoritarian. Pada era Orde Baru dua konsep ini (penegakan hukum dan ketertiban) bersetubuh: hukum adalah ketertiban itu sendiri.  Dalam simplifikasi Rousseau di atas, hukum sejajar sengan kehendak publik.
Ruang interpretasi otoritas kepolisian sebagai penegak hukum garda depan pun meluap. Realitas yang membuat gamang  penegak hukum adalah pengaruh publik terhadap proses penegakkan hukum yang nota bene ia lakukannya. Monica den Boer[7] dalam kerangka ini menyebutnya, “…akan selalu ada wilayah abu-abu dimana undang-undang tidak dapat memberikan jawaban yang pasti (logika situasional)”.   Nilai keadilan dirasakan  kalangan publik acap kali tidak paralel dengan rumusan hukum positiv. Bahkan, melalui liberalisme media massa,  suara publik yang sesungguhnya minor bisa dengan mudah menjadi lantang dan mendominasi realitas; ia menjadi  mayoritas (the loudly sound)[8].  Pengertian yang dikandung dalam term ‘mayoritas’ menjadi sublim karena istilah ini bukan lagi merujuk pada makna harfiah kalkulatif. Pada sisi ini lah  pembajakan atas demokrasi mendapatkan relefansinya : media / perss bukan sekedar berfungsi sebagai urat nadi demokrasi  namun juga bisa berubah menjadi monster demokrasi.
Meskipun dalam format demokrasi rezim tata kelola keamanan diletakkan dibawah otoritas sipil  namun dalam praksis tidak sesimpel sebagaimana yang tertuang di atas kertas regulasi. Apalagi bagi masyarakat Indonesia yang sepanjang sejarah bernegara, selama 64 tahun, hanya empat tahun mempunyai pengalaman otoritas sipil memegang kendali yaitu dalam era demokrasi liberal. Bukan sekedar persesuaian kultur masyarakat dalam struktur baru yang tertuang di atas kertas kerja politik ini, akan tetapi yang  jauh lebih serius adalah jejaring kekuatan lama ikut masuk dan terlibat bersama agen-agen perubahan kemudian bermetamerfosa memanfaatkan struktur baru reformasi.  Sejumlah hasil reset serius membuktikan proposisi ini, mulai dari Jefry Winters (2000); Laode Ida (2010); Aditjondro (2004); David Boucher dan Vedi R. Hadiz (2003).
Pada dimensi pertama, relasi otoritas lembaga keamanan (dalam hal ini kepolisian) dengan otoritas politik dan entitas sipil ini mengandaikan (atau mempersyaratkan) kematangan otoritas politik itu sendiri. Dan, pada sisi lain kemampuan entitas masyarakat sipil atau masyarakat non-politik dalam mengartikulasikan kepentingan / kehendaknya (burgerlich)[9]. Karena selain ruang regulasi masih kosong, juga regulasi yang ada ini masih mempunyai peluang tafsir.  Ukuran kontrol terhadap struktur hubungan segi tiga itu  adalah agar bentuknya  tak terlalu runcing tetapi juga tak terlalu panjang di bagian bawahnya. Segi tiga sama sisi merupakan  konstruksi struktur yang ideal.  Dimensi kedua, persoalan kejelasan ruang kerja otoritas penegak hukum ini sekaligus relasinya (utamanya) dengan entitas militer, dan dimensi ketiga adalah menyangkut profesionalisme penegak hukum. Tiga dimensi ini sekaligus merupakan faktor fundamental penyangga demokratisasi.

Antara DP dengan CP:
Sebuah Diskusi Kontemplatif

Terminologi democratic policing (DP) di Indonesia tidak begitu kuat gaungnya dibandingkan dengan community policing (CP) atau perpolisian masyarakat. Sebagian pemikir kepolisian di Indonesia mengartikan dua konsep ini merujuk pada realitas yang sama, sebagian lain menempatkan CP sebagai salah satu bentuk praktek DP. Dimensi tafsir atas konsep ini menempati sudut pandang yang saling melengkapi (resiprokal), karena realitas sosial yang terus bergeak, di satu sisi memang serba tak lengkap jika membatasi diri pada satu sudut pandang.    
Namun, terlepas dari apapun kontestasi tafsir  dua terminologi itu,  CP  merupakan ‘anak emas’ bagi pengendali otoritas keamanan negeri ini.  Bahkan community policing mendapat posisi penting sebagai sebuah kebijakan. Sejumlah literatur serius tentang CP  di Indonesia rasanya belum afdhal jika tak menyebut Robert Trojanowicz, seorang profesor dari Universitas Michigan, yang mengembangkan konsep ini pada dekade tahun 1980-an. Ia merumuskan CP sebagai,
a philosophy of  full-service, personalized policing where the same officer patrols and works in the same area on a permanent basis, from a decentralized place, working in a proactive partnership with citizens to identify and solve problems.[10]
Pembobotan yang jauh lebih kuat terhadap CP daripada DP bisa jadi merupakan sebuah ilustrasi tentang cara berfikir kalangan otoritas keamanan yang meletakkan persoalan keamanan berada pada entitas non-negara. Otoritas keamanan ini memandang persoalan juga keamanan berada “di luar sana”. Sementara dalam DP ikhwal tata kelola keamanan terletak pada kemauan otoritas pengendali rasa aman itu untuk share dengan otoritas diluar dirinya. Ini lebih merupakan persoalan kesiapan instrumen negara (kepolisian, Pemda, DPR/D) dalam share sesama mereka atau dengan sejumlah otoritas pendefinisi otoritas pada ranah masyarakat sipil.  Pada kerangka ini menarik proposisi yang dikembangkan David Alan Sklansky dalam  http://www.law.columbia.edu,
“Police professionalism and community policing are in this sense different paths to the same destination:   “democratic policing.”   The second enduring assumption is that democratic policing means making the police answerable to democracy, not bringing the benefits of democracy to police officers themselves.  The democracy in democratic policing is external, not internal, to law enforcement.   The thinking is that external and internal democracy are two different things, and that at least in this context they are mutually incompatible.”

          Proposisi Sklansky ini menempatkan keagungan konsep  democratic policing itu.  Democratic policing dalam kerangka Sklansky nampaknya menjadi tujuan dari seluruh upaya kerja kepolisian. Bahkan dua konsep penting, profesionalisme kepolisian dan CP diletakkan menjadi alat kerja yang  berujung pada  DP.  
Penekanan yang terlampu berlebihan pada CP sembari melupakan tujuan yang bersifat  koherensi DP alih-alih bias pada proses panjang paradigma polisionil. Maka, konsep pemberdayaan masyarakat dengan segala aneka eufimismenya merupakan anak kandung CP ketimbang DP. Konsep “pemberdayaan masyarakat” – istilah yang akrab dipakai rezim Orde Baru ini --  menjadi artikulasi cara berfikir yang tidak lebih dari cara memandang entitas sosial “di luar sana” sebagai obyek yang dikenai tindakan (tindakan pembinaan). Entitas  sosial “di dalam sini” – di dalam institusi kepolisian – merupakan  otoritas alien datang dari langit yang mempunyai kecerdasan diatas rata-rata. Disini, entitas sosial otoritas pengendali rasa aman ini mempunyai “epsitemologi priyayi” yang ber-afinitas dengan orientalisme. Logika orientalisme memandang bahwa mereka yang ‘di luar sana’ sebagai tidak beradab; bandingkan dengan oksidentalisme yang menjadi arus balik bahwa sesungguhnya entitas  ‘di luar sana’ justru merupakan ruang sosial yang menjanjikan keadaban. Oksidentalisme, jika disini ditegaskan sebagai  kalangan organisasi masyarakat sipil memandang persoalannya justru pada entitas pemangku otoritas negara: persoalan keamanan dari kriminalitas tingkat jalanan hingga white collor crime  jika dilacak secara sosiologis sesungguhnya dapat ditarik benang merahnya pada instrumen negara (termasuk rezim otoritas keamanan itu sendiri).


Epilog
Maka dalam konteks itulah dapat difahami kerangka pikir Monica (Tanpa Tahun; 25)  bahwa DP lebih tepat diterapkan dalam masyarakat transisional. Namun demikian sangat perlu menarik garis batas perihal apa yang dimaksud masyarakat transisi. Istilah masyarakat transisi nampaknya sebuah adjektiv yang tak pernah mempunyai penjelasan yang cukup dalam elaborasi Monica dan kawan-kawan. Pengabaian terhadap kejelasan wujud masyarakat ini akan kehilangan dasar analitis atas argumentasi pentingya penerapan konsep ini pula. Sehingga yang terjadi di Indonesia, konsep ini  nampaknya dipandang tak begitu fundamental dibandingkan dengan pendalaman wacana Polmas (Perpolisian Masyarakat). Pada bagian di bawah akan disinggung konsekwensi pilihan dua konsep ini. Pendekatan sosiologi klasik cukup membantu menjelaskan konsep ini. ‘Masyarakat transisi’ pada dasarnya adalah sebuah proses yang ‘belum selesai’ menuju pada model tertentu, utamanya pada derajat benturan trialektika antara struktur, proses, dan kultur.
 Dalam konteks Indonesia (namun juga terjadi secara umum), independensi kepolisian (pada mulanya) dipandang sebagai obat mujarab reformasi hukum dan tata kelola rezim keamanan. Gagasan Montesque tentang pemisahan kekuasaan ini oleh kalangan yang gigih membela demokrasi dipegangi erat sebagai sabda yang tak bisa berdamai dengan lokalitas. Belakangan ternyata gagasan lawas  Montesque menghadapi persoalan, karena rupanya atas nama independensi lah  institusi kepolisian mendefinisikan realitas secara otonom hingga out of control.  Bagi pemikir demokrasi substansial sulit memahami kasus-kasus yang menyandung petinggi kepolisian, seperti dalam kasus Korlantas yang mengemuka pada bulan Ramadhan tahun ini, menjadi poin yang penting untuk ditangani kawan-kawannya sendiri. Kasus-kasus semacam ini akan selalu mengganggu Montesque dalam tidur panjangnya. Wallahu alam.











DAFTAR PUSTAKA
Baldwin, Robert dan Richard Kinsey.2002.Police, Power and Politics: Kewenangan
 Polisi dan Politik, terj. Kunarto, Cipta Maninggal, Jakarta.

Burton, Harry. Understanding Occupational (Sub)culture – a Precursor for Reform,

Chandoke, Neera.1995.State and Civil Society, Sage Publication, New Delhi, India.

Dahrendorf, Ralph.1985.Law and Order, Westvew Press, Colorado.

Daruwala, Maja. Democratic policing is a citizen service, dalam
  http://southasia.oneworld.net
 
Friedman, Lawrence M.2009. Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, terj. Khozim,
 Nusa Media, Bandung.

Hart, H.L.A.2009.Law, Liberty  and Morality, terj. Ani Mualifatul Maisah, Genta
 Publishing.

Held, David.2006.Models of Democracy, Polity Press, Malden, USA.

Held, David.1995.Demokrasi dan Tatanan Global: Dari Negara Modern Hingga
 Pemerintahan Kosmopolitan, terj. Damanhuri, Pustaka Pelajar, Jakarta.

Van den Boer, Monica dan Changwon Pyo. (Tanpa Tahun).Tata Kelola Perpolisian
 Yang  Baik, Asia-Europe Fondation dan Hans Seidel Foundation Indonesia.

Marx, Gary T. Police and Democracy  dalam  mit.edu/gtmarx/www/dempal.html.

Marx, Gary T. Some Reflection on the Democratic Policing of Demonstration, dalam
 mit.edu/gtmarx/www/polpro.html.

Monica, Van Den Boer dan Changwon Pyo.(Tanpa Tahun).Tata Kelola Perpolisian
yang Baik, Asia-Europe Foundation dam Hans Siedel Foundation Indonesia.

O’Donnell, Guillermo, at al.1993.Transisi Menuju Demokrasi; Tinjauan berbagai
 Perespektif, LP3ES, Jakarta.

Prasad,Devika.(2006).Strengthening Democratic Policing in the Commonwealth
 Pacific, Commonwealth Human Rights Initiative.

Prihantono,T. Jessica Evangeline dan Iis Gindarsih (Peny.).2007. Keamanan
 Nasional: Kebutuhan Membangun Perspektif Integratif versus Pembiaran
 Politik dan Kebijakan, Propatria Institute.

Rahardjo, Satjipto.2002.Polisi Sipil: dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Penerbit
 Kompas, Jakarta.   

Sen, Amartya.1997. Equality of What?,  Contemporary Political Philosophy: An
 Anthology, Robert E. Goodin and Philip Pettit (eds), Oxford, Blackwell.

Sklansky,  Alan David, Democratic Policing Inside and Out, dalam

Skolnick, Jerome H. 1999. On Democratic Policing, Police Foundation, 1201
 Connecticut Avenue, NW, Washington,   (www.policefoundation.org).

Smelser, Neil dan Richard Swedberg.2005.The Handbook of Economic Sociology,
 Princeton University, Oxford.

Sutanto.2006.Polmas Paradigma Polisi Baru, YPKIK, Jakarta.


















[1] . Praktek penegakkan hukum (law inforcement) yang dilakukan kepolisian acapkali terasa relefan ‘diperlawankan’ dengan perampasan dimensi keadilan. Jika proposisi ini benar,  adalah  menunjukan kesenjangan antara nilai tekis legal rasional dengan moral keadilan yang bergentayangan di luar intitusi hukum positiv. Secara sosiologis, berkembang simplifikasi dalam membaca realitas kesenjangan itu, bahwa institusi hukum ketinggalan dari perubahan sosial.
[2]. Amartya Sen (1997) dalam makalah kecilnya, Equality of What? seperti mengakhiri debat berkepanjangan wacana pilihan model pembangunan antara gaya kiri atau kanan. Amartya justru menukik pada gagasan filsafat moral yang selama ini dipandang telah baku: mendiskusikan  gagasan dasar keadilan utulitarian, utilitas total dan Rawlsian.      
[3]. Untuk penjelasan lebih jauh tentang  kiprah Bakortranas dalam tata kelola keamanan, lihat misalnya Honna (1999). 

[4]. ‘Ancaman fisik’  merupakan instrumen keamanan dalam pengertiannya yang paling purba. Dalam masyarakat deferensiasi struktrual yang semakin tajam ancaman atas keamanan ini lebih dominan pada aspek-aspek non-fisik. Dalam teknis hukum,  instrumen pidana mulai goyah sementara instrumen perdata cenderung mendapatkan signifikansi.

[6]. Alih-alih pergeseran ini memempunyai afinitas dengan realitas pergeseran ‘nilai moral’ yang terjadi di eropa abad ke-18. Revolusi sosial Perancis yang melengserkan paksa Raja Luis ke-14 memberi inspiras bahwa hukum dan moral bukan untuk tuhan tetapi untuk kebahagiaan umat manusia.

[7]. Monica Van den Boer dan Changwon Pyo. (Tanpa Tahun, hlm. 23).Tata Kelola Perpolisian yang Baik, Asia-Europe Fondation dan Hans Seidel Foundation Indonesia.

[8]. “The loudly sound” ini – kecil tetapi bersuara lantang --  acap kali mengicuh realitas.  Bahkan lembaga riset pun (bisa) gagal menangkap realitas ini. Dalam kasus Pilkada DKI tahun ini, misalnya, semua lembaga riset gagal menangkap kemungkinan aliran suara  ke Jokowi. Suara ini berasal dari kubu yang mayoritas yang  bisu, silent majority. 

[9]. Istilah burgerlich ini dipakai O’Donnel (1992) dalam mengelaborasi kematangan masyarakat sipil dalam perubahan  sosial di kawasan Eropa Selatan dan Amerika Latin. Kosep ini mengacu pada pengertian suatu kelompok yang tidak hanya memperoleh hak yang diakui secara eksis, setelah kejatuhan rezim otoritarian, sekaligus secara terbuka kelompok ini menangani masalah-masalah mereka sendiri dan bertindak bersama dalam mempertahankan kepentingan mereka yang sah.

[10]. http://onconcord.com/Police/concordv2.asp?siteindx=P20,15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar