Sabtu, 16 April 2016

Modus Beragama

Modus  Beragama Ala Candu
Sebuah Penelusuran Metode Keberagamaan
             Kalau cara keberagaman dikotak-kotak dalam sejumlah kategori, manakah keberagamaan yang paling ‘derestui’ oleh Allah ? Misalkan cara keberagamaan ini dikategori sebagai berikut:  fundementallis, konservativ, moderat, atau kalau masih boleh menyebut liberal. Kategori semacam ini marilah kita sebut sebagai kategorik sosiologik.  Sejumlah kategori ini mempunyai jarak yang lumayan jauh dengan kategori yang ada dalam Al Qur’an. Al Qur’an menyebut, misalnya kedalam kategori orang-orang yan shalih, munafik, an kafir. Atau, pada sisi lain dalam kategori beriman dan tidak beriman. Apakah ketegori semacam fundementallis, konservativ, dan moderat, atau kalau masih boleh menyebut liberal  itu  dapat disandarkan dengan kategori yang dikonstruksi di dalam Al Qur’an ?  Jika tidak maka berarti memang tidak ada hubungan antara orang-orang konservatif dengan kesholehan.
             Hemat saya sementara ini, tidak ada hubungan antara ketegori yang dibuat sosiologi dengan konstruksi dalam kkitab suci. Sehingga tidk perlu orang liberal itu otomatis masuk neraka, karena misalnya konsep liberal tidak musti disejajarkan dengan munafik atau kafir. Pada lain sisi dalam pandangan liberal, orang orang yang bermodus fundamentalis atau konservatif disebutnya sebagai cara beragama yang tidk mau sedikit berfikir menangkap pesan-pesan subtantif agama. Bahkan, bagi kalangan moderat atau liberal,  kalangan  konservatif itu justru memanipulasi agama (hanya) untuk ‘kamuflase’. Kalangan konserfatif  sangat senang sekali mengeksploitasi ibadah. Misalnya ibadah haji atau umroh diletkkannya sebgai ‘kesenangan spiritual’.   Apa yang salah dengan ini?  Konstruksi berfikir kalangan konservatif semacam ini mudah sekali terpeleset meletakkan spiritualitas sebagai suatu ‘komoditas’. Cerita-cerita di tengah masyarakat tetang komodifikasi umroh mudah menggeser agama ini sebagai ‘agama para kapitalis’.
Bayangkan, atas nama sebuah  ‘kesenangan spiritual’ di depan ka’bah ia menumpulkan diri dari ratusan bahkan ribuan manusia yang tetangganya yang jauh kekurangan. Tak perlu berdiskusi panjang  tentang apa yang bisa diperbuat terhadap kalangan marjinal karena toh artikulasi sensitifitas ini bisa seribu satu cara! Diantaranya membantu begitu saja menhyekolahkan anak-anak kelompok marjinal, daripada bertamasya spiritual. Soal spiritual toh bisa pula diartikulasikan seribu satu cara tanpa harus melempar uang tak karuan atas nama spiritual.  Atas nama ‘kesenangan spiritual’ tumpulnya  sensitifitas terhadap penderitaan tetangga menjadi absyah. Tentu saja, bisa koment trhadap tulisan saya ini sebgai penuh su'uzdon dan kesumat atas orang-orang yang umroh berulangkali. Kita bebas berkomentar. Bagi saya adalah aneh umroh  berulang tanpa rasa risi terhadap masih hadirnya tetangga sebelah rumah dan keluarga jauh yang tak mampu bayar SPP dan seterusnya. Bagaimana kita mau mengingkari realitas  semacam ini masih dalam kerangka su'uzdhon ?  Bukankan malah sebaliknya, siapa yang sesungguhnya ber-su'uzdhon!
Setelah pulang umroh ia seperti manusia yang tersucikan, tanpa berkorelasi positif terhadap perbaikan kualitas kemanusiaan tangga kiri kanan. Ketersucian ini ironis,  kembali ke kampung halaman yang penuh ketimpangan, kesenjangan, marjinalisasi.  Lebih gila:  ia seperti orang terpilih karena diberi kesempatan umroh berulang-ulang tak seperti tetangganya yang kekurrangn. Lantas, apa fungsi islam sebagai elan vital  penyelesaian persoalan kemanusiaan yang selama puluhan dan ratusan kali dicontohkan nabi-nabi ?  Islam mengajarkan bahwa kita tak bisa cuci tangan atas ketimpangan dan penderitaan orang-orang sekitar kita.
Tetapi, hari ini agama bergeser menjadi candu!
 
 


Minggu, 10 April 2016

Yang Naif dalam Beragama


Yang Naif Dalam Beragama

            Apa yang bahaya dalam perilaku keagmaan ?  Pertanyaan ini biasa dialamatakn pada fenomena hadirnya fundamentalisme, untuk menganalisis mengapa agama yang pada dasarnya hadir  penuh kasih tetapi justru sebaliknya. Rupanya belakangan ini pertanyaan semacam ini bukan alamat untuk fundamentalsi saja tetapi bisa juga untuk menjadi bahan renungan dimensi keagamaan kita.  Fundamentalis itu adalah takfiri, mudah sekali mengkafirkan orang yang tak sejalan. Istilah ‘tak sejalan’ mempunyai pengertian  yang serba luas. Misalnya saja, sekedar gerak solat yang berbeda sudah masuk pada kategori ‘diluar dirinya’. Sekedar mengkui keunggulan Kahlifah Ali dari Khalifah yang lain juga masuk kategori ‘kelompok lain’. Sekedar tidak mengikuti pengajian di kelompoknya dipandang sebagai orang ‘dari luar sana’; atau paling tidak menjadi sebuah senjata penghukuman sosial lebih lanjut.    Kemudian, konon, ini yang paling umum: fiqih menjadi alat ukur utama perilaku keagamaan. Padahal islam bukan hanya fiqh. Didalamnya ada filsafat, tashauf, dan ilmu kalam. Para takfiri itu paling malas mempelajari filsafat, tashauf, dan ilmu kalam. Merreka tidak berfikir: apakah betul yang mereka fahami tentang sebuah perintah itu memang sebagaimana yang dikehendaki Allah ?   Apalagi belajar sosiologi yang mengantarkan relatifitas  konstruksi fiqh.

Kalau konstruksi fiqh ini berubah karena persoalan relefansi dengan dunia sosial, maka pada dasarnya filsafat, tashauf, dan ilmu kalam cenderung bersifat ‘tetap’; kalau fiqh berifat publik maka yang lain itu bersifat sangat personal. Bagi filsafat, tashauf, dan ilmu kalam agama  pada dasarnya adalah sial pertanggungjawaban personal. Tidak demikian bagi fiqh.

Kekerasan agama pertama sekali dialamatkan pada persoalan tafsir. Tentu saja, perihal bagaimana orang menafsir teks suci  bisa saja dilacak dari dimensi sosiologisnya. Sebuah tafsir tidak lepas dari konteks sosial yang melingkupinya. Dua soal :  pertama menyangkut  teks nya itu sendiri, dan kedua  soal realitas sosialnya.  Lihat saja apa yang terjadi setelah jatuhnya kekhalifahan. Beberapa tahun setelahnya terjadi pemboycotan ulama terhadap umara. Komunitas muslim terpecah-pecah. Yang prinsip secara sosiologis adalah dewan penasehat dalam Syura itu lumpuh. Apa akibatnya ? sebagian pemimpin pemerintahan memanipulasi fiqh, tentu untuk kepentingannya sendiri. Lihat misalnya literatru Abu Ameenah Bilal Philips dalam Sejarah dan Evolusi Fiqh (2015).  Dari sini tidak sulit difahami, muncul pemicu ijtihad-ijtihad individual.