Ekskalasi Demo
BBM 2012
(Sebuah Analisa Sosiologi Konflik)
Sutrisno
Analisis pendek ini difokuskan terhadap
kemungkinan ekskalasi atau peluang
membesarnya demonstrasi dari kalangan masyarakat terhadap rencana pemerintah
yang akan menaikan harga bahan bakar minyak
pada 1 april 2012. Untuk fair-nya
sebuah analisis ini perlu dikemukakan disini bahwa ; pertama, analisis ini hanya didasarakan pada sejumlah data yang
berasal dari publikasi media massa, tanpa mempertimbangkan masukan data yang
bersifat “underground” (yang biasa
deperoleh dari kalangan inetelejen[1]).
Padahal dalam konteks ukuran kemungkinan
tingkat anarkhi, data intelejen ini akan memberikan tingkat akurasi. Kedua, kenyataan demo di lapangan masih
terus bergerak sementara tulisan ini selesai pada pukul 10.00 wib, 28 Maret
2012, jadi tak menjangkau perkembangan
terakhir atas data yangfluid (mencair) itu.
Latar
Belakang; sebuah ‘gerakan’ massa anti kenaikan BBM
Secara teoritik (misalnya, Smelser, Dehrendorf, Cosser)
menjelaskan tingkat ekskalasi dan anarkhi sebuah gerakan sosial (gerakan massa dalam
kontek ini diartikulasikan melalui demomstrasi) mempunyai paling tidak dua
dimensi latar belakang. LatarPertama,
adanya gejala deprivasi (maupun deprivasi relatif) yang berkepanjangan. LatarKedua, soliditas dan
solidaritas kelompok yang
ter-pinggirkan. Dua dimensi ini, akan
dipakai untuk mengukur kemungkinan ekskalasi dan kemungkinan anarkhi, dan
kemudian bagaimana negara khususnya kepolisian selayaknya mengambil sikap atas
demonstrasi semacam ini.
Deprivasi
/ Deprivasi Relatif.
Deprifasi dalam pengeritan yang longgar adalah proses marjinalisasi atau
peminggiran. Korban dari proses deprivasi ini adalah kaum marjinal. Proses
deprivasi dalam kerangka pembacaan terhadap demokenaikan BBM 2012 adalah: bahwa
rencana pemarintah ini tidak wellcome terhadap aspirasi masyarakat / rakyat yang
hidup bak ‘permukaan air yang telah mendekati lubang hidung’, jika air ini
bergerak sedikit saja akan sangat mengganggu nafas hidup. Tetapi Dari sejumlah laporan media massa isu
penolakan kenaikan anti kenaikan BBM
bukan dibangun oleh kalangan kelompok deprivasi semacm ini. Disini, tak relefan
memaksakan analisis gaya Marxian
secara telanjang. Atau dalam kesimpulan
yang umum atas penggunaan konsep deprivasi ini maka konsep ini sejauh ini tidak
relefan untuk membaca gejolak anti kenaikan BBM. Jadi, kita tinggalkan analis
semacam ini disini. Maka kemungkinan lain adalah pada mengenanya gejala deprivasi relatif. Gejala deprivasi
relatif ini artinya gerakan demo tidak dilakujkan oleh nota bene kelompok yang terpinggirkan itu.Pada dasarnya, suara
paling nyaring dari anti kenaikan BBM berbasis pada oposisi politik SBY. Nama
Kwik Kian Gie sangat strategis disini, bahkan kalangan oposisi SBY pada level
supra struktur politik di parlemen tidak sekeras Kwik ini. Dalam sebuah situs http://rimanews.com
gagasan Kwik ditulis dalam 7 halaman dengan sangat lugas menandaskan bahwa
Rezim SBY melakukan kebohongan. Situs ini ditulis sangat rasional, masuk akal
dengan angka-angka yang meyakinkan bahwa
tak semestinya BBM ini naik meskipun harga minyak dunia naik. Kesimpulan
‘tragis’ yang keluar dari kajian Kwik ini adalah bahwa pemerintah telah melanggar UUD RI.
Gagasan Kwik ini menjadi
“energi-moral” bagi sejumlah kalangan. Dalam pembacaan sosiolog Dahrendorf “energi moral” jauh lebih penting sebagai
energi gerakan sosial (demonstrasi) ketimbang klaster-klaster kelompok politik.
Lebih – lebih kalangan pemerintah nampakya kurang bisa melakukan counter wacana terhadap pandangan kritis
Kwik. Jawaban pemerintah diwakili Menteri ESDM Jero Wacik dalam debat Jakarta
Lawyer Club kurang bisa memenuhi pandangan kritis Kwik. Jawsaban Jero Wacik
hanya normatif, prinsip yang sering dikemukakanya adalah “masaq pemerintah berbohong!”. Padahal, yang diperlukan adalah
jawaban teknis angka, sebagaimana Kwik dalam analisisnya.
Kelompok
Pendemo
Penting
disini mengidentifikasi siapa mereka kelompok pendemo itu. Domain utama
kelompok pendemo ini adalah yang mempercayai wacana yang dikembangkan Kwik.
Tidak mudah memahami angka-angka analisis Kwik ini bagi kalangan masyarakat
luas, kecuali kalangan mahasiswa dan anak-anak muda perkotaan. Maka kelompok
pendemo berasal dari domain sosial ini (mahasiswa dan anak muda kota), ditambah
kalangan buruh. Dua kelompok ini
sepanjang sejarah penggulingan rezim maupun kerusuhan massa paling getol berada
di depan melalui isu-isu populis. Bisa jadi karut marut kinerja instrumen
negara menambah rasa un-trustterhadap
pemerintah. Karut marut ini meliputi
fenomena korupsi di institusi pemerintah; pajak; kepolisian (utamanya
isu Rekening Gendut) ; kejaksaan.
Penyelesaian yang masih menyimpan banyak pertanyaan perihal pemanfaatan sumber
daya alam di daerah perkebunan dan pertamnbangan. Harus diakui bahwa citra
kepolisian meskipun lembaga ini telah kerja keras melakukan banyak hal, namun
ternyata citra yang dibangunnya tidak
berdiri sendiri. Citra kepolisian dipengeruhi pula, misalnya, gonjang
–ganjing pemerintah, dan sejumlah lembaga
negara lain (presiden[2],
misalnya).
Ekskalasi
Telah diurai bahwa kelompok pendemo
dalam kontek BBM adalah berasal dari kelompok deprivasi relatif (bukan kelompok
deprivasi mutlak). Karena, sekali lagi, demo BBM digerakkan melalui “energi
moral” wacana Kwik; kelompok ini
berbasis pada mahasiswa dan anak muda perkotaan. Maka kemungkinan ekskalasi
dapat dipantau melalui dua realitas berikut ;
Pertama,
Sementara dalam kajian Harian Kompas melalui jejak pendapat, bahwa
sesungguhnhya (justru) kalangan muda perkotaan yang disebut di atas bersifat pragmatis. Analisis Kompas menegaskan
anak muda kota pasca reformasi ini telah jauh berbeda dengan era sebelumnya.
Pragmatisme anak muda kota hari ini tak terlalu berbahaya bagi hadirnya gerakan
sosial berwarna anarkhi. Ini ada hubungannya dengan lumpuhnya heroisme
dikalangan mereka. Kalau sekedar menyebut nama; Budiman Sudjatmiko, Pius
Lustrilanang, Andi Arief, Rosa Damayanti,
adalah anak muda yang keras pada masa lalu. Hari ini perjuangan mereka telah “selesai” dan belum ada
penggantinya. Sementara mereka sudah bisa dan biasa ngobrol di ruang ber-AC di
kafe-kafe. Bagi Dahrendorf, gerakan massa yang besar, solid dan kuat (potensi untuk
melakukan anarkhi) memerlukan tiga prasyarat; teknis, sosiologis, dan politis.
Tiga syarat ini nampaknya tak terpenuhi, meskipun “energi moral” itu ada melalui
wacana Kwik.
Kedua,
instrumen – instrumen demokrasi pada hari ini telah mampu mematahkan
kemungkinan gejolak gerakan masa yagn
masiv. Dalam kasus BBM ini supra-struktur politik telah berada dalam
koridor demokrasi; tidak ada dominasi partai politik dominan (Partai Demokrat)
terhadap oposisi. Fenomena ini jauh berbeda dibandingkan dengan dasawarsa tahun 90-an yang melahirkan gerakan
sosial yang masiv.
Sampai
tanggal 27 Maret 2012 ketika analisis ini telah selesai ditulis, nampaknya tak
ada suatu insiden serius. Sejumlah media massa pada hari sebelumnhya menulis
kamngkinan puncak demo pada tanggal ini akan turun sejuta manusia pendemo di
Jakarta (Warta Kota 26/3/2012),
ternyata ‘tidak gitu-gitu amat’
. Ini tak bisa dikatakan bahwa ekskalasi
demostrasi bisa di-isolasi, tetapi karena sejumlah prasyarat gerakan sosial
masiv ini tak terpenuhi. Namun,
kemungkinan ekskalasi ini akan membengkak melalui isu-isu hak asasi manusia
dalam kaitan pelibatan TNI yang masuk pada ruang yang salah. Istilah “salah” ini
bukan dalam pengertian yang koheren, karena nampaknya masuknya TNI dalam domain
ini (bagaimanapun) mempunyai tafsir legal. Persoalannya adalah tafsir ini
acapkali bersifat hegemonik. Bisa jadi dalam waktu yang tak panjang sejumlah
LSM yang konsern terhadap HAM memasuki wilayah ini dan hegemoni wacana bukan dilakukan oleh (aktor)
negara tetapi justru dilakjukan oleh LSM.
Data
yang Terus ‘Bergerak’
Harian Kompas hari ini (28 Maret 2012) mengangkat
laporan demo aksi penolakan rencana kenaikan BBM hasil liputannya hingga
kemarin sore dengan head line “Bentrok
di Beberapa Tempat”. Dari 14
wilayah demonstrasi yang dipantau Kompas, di 5 wilayah yang dikategorikan
sebagai benntrok dan ricuh, selebihnya 9 wilayah tergolong tertib. Realitas inilah yang menarik, perlu kajian
dengan kedalaman yang khusus, misalnya
dengan pertanyaan: “mengapa /bagaimana terjadi
berbeda-beda dalam (karekter demonstrasi) itu ?” Kalau dibuka file sejumlah demo di wilayah –
wilayah di Indonesia, rasanya tiga wilayah yang selalu mengandung dimensi
anarkhi, secara berurutan ; Makasar, Medan, dan Jakarta. Tetapi file ini hanya tuntunan untuk membangun
hipotesis awal, lebih lanjut pertanyaan yang menarik : “mengapa di
daerah-daerah tertentu itu cenderung anarkhis?”.
Penutup
Dari pembacaan melalui sejumlah
teoritisi sosiologi konflik atas
struktur sosial masyarakat Indonesia, minimal kondisi struktur sosial
pasca tahun 2005 ini maka potensi
gerakan sosial yang besar (masiv) dan keras sangat kecil. Terutamamerujuk Dahrendorf,
memerlukan tiga syarat untuk meledaknya sebuah gerakan sosial masiv itu; tiga
syarat ini belum terpenuhi untuk kondisi sekarang. Maka dari fenomena ini ada
baiknya kepolisian meletakkan warning;
Pertama, kedepan nanti jika tiga kondisi di atas terpenuhi
maka keberhasilan mengelola demonsstrasi masiv sangat bertumpu pada kekuatan
intelejen. Untuk ini perlu jauh-jauh hari kepolisian menganalisis wajah
intelejennya; utamanya pada (infastruktur) pendidikan dan organisasi garis komando. Dan, tentu saja
pada level Polda pembacaan atas data intelejen memerlukan keahlian akademis
yang kuat. Top Menejer pada level ini sebaiknhya melibatkan sosiolog dan
psikolog. Kedua, Relasi TNI dalam
ruang publik bagaimanapun belum jelas di dalam praksis. Maka “kekosongan” ini menjadi
sangat penting bagi kepolisian untuk segera ancang-ancang membuat draft
(meskipun hanya tafsir atas regulasi yang ada) tentang posisi TNI di ruang publik. Paling tidak
sasarannya tata kelolanya tidak lagi debatable dengan wacana kalangan akademisi
sebagai basis demokrasi (meskipun tak harus berkesesuaian dengan kalangan LSM).Ketiga,
selayaknya kepolisian (STIK – PTIK) melakukan kajian melalui penelitian yang
serius terhadap karakteristik-karakteristik demonstrasi di wilayah-wilayah di
Indonesia, sehingga mempunyai “pakem” dalam identifikasi wilayah atau struktur demonstrasi yang potensi terhadap
anarkhisme.
---Bravo---
[1] . Sebagai ilustrasi, era Orde Baru kekuatan intelejen
negara (kepolisian maupun non-kepolisian) relatif kuat (lihat, misalnya Honna dalam “Serdadu Memburu Hantu”; 2010) . Data intelejen cukup membantu
aparat keamanan menyususn strategi proporsional (tidak berlebihan dan tidak
pula keteter). Pernah, pada suatu hari di tahun 1995 mencium gelagat rencana
strategi demonstrasi dengan warna kekerasan di sejumlah kampus dan kantong
–kantong aktifis buruh di Jakarta. Intel ini masuk hadir di setiap kampus di
Jakarta dan memberi laporan secara berkala. Budiman Sudjatmiko cs. tertangkap
di Bekasi sebalum aksi. Namun,sejumlah aktifis kiri “hilang” (dihilangkan?)
entah kemana. Tahun 2000 beredar ‘khabar burung’ terutqama dari kalangan
Kontras bahwa Prabowo Subiyanto ada dibalik penculikan itu. Fenomena ini yang
membuat mengerasnya aksi-aksi demo yang kemudian memaksa Suharto turun.
Sejumlah kalangan menilai, cara – cara menghilangkan aktifis ini sebagai
mencederai para jasa para intel itu.
[2]
. Sejumlah
jejak pendapat yang rutin dilakukan harian Kompas menunjukan angka popularitas
SBY merosot dari tahun ke tahun. Pada bidang hukum pun tak jauh berbeda dengan
kecenderungan merosotnya angka popularitas SBY. Karena, barangkali, “SBY” dalam
kerangka berfikir agregasi bukanlah aktor, ia kemudian diartikulasikan menjadi
“Rezim”.