Rabu, 27 Juli 2016

Orang Besar Tak Selalu Besar



Tentu saja! Tidak setiap orang besar mempunyai jiwa yang besar pula

Bayangkan saja orang besar yang kebetulan nyangkut di dalam baju kebesaran, bukan karena memang dia besar tetapi sekali lagi hanya karena bajunya saja yang kebesaran. Orang sejenis ini biasanya sangat ‘bajuisme’. Baju itu dianggap segala-galanya. Tak bisa hidup nyaman tanpa baju kebesaran. Biasanya juga ciri yang paling menonjol adalah mengedepankan ‘aku’-nya; tidak problem solving oriented tetapi ‘aku’ oriented. Kalau tidak memberikan kontribusi kepada ‘aku’-nya tidak bergerak. Dia melengos.
Tentu saja orang sejenis ini menderita. Penderitaannya yang paling dalam adalah ketidaksadarannya terhadap penyakit yang diidapnya; dia merasa sehat, padahal sesungguhnya sakit. Ini sejenis schizopherenia. Akibat khrinyanya adalah tidak otentik, split personality.  Eh... disini jangan bicara Tuhan di atas sana yang tak begitu riil baginya. Ini juga prinsip yang dipegangnya secara latent, karena dia juga solat, puasa, ikut tausyiyah dan seterusnya.
Prinsip terakhir yang dipeganggnya ini tentu juga sejenis penyakit paling akut. Yaitu tidak bisa membedakan ‘yang riil’ dengan ‘yang imaji’. Pengkategorian ini sederhana. Segala sesuatau yang memberikan kontibusi bagi dirinya di dunia, kehormatan, status yang melekat dalam bajunya, itulah yang disebut ‘yang riil’:  segala di luar itu ya ‘tidak rill’ alias imaji. Jadi Tuhan dengan segala atribusi kegaiban dan rencana-NYA pada dasarnya dipandnag tidak riil.
Betapa baju kebesaran itu penting. oleh karena itu baju kebesaran ini harus dipertahankan entah bagaimana caranaya, tak peduli pat gulipat. Injak sana-sini. Manipulasi sono-sini. Kadang kadang marah tidak pada tempatnya itu perlu, karena akting ini bagian dari skenario untuk menutupi kebodohannnya.
Allahuma ba’id....naudzubillah tsuma naudzubillah.....


Catatan
Baju kebesaran = harta dan tahta (dan wanita).