Tentu saja! Tidak setiap orang besar mempunyai
jiwa yang besar pula
Bayangkan saja orang besar yang kebetulan
nyangkut di dalam baju kebesaran, bukan karena memang dia besar tetapi sekali
lagi hanya karena bajunya saja yang kebesaran. Orang sejenis ini biasanya sangat
‘bajuisme’. Baju itu dianggap segala-galanya. Tak bisa hidup nyaman tanpa baju
kebesaran. Biasanya juga ciri yang paling menonjol adalah mengedepankan ‘aku’-nya;
tidak problem solving oriented tetapi ‘aku’ oriented. Kalau tidak
memberikan kontribusi kepada ‘aku’-nya tidak bergerak. Dia melengos.
Tentu saja orang sejenis ini menderita. Penderitaannya
yang paling dalam adalah ketidaksadarannya terhadap penyakit yang diidapnya;
dia merasa sehat, padahal sesungguhnya sakit. Ini sejenis schizopherenia. Akibat
khrinyanya adalah tidak otentik, split personality. Eh... disini jangan bicara Tuhan di atas sana
yang tak begitu riil baginya. Ini juga prinsip yang dipegangnya secara latent,
karena dia juga solat, puasa, ikut tausyiyah dan seterusnya.
Prinsip terakhir yang dipeganggnya ini
tentu juga sejenis penyakit paling akut. Yaitu tidak bisa membedakan ‘yang riil’
dengan ‘yang imaji’. Pengkategorian ini sederhana. Segala sesuatau yang
memberikan kontibusi bagi dirinya di dunia, kehormatan, status yang melekat
dalam bajunya, itulah yang disebut ‘yang riil’:
segala di luar itu ya ‘tidak rill’ alias imaji. Jadi Tuhan dengan segala
atribusi kegaiban dan rencana-NYA pada dasarnya dipandnag tidak riil.
Betapa baju kebesaran itu penting. oleh
karena itu baju kebesaran ini harus dipertahankan entah bagaimana caranaya, tak
peduli pat gulipat. Injak sana-sini. Manipulasi sono-sini. Kadang kadang marah
tidak pada tempatnya itu perlu, karena akting ini bagian dari skenario untuk
menutupi kebodohannnya.
Allahuma ba’id....naudzubillah tsuma
naudzubillah.....
Catatan
Baju kebesaran = harta dan tahta (dan
wanita).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar