Makna “Insyaallah” didalam Islam
Pagi ini ada pengajian di Mesjid Darul ilmi, mohon izin saya alpa. Siap salah. Ada suatu yang mendesak
untuk saya tulis, sebelum saya lupa atau sibuk yang lain. Mendesak bangt. Begini, semalam saya mendapat
posting video via Wats Up tentang seorang sahabat yang
pindah agama dari islam. Diantara alasan convert (pindah agama) ini
adalah analisinya pada kata ‘insyaallah’. Kata ‘insyaallah’ ini difahami olehnya bahwa dalam
Islam tak ada kepastian dan jaminan Allah masuk surga. Orang mslim kalo ditanya,
apakah Anda, (dijamin) masuk surga ? Jawabannya,
“insyaallah”. Jawaban
semacam ini difahami oleh sahabat yang murtad tadi sebagai ‘tidak pasti’. Menurutnya,
untuk apa memeluk agama kalo nggak pasti mengantar ke surga!
Bagi saya keberagamaan – salah-benar sebuah
agama -- tidak bisa berhenti disimpulkan pada sisi-sisi elementer tanpa menariknya kepada dimensi teologik. Yang
mendasar adalah persoalan teologik atau ketuhanan ketimbang budaya atau
sosiologik yang bersifat elementer. Bagaimana memisah yang elementer dengan
yang subtantif ? Mudah. Caranya, pertama, pada bagaimana agama memandang Tuhan; Kedua,
bagaimana agama memandang kebaikan. Ketiga, bagaimana agama memandang/menempatkan
akal. Melalui kerangka ini setiap yang elementer bisa dijelaskan benang merahnya pada aspek teologik. Tentu saja
surga adalah persoalan penting, tetapi bukan surganya yang harus didiskusikan tetapi
bagaimana menempatkan surga dalam kerangka itu. Yang elementer harus bisa dilacak dan
dijelaskan dari sisi teologiknya.
Kesimpulan
Sekali lagi, teologik adalah ikhwal amat
mendasar dalam agama. Mengapa? Melalui pintu teologi dengan sendirinya akan
mengidentifikasi mana sisi keberagamaan yang bernada sosiologik, mana budaya,
mana psikologik (personal exparience) dan mana yang bersifat ketuhanan itu sendiri.
Acapkali ketika saya diskusi dengan sahabat sahabat Kristen jalan
pilkiran yang elementer yang diusung, sungguhpun dalam islam yang elementer ini
akan menegaskan dimensi teologik.
Kembali pada persoalan awal: Bagaimana pembacaan “insyaallah” secara
teologik? Bagaimana pula di kalangan
Kristen soal ini ?
Di
dalam Islam, segala sesuatu disandarkan kepada
kehendaak Allah (ridho/irodhahNYA). Ini ajaran tauhid yang paling dasar. Islam (salam,
selamat) arti harfiyahnya adalah
ketundukan kepada Sang Khalik. Tidak ada sesuatu apapun yang menyamaiNYA, laisa
kamislihi sai’un. Oleh karena itu, yang
memasukkan ke surga bukan kebaikan yang dilakukan manusia, tetapi karena
ridhoNYA. Dia tidak bisa di-dua-kan, di-tiga-kan dan seterusnya. Meletakkan
“sebab” masuk surganya seseorang pada sesuatu yang diperbuat manusia, berarti
men-dua-kanNYA. Karena Yang Maha Kuasa kan bukan berbuatan baik manusia, tetapi
Allah, Tuhan semesta alam. KekuasaanNYA tidak harus dipermasalahkan dengan
KemahakasihNYA. KemahakasihNYA diartikulasikan pada adanya tanda-tanda (signal)
yang DIA turunkan sebagai petunjuk tentang suatu (definisi) baik dan buruk
untuk menggapai ridhoNYA. Sehingga, ummat pengikut Muhammad tidak (boleh) arogan
dengan jasa kebaikan atau apapun yang diperbuat, karena semua itu toh kembali kepada irodahNYA, (keputusan) Allah. Seorang
muslim tak boleh meng-kleim masuk sorga karena, sekali lagi, sorga itu milik
Allah, bukan otomatis melekat pada perbuatan baik kita.
Disinilah hemat saya persoalan teologik sahabat
saya yang murtad di atas, yang memastikan bahwa
berbuatan/keyakinan manusia sebagai “sebab” masuknya seseorang ke surga.
Mengapa keyakinan semacam ini keliru? Karena sistem berfikir ini menyabot kekuasaanNYA. Dalam Islam,
kekuasanNYA tidak bisa diwakilkan. Tidak pula didelegasikan. Karena, kalau
didelegasikan berarti, ya, tidak berkuasa lagi atas suatu hal atau kekuasaannya berkurang dalam hal-hal tertentu. Barangkali disinilah
persoalan ketuhanan sahabat saya yang murtad, ketika kekuasaan Tuhan didelegasikan maka mau nggak mau Tuhan
menjadi plural. Padahal, lam yalid wa lam yulad.
Apakah, delegasi itu kontradiksi secara
akal ? Tidak, sejauh tidak menyangkut
delegasi dalam hal kekuasaan. Nabi adalah delegasi Tuhan tetapi bukan dalam hal
kekuasaan. Dalam islam nabi-nabi tidak harus dibaca sebagai ‘delegasi kekuasaan’-NYA.
Nabi-nabi hanya delegasi bahasa Tuhan. Perhatikan: bukan delegasi
kekuasaan, tetapi delegasi bahasa (penyampai khabar berita). Nabi (naba) arti
harfiahnya pemberi khabar saja. Tidak lebih dari itu, tentu tidak pula berkuasa
mengampuni dosa atau memasukkannya ke surga atau neraka. Harap ini dibedakan
dengan konsep shafa’at. Nabi paling-paling
hanya sebagai washilah atau jalan menuju ridhoNYA. Salah satu kasihNYA kepada
manusia adalah menurunkan penunjuk jalan yang benar dan lurus.
Kesimpulan
Nabi
hanya penunjuk jalan, titik, tidak lebih. Kalau petunjuk jalan itu diikuti akan
mendapat ridho-NYA. Ridho Allah adalah sisi dimensi kekuasaanNYA, yang akan mengantarkan manusia masuk surga. Logikanya,
masuknya seseorang ke sorga atau ke neraka
bukan semata-mata disebabkan perbuatan/keyakinan
manusia, tetapi karena ridho-NYA. Yang diridhoiNYA
pasti baik, maka muslim yang baik adalah segala mengejar segala ridhoNYA. Oleh karena itu, seorang muslim kalau ditanya,
“apakah islam menjamin masuk surga?” Jawabnya “insyaallah”. Arti harfiyahnya ‘kalau
Allah menghendaki’. Jawaban semacam ini merupakan refleksi teologi TAUHID. Jawaban ini tidak menyekutukan
Allah terhadap apapun karena semua bermuara pada kehendakNYA. Bayangkan, jika seseoarng mengatakan bahwa agama XYZ menjamin 100% masuk surga, maka agama semacam itu secara akal sehat adalah sebuah bentuk penyekutuan atas Tuhan itu sendiri.
luarbiasa Pak
BalasHapus