Jumat, 19 Juni 2015

Menakar Ilmu Kepolisian


Menakar Ilmu Kepolisian

(Sebuah Penelusuran Sosiologik)


Most police agencies do not see science

as critical to their everyday operations.

 Science is not an essential part of this police world.

(Hanak and Hofinger, 2005; Jaschke et al., 2007). 

(https://www.ncjrs.gov)


Selain Hull, adalah Immanuel Wallerstein yang  menegaskan bahwa konstruksi ilmu pengetahuan dapat dilacak dari kekuatan sosial yang mengitarinya. Koherensi bidang ilmu pengetahuan -- apalagi ilmu sosial --  tidak pernah ‘telanjang bulat’ sebagaimana ketelanjangan formula mati-matika. Maka dengan demikian sisi pragmatik akan lebih mendominasi aspek legitimasi sebuah ilmu. Padahal sisi pragmatik ini  memerlukan persandarannya pada rezim politik. Dengan berdiri di pundak Hull dan Wallerstein,  tulisan ini merupakan sebuah  pembacaan rancang bangun ilmu kepolisian di Indonesia didalam kontestasinya dengan rezim sosial- politik. 

Key Words: Epistemologi, Ilmu Kepolisian, Kekuatan Sosial (social force).

Prolog
Ide-ide ilmu pengetahuan sebagian besar dibentuk oleh pengaruh kekuatan sosial (social force) yang melingkupinya. Postulat semacam ini ekstrim, tetapi dapat ditemukan dalam literatur-literatur yang cukup otoritatif. Misalanya, dalam tulisan David Hull (1988), Rose (1976), dan Imanuel Wallernstein yang sempat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Lintas Batas Ilmu Sosial. Barangkali untuk sekedar membuat lebih moderat, formulasi proposisi ini (perlu) bergeser menjadi berikut : “ide-ide ilmu pengetahuan dipengeruhi kekuatan sosial, tetapi kemudian ilmu pengetahuan ini mempunyai logikanya cara kerja  sendiri”.  Istilah ‘cara kerja’ dalam konteks ini merupakan formulasi dari sebuah prosedur atau syarat yang dilalui. ‘Cara kerjanya sendiri’  mengacu pada koherensi metodologik.  Dengan demikian, syarat dari sebuah pengetahuan dan kumpulan gagasan atau pemikiran untuk bisa disebut sebagai ilmu bukan sekedar memenuhi dua kriteria, yaitu ktiretia metodologik dan kriteria nilai, tetapi masih perlu memasukan syarat sosiologik di dalamnya.  

Dalam persyaratan itu jangankan Ilmu Kepolisian, Ilmu Hukum pun yang usianya sudah ratusan tahun dalam dekade terakhir ini di Eropa Barat dibongkar kembali status keilmuannya. Kalau Ilmu Hukum dipandang eksis sejak ratusan tahun melalui Universitas Bologna, Italia (1088) yang memasukannya sebagai sebuah bidang ilmu[1], maka Ilmu Kepolisian (ala Indonesia) eksis melalui hadirnya PTIK pada tahun 1946 di Mertoyudan, Jawa Tengah. Antara ‘Bologna” dengan “Mertoyudan” mempunyai jarak waktu 858 tahun, atau sekitar 13 generasi. Yang perlu diberikan catatan, istilah “eksis” dalam kerangka ini adalah mengacu pada ‘legitimasi sosiologis’. Artinya, melalui konstruksi sosial-lah eksistensi ilmu itu dipandang hadir. Bedakan pengertian ‘legitimasi sosiologis’ ini  dengan posisinya dalam ‘kekuatan koherensi’. Kekuatan koherensi mengacu pada the truth in itself : kebenaran itu tanpa perlu definisi sosial sudah benar didalam dirinya.  Legitimasi sosiologis paling tidak mengandung dua dimensi, pertama adanya komunitas yang menekuni ilmu itu; dan,  kedua, menyangkut nilai guna (utility/pragmaic) ilmu itu sendiri. Sementara kebenaran koherensi tidak membutuhkan dua hal itu meskipun tentu saja kedua  hal itu akan mengikutinya.

 Alih-alih, dalam pergumulan epistemologik bukan pula hanya Ilmu Hukum yang mendapat serangan balik, tetapi termasuk di dalamnya Sosiologi (khususnya  Sosiologi Mazdab Kiri) dan Ekonomi Neo-Klasik. Filsuf Hungaria Imre Lakatos[2] menempati posisi penting dalam pembongkaran itu. Lakatos bahkan mengkategorikan Pseudosains atas beberapa (cabang) “ilmu”, misanya  Psychoanalisys Freud, Marxisme (khususnya marxismen abad 20), Psychiatry, Biology Lysenko, Quantum mekanik Bohr, Astonomy Ptolemy.

Rekan-rekan Ilmu Hukum selayaknya berterimakasih  kepada pemrakarsa arus balik yang meragukan ilmu hukum sebagai ilmu.  Meminjam kerangka falsifikasi Popper, kehadiran oponen semacam ini akan mendewasakan ilmu hukum itu sendiri.  Falsifikasi Popper tentu tidak harus diletakkan sebagai senjata pamungkas bagi khasanah pengembangan bidang ilmu. Untuk kebutuhan koherensi sebuah bidang ilmu meskipun Falsifikasi Popper ini hadir sebagai koreksi terhadap konsep Verifikasi Rudolf Carnap (1922), namun tentu yang datang belakangan ini tidak selalu dapat menegasikan sepenuhnya dari yang lahir lebih dahulu. 

Gejala ‘arus balik’ ini  mengindikasikan adanya semacam kekuatan sosial baru (social force) yang mendongkel “epistemologi”  bidang-bidang  ilmu di atas. Ilustrasi lain juga terjadi dalam ilmu ekonomi. Istilah “ekonomi politik” sebagai sebuah cabang dari  ilmu ekonomi yang populer  sejak abad delapanbelas dihapus pada paruh kedua abad sembilanbelas  setelah pemberlakuan teori ekonomi liberal. Mengapa?  Bagi liberalisme, paling tidak liberalisme ala paruh kedua abad sembilanbelas,   istilah “politik” perlu dilucuti dari “(ilmu) ekonomi”, alasannya perilaku ekonomi lebih merupakan cermin dari psikologi, bukan politik [3]. Kemudian pada dasawarsa tahun 70-an “ekonomi politik” bangkit lagi dari kuburnya setelah mendapat energi epistemologi dari  Sosiologi Madzhab Frankfurt[4].