Menakar Ilmu
Kepolisian
(Sebuah Penelusuran Sosiologik)
Most police agencies do
not see science
as critical to their
everyday operations.
Science is not an essential part of this
police world.
(Hanak and Hofinger, 2005; Jaschke et al., 2007).
(https://www.ncjrs.gov)
Selain
Hull, adalah Immanuel Wallerstein yang menegaskan bahwa konstruksi ilmu pengetahuan dapat
dilacak dari kekuatan sosial yang mengitarinya. Koherensi bidang ilmu
pengetahuan -- apalagi ilmu sosial -- tidak pernah ‘telanjang bulat’ sebagaimana
ketelanjangan formula mati-matika. Maka dengan demikian sisi pragmatik akan
lebih mendominasi aspek legitimasi sebuah ilmu. Padahal sisi pragmatik ini memerlukan persandarannya pada rezim politik.
Dengan berdiri di pundak Hull dan Wallerstein,
tulisan ini merupakan sebuah
pembacaan rancang bangun ilmu kepolisian di Indonesia didalam
kontestasinya dengan rezim sosial- politik.
Key Words: Epistemologi, Ilmu Kepolisian, Kekuatan Sosial (social force).
Ide-ide ilmu pengetahuan sebagian
besar dibentuk oleh pengaruh kekuatan sosial (social force) yang melingkupinya. Postulat semacam ini ekstrim,
tetapi dapat ditemukan dalam literatur-literatur yang cukup otoritatif. Misalanya,
dalam tulisan David Hull (1988), Rose (1976), dan Imanuel Wallernstein yang
sempat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Lintas Batas Ilmu Sosial. Barangkali untuk sekedar membuat lebih
moderat, formulasi proposisi ini (perlu) bergeser menjadi berikut : “ide-ide
ilmu pengetahuan dipengeruhi kekuatan sosial, tetapi kemudian ilmu pengetahuan
ini mempunyai logikanya cara kerja
sendiri”. Istilah ‘cara kerja’
dalam konteks ini merupakan formulasi dari sebuah prosedur atau syarat yang
dilalui. ‘Cara kerjanya sendiri’ mengacu
pada koherensi metodologik. Dengan demikian, syarat dari sebuah
pengetahuan dan kumpulan gagasan atau pemikiran untuk bisa disebut sebagai ilmu
bukan sekedar memenuhi dua kriteria, yaitu ktiretia metodologik dan kriteria
nilai, tetapi masih perlu memasukan syarat sosiologik di dalamnya.
Dalam persyaratan itu jangankan Ilmu
Kepolisian, Ilmu Hukum pun yang usianya sudah ratusan tahun dalam dekade terakhir
ini di Eropa Barat dibongkar kembali status keilmuannya. Kalau Ilmu Hukum
dipandang eksis sejak ratusan tahun melalui Universitas Bologna, Italia (1088)
yang memasukannya sebagai sebuah bidang ilmu[1], maka Ilmu Kepolisian (ala
Indonesia) eksis melalui hadirnya PTIK pada tahun 1946 di Mertoyudan, Jawa
Tengah. Antara ‘Bologna” dengan “Mertoyudan” mempunyai jarak waktu 858 tahun,
atau sekitar 13 generasi. Yang perlu diberikan catatan, istilah “eksis” dalam
kerangka ini adalah mengacu pada ‘legitimasi sosiologis’. Artinya, melalui
konstruksi sosial-lah eksistensi ilmu itu dipandang hadir. Bedakan pengertian
‘legitimasi sosiologis’ ini dengan
posisinya dalam ‘kekuatan koherensi’. Kekuatan koherensi mengacu pada the truth in itself : kebenaran itu
tanpa perlu definisi sosial sudah benar didalam dirinya. Legitimasi sosiologis paling tidak mengandung
dua dimensi, pertama adanya komunitas
yang menekuni ilmu itu; dan, kedua, menyangkut nilai guna (utility/pragmaic) ilmu itu sendiri. Sementara
kebenaran koherensi tidak membutuhkan dua hal itu meskipun tentu saja
kedua hal itu akan mengikutinya.
Alih-alih, dalam pergumulan epistemologik bukan pula
hanya Ilmu Hukum yang mendapat serangan balik, tetapi termasuk di dalamnya Sosiologi
(khususnya Sosiologi Mazdab Kiri) dan
Ekonomi Neo-Klasik. Filsuf Hungaria Imre Lakatos[2] menempati
posisi penting dalam pembongkaran itu. Lakatos bahkan mengkategorikan
Pseudosains atas beberapa (cabang) “ilmu”, misanya Psychoanalisys
Freud, Marxisme (khususnya marxismen abad 20), Psychiatry, Biology Lysenko,
Quantum mekanik Bohr, Astonomy Ptolemy.
Rekan-rekan Ilmu Hukum selayaknya
berterimakasih kepada pemrakarsa arus
balik yang meragukan ilmu hukum sebagai ilmu. Meminjam kerangka falsifikasi Popper,
kehadiran oponen semacam ini akan mendewasakan ilmu hukum itu sendiri. Falsifikasi Popper tentu tidak harus
diletakkan sebagai senjata pamungkas bagi khasanah pengembangan bidang ilmu.
Untuk kebutuhan koherensi sebuah bidang ilmu meskipun Falsifikasi Popper ini
hadir sebagai koreksi terhadap konsep Verifikasi Rudolf Carnap (1922), namun
tentu yang datang belakangan ini tidak selalu dapat menegasikan sepenuhnya dari
yang lahir lebih dahulu.
Gejala ‘arus balik’ ini mengindikasikan adanya semacam kekuatan sosial
baru (social force) yang mendongkel
“epistemologi” bidang-bidang ilmu di atas. Ilustrasi lain juga terjadi
dalam ilmu ekonomi. Istilah “ekonomi politik” sebagai sebuah cabang dari ilmu ekonomi yang populer sejak abad delapanbelas dihapus pada paruh
kedua abad sembilanbelas setelah
pemberlakuan teori ekonomi liberal. Mengapa? Bagi liberalisme, paling
tidak liberalisme ala paruh kedua abad sembilanbelas, istilah “politik” perlu dilucuti dari “(ilmu)
ekonomi”, alasannya perilaku ekonomi lebih merupakan cermin dari psikologi, bukan politik [3].
Kemudian pada dasawarsa tahun 70-an “ekonomi politik” bangkit lagi dari
kuburnya setelah mendapat energi epistemologi dari Sosiologi Madzhab Frankfurt[4].