Menakar Ilmu
Kepolisian
(Sebuah Penelusuran Sosiologik)
Most police agencies do
not see science
as critical to their
everyday operations.
Science is not an essential part of this
police world.
(Hanak and Hofinger, 2005; Jaschke et al., 2007).
(https://www.ncjrs.gov)
Selain
Hull, adalah Immanuel Wallerstein yang menegaskan bahwa konstruksi ilmu pengetahuan dapat
dilacak dari kekuatan sosial yang mengitarinya. Koherensi bidang ilmu
pengetahuan -- apalagi ilmu sosial -- tidak pernah ‘telanjang bulat’ sebagaimana
ketelanjangan formula mati-matika. Maka dengan demikian sisi pragmatik akan
lebih mendominasi aspek legitimasi sebuah ilmu. Padahal sisi pragmatik ini memerlukan persandarannya pada rezim politik.
Dengan berdiri di pundak Hull dan Wallerstein,
tulisan ini merupakan sebuah
pembacaan rancang bangun ilmu kepolisian di Indonesia didalam
kontestasinya dengan rezim sosial- politik.
Key Words: Epistemologi, Ilmu Kepolisian, Kekuatan Sosial (social force).
Ide-ide ilmu pengetahuan sebagian
besar dibentuk oleh pengaruh kekuatan sosial (social force) yang melingkupinya. Postulat semacam ini ekstrim,
tetapi dapat ditemukan dalam literatur-literatur yang cukup otoritatif. Misalanya,
dalam tulisan David Hull (1988), Rose (1976), dan Imanuel Wallernstein yang
sempat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Lintas Batas Ilmu Sosial. Barangkali untuk sekedar membuat lebih
moderat, formulasi proposisi ini (perlu) bergeser menjadi berikut : “ide-ide
ilmu pengetahuan dipengeruhi kekuatan sosial, tetapi kemudian ilmu pengetahuan
ini mempunyai logikanya cara kerja
sendiri”. Istilah ‘cara kerja’
dalam konteks ini merupakan formulasi dari sebuah prosedur atau syarat yang
dilalui. ‘Cara kerjanya sendiri’ mengacu
pada koherensi metodologik. Dengan demikian, syarat dari sebuah
pengetahuan dan kumpulan gagasan atau pemikiran untuk bisa disebut sebagai ilmu
bukan sekedar memenuhi dua kriteria, yaitu ktiretia metodologik dan kriteria
nilai, tetapi masih perlu memasukan syarat sosiologik di dalamnya.
Dalam persyaratan itu jangankan Ilmu
Kepolisian, Ilmu Hukum pun yang usianya sudah ratusan tahun dalam dekade terakhir
ini di Eropa Barat dibongkar kembali status keilmuannya. Kalau Ilmu Hukum
dipandang eksis sejak ratusan tahun melalui Universitas Bologna, Italia (1088)
yang memasukannya sebagai sebuah bidang ilmu[1], maka Ilmu Kepolisian (ala
Indonesia) eksis melalui hadirnya PTIK pada tahun 1946 di Mertoyudan, Jawa
Tengah. Antara ‘Bologna” dengan “Mertoyudan” mempunyai jarak waktu 858 tahun,
atau sekitar 13 generasi. Yang perlu diberikan catatan, istilah “eksis” dalam
kerangka ini adalah mengacu pada ‘legitimasi sosiologis’. Artinya, melalui
konstruksi sosial-lah eksistensi ilmu itu dipandang hadir. Bedakan pengertian
‘legitimasi sosiologis’ ini dengan
posisinya dalam ‘kekuatan koherensi’. Kekuatan koherensi mengacu pada the truth in itself : kebenaran itu
tanpa perlu definisi sosial sudah benar didalam dirinya. Legitimasi sosiologis paling tidak mengandung
dua dimensi, pertama adanya komunitas
yang menekuni ilmu itu; dan, kedua, menyangkut nilai guna (utility/pragmaic) ilmu itu sendiri. Sementara
kebenaran koherensi tidak membutuhkan dua hal itu meskipun tentu saja
kedua hal itu akan mengikutinya.
Alih-alih, dalam pergumulan epistemologik bukan pula
hanya Ilmu Hukum yang mendapat serangan balik, tetapi termasuk di dalamnya Sosiologi
(khususnya Sosiologi Mazdab Kiri) dan
Ekonomi Neo-Klasik. Filsuf Hungaria Imre Lakatos[2] menempati
posisi penting dalam pembongkaran itu. Lakatos bahkan mengkategorikan
Pseudosains atas beberapa (cabang) “ilmu”, misanya Psychoanalisys
Freud, Marxisme (khususnya marxismen abad 20), Psychiatry, Biology Lysenko,
Quantum mekanik Bohr, Astonomy Ptolemy.
Rekan-rekan Ilmu Hukum selayaknya
berterimakasih kepada pemrakarsa arus
balik yang meragukan ilmu hukum sebagai ilmu. Meminjam kerangka falsifikasi Popper,
kehadiran oponen semacam ini akan mendewasakan ilmu hukum itu sendiri. Falsifikasi Popper tentu tidak harus
diletakkan sebagai senjata pamungkas bagi khasanah pengembangan bidang ilmu.
Untuk kebutuhan koherensi sebuah bidang ilmu meskipun Falsifikasi Popper ini
hadir sebagai koreksi terhadap konsep Verifikasi Rudolf Carnap (1922), namun
tentu yang datang belakangan ini tidak selalu dapat menegasikan sepenuhnya dari
yang lahir lebih dahulu.
Gejala ‘arus balik’ ini mengindikasikan adanya semacam kekuatan sosial
baru (social force) yang mendongkel
“epistemologi” bidang-bidang ilmu di atas. Ilustrasi lain juga terjadi
dalam ilmu ekonomi. Istilah “ekonomi politik” sebagai sebuah cabang dari ilmu ekonomi yang populer sejak abad delapanbelas dihapus pada paruh
kedua abad sembilanbelas setelah
pemberlakuan teori ekonomi liberal. Mengapa? Bagi liberalisme, paling
tidak liberalisme ala paruh kedua abad sembilanbelas, istilah “politik” perlu dilucuti dari “(ilmu)
ekonomi”, alasannya perilaku ekonomi lebih merupakan cermin dari psikologi, bukan politik [3].
Kemudian pada dasawarsa tahun 70-an “ekonomi politik” bangkit lagi dari
kuburnya setelah mendapat energi epistemologi dari Sosiologi Madzhab Frankfurt[4].
Adanya arus balik merupakan indikasi
bekerjanya di ranah sosiologis atas pendakuan
eksistensi bidang ilmu. Pendewasaan ranah
sosiologis bagi tumbuh-kembang bidang ilmu secara otomatis dalam kerangka
semacam ini memberi kekuatan koherensi sebuah bidang ilmu itu sendiri. Dengan
demikian hubungan antara dimensi
sosiologis dengan tingkat koherensi sebuah ilmu berbanding lurus-linier.
Kematangan koherensi bidang ilmu membutuhkan ranah sosiologis bagi
tumbuhnya ruang diskusi yang segar dan terbuka.
Kesehatan
Ranah Sosiologis. Kesehatan ranah sosiologis
selain menjamin kebebasan akademik, adalah mempersyaratkan kelugasan hubungan
otoritas keilmuan dengan kekuatan koherensi. Bahwa prinsipnya otoritas keilmuan
bukan pada gelar akademik tetapi pada kekuatan logika-koherensi atas rancang
bangun setiap proses keilmuan. Proposisi semacam ini
agaknya sulit difahami dalam sistem feodalistik yang terlanjur kokoh. Yang dimaksud, bahwa (justru) karena karakter ilmu itu ‘terbuka’ maka tidak lagi
bisa dibenarkan membangun barikade-barikade yang memungkinkan ‘menutup’
pembongkaran ulang setiap gagasan dalam proses keilmuan hanya, misalnya, karena
seorang profesor yang mensabdakan. Sosiolog Amerika Peter L. Berger mengintrodusir nilai-nilai yang sangat prinsip
perlu dipegangi bagi komunitas akademik. Prinsip nilai itu adalah “kerendahatian
terhadap fakta dan realitas”. Diantara operasionalisasi prinsip nilai Berger kedalam
organisasi adalah pengembangan rumpun
akademisi menurut disiplin dan peminatan[5].
Pengembangan
nilai semacam ini (yang demokratis dan egaliter) penting diletakkan sebagai ‘warning’ dalam konteks dan prospek Ilmu Kepolisian di
Indonesia, karena justru ia lahir pada
ranah sosio-kultur (organisasi) polisi yang tentu saja herarkhis. Tumbuhkembang Ilmu Kepolisian di Indonesia akan menghadapi persoalan ketika
sistem dan tata kerja organisasi kepolisian dicangkokan secara kaku ke
dalam tata kelola dan sistem
administratif dan menejemen akademik.
Di dalam ranah sosiologis yang sehat, gelar (jenjang)
akademik cukup diletakkan sebagai otoritas
administratif, bukan pada otoritas koherensi atau otoritas pendefinisi realitas.
Relasi dua arah antara otoritas administratif dengan kekuatan koherensi acapkali kacau-balau. Ketika ranah sosiologik
rusak, akan segera diikuti pembusukan
pada sistem akademik. Kerusakan ranah sosiologik bisa dilacak pada sejumlah
indikasi: pertama, permisiv atas plagiarisme; kedua, tertutupnya ruang
wacana dan tiadanya kebebasan akademik. Ketiga,
konsekwensi atas dua hal itu, terbuka peluang
perselingkuhan antara (perolehan) gelar akademik dengan kekuasaan dan ekonomi. Pada
tingkat lanjut, kondisi ini akan mengembalikan sistem pengetahuan sebagaimana
terjadi pada abad kegelapan.[6]
Pada era kegelapan itu gelar
(tepatnya: gelar kebangsawanan) mempunyai otoritas memproduksi definisi atas realitas (pengetahuan). Di
Indonesia pernah ada kegerahan di kalangan cendikiawan, utamanya pada dasawarsa 90-an terhadap gejala
yang disebutnya sebagai Feodalisme Baru. Dalam Feodalisme Baru ini gelar akademik mempunyai prestise menggeser sistem
sosial yang sekian abad dikendalikan
gelar askriptif. Prestise gelar akademik
(Doktor atau Profesor) pada batas-batas
administratrif tentu bukan persoalan, namun akan menjadi bencana bagi dunia
ilmu pengetahuan dan kemanusiaan ketika gelar semacam ini ‘dialihfungsikan’
untuk mengendalikan alat definisi atas realitas, sehingga membunuh ‘mesin
sosiologis’ yang subtantif bagi hadirnya kebenaran yang bersifat koheren. Kondisi
semacam ini yang menjadi kekhawatiran, utamanya kalangan Madzhab Sosiologi
Frankfurt, seperti Antonio Gramsci (tentang hegemoni) dan Wright Mills.
Ilmu
Kepolisian dalam Kontestasi Sosial-Politik Era Orde Baru
Sebagaimana sekilas disinggung di
atas, sekedar melacak legitimasi sosiologis, Ilmu Kepolisian tentu mempunyai
eksistensi cukup kokoh. Misalnya, jika klik
di google search tentang police
science akan tersaji puluhan artikel perihal ilmu kepolisian. Puluhan
artikel ini bisa memberi indikasi sosiologis
bahwa secara minimal ia diakui sebagai sebuah ilmu. Konstruksi Ilmu Kepolisian ala Indonesia
dapat dirujuk Arief Sidharta dan Chaeruddin Ismail[7] yang berpendapat bahwa PTIK
merupakan address bagi kelahiran ilmu kepolisian. Addressing semacam ini agaknya mengganggu derajat universalitas
(generalitas) ilmu jika alpa memberikan
catatan khusus. Karena bukankah generalisaai menempati posisi serius bagi pendewasaan
bidang ilmu ? Sejumlah fakta wacana googling tentang police
science menegaskan kekokohan kehadiran
ilmu kepolisian di ‘luar sana’, kemudian seberapa kuat konstruksi lokalitas
(ala Indonesia) ini mempunyai koherensi ?
Atau, persoalannya dapat dirumuskan: dimana letak PTIK dalam struktur gelombang
besar wacana ilmu kepolisian itu ? Yang
menarik untuk dicermati dalam wacana yang bergerak terus ini adalah sisi
koherensi perihal apa yang dimaksud “ilmu kepolisian”. Sejauh penelusuran Penulis hanya di Indonesia melalui PTIK lah yang
paling kencang berwacana ilmu kepolisian dari sisi koherensi. Koheren, maksudnya menelusuri ilmu kepolisian dari sisi
non-sosiologik (baca: aspek non-pragmatik), yaitu berusaha menemukan posisi
ilmu kepolisian dalam konstruksi filsafat ilmu (ontologi, epistemologi, dan
aksiologi)[8], tentu termasuk didalamnya konstruksi metodologiknya. Meminjam hipotesis Arief Sidharta[9], kondisi krisislah yang
merangsang lahirnya ‘paradigma baru’
semacam ini. “...perkembagan ilmu dan
teknologi dalam berbagai bidang, telah memunculkan berbagai masalah dan krisis
kemasyarakatan dan menyebabkan sejumlah ilmuwan dan filsuf memberikan perhatian
khusus pada ilmu dari sisi kefilsafatan”.
Padahal, jika dicermati puluhan artikel di google search, yang dimaksud “Ilmu Kepolisian” adalah perihal tata kelola
(atau, sebutlah itu perihal administrasi): tentang bagaimana institusi
kepolisian menjalankan tugasnya. Ambilah sebuah ensiklopedi yang dipandang
mempunyai otoritas dalam ilmu kepolisian, misalnya Jack
R. Greene meng-editori The Encyclopedy of Police Science terbit
tahun 2007. Kitab dengan 1.146 halaman
atau setebal sekitar 30 centimeter yang
masih volume pertama ini tidak
jauh dari ikhwal tata kelola dan administrasi tentang bagaimana insitusi
kepolisian menjalankan tugasnya. Begitu pula ensiklopedi Ilmu Kepolisian
pertama yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, dieditori William G. Bailey dan
di-Kata Pengantari Parsudi Suparlan,
langgamnya tidak berbeda dengan Jack R. Greene itu. Di kedua kitab ini tidak
ditemukan bagian yang membahas posisi ilmu kepolisian dalam konstruksi yang koheren sebagaimana
disebutkan di atas (ontologi, epistemologi, dan aksiologi). Bahkan, entry
‘police science’ pun tidak ditemukan didalam indexnya kecuali terma ini hanya
dibahas sedikit saja pada bagian entry
Criminology, apalagi term seperti ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Jadi, sekali lagi dalam kontestasi
wacana, dimana letak Ilmu Kepolisian ala
Indonesia dalam struktur gelombang besar ilmu kepolisian itu ? Kalau dicoba
melacak hipotesis melalui konteks sejarah fungsi kepolisian dalam hubungannya
dengan konstruksi sosial politik di Indonesia, akan diperoleh kekhasan keluasan
tugas dan fungsi kepolisian Indonesia. Keluasan tugas dan fungsi kepolisian
yang diwarisi sejarah ini menjalar sedemikian rupa hingga memasuki era
reformasi. Misalnya, kepolisian juga mengurusi (pengelolaan) pendidikan
akademik, diluar ini masih ada pengelolaan terhadap rumah sakit. Pengelolaan
pendidikan akademik (pendidikan yang memberikan gelar akademik) oleh institusi
kepolisian adalah fenomena yang tidak umum. Polisi sebagai institusi dalam
kerangka ini bukan lagi sekedar mengurusi kejahatan, tetapi perihal asal-usul
kondisi yang memproduksi kejahatan. Klausul perihal
asal-usul kondisi yang memproduksi
kejahatan ini bergerak sedemikian
rupa dalam penerapan tata kelola organisasi
menuju hulu. Tidak lagi pernah tahu batasannya tentang apa yang dimaksud
“hulu”.
Konstelasi ‘administratif’ semacam
ini berpengaruh terhadap perumusan Ilmu Kepolisian. Sehingga proses kelahiran
dan pertumbuhan Ilmu Kepolisian sangat berbeda dengan kelahiran ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Jika kelahiran ilmu-ilmu sosial pada umumnya harus bergelut
dengan dua arus main stream yang
saling bertubrukan: antara pengaruh epistemologi “kiri’ dengan epistemologi
“kanan”, maka ilmu kepolisian (di Indonesia) melenggang tanpa pergulatan
semacam itu. Sosiologi dan Ilmu Ekonomi (juga Ilmu Hukum) jatuh bangun melalui
pertarungan gagasan epistemologi kiri dengan epistemologi kanan, dan rezim
sosial politik tidak pernah menjadi wasit
yang netral atas pilihan epistemologi ini.
Rancang
Bangun Ilmu Kepolisian. Rancang bangun Ilmu Kepolisian
Indonesia lahir dari rahim Rezim Orde Baru. Dan, pasca Orde Baru oponen atas
rancang bangun Ilmu Kepolisian itu nihil, sekali lagi tidak pernah ada serangan
sebagaimana ilmu sosial pada umumnya. Barangkali
kalau lagi-lagi menggunakan kerangka falsifikasi Popper, laju perkembangan ilmu
kepolisian yang tanpa oponen justru akan menghadapi persoalan pada sisi
koherensi. Setting sosialah yang menjadi faktor kekeringan diskusi
dalam pengertian sepinya dialektika gagasan. Karena ilmu ini tumbuh di ranah
masyarakat kepolisian. Dalam kerangka
ini Chaeruddin Ismail dalam sebuah buku
ajar menulis,
“Di Indonesia, perkembangan Ilmu Kepolisian
berjalan lambat, karena ilmu kepolisian hanya diajarkan dan dikembangkan di
perguruan kedinasan Polri yakni PTIK”[10].
Jenis masyarakat semacam ini –paling tidak hingga saat
ini– bukanlah ranah yang subur bagi
hadirnya wacana ilmiah yang membutuhkan suasana hadirnya diskusi dan perbedaan
(kalau tidak benturan). Penilaian Chaeruddin itu tidak berbeda dengan Faroek
Muhamad (2004:56),
“...ilmu kepolsian diajarkan pada lembaga
pendidikan kepolisian (PTIK). Selama puluhan tahun ilmu kepolisian merupakan
ilmu yang tertutup bagi umum dan bahkan hampir tidak ada keterkaitan
kurikulum antara lembaga pendidikan yang
satu dengan yang lain.”
Penilaian lugas dua tokoh kepolisian
yang praktisi sekaligus akademisi ini tentu dialamatkan kepada sisi koherensi
Ilmu Kepolisian setelah pendahulunya (Harsya Bachtiar dan Parsudi Suparlan)
meletakkan tonggak ‘paradigmatik’. Sosiolog penganut Parsonian, Harsya Bachtiar, dan antropolog yang semula menekuni masalah gelandangan dan
kemiskinan, Parsudi Suparlan, menempati posisi yang tak pernah tergantikan
sepanjang sejarah wacana ilmu kepolisian di Indonesia. Dua orang ini layaknya seperti posisi Plato
dengan Aristoteles dalam belantara
wacana filsafat, sehingga, upaya konstruksi–dekonstruksi–dan rekonstruksi wacana ilmu
kepolisian yang muncul belakangan hanyalah catatan kaki dua nama penting itu.
Ada hubungan mutualisme antara kerangka pemikiran yang
diusung Harsya Bachtiar[11] dengan sistem kekuasaan
pada waktu itu (Rezim Orde Baru).[12] Pada pertengahan dekade
80-an, seingat Penulis yang pada waktu sedang menempuh S-1 Sosiologi menangkap pengaruh kuat Talcot Parson atas Harsya Bachtiar yang mendominasi warna atas
perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Wacana semi-eksklusif ini sangat santer
di kalangan mahasiswa sosiologi tetapi barangkali
tidak bagi disiplin lain[13]. Pengaruh Parson -- juga
berarti sekaligus posisi Harsya – merupakan peletak teori sistem di Indonesia:
sebuah lokus dimana sistem kekuasaan Orde Baru menaruh jangkar untuk melabuhkan
kekuasaannya.
Dalam artikulasi yang lugas, melalui Teori Sistem kiprah
kekuasaan rezim Orde Baru mendapatkan legitimasi akademiknya. Teori Modernisasi
atau disebut juga Teori Pembangunan meletakan preskripsi tata kelola sistem
sosial dan sistem politik di Indonesia
dalam topangan kuat pendekatan teori sistem ini. Disini, pembangunan
dilihat semata-mata dalam kerangka persoalan administrasi yang khas dalam
pendekatan sistem[14]. Ketika harus menghadapi
soal pemerataan, sesuatu yang menyangkut hak-hak ekonomi kaum marjinal,
jawabannya justru tidak pernah terkonseptualisasi dalam kerangka sistem, tetapi
pada dimensi kebijakan yang bersifat karitas. Misalnya, mengharap adanya tricle down effect. Harapan tricle
down effect justru akhirnya menjadi senjata boomerang bagi rezim Orde Baru karena
tidak kunjung wujud hingga sampai klimaks frustrasi rakyat pada tahun 1998.
Betatapun demikian, perihal ‘administrasi’ menjadi
terminologi penting pada
era Orde Baru.[15] Ini menyerupai awal
asal-usul munculnya administrasi (dipertahankan) sebagai ilmu, tidak lain adalah
ilmu yang lahir dari semangat kapitalis dalam menata sumber daya. Etos (ilmu)
Administrasi adalah bagaimana elemen-elemen produksi bekerja efektif menggerakan mesin kapitalisme.
Tentu saja, postulat ini dipandang sebagai klausul yang netral (=baik) oleh kalangan pendekatan
sistem, tetapi menjadi klausul yang
mengerikan dari sisi pendekatan Marxian (dan Neo-Marxian) karena didalamnya
dikandung penguatan sistem interaksi antar manusia yang bersifat hegemonik,
kalau tidak dominatif dan eksploitatif. Soedjatmoko (1986 ;21) dalam artikulasi
yang moderat menyatakan,
“Pembangunan ekonomi akan membawa kita pada
taraf perkembangan yang amat sukar, oleh sebab meruntuhkan kepastian-kepastian
hidup yang lama dengan menghadapi keharusan untuk membentuk kepastian serta
nilai yang baru”.
Pembangunan yang mencantolkan diri pada kapitalisme
memperlakukan manusia sebagaimana alat-alat produksi dalam rangkaian
‘proses produksi’[16]. Logikanya, dalam proses
produksi tenaga kerja manusia sejajar
dengan bahan baku, bensin, oli, mesin, dan lain-lain. Terminologi “Pasar” dalam logika kapitalisme mempunyai makna imperatif sebagai ruang kompetisi yang memaksa entitas produksi
menerapkan prinsip-prinsip efisiensi. Disinilah sulit sekali mengabaikan tenaga
kerja manusia untuk diperlakkukan sebagai elemen produksi layaknya barang. Konsep yang tepat untuk ini adalah bahwa manusia
terasing dari dunia kerjanya sendiri (aleanasi).
Ketika gagasan ini dilekatkan pada (institusi)
kepolisian maka tentu saja yang dimaksud Ilmu Kepolisian diorientasikan pada penguatan efektifitas bekerjanya
kekuasaan rezim. Term “bekerjanya kekuasaan rezim” ini dalam bahasa teknis
merupakan pemaknaan peyoratif dari “Administrasi Kepolisian”.
Gagasan dasar perihal Bhayangkara sebagai ‘kredo’
kepolisian mendapatkan artikulasi tafsir
yang amat kokoh pada era Rezim Orde Baru ini. Bahwa eksistensi Bhayangkara
adalah mesin Sang Prabu (Satyahaning Prabu) pada era Majapahit; pada rezim Orde
Baru ia menjadi mesin yang namanya Pembangunan. Antara “Sang Prabu” dan
“Pembangunan” secara sosiologik merujuk pada imaji yang sama, yaitu kekuasaan. Polisi amat gemar menggunakan
simbol-simbol kegagahan yang menyerupai militer, seperti (kegagahan) singa dan
harimau. Akan susah difahami simbol semacam ini bagi, misalnya kepolisian
Jepang yang cenderung menggunakan simbol-simbol “yang menyelamatkan” seperti
siluet binatang yang bertelinga lebar[17].
Hampir satu dekade reformasi kalangan
kepolisian mulai menyadari bahwa ada suatu yang janggal dalam ikhwal
(pemaknaan) Bhayangkara, maka dirasa perlu tafsir baru. Sayangnya, dua pionir
Ilmu Kepolisian Indonesia (Harsja dan Parsudi) agaknya tidak sempat menyentuh
persoalan yang sangat mendasar di dalam rancang bangun Ilmu Kepolisian. Posisi
kepolisisan dalam sejarah perjuangan bangsa tentu memperkuat kondisi aleanatif.
Institusi kepolisian kehilangan orientasi (disorientiasi) atas kemanusiaan itu
sendiri. Disini, lebih dari 30 tahun epistemologi kepolisian mengalami
disorientasi.
Apa soal terhadap Harsya dengan mengusung Parsonian
itu? Tentu saja tidak soal sejauh sebagai scholar
‘menenggang’ alternatif pendekatan/paradigma lain, semisal Madzhab Frankfurt
yang tergelar pada dekade yang sama tahun 80-an. Disini menarik elaborasi
Harsya tentang scholar yang membedakannya dengan scientist[18]. Dalam sebuah diskusi
kecil, scholar yang cara kerjanya di
belakang meja lebih leluasa memilih paradigma ketimbang scientist. Bahkan seorang scholar akan
cenderung bermain-main dengan (analisis) perbandingan paradigmatik untuk
menjawab kebutuhan ‘kontekstualisasi’
teori. Namun, tentu alpa-nya pendekatan
Madzhab Frankfurt tidak bisa secara serta merta dialamatkan kepada Harsya dan
kawan-kawan yang sedang dalam posisi bulan madu dengan rezim penguasa. Soalnya
sederhana: Madzhab Frankfurt sendiri tidak mendapat simpati rezim penguasa.
Pepatah Afrika mengatakan ‘seekor antelop yang waras tak akan memelihara anak
singa’. Ini berarti, sekali lagi, Ilmu Kepolisian lahir dan tumbuh
tanpa hempasan pertarungan epistemologi kiri vs. kanan sebagaiana Sosiologi,
Ekonomi dan pada umumnya ilmu sosial.
Teori
sistem membantu rezim Orde Baru memberi pengantar rancang bangun tentang bagaimana sistem sosial
dikonstruksikan. Tentu saja ini sekaligus menutup peluang diterimanya teori Madzhab Frankfurt yang berhaluan kiri di
kalangan umum dan pemerintahan. Ilmuwan sosial
berpendekatan kiri (marxian maupun neo-marxian) tidak mendapatkan ruang gerak.
Hanya ada Arif Budiman, inipun masih malu-malu. Kemudian disusul Adi Sasono
yang mempopulerkan teori dependensia, sayangnya ia berlatar belakang teknik
sipil.
Isu pertarungan ‘epistemologi ilmu Barat’ yang
direstui kapitalisme versus
‘epistemologi ilmu Timur’ yang diilhami marxian, pada dasawarsa 1908-an pada dasarnya berangkat dari gagasan sentral kontekstualisasi ilmu[19] (khusunya ilmu sosial), yaitu
pada kebutuhan aksiologi : kebutuhan aplikabilitas ilmu-ilmu yang lahir di
Barat ketika ‘memasuki’ konteks kultur dan struktur lokal. Misalnya kemudian
dikenal konstruksi “Sosiololgi Islam”. Cabang sosilogi ini lahir karena Sosiologi
mainstreim dipandang tidak mampu (bias) dalam menjelaskan Islam/Indonesia.
Begitu pula dengan bidang ilmu Psikologi yang juga melahirkan Psikologi Islam.
Ilmu Kepolisian yang dikonstruksi pada dasawarsa ini sulit dilepaskan dari
kontestasi semacacm itu. Kuntowijoyo, sejarawan kelahiran Bantul jebolan
Universitas Colombia, Amerika Serikat
(1980) dengan disertasi Social Change in
an Agrarian Society: Madura 1850-1940 memberikan warna
tersendiri bagi kontekstualisasi ilmu sosial di Indonesia. Dalam bukunya, Paradigma
Islam: Interpretasi untuk Aksi yang
secara terlambat diterbitkan, tahun 1991, mendapat apresiasi banyak
kalangan dalam ikhwal membangun konteksualisasi ilmu sosial ala Indonesia. Kekokohan
bangunan ontologi, epistemololgi, dan aksiologi jauh lebih kuat dibandindingkan upaya
kontektualisasi ilmu yang pernah ada di Indonesia.
Mereka, cendikiawan dan intelektual yang tidak
‘dikonfirmasi’ oleh Rezim Orde Baru menggelandang di luar sistem. Menyuarakan
gagasan secara sunyi, paling tidak hanya di ruang-ruang publik sangat terbatas.
Epilog:
Alat Ukur Kebenaran
Tentu saja alat takar keabsyahan
sebuah ilmu tidaklah bisa dialamatkan pada semata-mata kekuatan sosiologisnya, atau pada
semata-mata konstruksi kebenaran yang bersifat korespondensi. Namun dimensi sosiologik menjadi sangat
penting dibaca dalam dua kerangka. Pertama,
bahwa ranah sosiologis tumbuh-kembangnya
sebuah bidang ilmu harus menjadi
perhatian serius kalangan pengelola institusi pendidikan. Poin ini menyangkut
sebuah iklim sosial egaliter yang secara
subtantif memberi peluang bagi kontestasi gagasan dan segala instrumen etis
akademik. Kedua, kerangka sosiologis part
pro toto adalah sebuah kebutuhan untuk meneggang atau sensitif terhadap konstruksi bidang ilmu yang terjadi
‘di luar sana’, karena akhirnya produk ilmu haruslah tunduk pada hukum-hukum
universal. Ini sekedar untuk menarik garis batas antara ilmu pengetahuan dengan
ajaran (wejangan moral) atau ideologi. Kontekstualisasi atau ‘pribumisasi’
bidang ilmu pada akhirnya harus bisa dipertanggungjawabkan secara koheren yang
mengakui universalitas. Ini sebuah pertanggungjawaban akademik, kalau tidak
justru hanya membangun jargon-jargon tentang ilmu.
Alat takar yang koheren untuk mengukur keabsyahan hadirnya
sebuah ilmu adalah melalui instrumen-instrumen eksklusiv yang cenderung teknis.Instrumen teknis sebagai alat
periksa keabsyahan ilmu yang meliputi ontologi, epistemologi, dan aksiologi itu
bukanlah elemen yang tidak membutuhkan wadah berupa lembaga (institusi).
Disinilah persoalannya, wadah institusi
yang mengantongi instrumen pengabsyaah ilmu itu bukan tidak kedap
terhadap dimensi kekuatan sosial.
Sekedar ilustrasi yang paralel dengan
persoalan ini adalah pada logika hubungan antara agama dengan moral. Moral
adalah fenomena universal, sementara agama adalah fenomena entitas sosial. Karena sifat keuniversalannya itu moral tidak dapat dilembagakan, sementara agama
karena sifat kelokalanya bisa dilembagakan. Islam, Kristen, Hindu, Yahudi
adalah sebuah nama agama yang secara sosiologis hampir tidak mungkin keluar
dari kerangkeng institusi. Ketika Tuhan berfirman maka bahasa Tuhan “disaring”
oleh pranata sosial. Saringan itu
bersifat sosial tentu saja tidak steril dari kekuatan sosial yang
membelitnya. Absyah mempertanyakan, “apakah maksud kalam Tuhan secara subtantif
memang dapat ditangkap secara koheren
melalui institusi sosial yang mewakilinya?“ Dengan demikian, agama adalah
sistem pemikiran (dan peribadatan)
yang mudah berjalin-kelindan
dengan kultur; sementara moral sekali lagi universal.
Sehingga cara menilai ‘kebenaran’ agama dilihat dari cara-cara moral dijalankan
oleh pemeluknya dan tentu subtansi ajaran yang mengatur antar manusia yang
dikandung dalam kitabnya. Secara simplistik
moral menjadi alat takar yang koheren terhadap kebenaran keberagamaan.
Singkatnya, jika ada agama yang berseberangan dengan ukuran instrumen moral
maka agama itu dipandang sebagai palsu.
Sehingga, sekali lagi, ilustrasi
hubungan rumit agama dengan moral menjadi sebuah pengantar gamblang bahwa “kiprah” lembaga (institusi) ini tidak steril dari
dunia kekuatan sosial. Kekuatan-kekuatan
sosial dalam konteks ini bisa menelikung kebenaran yang bersifat koheren.
“Kebenaran” akhirnya harus diberi tanda apostrop karena kehadirannya sebagai
sebuah pertarungan kekuatan sosial
yang bisa saja lepas dari koherensi. “Kebenaran”
pada akhirnya adalah persoalan kuat-kuatan, tentang siapa; mendefinisikan apa;
mendapat apa. Mudah-mudahan ini hanya keprihatinan Penulis, bahwa sistem sosial
hari ini mendekati seperti era yang terjadi sekitar dua ribut tahun yang lalu
pada masa sophis.
Daftar Pustaka
Bachtiar,
Harsya H.1994.Ilmu Kepolisian: Suatu
Cabang Pengetahuan yang Baru,
Penerbit PT. Grasindo, Jakarta.
Bailey,
William G. (edt.).2005. Ensiklopedia Ilmu
Kepolisian, terj. Angkatan VII
KIK
UI, Penerbit YPKIK, Jakarta.
Berger,
Peter & Thomas Luckmann.1991.The Social Construction of Reality: A
Treatise in Sociology of Knowledge, Pinguin Books,
London.
Berger,
Peter L.1985. Humanisme Sosiologi,
terj. Daniel Dhakidae, PT. Inti Sarana
Aksara, Jakarta.
Fromm,
Erich.1995. Masyarakat Yang Sehat,
terj. Thomas Bambang Murtiannto,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Habermas,
Jurgen.2004. Krisis Legitimasi, terj.
Yudi Santoso, Penerbit Qolam,
Yogyakarta.
Hull,
David L.1988.Science as a Process: an
Evolutionary Account of The Social
and Conceptual Development of Science, University Of
Chicago Press,
Chicago.
Gibbons,
Michael T (edt.).1987.Tafsir Politik:
Telaah Hermenetis Wacana Sosial-
Politik Kontemporer, Penerbit Qolam,
Yogyakarta.
Greene,
Jack R (edt.).2007.The Encyclopedia of
Police Science Volume 1,
Routledge, New York.
Ian
Craib & Ted Benton.2001.Phylosophy of
Social Science, Palgrave, New York.
Ismail, Chaerudin, Ilmu Kepolisian di Indonesia dan
Perkembangannya, Makalah
Seminar
24
September 2014.
Kunarto.1997. Tribrata Catur Prasetya, Sejarah dan Prospeknya, PT. Cipta
Manunggal, Jakarta.
Sastraprateja
M. Et all. (red.).1986. Menguak
Mitos-Mitos Pembangunan, PT.
Gramedia, Jakarta.
Sidharta, Arief B.Ilmu Kepolisian dalam Perspektif Filsafat,
Makalah Seminar 24
September 2014.
Soedjatmiko.1986.Dimensi Manusia Dalam Pembangunan,
LP3ES, Jakarta.
Suparlan, Parsudi.2004. Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia,
YPKIK, Jakarta.
Suparlan, Parsudi.2008. Ilmu Kepolisian,YPKPK, Jakarta.
Wignjosoebroto,
Soetandyo.2013. Pergeseran Paradigma
dalam Kajian-Kajian
Sosial dan Hukum, Setara Press,
Malang.
[1] . Arief Sidharta,
Ilmu Kepolisian dalam Perspektif Filsafat,
Makalah Seminar Sekolah Angkatan Ke-63, September 2014.
[3] . Periksa,
misalnya, Immanuel Wallerstein: 1997;26.
[4] . Resonansinya di
Indonesia terasa pada dasawarsa 80-a. Nama-nama pengusung wacana semacam ini,
misalnya Sritua Arief, Arief Budiman, Adi Sasono, Dawam Rahardjo, dan Didik
Rachbini.
[5] . Betapapun perkembangan ilmu
pengetahuan itu cenderung ke arah “penyatuan” (wacana tentang multi atau inter
disiplin), namun yang harus disadari tetap ada batas-batas disiplin yang justru
semakin meruncing. Penemuan-penemuan ilmiah, baik dalam ilmu alam maupun ilmu
sosial, sepanjang sejarah selalu merupakan konsekwensi dari
ketajaman fokus, bukan ‘penyatuan’. “Spesialisasi”, bukan “generalisasi”! Kerendahatian terhadap
ruang lingkup disiplin merupakan etika akademik yang harus dihargai.
[6] . Berkaca pada
sistem sosial aufklarung abad 17 dan
‘era Socrates’ (5 abad sebelum masehi) adalah sebuah ranah sosiologis yang
sehat bagi perkembangan ilmu pengetahuan; tidak ada otoritas yang mendominasi
‘kebenaran’ karena peletakkan pada kekuatan koherensi.
[7] . Makalah pada
Seminar “Pengembangan Ilmu Kepolisian dan
Implementasinya dalam Meningkatkan Kompetensi Sumber Daya Manusia Polri Menuju
Strive for Excelence”, 24 September 2014.
[8] . Sekedar catatan
bahwa tidak sama persis antara ‘filsafat ilmu’ dengan ‘epistemologi’, tatapi
dalam konteks yang terbatas ini, tulisan ini mengabaikan perbedaan mendasarnya.
[10] . Chaeruddin
Ismail, Ilmu Kepolisian dan
Perkembangannya di Indonesia, Naskah Kuliah Mahasiswa STIK-PTIK Angkatan
65, halm.8.
[11] . Sutan Gersjac
Harsya Wardhana Bachtiar meninggal dunia 18 Desember 1995 pada usia 61 tahun.
[12] . Tentu saja,
Parsudi Suparlan menjadi bagian dari lingkaran ini. Meskipun karir akademiknya
berangakat dari peminatannya terhadap orang-orang terpinggirkan (tentang
gelandangan), namun karena menggunakan
pendekatan struktural fungsional, sejumlah tulisannya tidak pernah menjadi
“energi” insprirasi gerakan sosial maupun gerakan pemikiran. Bandingkan,
misalnya dengan Kuntowijoyo yang sama-sama dari Amerika (Colombia University).
Hemat Penulis (paling tidak kalangan mahasiswa sosiologi) gagasan Kuntowijoyo memberikan inspirasi pada
aras epistemologik pemikiran pribumisasi teori sosial di Indonesia pada awal
dasawarsa 90-an.
[13]
. Pada era yang sama
dalam wacana ekonomi (=ilmu ekonomi) “mazhab” Barkeley mendapat angin sejuk pada
era rezim ini.
[15] . Skali lagi, anak
bangsa profesi polisi yang menuntut ilmu administrasi tentu saja mempunyai
banyak peran dalam ranah rezim kekuasaan seperti Orde Baru itu. Awaloedin
Djamin, bukan karena mantu seorang menteri, tetapi memang momennya serba
relefan.
[16] . Telaah
kritis terhadap Pembangunan gaya Orde
Baru semacam ini, periksa, misalnya
Sastraprateja M. Et all. (red.).1986
[17] . Siluet binatang
bertelinga lebar bermakna ‘mau mendengarkan keluhan masyarakat’.
[18]. Scientist dalam
ebaborasi Harsya mengacu pada pengertian bahwa membangun pengetahuannya melalui
pengkajian (empirik) atau lapangan; sementara scholar membenguan pengetahuannya
dari bahan-bahan tertulis (Harsya Bachtiar:1997; 11).
[19] . Dalam
artikulasi yang berbeda acapkali disebut ‘pribumisasi ilmu sosial’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar