Jumat, 19 Juni 2015

Menakar Ilmu Kepolisian


Menakar Ilmu Kepolisian

(Sebuah Penelusuran Sosiologik)


Most police agencies do not see science

as critical to their everyday operations.

 Science is not an essential part of this police world.

(Hanak and Hofinger, 2005; Jaschke et al., 2007). 

(https://www.ncjrs.gov)


Selain Hull, adalah Immanuel Wallerstein yang  menegaskan bahwa konstruksi ilmu pengetahuan dapat dilacak dari kekuatan sosial yang mengitarinya. Koherensi bidang ilmu pengetahuan -- apalagi ilmu sosial --  tidak pernah ‘telanjang bulat’ sebagaimana ketelanjangan formula mati-matika. Maka dengan demikian sisi pragmatik akan lebih mendominasi aspek legitimasi sebuah ilmu. Padahal sisi pragmatik ini  memerlukan persandarannya pada rezim politik. Dengan berdiri di pundak Hull dan Wallerstein,  tulisan ini merupakan sebuah  pembacaan rancang bangun ilmu kepolisian di Indonesia didalam kontestasinya dengan rezim sosial- politik. 

Key Words: Epistemologi, Ilmu Kepolisian, Kekuatan Sosial (social force).

Prolog
Ide-ide ilmu pengetahuan sebagian besar dibentuk oleh pengaruh kekuatan sosial (social force) yang melingkupinya. Postulat semacam ini ekstrim, tetapi dapat ditemukan dalam literatur-literatur yang cukup otoritatif. Misalanya, dalam tulisan David Hull (1988), Rose (1976), dan Imanuel Wallernstein yang sempat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Lintas Batas Ilmu Sosial. Barangkali untuk sekedar membuat lebih moderat, formulasi proposisi ini (perlu) bergeser menjadi berikut : “ide-ide ilmu pengetahuan dipengeruhi kekuatan sosial, tetapi kemudian ilmu pengetahuan ini mempunyai logikanya cara kerja  sendiri”.  Istilah ‘cara kerja’ dalam konteks ini merupakan formulasi dari sebuah prosedur atau syarat yang dilalui. ‘Cara kerjanya sendiri’  mengacu pada koherensi metodologik.  Dengan demikian, syarat dari sebuah pengetahuan dan kumpulan gagasan atau pemikiran untuk bisa disebut sebagai ilmu bukan sekedar memenuhi dua kriteria, yaitu ktiretia metodologik dan kriteria nilai, tetapi masih perlu memasukan syarat sosiologik di dalamnya.  

Dalam persyaratan itu jangankan Ilmu Kepolisian, Ilmu Hukum pun yang usianya sudah ratusan tahun dalam dekade terakhir ini di Eropa Barat dibongkar kembali status keilmuannya. Kalau Ilmu Hukum dipandang eksis sejak ratusan tahun melalui Universitas Bologna, Italia (1088) yang memasukannya sebagai sebuah bidang ilmu[1], maka Ilmu Kepolisian (ala Indonesia) eksis melalui hadirnya PTIK pada tahun 1946 di Mertoyudan, Jawa Tengah. Antara ‘Bologna” dengan “Mertoyudan” mempunyai jarak waktu 858 tahun, atau sekitar 13 generasi. Yang perlu diberikan catatan, istilah “eksis” dalam kerangka ini adalah mengacu pada ‘legitimasi sosiologis’. Artinya, melalui konstruksi sosial-lah eksistensi ilmu itu dipandang hadir. Bedakan pengertian ‘legitimasi sosiologis’ ini  dengan posisinya dalam ‘kekuatan koherensi’. Kekuatan koherensi mengacu pada the truth in itself : kebenaran itu tanpa perlu definisi sosial sudah benar didalam dirinya.  Legitimasi sosiologis paling tidak mengandung dua dimensi, pertama adanya komunitas yang menekuni ilmu itu; dan,  kedua, menyangkut nilai guna (utility/pragmaic) ilmu itu sendiri. Sementara kebenaran koherensi tidak membutuhkan dua hal itu meskipun tentu saja kedua  hal itu akan mengikutinya.

 Alih-alih, dalam pergumulan epistemologik bukan pula hanya Ilmu Hukum yang mendapat serangan balik, tetapi termasuk di dalamnya Sosiologi (khususnya  Sosiologi Mazdab Kiri) dan Ekonomi Neo-Klasik. Filsuf Hungaria Imre Lakatos[2] menempati posisi penting dalam pembongkaran itu. Lakatos bahkan mengkategorikan Pseudosains atas beberapa (cabang) “ilmu”, misanya  Psychoanalisys Freud, Marxisme (khususnya marxismen abad 20), Psychiatry, Biology Lysenko, Quantum mekanik Bohr, Astonomy Ptolemy.

Rekan-rekan Ilmu Hukum selayaknya berterimakasih  kepada pemrakarsa arus balik yang meragukan ilmu hukum sebagai ilmu.  Meminjam kerangka falsifikasi Popper, kehadiran oponen semacam ini akan mendewasakan ilmu hukum itu sendiri.  Falsifikasi Popper tentu tidak harus diletakkan sebagai senjata pamungkas bagi khasanah pengembangan bidang ilmu. Untuk kebutuhan koherensi sebuah bidang ilmu meskipun Falsifikasi Popper ini hadir sebagai koreksi terhadap konsep Verifikasi Rudolf Carnap (1922), namun tentu yang datang belakangan ini tidak selalu dapat menegasikan sepenuhnya dari yang lahir lebih dahulu. 

Gejala ‘arus balik’ ini  mengindikasikan adanya semacam kekuatan sosial baru (social force) yang mendongkel “epistemologi”  bidang-bidang  ilmu di atas. Ilustrasi lain juga terjadi dalam ilmu ekonomi. Istilah “ekonomi politik” sebagai sebuah cabang dari  ilmu ekonomi yang populer  sejak abad delapanbelas dihapus pada paruh kedua abad sembilanbelas  setelah pemberlakuan teori ekonomi liberal. Mengapa?  Bagi liberalisme, paling tidak liberalisme ala paruh kedua abad sembilanbelas,   istilah “politik” perlu dilucuti dari “(ilmu) ekonomi”, alasannya perilaku ekonomi lebih merupakan cermin dari psikologi, bukan politik [3]. Kemudian pada dasawarsa tahun 70-an “ekonomi politik” bangkit lagi dari kuburnya setelah mendapat energi epistemologi dari  Sosiologi Madzhab Frankfurt[4]. 


Adanya arus balik merupakan indikasi bekerjanya di ranah  sosiologis atas pendakuan eksistensi bidang ilmu.  Pendewasaan ranah sosiologis bagi tumbuh-kembang bidang ilmu secara otomatis dalam kerangka semacam ini memberi kekuatan koherensi sebuah bidang ilmu itu sendiri. Dengan demikian  hubungan antara dimensi sosiologis dengan tingkat koherensi sebuah ilmu berbanding lurus-linier. Kematangan koherensi  bidang  ilmu membutuhkan ranah sosiologis bagi tumbuhnya ruang diskusi yang segar dan terbuka.

Kesehatan Ranah Sosiologis.  Kesehatan ranah sosiologis selain menjamin kebebasan akademik, adalah mempersyaratkan kelugasan hubungan otoritas keilmuan dengan kekuatan koherensi. Bahwa prinsipnya otoritas keilmuan bukan pada gelar akademik tetapi pada kekuatan logika-koherensi atas rancang bangun setiap proses keilmuan.  Proposisi semacam ini agaknya sulit difahami dalam sistem feodalistik yang terlanjur  kokoh. Yang dimaksud,  bahwa (justru) karena  karakter ilmu itu ‘terbuka’ maka tidak lagi bisa dibenarkan membangun barikade-barikade yang memungkinkan ‘menutup’ pembongkaran ulang setiap gagasan dalam proses keilmuan hanya, misalnya, karena seorang profesor yang mensabdakan. Sosiolog Amerika Peter L. Berger mengintrodusir nilai-nilai yang sangat prinsip perlu dipegangi bagi komunitas akademik.  Prinsip nilai itu adalah “kerendahatian terhadap fakta dan realitas”. Diantara operasionalisasi prinsip nilai Berger kedalam organisasi adalah pengembangan  rumpun akademisi menurut disiplin dan peminatan[5].  

 Pengembangan nilai semacam ini (yang demokratis dan egaliter) penting diletakkan sebagai ‘warning’ dalam  konteks dan prospek Ilmu Kepolisian di Indonesia, karena justru  ia lahir pada ranah sosio-kultur (organisasi) polisi yang tentu saja herarkhis. Tumbuhkembang  Ilmu Kepolisian  di Indonesia akan menghadapi persoalan ketika sistem dan tata kerja organisasi kepolisian dicangkokan secara kaku ke dalam  tata kelola dan sistem administratif dan menejemen  akademik.   

  Di dalam ranah sosiologis yang sehat, gelar (jenjang) akademik cukup diletakkan sebagai  otoritas administratif, bukan pada otoritas koherensi atau otoritas pendefinisi realitas. Relasi dua arah antara otoritas administratif dengan kekuatan koherensi  acapkali kacau-balau. Ketika ranah sosiologik  rusak, akan segera diikuti pembusukan pada sistem akademik. Kerusakan ranah sosiologik bisa dilacak pada sejumlah indikasi:  pertama, permisiv atas plagiarisme; kedua,  tertutupnya ruang wacana dan tiadanya kebebasan akademik. Ketiga, konsekwensi atas dua hal itu,  terbuka peluang perselingkuhan antara (perolehan) gelar akademik dengan kekuasaan dan ekonomi. Pada tingkat lanjut, kondisi ini akan mengembalikan sistem pengetahuan sebagaimana terjadi pada abad kegelapan.[6]

Pada era kegelapan itu gelar (tepatnya: gelar kebangsawanan) mempunyai otoritas memproduksi  definisi atas realitas (pengetahuan). Di Indonesia pernah ada kegerahan di kalangan cendikiawan,  utamanya pada dasawarsa 90-an terhadap gejala yang disebutnya sebagai Feodalisme Baru. Dalam Feodalisme Baru ini  gelar akademik mempunyai prestise menggeser sistem sosial  yang sekian abad dikendalikan gelar askriptif.  Prestise gelar akademik (Doktor atau Profesor)  pada batas-batas administratrif tentu bukan persoalan, namun akan menjadi bencana bagi dunia ilmu pengetahuan dan kemanusiaan ketika gelar semacam ini ‘dialihfungsikan’ untuk mengendalikan alat definisi atas realitas, sehingga membunuh ‘mesin sosiologis’ yang subtantif bagi hadirnya kebenaran yang bersifat koheren. Kondisi semacam ini yang menjadi kekhawatiran, utamanya kalangan Madzhab Sosiologi Frankfurt, seperti Antonio Gramsci (tentang hegemoni) dan Wright Mills.

Ilmu Kepolisian dalam Kontestasi Sosial-Politik Era Orde Baru

Sebagaimana sekilas disinggung di atas, sekedar melacak legitimasi sosiologis, Ilmu Kepolisian tentu mempunyai eksistensi cukup kokoh.  Misalnya, jika klik di google search  tentang police science akan tersaji puluhan artikel perihal ilmu kepolisian. Puluhan artikel  ini bisa memberi indikasi sosiologis bahwa secara minimal ia diakui sebagai sebuah ilmu. Konstruksi Ilmu Kepolisian ala Indonesia dapat dirujuk Arief Sidharta dan Chaeruddin Ismail[7] yang berpendapat bahwa PTIK merupakan address bagi kelahiran  ilmu kepolisian. Addressing semacam ini agaknya mengganggu derajat universalitas (generalitas) ilmu jika alpa  memberikan catatan khusus. Karena bukankah generalisaai menempati posisi serius bagi pendewasaan bidang ilmu ?  Sejumlah fakta wacana googling tentang  police science menegaskan kekokohan  kehadiran ilmu kepolisian di ‘luar sana’, kemudian seberapa kuat konstruksi lokalitas (ala Indonesia) ini mempunyai koherensi ?  

Atau, persoalannya dapat dirumuskan: dimana letak PTIK dalam struktur gelombang besar wacana ilmu kepolisian itu ?  Yang menarik untuk dicermati dalam wacana yang bergerak terus ini adalah sisi koherensi perihal apa yang dimaksud “ilmu kepolisian”.   Sejauh penelusuran Penulis  hanya di Indonesia melalui PTIK lah yang paling kencang berwacana ilmu kepolisian dari sisi koherensi. Koheren,  maksudnya  menelusuri ilmu kepolisian dari sisi non-sosiologik (baca: aspek non-pragmatik), yaitu berusaha menemukan posisi ilmu kepolisian dalam konstruksi filsafat ilmu (ontologi, epistemologi, dan aksiologi)[8], tentu  termasuk didalamnya konstruksi metodologiknya.  Meminjam hipotesis Arief Sidharta[9], kondisi krisislah yang merangsang  lahirnya ‘paradigma baru’ semacam ini. “...perkembagan ilmu dan teknologi dalam berbagai bidang, telah memunculkan berbagai masalah dan krisis kemasyarakatan dan menyebabkan sejumlah ilmuwan dan filsuf memberikan perhatian khusus pada ilmu dari sisi kefilsafatan”.     

 Padahal, jika dicermati puluhan artikel di google search, yang dimaksud  “Ilmu Kepolisian” adalah perihal tata kelola (atau, sebutlah itu perihal administrasi): tentang bagaimana institusi kepolisian menjalankan tugasnya. Ambilah sebuah ensiklopedi yang dipandang mempunyai otoritas dalam ilmu kepolisian, misalnya  Jack R. Greene meng-editori  The Encyclopedy of Police Science terbit tahun 2007. Kitab  dengan 1.146 halaman atau setebal sekitar 30 centimeter yang  masih volume pertama ini   tidak jauh dari ikhwal tata kelola dan administrasi tentang bagaimana insitusi kepolisian menjalankan tugasnya. Begitu pula ensiklopedi Ilmu Kepolisian pertama yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia,  dieditori William G. Bailey  dan di-Kata Pengantari  Parsudi Suparlan, langgamnya tidak berbeda dengan  Jack R. Greene itu.  Di kedua kitab ini tidak ditemukan bagian yang membahas posisi ilmu kepolisian  dalam konstruksi yang koheren sebagaimana disebutkan di atas (ontologi, epistemologi, dan aksiologi). Bahkan, entry ‘police science’ pun tidak ditemukan didalam indexnya kecuali terma ini hanya dibahas sedikit saja pada bagian entry Criminology, apalagi  term seperti  ontologi, epistemologi, dan aksiologi.  

Jadi, sekali lagi dalam kontestasi wacana, dimana letak Ilmu Kepolisian ala Indonesia dalam struktur gelombang besar ilmu kepolisian itu ? Kalau dicoba melacak hipotesis melalui konteks sejarah fungsi kepolisian dalam hubungannya dengan konstruksi sosial politik di Indonesia, akan diperoleh kekhasan keluasan tugas dan fungsi kepolisian Indonesia. Keluasan tugas dan fungsi kepolisian yang diwarisi sejarah ini menjalar sedemikian rupa hingga memasuki era reformasi. Misalnya, kepolisian juga mengurusi (pengelolaan) pendidikan akademik, diluar ini masih ada pengelolaan terhadap rumah sakit. Pengelolaan pendidikan akademik (pendidikan yang memberikan gelar akademik) oleh institusi kepolisian adalah fenomena yang tidak umum. Polisi sebagai institusi dalam kerangka ini bukan lagi sekedar mengurusi kejahatan, tetapi perihal asal-usul kondisi yang memproduksi kejahatan. Klausul perihal asal-usul kondisi yang memproduksi kejahatan  ini bergerak sedemikian rupa dalam penerapan tata kelola organisasi  menuju hulu. Tidak lagi pernah tahu batasannya tentang apa yang dimaksud “hulu”.

Konstelasi ‘administratif’ semacam ini berpengaruh terhadap perumusan Ilmu Kepolisian. Sehingga proses kelahiran dan pertumbuhan Ilmu Kepolisian sangat berbeda dengan kelahiran  ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Jika kelahiran  ilmu-ilmu sosial pada umumnya harus bergelut dengan dua arus main stream yang saling bertubrukan: antara pengaruh epistemologi “kiri’ dengan epistemologi “kanan”, maka ilmu kepolisian (di Indonesia) melenggang tanpa pergulatan semacam itu. Sosiologi dan Ilmu Ekonomi (juga Ilmu Hukum) jatuh bangun melalui pertarungan gagasan epistemologi kiri dengan epistemologi kanan, dan rezim sosial politik tidak pernah menjadi wasit  yang netral atas pilihan epistemologi ini. 

Rancang Bangun Ilmu Kepolisian. Rancang bangun Ilmu Kepolisian Indonesia lahir dari rahim Rezim Orde Baru. Dan, pasca Orde Baru oponen atas rancang bangun Ilmu Kepolisian itu nihil, sekali lagi tidak pernah ada serangan sebagaimana ilmu sosial pada umumnya.  Barangkali kalau lagi-lagi menggunakan kerangka falsifikasi Popper, laju perkembangan ilmu kepolisian yang tanpa oponen justru akan menghadapi persoalan pada sisi koherensi. Setting  sosialah yang menjadi faktor kekeringan diskusi dalam pengertian sepinya dialektika gagasan. Karena ilmu ini tumbuh di ranah masyarakat kepolisian. Dalam  kerangka ini  Chaeruddin Ismail dalam sebuah buku ajar menulis,

Di Indonesia, perkembangan Ilmu Kepolisian berjalan lambat, karena ilmu kepolisian hanya diajarkan dan dikembangkan di perguruan kedinasan Polri yakni PTIK”[10].


Jenis masyarakat semacam ini –paling tidak hingga saat ini– bukanlah  ranah yang subur bagi hadirnya wacana ilmiah yang membutuhkan suasana hadirnya diskusi dan perbedaan (kalau tidak benturan). Penilaian Chaeruddin itu tidak berbeda dengan Faroek Muhamad (2004:56),

“...ilmu kepolsian diajarkan pada lembaga pendidikan kepolisian (PTIK). Selama puluhan tahun ilmu kepolisian merupakan ilmu yang tertutup bagi umum dan bahkan hampir tidak ada keterkaitan kurikulum  antara lembaga pendidikan yang satu dengan yang lain.”


Penilaian lugas dua tokoh kepolisian yang praktisi sekaligus akademisi ini tentu dialamatkan kepada sisi koherensi Ilmu Kepolisian setelah pendahulunya (Harsya Bachtiar dan Parsudi Suparlan) meletakkan tonggak ‘paradigmatik’. Sosiolog penganut Parsonian,  Harsya  Bachtiar,  dan  antropolog  yang semula menekuni masalah gelandangan dan kemiskinan, Parsudi Suparlan,   menempati posisi yang tak pernah tergantikan sepanjang sejarah wacana ilmu kepolisian di Indonesia.  Dua orang ini layaknya seperti posisi  Plato dengan Aristoteles dalam belantara wacana filsafat, sehingga, upaya konstruksi–dekonstruksi–dan rekonstruksi  wacana  ilmu kepolisian yang muncul belakangan hanyalah catatan kaki dua nama penting itu.

Ada hubungan mutualisme antara kerangka pemikiran yang diusung Harsya Bachtiar[11] dengan sistem kekuasaan pada waktu itu (Rezim Orde Baru).[12] Pada pertengahan dekade 80-an, seingat Penulis yang pada waktu sedang menempuh S-1  Sosiologi menangkap  pengaruh kuat Talcot Parson atas Harsya Bachtiar yang mendominasi warna atas perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Wacana semi-eksklusif ini sangat santer di kalangan  mahasiswa sosiologi tetapi barangkali tidak bagi disiplin lain[13].  Pengaruh Parson -- juga berarti sekaligus posisi Harsya – merupakan peletak teori sistem di Indonesia: sebuah lokus dimana sistem kekuasaan Orde Baru menaruh jangkar untuk melabuhkan kekuasaannya.

Dalam artikulasi yang lugas, melalui Teori Sistem kiprah kekuasaan rezim Orde Baru mendapatkan legitimasi akademiknya. Teori Modernisasi atau disebut juga Teori Pembangunan meletakan preskripsi tata kelola sistem sosial dan sistem politik di Indonesia  dalam topangan kuat pendekatan teori sistem ini. Disini, pembangunan dilihat semata-mata dalam kerangka persoalan administrasi yang khas dalam pendekatan sistem[14]. Ketika harus menghadapi soal pemerataan, sesuatu yang menyangkut hak-hak ekonomi kaum marjinal, jawabannya justru tidak pernah terkonseptualisasi dalam kerangka sistem, tetapi pada dimensi kebijakan yang bersifat karitas. Misalnya, mengharap adanya tricle down effect. Harapan tricle down effect  justru akhirnya menjadi senjata boomerang bagi rezim Orde Baru karena tidak kunjung wujud hingga sampai klimaks frustrasi rakyat pada tahun 1998.

Betatapun demikian, perihal ‘administrasi’ menjadi terminologi penting pada era Orde Baru.[15] Ini menyerupai awal asal-usul munculnya administrasi (dipertahankan) sebagai ilmu, tidak lain adalah ilmu yang lahir dari semangat kapitalis dalam menata sumber daya. Etos (ilmu) Administrasi adalah bagaimana elemen-elemen produksi bekerja efektif menggerakan mesin kapitalisme. Tentu saja, postulat ini dipandang sebagai klausul  yang netral (=baik) oleh kalangan pendekatan sistem, tetapi menjadi  klausul yang mengerikan dari sisi pendekatan Marxian (dan Neo-Marxian) karena didalamnya dikandung penguatan sistem interaksi antar manusia yang bersifat hegemonik, kalau tidak dominatif dan eksploitatif. Soedjatmoko (1986 ;21) dalam artikulasi yang moderat menyatakan,

Pembangunan ekonomi akan membawa kita pada taraf perkembangan yang amat sukar, oleh sebab meruntuhkan kepastian-kepastian hidup yang lama dengan menghadapi keharusan untuk membentuk kepastian serta nilai yang baru”.  


 Pembangunan yang mencantolkan diri pada kapitalisme memperlakukan  manusia sebagaimana  alat-alat produksi  dalam  rangkaian ‘proses produksi’[16]. Logikanya, dalam proses produksi tenaga kerja manusia sejajar  dengan bahan baku, bensin, oli, mesin, dan lain-lain.  Terminologi “Pasar”  dalam logika kapitalisme mempunyai makna  imperatif sebagai ruang  kompetisi yang memaksa entitas produksi menerapkan prinsip-prinsip efisiensi. Disinilah sulit sekali mengabaikan tenaga kerja manusia untuk diperlakkukan sebagai elemen produksi layaknya barang. Konsep yang tepat untuk ini adalah bahwa manusia terasing dari dunia kerjanya sendiri (aleanasi). Ketika gagasan ini dilekatkan pada (institusi)  kepolisian maka tentu saja yang dimaksud Ilmu Kepolisian diorientasikan  pada penguatan efektifitas bekerjanya kekuasaan rezim. Term “bekerjanya kekuasaan rezim” ini dalam bahasa teknis merupakan pemaknaan peyoratif dari “Administrasi Kepolisian”.

Gagasan dasar perihal Bhayangkara sebagai ‘kredo’ kepolisian  mendapatkan artikulasi tafsir yang amat kokoh pada era Rezim Orde Baru ini. Bahwa eksistensi Bhayangkara adalah mesin Sang Prabu (Satyahaning Prabu) pada era Majapahit; pada rezim Orde Baru ia menjadi mesin yang namanya Pembangunan. Antara “Sang Prabu” dan “Pembangunan” secara sosiologik merujuk pada imaji yang sama, yaitu kekuasaan. Polisi amat gemar menggunakan simbol-simbol kegagahan yang menyerupai militer, seperti (kegagahan) singa dan harimau. Akan susah difahami simbol semacam ini bagi, misalnya kepolisian Jepang yang cenderung menggunakan simbol-simbol “yang menyelamatkan” seperti siluet binatang yang bertelinga lebar[17]. 

 Hampir satu dekade reformasi kalangan kepolisian mulai menyadari bahwa ada suatu yang janggal dalam ikhwal (pemaknaan) Bhayangkara, maka dirasa perlu tafsir baru. Sayangnya, dua pionir Ilmu Kepolisian Indonesia (Harsja dan Parsudi) agaknya tidak sempat menyentuh persoalan yang sangat mendasar di dalam rancang bangun Ilmu Kepolisian. Posisi kepolisisan dalam sejarah perjuangan bangsa tentu memperkuat kondisi aleanatif. Institusi kepolisian kehilangan orientasi (disorientiasi) atas kemanusiaan itu sendiri. Disini, lebih dari 30 tahun epistemologi kepolisian mengalami disorientasi.      

Apa soal terhadap Harsya dengan mengusung Parsonian itu? Tentu saja tidak soal sejauh sebagai scholar ‘menenggang’ alternatif pendekatan/paradigma lain, semisal Madzhab Frankfurt yang tergelar pada dekade yang sama tahun 80-an. Disini menarik elaborasi Harsya tentang scholar yang membedakannya dengan scientist[18]. Dalam sebuah diskusi kecil, scholar yang cara kerjanya di belakang meja  lebih leluasa memilih paradigma ketimbang scientist. Bahkan seorang scholar akan cenderung bermain-main dengan (analisis) perbandingan paradigmatik untuk menjawab kebutuhan  ‘kontekstualisasi’ teori.  Namun, tentu alpa-nya pendekatan Madzhab Frankfurt tidak bisa secara serta merta dialamatkan kepada Harsya dan kawan-kawan yang sedang dalam posisi bulan madu dengan rezim penguasa. Soalnya sederhana: Madzhab Frankfurt sendiri tidak mendapat simpati rezim penguasa. Pepatah Afrika mengatakan ‘seekor antelop yang waras tak akan memelihara anak singa’. Ini berarti,  sekali lagi, Ilmu Kepolisian lahir dan tumbuh tanpa hempasan pertarungan epistemologi kiri vs. kanan sebagaiana Sosiologi, Ekonomi dan pada umumnya ilmu sosial.

 Teori sistem membantu rezim Orde Baru memberi pengantar  rancang bangun tentang bagaimana sistem sosial dikonstruksikan. Tentu saja ini sekaligus menutup peluang diterimanya  teori Madzhab Frankfurt yang berhaluan kiri di kalangan umum dan pemerintahan. Ilmuwan sosial berpendekatan kiri (marxian maupun neo-marxian) tidak mendapatkan ruang gerak. Hanya ada Arif Budiman, inipun masih malu-malu. Kemudian disusul Adi Sasono yang mempopulerkan teori dependensia, sayangnya ia berlatar belakang teknik sipil.  

Isu pertarungan ‘epistemologi ilmu Barat’ yang direstui kapitalisme  versus ‘epistemologi ilmu Timur’ yang diilhami marxian, pada dasawarsa 1908-an  pada dasarnya berangkat dari gagasan sentral  kontekstualisasi ilmu[19] (khusunya ilmu sosial), yaitu pada kebutuhan aksiologi : kebutuhan aplikabilitas ilmu-ilmu yang lahir di Barat ketika ‘memasuki’ konteks kultur dan struktur lokal. Misalnya kemudian dikenal konstruksi “Sosiololgi Islam”. Cabang sosilogi ini lahir karena Sosiologi mainstreim dipandang tidak mampu (bias) dalam menjelaskan Islam/Indonesia. Begitu pula dengan bidang ilmu Psikologi yang juga melahirkan Psikologi Islam. Ilmu Kepolisian yang dikonstruksi pada dasawarsa ini sulit dilepaskan dari kontestasi semacacm itu. Kuntowijoyo, sejarawan kelahiran Bantul jebolan Universitas Colombia, Amerika Serikat (1980) dengan disertasi Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940 memberikan warna tersendiri bagi kontekstualisasi ilmu sosial di Indonesia. Dalam bukunya, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi  yang secara terlambat  diterbitkan,  tahun 1991, mendapat apresiasi banyak kalangan dalam ikhwal membangun konteksualisasi ilmu sosial ala Indonesia.  Kekokohan  bangunan ontologi, epistemololgi, dan aksiologi  jauh lebih kuat dibandindingkan upaya kontektualisasi ilmu yang pernah ada di Indonesia.  

    Mereka, cendikiawan dan intelektual yang tidak ‘dikonfirmasi’ oleh Rezim Orde Baru menggelandang di luar sistem. Menyuarakan gagasan secara sunyi, paling tidak hanya di ruang-ruang publik sangat terbatas.  


Epilog: Alat Ukur Kebenaran  

Tentu saja alat takar keabsyahan sebuah ilmu tidaklah bisa dialamatkan pada  semata-mata kekuatan sosiologisnya, atau pada semata-mata konstruksi kebenaran yang bersifat korespondensi.  Namun dimensi sosiologik menjadi sangat penting dibaca dalam dua kerangka. Pertama, bahwa ranah sosiologis tumbuh-kembangnya  sebuah bidang ilmu  harus menjadi perhatian serius kalangan pengelola institusi pendidikan. Poin ini menyangkut sebuah iklim sosial egaliter  yang secara subtantif memberi peluang bagi kontestasi gagasan dan segala instrumen etis akademik.     Kedua, kerangka sosiologis part pro toto adalah sebuah kebutuhan untuk  meneggang atau sensitif  terhadap konstruksi bidang ilmu yang terjadi ‘di luar sana’, karena akhirnya produk ilmu haruslah tunduk pada hukum-hukum universal. Ini sekedar untuk menarik garis batas antara ilmu pengetahuan dengan ajaran (wejangan moral) atau ideologi. Kontekstualisasi atau ‘pribumisasi’ bidang ilmu pada akhirnya harus bisa dipertanggungjawabkan secara koheren yang mengakui universalitas. Ini sebuah pertanggungjawaban akademik, kalau tidak justru hanya membangun jargon-jargon tentang ilmu.

      Alat takar yang  koheren untuk mengukur keabsyahan hadirnya sebuah ilmu adalah melalui instrumen-instrumen eksklusiv yang  cenderung teknis.Instrumen teknis sebagai alat periksa keabsyahan ilmu yang meliputi ontologi, epistemologi, dan aksiologi itu bukanlah elemen yang tidak membutuhkan wadah berupa lembaga (institusi). Disinilah persoalannya,  wadah institusi yang mengantongi instrumen   pengabsyaah ilmu itu bukan tidak kedap terhadap dimensi kekuatan sosial.

Sekedar ilustrasi yang paralel dengan persoalan ini  adalah pada  logika hubungan antara agama dengan moral. Moral adalah fenomena universal, sementara agama adalah fenomena entitas sosial.  Karena sifat keuniversalannya itu  moral  tidak dapat dilembagakan, sementara agama karena sifat kelokalanya bisa dilembagakan. Islam, Kristen, Hindu, Yahudi adalah sebuah nama agama yang secara sosiologis hampir tidak mungkin keluar dari kerangkeng institusi. Ketika Tuhan berfirman maka bahasa Tuhan “disaring” oleh pranata sosial. Saringan itu  bersifat sosial tentu saja tidak steril dari kekuatan sosial yang membelitnya. Absyah mempertanyakan, “apakah maksud kalam Tuhan secara subtantif  memang dapat ditangkap secara koheren melalui institusi sosial yang mewakilinya?“ Dengan demikian, agama adalah sistem pemikiran (dan peribadatan)  yang  mudah berjalin-kelindan dengan  kultur;  sementara moral sekali lagi universal. Sehingga cara menilai ‘kebenaran’ agama dilihat dari cara-cara moral dijalankan oleh pemeluknya dan tentu subtansi ajaran yang mengatur antar manusia yang dikandung dalam kitabnya. Secara simplistik  moral menjadi alat takar yang koheren terhadap kebenaran keberagamaan. Singkatnya, jika ada agama yang berseberangan dengan ukuran instrumen moral maka agama itu  dipandang sebagai palsu.

Sehingga, sekali lagi, ilustrasi hubungan rumit agama dengan moral menjadi sebuah pengantar gamblang bahwa “kiprah”  lembaga (institusi) ini tidak steril dari dunia kekuatan sosial. Kekuatan-kekuatan  sosial dalam konteks ini bisa menelikung kebenaran yang bersifat koheren. “Kebenaran” akhirnya harus diberi tanda apostrop karena kehadirannya sebagai sebuah  pertarungan kekuatan sosial yang  bisa saja lepas dari koherensi. “Kebenaran” pada akhirnya adalah persoalan kuat-kuatan, tentang siapa; mendefinisikan apa; mendapat apa. Mudah-mudahan ini hanya keprihatinan Penulis, bahwa sistem sosial hari ini mendekati seperti era yang terjadi sekitar dua ribut tahun yang lalu pada masa sophis.        

                  

Daftar Pustaka

Bachtiar, Harsya H.1994.Ilmu Kepolisian: Suatu Cabang Pengetahuan yang Baru,

 Penerbit PT. Grasindo, Jakarta.


Bailey, William G. (edt.).2005. Ensiklopedia Ilmu Kepolisian, terj. Angkatan VII

 KIK UI, Penerbit YPKIK, Jakarta.


Berger, Peter  & Thomas Luckmann.1991.The Social Construction of Reality: A

 Treatise in Sociology of Knowledge, Pinguin Books, London.


Berger, Peter L.1985. Humanisme Sosiologi, terj. Daniel Dhakidae, PT. Inti Sarana

 Aksara, Jakarta.

                                                 

Fromm, Erich.1995. Masyarakat Yang Sehat, terj. Thomas Bambang Murtiannto,

 Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.


Habermas, Jurgen.2004. Krisis Legitimasi, terj. Yudi Santoso, Penerbit Qolam,

 Yogyakarta.


Hull, David L.1988.Science as a Process: an Evolutionary Account of The Social

 and Conceptual Development of Science, University Of Chicago Press,

 Chicago.


Gibbons, Michael T (edt.).1987.Tafsir Politik: Telaah Hermenetis Wacana Sosial-

            Politik Kontemporer, Penerbit Qolam, Yogyakarta.


Greene, Jack R (edt.).2007.The Encyclopedia of Police Science Volume 1,

 Routledge, New York.


Ian Craib & Ted Benton.2001.Phylosophy of Social Science, Palgrave, New York.


Ismail, Chaerudin, Ilmu Kepolisian di Indonesia dan Perkembangannya, Makalah

            Seminar 24 September 2014.


Kunarto.1997. Tribrata Catur Prasetya, Sejarah dan Prospeknya, PT. Cipta

 Manunggal,  Jakarta.


Sastraprateja M. Et all. (red.).1986. Menguak Mitos-Mitos Pembangunan, PT.

 Gramedia, Jakarta.


Sidharta, Arief B.Ilmu Kepolisian dalam Perspektif Filsafat, Makalah Seminar 24

 September 2014.


Soedjatmiko.1986.Dimensi Manusia Dalam Pembangunan, LP3ES, Jakarta.


Suparlan, Parsudi.2004. Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, YPKIK, Jakarta.


Suparlan, Parsudi.2008. Ilmu Kepolisian,YPKPK, Jakarta.


Wignjosoebroto, Soetandyo.2013. Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian

 Sosial dan Hukum, Setara Press, Malang.









[1] . Arief Sidharta, Ilmu Kepolisian dalam Perspektif Filsafat, Makalah Seminar Sekolah Angkatan Ke-63, September 2014.
[2] . Periksa, misalnya dalam  http://en.wikipedia.or/wiki/Imre_Lakatos.
[3] . Periksa, misalnya, Immanuel Wallerstein: 1997;26.
[4] . Resonansinya di Indonesia terasa pada dasawarsa 80-a. Nama-nama pengusung wacana semacam ini, misalnya Sritua Arief, Arief Budiman, Adi Sasono, Dawam Rahardjo, dan Didik Rachbini.
[5] . Betapapun perkembangan ilmu pengetahuan itu cenderung ke arah “penyatuan” (wacana tentang multi atau inter disiplin), namun yang harus disadari tetap ada batas-batas disiplin yang justru semakin meruncing. Penemuan-penemuan ilmiah, baik dalam ilmu alam maupun ilmu sosial,  sepanjang  sejarah selalu merupakan konsekwensi dari ketajaman fokus, bukan ‘penyatuan’. “Spesialisasi”,  bukan “generalisasi”! Kerendahatian terhadap ruang lingkup disiplin merupakan etika akademik yang harus dihargai.
[6] . Berkaca pada sistem sosial aufklarung abad 17 dan ‘era Socrates’ (5 abad sebelum masehi) adalah sebuah ranah sosiologis yang sehat bagi perkembangan ilmu pengetahuan; tidak ada otoritas yang mendominasi ‘kebenaran’ karena peletakkan pada kekuatan koherensi.
[7] . Makalah pada Seminar “Pengembangan Ilmu Kepolisian dan Implementasinya dalam Meningkatkan Kompetensi Sumber Daya Manusia Polri Menuju Strive for Excelence”, 24 September 2014.
[8] . Sekedar catatan bahwa tidak sama persis antara ‘filsafat ilmu’ dengan ‘epistemologi’, tatapi dalam konteks yang terbatas ini, tulisan ini mengabaikan perbedaan mendasarnya.
[9].  Makalah pada Seminar “Ilmu Kepolisian dalam Perspektif Filsafat”,  24 September 2014.
[10] . Chaeruddin Ismail, Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia, Naskah Kuliah Mahasiswa STIK-PTIK Angkatan 65, halm.8.
[11] . Sutan Gersjac Harsya Wardhana Bachtiar meninggal dunia 18 Desember 1995 pada usia 61 tahun.
[12] . Tentu saja, Parsudi Suparlan menjadi bagian dari lingkaran ini. Meskipun karir akademiknya berangakat dari peminatannya terhadap orang-orang terpinggirkan (tentang gelandangan), namun karena menggunakan  pendekatan struktural fungsional, sejumlah tulisannya tidak pernah menjadi “energi” insprirasi gerakan sosial maupun gerakan pemikiran. Bandingkan, misalnya dengan Kuntowijoyo yang sama-sama dari Amerika (Colombia University). Hemat Penulis (paling tidak kalangan mahasiswa sosiologi)  gagasan Kuntowijoyo memberikan inspirasi pada aras epistemologik pemikiran pribumisasi teori sosial di Indonesia pada awal dasawarsa 90-an.  
[13] . Pada era yang sama dalam wacana  ekonomi (=ilmu ekonomi)  “mazhab” Barkeley mendapat angin sejuk pada era rezim ini. 
[14] . Periksa, misalnya Sastraprateja M. Et all. (red.).1986.   
[15] . Skali lagi, anak bangsa profesi polisi yang menuntut ilmu administrasi tentu saja mempunyai banyak peran dalam ranah rezim kekuasaan seperti Orde Baru itu. Awaloedin Djamin, bukan karena mantu seorang menteri, tetapi memang momennya serba relefan.
[16] . Telaah kritis  terhadap Pembangunan gaya Orde Baru  semacam ini, periksa, misalnya Sastraprateja M. Et all. (red.).1986
[17] . Siluet binatang bertelinga lebar bermakna ‘mau mendengarkan keluhan masyarakat’.
[18]. Scientist dalam ebaborasi Harsya mengacu pada pengertian bahwa membangun pengetahuannya melalui pengkajian (empirik) atau lapangan; sementara scholar membenguan pengetahuannya dari bahan-bahan tertulis (Harsya Bachtiar:1997; 11).
[19] . Dalam artikulasi yang berbeda acapkali disebut ‘pribumisasi ilmu sosial’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar