Bedah Buku
Muradi.2014. Politics and Governance in
Indonesia: The police in the era reformasi,
Routledge, London and New York
------------------------------------------------------------------------------------------
Sutrisno
Polri pasca pisah dengan TNI menjadi perhatian serius buku ini. Utamnya, tentu saja, menelusuri
ikhwal yang membelit ‘bekerjanya’
Polri: sebagaimana ditulis pada hal.3, ”...
to discuss how the process the Polri’s disassociation from the ABRI has been
working...” Profesionalisme dan
independensi Polri diletakkan sebagai sentra
penelusuran penulisan. Dua konsep ini –
meminjam cara weberian – merupakan orientasi
dalam mengkonstruksi ‘tipe ideal’, sehingga seluruh energi – termasuk
pertanyaan yang dibangun – pada dasarnya berputar-putar pada dua konsep
itu.
Mencari faktor profesionalisme dan independensi Polri
Bagaimana menyasar faktor yang dapat menjelasakan persoalan profesionalisme
dan independensi Polri ?
Hemat saya, cara penelusuran untuk menemukan faktor-faktor profesionalisme
(dan independensi) Polri yang dipakai Saudara
Muradi menggunakan langgam functional explanation [1].
Kalau merujuk pada raksasa ilmu sosial cara ini ketemu pada sosok Emile
Durkheim. Tentu saja, pentipologian eksplanasi (atau penelitian) semacm ini bersifat “longgar” saja. Tetapi, dalam acara Bedah Buku semacam
ini mendiskusikan tipologi eksplanasi
ini agaknya penting dalam kerangka “kesadaran”
perspektiv : bahwa realitas sosial itu
betapapun dilihat secara kuat dan komprehensif
tetap saja bersifat perspektival. Tipologi berpikir Durkheimian-functionan
explanation merupakan mainstream di bangku-bangku akademik. Tipologi diluar mainstreim, misalnya, model yang
dipakai mazdhab Frankfurt, ‘materialis’-marx,
hermetitika, dan yang ditawarkan kalangan posmodern (Derrida, Foucault,
Richard Rorty) hemat saya merupakan
tipologi minor.
Meskipun pendekatan struktural
fungsional juga mempunyai keragaman
namun pada prinsipnya, epistemologi yang dipakainya memandang realaitas sebagai
‘homeostatik’: masyarakat selalu
bergerak ke arah keseimbangan, keteraturan; masyarakat diikat oleh konsensus
bersama. Bagaimana memandang “persoalan”, yang ipso facto menjadi
perhatian penelitian ini ? (in case, konsen Sdr. Muradi pada
profesionalisme dan independensi Polri post pisahnya dari ABRI). “Persoalan” yang secara umum acapkali depahami sebagai kesenjangan das
sein dengan das solen, disini
dalam pendekatan Durkheimian, mendefinisikan sebagai: elemen-elemen tidak
memberikan kontribusi terhadap homeostatik/integrasi; elemen itu diprediksi
dalam keadaan disfungsi atau malfungsi.
Oleh karena itu kalau ada “persoalan” dalam
sebuah entitas sosial maka untuk menjawabnya harus dirunut pada elemen-elemen
sosial yang membangunya. Karena asumsinya elemen-elemen sosial yang lain itulah
yang memengeruhi hadirnya “persoalan”
(persoalan profesionalisme dan independensi Polri). Tetapi kemudian, mengapa
elemen yang lain itu rusak hingga mempengarhui profesionalisme Polri ? Jawabnya, karena elemen yang rusak itu
dipengaruhi elemen yang lainya yang rusak juga. Ya, mengapa elemen yang lainnya
itu rusak ? Jawabnya, ya, elemen yang rusak itu disebabkan oleh elemen lain
yang rusak juga. Begirtu
seterusnya. Ini watak penjelasan
‘homeostatik’ yang menggunakan analogi biologis. Istilah ‘elemen sosial’ tidak mempunyai
difinisi yang ketat. Sehingga yang dimaksud bisa institusi, bisa sistem, bisa lembaga,
bisa budaya, regulasi, dan lain-lain. Tetapi yang jelas istilah itu tidak
dialamatkan pada “kepentingan”, karena “kepentingan” adalah bahasa
materialisme-marxian. Jadi, perlu digarisbawahi, tidak ada kosa kata
‘kepantingan’ atau benturan ‘kepentingan’ sehingga tidak ada pula konsep-konsep
derivasinya yang meliputi ‘dominasi’, ‘hegemoni’, ‘eksploitasi’ dan seterusnya.
Kritisisme
dalam Fungsionalime Struktural
Tentu saja, bukan berarti
penjelasan struktural fungsional itu tidak bisa kritis dibandingkan
dengan pendekatan materialisme-marxian dan Madzhab Frankfurt. Konsep-konsep
seperti disfungsi dan malfungsi menjadi bentuk ‘kritisisme’ pendekatan yang
subtantif digunakan Sodara Muradi.
Bahkan belakangan ini dalam
perkembangan fungsionalisme muncul konsep-konsep yang lebih canggih,
misalnya, selain disfungsi dan malfungsi di atas, adalah ‘eufungsi’ dan
‘distruktur’. Dua konsep ini menelanjangi bahaya “integrasi” dalam masyarakat.[2]
Terus terang, saya yang berkecimpung dengan dunia sosiologi lebih dari 20 tahun
belum pernah membaca karya (artikel/makalah/tesis/disertasi) yang menggunakan
dua konsep ini. Mungkin, paralelisme dua konsep itu bisa diikuti melalui cara pembacaan yang
dilakukan oleh Frederick Hayek[3],
seorang pemikir ekonomi-politik liberal kelahiran Wina (1899 – 1992), tentang persoalan-persoalan kolektivisme. Konsep
‘integrasi’ dengan berbagai derivasinya ke dalam bahasa Indonesia, seperti:
‘kebersamaan’, ‘gotong royong’, ‘keseragaman’
dan lain-lain mendapat serangan.
Di sini, realitas tidak bisa dibaca secara linier. Misalnya, tentang
“independensi Polri”, hemat saya tidak bisa sepenuhnya dibaca menggunakan ‘cetak
biru’ preskripsi Trias Politika-nya Montesque. Dalam praksis, (alasan)
independensi digunakan sebuah institusi negara untuk ‘menutup’ diri dari
dialog-diskursiv ala Habermas.
Imperativ Kategorik vs. Hipotetikal Kategorik. Hubungan antara profesionalisme dengan independensi seperti dua sisi
dalam satu koin[4].
Proposisi semacam ini, meminjam langgam
berfikir Frederich Hayek, adalah cara menghubungkan dua konsep yang salah
kaprah. Karena, ‘profesionalisme’ adalah konsep undefinite, atau
imperativ kategorik ; sementara ‘independensi’ mempunai dimensi yang
komplek, ia bukan sekedar
konsep/variabel yang gradativ
(ordinal ?) tetapi didalamnya mengandung exception atau
hipotetikal kategorik.
Ada apa dengan konsep independensi ? Independensi institusi dalam demokrasi tidak
bisa sepenuhnya telanjang, maksudnya supaya tidak terjadi monopoli tafsir atas
realitas. Karena bukankan adab demokrasi itu realitas ditafsir secara bersama! Dalam kerangka ini amatlah perlu struktur yang mengkordinasikan antar
elemen/institusi, sebagaimana diisyaraatkan Ralf Dahrendorf dengan ICA nya: imperatif coordination
association. Maka, hemat saya, pembacaan Trias Politika yang
menyemangati independensi Polri tidak
bisa menanggalkan ICA nya Dahrendorf.
Kembali ke cara pendekatan klasik di atas. Meminjam Durkheim, ‘fakta
sosial harus dijelaskan dengan fakta sosial lainnya’. Proposisi ini menjadi
formula: kerusakan suatu elemen penyelenggara
negera harus dijelaskan melalui elemen-elemen lain. Elemen-elemen sosial itu
begitu luas, bisa berada di luar dirinya atau di dalam dirinya, sebagaimana
komentar Guy Rocher[5]
terhadap Talcot Parson yang Durkheimian
itu, bahwa sistem itu ibarat a set
of chinese boxes, didalam kotak masih ada kotak lagi, dan lagi, dan lagi. Jadi, cara
ini dipakai oleh Muradi : profesionalisme Polri (dan independensi) dilacak
pada dua faktor besar (pada halaman 2 disebutnya sebagai ‘major problem’).
Pertama, masalah eksternal, hubunganya Polri sengan TNI, pemerintah (lokal), illegal
income, prostitusi, judi, dan lain-lain. Kedua, masalah internal, meliputi
budaya institusi, finansial, kepemimpinan, skill.
Polisi, Negara, dan Masyarakat Sipil
Hubungan antara profesionalisme dan indepensensi Polri dengan sejumlah faktor di atas bersifat
fungsional (function). Bedakan istilah function (fungsi) ini
dengan “faedah” dalam bahasa arab atau bahasa indonesia. Yang dimaksud dalam
istilah ini adalah orientasi metodologis bahwa ‘konsekwensi’, bukan penyebab,
dari sebuah fenomana empiris menjadi fokus perhatian analisisnya[6].
Tentu saja, yang mau dikatakan Saudara Muradi, profesionalisme Polri diletakan sebagai variabel yang akan
dijelaskan (variabel dependen). Hemat saya, sayang sekali tidak menimbang
faktor kekuatan infrastruktur sosial diluar state seperti organisasi masyarakat sipil (OMS).
Padahal, gerakan masyarakat sipil ini, khususnya melalui OMS cukup signifikan memberikan
warna merah hijau kuningnya terhadap institusi negara yang secara langsung
berurusan dengan (kebebasan) sipil. Hemat saya,
melalui Undang Undang Perss dan juga Undang Undang Kebebasan Informasi
Publik hubungan state dengan
masyarakat sipil berubah secara total
dari sebelumnya. Disini kiprah
OMS menjadi amat kuat oleh karena
itu perlu diperhitungkan sebagai variabel independen. Dalam transisi
demokrasi Polri mempunyai hubungan
‘spesial’ dengan (gerakan) masyarakat sipil, karana gerakan masyarakat sipil
ini dalam banyak dimensi secara langsung bersentuhan terhadap tugas-tugas
kepolisian. Ini hampir merupakan fenomena umum.
Tetapi, tentu saja pengabaian terhadap
kekuatan non-negara terhadap ‘cetak biru’ institusi negara --sebagaimana
dilakukan Muradi-- tidak akan mengurangi ketajaman analisisnya. Karena hal
semacam ini akhirnya adalah sebuah pilihan atas batasan ruang lingkup kancah
penelitian. Ketajaman dan kekuatan analisis tidak ada hubungan dengan keluasan
cakupan faktor yang akan dianalisis. Barangkali, kalau Saudara Muradi memasukan
(variabel) penjelas OMS terhadap
institusi kepolisian maka pendekatannya pun akan bergeser agak ke “kiri”, agak
marxian. Mengapa ? Penelusuran,
misalnya, sejak era Orde Baru terhadap
hubungan civil society dengan institusi negara, tidak bisa sekedar
menjelaskan bahwa lemahnya OMS, terus
titik. Tidak bisa titik disini, lemahnya kekuatan sipil (OMS) ini tidak
(pernah) given, tetapi ia memang dibuat lemah.
Namun, apakah pada era pasca pisahnya polisi dari TNI juga OMS ini dibuat lemah ? Struktur
relasi negara – masyarakat sipil sudah sedemikian bergeser sejak pasca
tahun 2000. Sejumlah undang undang, seperti UU Pers, UU Keterbukaan Informasi
Publik, dan lain-lain memperkuat posisi
OMS dihadapan negara. Disinilah signifikansinya, justru ketika OMS ini mempunyai posisi kuat dihadapan
negara maka perlu ia diperhitungkan dalam memberikan warna terhadap instrumen
negara. Pengertianya, analisis relasi negara versus
masyarakat sipil sudah tidak lagi relefan menggunakan konsep-konsep marx-
klasik seperti dominasi, pengekangan, (bahkan hegemoni), apalagi eksploitasi,
meskipun dimensi konsep ini sesekali ada. ‘Sumber daya kekuasaan’dalam dimensi regulatif
antara state (baca: kepolisian)
dengan CSO cenderung mendekati keseimbangan sehingga konsep-konsep dominasi dan
pengekangan tidak lagi bisa dipakai. Identifikasi terhadap kekuatan masyarakat
sipil (OMS) tidk pula relefan ditelusuri dari interfnsi negara (atau dalam hal
ini polisi). Tetapi lebih “murni” menyangkut persoalannya sendiri, seperti
kondisi burgerlich-nya.
Democratic Policing
Sebagai sebuah konsep, democratic policing bukanlah ‘barang jadi’
yang mudah difahami di kalangan kepolisian. Alih-alih, jangankan di kalangan
kepolisian yang acapkali memahami banyak
hal mkelalui instruksi, di lingkungan akademisi dan penekun ikhwal
kepolisian sendiri konsep ini tidak
‘duduk’ benar. Barang ini mamang tidak mudah difahami! Dibawah ini
ilustrasi simpang siur konsep ini dalam
sebuah diskusi. [7]
Sebuah
Forum Group Discussion hasil penelitian bertajuk
“Seminar Hasil Penelitian Kompolnas di Tiga Polda (Polda Sumut, Jateng, dan
Kaltim) Tentang Penerapan Pemolisian Demokratis”, 2 November 2008 di Hotel
Aryadhuta meletakkan istilah “pemolisian
demokratis” dalam judul seminar menjadi
materi diskusi yang menyita waktu hampir separuh sepanjang diskusi. Judul
penelitian sebagaimana terpampang pada spanduk seminar bukan sekedar istilah
baru dalam khasanah kepolisian, oleh
beberapa peserta istilah ‘pemolisian demokratis’ dipandang sebagai telah lepas
dari konteks. Padahal
penelitian ini diawaki oleh sejumlah mantan pejabat Polri.
Bachtiar
Ali dan Sarlito Wirawan yang kerap dipakai sebagai “think thank” Kapolri
berkeberatan dengan penggunaan istilah itu. Alasannya istilah ‘Polisi
demokratis’ tidak dikenal dalam Undang-Undang
no. 2 Tahun 2002. Bagi Bachtiar Ali, polisi tidak dirancang untuk
berdemokrasi dalam tugasnya, ia adalah penegak hukum. Baginya,
tidak ada diskusi, kompromi,
dan tawar menawar dalam melakukan tugas penegakan hukum. Kiprah polisi dalam
tugas tak perlu dikaitkan dengan
demokrasi. Demokrasi hanya di Senayan dalam proses pembentukan undang-undang. Ketika
hukum dan sejumlah produk hukum terbentuk demokrasi tak lagi ada, yang ada
adalah konstestasi antara praktik aparat Negara di satu sisi yang diamanatkan
menjaga kewibawaan hukum dan Negara dengan pelanggar hukum. Hukum itu betapapun
“bopeng” wajahnya bagi polisi hanya wajib bertugas mengamankannya.
Agaknya
paralel dengan Prof. Muladi, mantan Penasehat Kapolri, dalam orasi ilmiahnya di PTIK, 17 Juni
2006, bahwa polisi dalam mengendalikan
ketertiban masyarakat mendayagunakan
formasi paramiliter. Yaitu bergerak bersama dalam kesatuan dan harus taat pada
perintah komanadan. Namun karena tugas utama polisi adalah melindungi orang,
bukan membunuhnya, menerapkan budaya militer murni pun tidak terlalu kena.
Dalam masyarakat demokratis masih didiskusikan persoalan langkah-langkah
pemolisian (the goal of policing).
Muladi merujuk Henry Wrobleski dan Karen Hess (2006), paling tidak langkah – langkah pemolisian
dalam masyarakat demoratis, seara tradisional adalah; a) penegakkan hukum (inforce laws); b) menjaga suasana
kedamaian (preserve peace) ; c)
mencegah kejahatan ( prevent crimes)
; d) melindungi hak – hak dan kebebasan individu (protect civil right and civil
liberties); e) menyelenggarakan pelayanan (provide service). Namun kemudian perkembangannya mengikuti kontekstualitas masyarakat/negara, sehingga “community policing” menjadi konsep
penting dalam pelaksanaan program pemolisian
demokratis itu. Dua tujuan penting dalam pemolisian
demokratis
ini adalah menciptakan kemitraan dengan masyarakat (forming partnership with the community), dan penerapan pendekatan
proaktif dalam memecahkan masalah kejahatan, rasa takut terhadap kejahatan dan
pencegahan kejahatan.
Wacana
polisi dalam demokrasi dari uraian Muladi lebih terletak pada penekanan pendekatan (tugas) polisi dalam realsinya
dengan masyarakat. Tidak lagi menempatkan masyarakat sebagai obyek, dimana
polisi secara superior mendefinisikan secara otonom segala hal ikhwal kejahatan
(crime) dan ketertiban (order) di
tengah masyarakat. Bukan “negotiable”
soal kejahatan yang sudah jelas dipatri dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana,
seperti yang dikhawatirkan Bachtiar Ali, bukan disini ruang polisi dalam demokrasi.
Momo Kelana, ketua peneliti dari LCKI berpandangan
pemolisian demokratis mengatasi
term pemolisian masyarakat. Diskusi istilah ‘pemolisian demokratis’ ini
menunjukkan dua kemungkinan gejala. Pertama, adanya simpang siur
di sejumlah kalangan opinion leader (elit kepolisian dan kalangan
umum-akademik) terhadap realitas gagasan
sejauh mana kompatibilitas (compatibility)
demokrasi di tubuh kepolisian. Kedua,
bagaimana menempatkan polisi dalam tatanan demokrasi. Poin kedua ini menyangkut
persinggungannya dengan masyarakat, pada level ini tidak terlalu memakan energi
perdebatan di dalam tubuh kepolisian.
Konstruksi Etik - Emik Democratic Policing
Terlepas dari perdebatan itu, bagaimana secara
koheren konsep Democratic Policing ini dikonstruksi ? Muradi mengacu pada Bailey dan Dammert, “democratic
policing is defined as a policing in democratic countries where practicing must
be in accordance to the norm usually held in democratic countries”. Frase norm
usually held in democratic countries ini sangat krusial dalam setiap
pendefinisian karena frase ini ‘mengikat’ semua pendefinisian yang ada, termasuk perdebatan di atas. Hemat saya, tak perlu lagi dipertanyakan secara analitik
perihal ‘apa itu norm in democratic’ yang tentu saja puluhan literatur
membarikan keterangan soal ini ; tetapi,
siapa yang mendifinisikan norm
ini?
Pertama,
norma (norma demokratik) ini didefinisikan secara etik. Sejumlah teoritisi
mendefinisikan apa yang dimaksud norma dalam demokratic policing
ini. Sehingga didapatkan sejumlah kriteria atau ciri-ciri penerapan demokratic
policing yang diperoleh secara
deduktif, meskipun ciri-ciri ini dalam detailnya berbeda namun secara prinsip terdapat
kesamaan. Baik Muradi dengan cara merujuk Bailey maupun
peneliti senior Momo Kelana yang diurai di atas menggunakan penggunaan cara etik ini. Begitu juga Muladi
yang merujuk Henry Wrobleski dan Karen
Hess.
Kedua,
norma democratic policing ‘dirumuskan’
secara emik. Semangat ini berasal dari J. H. Skolnick (1999). Ujarnya,
“the role of police power in a
democracy should be the expression of social consensus”. Masyarakat pada sadarnya tidak “aware”
dengan konsep-konsep dan kritieria yang dipegang dalam rumusan sebagaimana yang
dilakukan kalangan perumus etik, tetapi prinsipnya kerja dan (power) polisi
dibutuhkan sebagai ekspresi dari konsensus masayarat. Jadi, disini nyaris tidak ada rumusan tentang apapun bagai kepolisian dalam mengartikulasikan
perannya dan fungsinya. Ttidak ada kerangka
norma eduktif karena norma itu justru harus tumbuh dari induktif, dengan
apa yang disebut “social consensus”. Dengan demikian democratic policing harus dilihat sebagai proses, bukan out come.
Gerry T. Mark menyebut, Democratic
policing should be viewed as a process not
an outcome.
Refleksi
- Buku ini dengan sangat teliti mampu menggambarkan wajah Polri pasca pisah dengan TNI, utamanya pergulatannya dalam dua hal: independensi dan profesionalisme. Hemat saya, titik tumpu penggambaran dan penjelasan ini diletakan pada level interkasi/relasi di tubuh state sendiri. State sebagai entitas sosial yang ‘mandiri’ sehingga ‘merah hijau kuning’-nya terisolasi dari infrasturktur sosial (masyarakat sipil).Kalau secara simpel harus menjawab pertanyaan, apa yang mempengaruhi wajah Polri, buku ini memberikan jawaban pada level suprastruktur, ketimbang kekuatan infrastruktur politik. Tentu saja, judulnya saja ‘Politics and Governance in Indonesia’.
- Asumsi. Asumsi penelitian ini sudah membatasi diri dari kemungkinan realitas konfliktual, kalaupun harus menyentuh terminologi konflik tidak dialamatkan pada ‘kepentingan’ tetapi dialamatkan kepada problem sistem.Implikasi dari poin ini adalah pada penelusuran pencarian faktor yang membingkai realitas (profesionalisme dan independensi Polri), yang dilacak pada eksternal dan internal. Padahal hemat saya diluar state, ada civil society, tepatnya organisasi masyarakat sipil cukup kuat membuat merah-hijau-biru wajah Polri.
- Dalam pembacaan yang agak makro, melacak pada literatur semacam Boucher, Havidz, Aditjondro, resistensi yang paling serius dalam pengembangan demokrasi pasca 1998 adalah faktor: struktur ekonomi-politik pasca Orde Baru yang rerlatif masih mempunyai kesinambungan dengan kejayaan Orde Baru. Nah, kalau cara pembacaan seperti ini dipakai, bagaimana menempatkan pergulatan proffesionalisme Polri ? Hemat saya, tidak lain kita mencarikan alamat persoalnnya pada elit politik dan ekonomi negeri ini.
* Sutrisno Suki, Pengajar Filsafat Ilmu pada
Program Doktor STIK-PTIK; memperoleh Doktor Sosiologi Universitas Indonesia
dengan disertasi Relasi Kuasa. Makalah
ini adalah bahan diskusi pada Forum Bedah Buku yang diselenggarakan Program
Doktor STIK-PTIK, pada 19 Oktober 2015
di Jakarta.
[1] . Diskusi
serius ikhwal ini dapat diperiksa Daniel Little, “Varieties of Social
Explanation” (1991). Katanya, functional explanations seek to explain a
feature of society in terms of the beneficial consequences it has for the
larger social system, (hlm.91).
[2] . Lihat,
Irving Zetlin.1995.Memahami Kembali Sosiologi: Kritik terhadap teori
sosiologi kontemporer, terj. Anshori dan Juhanda, Gajah Mada University
Perss, Yogyakarta, halm 8.
[3] . Hayek, Frederich A.2001.The Road to
Serfdom, Routledge, London. Buku ini
diterbitkan dan deterjemahkan ke bahasa
indonesia atas kerja sama Freedom Institute dan Frederich Nauman Stiftung tahun
2011 dengan judul Ancaman Kolektivisme.
[4] . Disini
Muradi (pada halm. 4) mengembangkan
cara berfikir Hogg dan Findlay, “one
of the characteristic a professional police is that it should be independent in
it role and function”
[5] . Periksa,
misalnya, Ian Craib.1986.Teori-teori Sosial Modern, terj. Paul S. Baut
dan T. Efendi, Rajawali Press, Jakarta, halm.63.
[7] . Elaborasi
secara lengkap dapat ditelusuri pada Disertasi Sutrisno, PPS-Sosiologi Universitas Indonesia, 2012. Mohon maaf, pengkalimatan sejumlah
paragraf bagian ini pun berasal dari
disertasi ini. Jadi dengan sadar, sedadar-sadarnya, bahwa agaknya konteks
penulisan makalah ini sedikit mengandung plagiasi, tepatnya “self-plagiation”
karena mengutip karyanya sendiri dari tulisan peruntukan yang berbeda. Sekali
lagi, mohon maaf. Siap salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar