Jumat, 25 Desember 2015

Pembacaan Konflik Aras Negara


 

Pembacaan Konflik  Aras Negara

(sebuah pendekatan epistemologi-marxian)

 

Abstract

Masyarakat modern (baca: kapitalisme) dengan kehadiran negara, mengalami blunder dalam mengendalikan konflik dan potensi konflik. Betapa tidak, secara subtantif kehadiran negara sendiri tidak bisa mengambil jarak dengan kelas sosial. Jadi, negara  mengalami persoalan didalam dirinya sendiri, ia tidak mampu menghindar dari kontradiksi internal. Refleksi  terhadap negara dengan kerangka semacam ini dipenghujung tahun 2015 melalui gonjang-ganjing  saham Freeport menjadi menemukan relefansi.

 

Kata Kunci

Konflik Kelas, Demokrasi, Negara

 
Prolog

Memasuki abad ke-21 dimana kapitalisme mulai menapaki kematangannya, dan dua dasawarsa yang lalu negara “pendaku” sosialis-komunis semacam Uni Sovyet[2] rontok, justru di pusat kapitalisme --di New York -- terbit sebuah buku kecil,  Why Read Marx Today?[3]   Buku kecil yang terbit tahun 2002 ini ditulis Jonathan Wolff, seorang filsuf University College London.  Pertanyaan dasar buku ini, bagaimana masyarakat sampai bisa mengorganisasikan dirinya sendiri atas dasar kelas? 

Pertanyaan ini penting karena sifatnya yang  subtantif dalam membedah fenomena konflik (konflik sosial) sejak awal terbentuknya masyarakat hingga berkembangnya organisasi masyarakat yang kompleks pada hari ini. Bagi Marx, gejala kelas merupakan manifestasi konflik sosial, paling tidak konflik yang bersifat latent. Proposisi semacam ini (konflik laten)  belakangan sudah mulai di-sensitif-i kalangan otoritas keamanan (atau khususnya Polri) dalam pengendalian konflik sosial melalui formulasi konsep yang sangat umum dikenal sebagai Faktor Korelatif Kriminogen (FKK). Kalau demikian, apa yang difahami kalangan otoritas keamanan tentang FKK dalam format grand discourse kapitalisme yang tampil dalam wajah demokrasi hari ini ?  Bagaimana formulasi FKK merespon konsep ‘kelas’-nya Karl Marx?  Bagaimana pula, paling tidak, secara strategik kepolisian dan otoritas keamanan lain mengendalikan/mengontrol FKK? Kalau, toh kepolisian mengalamatkan jawabannya pada strategi Polmas, sejauh mana ia mempunyai kompatibilitas dengan rezim sistem sosial yang menjadi wacana besar kapitalisme ini (yang didalamnya termasuk rezim politik, rezim ekonomi) ? Pada era Orde Baru otoritas keamanan hadir di parlemen (sebagai utusan golongan) sehingga bisa secara langsung memberikan warna pada setiap regulasi menyangkut keamanan dan tata kelolanya. Hari ini, kehadiran otoritas keamanan di parlemen tentu dipandang menodai demokrasi.

Tentu saja tulisan pendek ini tak hendak menjawab sejumlah pertanyaan besar semacam itu. Namun, sejumlah pertanyaan pelik itu diperlukan sebagai lanskap persoalan pengendalian keamanan hubungnnya dengan sistem sosial yang sublim seperti hari ini.  Hemat penulis di luar pertanyaan semacam ini  masih ada persoalan mendasar dalam regulasi. Yaitu, terminologi konflik sosial dalam Undang-Undang Nomor 7/2012 Pasal 1 cenderung didefinisikan sebagai gejala yang bersifat fisik,

Konflik adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.

 Tentu saja pendefinisian konflik sosial dalam regulasi ini mereduksi realitas yang sesunggunya, kareana prinsip definisi ini menegaskan bahwa tidak ada konflik sejauh tidak ada benturan fisik dengan kekerasan. Barangkali konsekwensi dari regulasi yang berpijak pada filsafat moral utilitarian, bahwa yang (bisa) dikenai hukum hanyalah gejala yang bersifat “positiv” (= hukum positiv). 

 Kembali pada pertanyaan mendasar di atas. Pemenggalan pengorganisasian masyarakat atas kelas sepanjang sejarah melalui  trial-error sistem sosial politik tak pernah bisa memberikan jawaban tuntas. Hari ini, ketika demokrasi dipercaya sebagai ‘iman’ dalam sistem pengorganisasian yang paling manusiawi, pengorgasisasian menurut kelas pun menumpang dalam ajaran demokrasi ini.

 

Marx tentang Negara

Maka, disinilah persoalannya, bagi Marx  negara menjadi biang segala persoalan yang memenggal relasi kemanusiaan emansipatif. Negara menjadi mesin penindasan paling efektif di sepanjang sejarah manusia kelas sosial. Tetapi, tentu saja  Marx tak bisa mengelak ‘hukum sosial’ hadirnya negara-negara

Tentu saja pandangan Marx tentang negara berseberangan dengan pandangan Hegel. Namun demikian secara metodik  upaya memahami “negara”-nya Karl Marx tidak harus memulai dengan mengatakan bahwa ia adalah sekedar reaksi atas pandangan Hegel (Hegelian) tentang negara. Bukan pula sekedar memberi reaksi  terhadap  posisi dialektika Hegel, karena pergulatan ini sudah dimulai Marx dari ontologisnya. Dalam ontologi Hegel yang nyata adalah roh, Marx menjungkirbalikkan bahwa yang riil adalah materi dari materialisme – realisme. Namun demikian upaya memahami negaranya Marx tak akan lengkap tanpa  melacak kembali dari Hegel.

                Maka bagi Marx diskusi tentang nagara hanyalah sebuah asesori dari narasi besar tentang emansipasi, pembebasan, dan aleanasi. Mengapa? Karena  yang harus dilihat adalah ikhwal yang bersifat subtantif dalam memenggal hubungan-hubungan sosial emansipatif dan aleanatif itu. Seratus tahun kemudian setelah sistem sosial demokrasi diposisikan sebagai ‘iman’ dalam masyarakat modern,   proposisi marxian ini baru agak jelas namun lebih analitik dapat difahami melalui pemikiran  Habermas tentang terminologi diliberatif dan tindakan komunikatif [4]. Disini Habermas memformulasikan manusia mempunyai dua orientasi tindakan. Orientasi pertama, adalah tindakan yang berorientasi pada pencapaian konsensus, ini disebut sebagai tindakan komunikatif. Orientasi kedua, tindakan pada pencapaian sukses strategis, atau tindakan rasional bertujuan.  Dua orientasi tindakan ini pada dasarnya bentuk elaborasi yang dilakukan Habermas dan kebanyakan pendekatan marxian atas pandangannya terhadap filsafat manusia (worldview), bahwa manusia adalah mahluk rasional yang bersifat komunikatif.  

Sekali lagi, bagi Marx negara hanyalah elementer atau asesoris, dimana ia sekedar menjadi instrumen kelas yang memutus hubungan sosial emansipatif. Namun demikian  meskipun bersifat asesoris, diskusi tentang negara akan selalu mempunyai dimensi historis yang serius terhadap perubahan sosial. Tema negara bahkan menyedot hampir semua  filosof sosial dan sosiolog abad ke-20, seakan-akan  perubahan sosial akan kehilangan signifikansi jika tak mengulik perihal negara.   Hampir mustahil dipisahkan secara analitik antara supra struktur  dan infra struktur  perubahan sosial. Sublimasi supra struktur dengan infra struktur perubahan sosial  menempatkan negara harus difahami sebagai satu satunya alat merealisasikan dan mengartikulasikan pembebasan. Artikulasi pandangan Hegel ada pada negara Prusia dan Jerman era Nazi (dan sedikit pada Indonesia, khususnya pada integralisme ), pandangan Marx – meskipun malalui tafsir sana sini --  ada pada China dan Rusia (dan sedikit di Indonesia).

***

 

Bagi Hegel, negara adalah ungkapan roh obyektif, yaitu penyatuan (titik temu)  segala kepentingan dan kehendak setiap orang. Karena itu kepentingan orang-orang ditumpahkan pada negara. Manusia secara individu tidak akan pernah menemukan pembebasan jika tidak menitipkannya pada negara. Negaralah yang mengetahui kemana tujuan individu dibawa. Maka sampai disini dapat segera didtarik kesimpulan tegas bahwa negara menjadi realitas kebebasan yang kongkrit. “The state is the concrete actualy of the ide of freedom” Howard P. Kainz (1974;45). Rakyat dalam pengertian demografik yang terdiri dari kumpulan orang–orang dengan demikian adalah individu–individu yang tidak tahu apa–apa tentang yang dikehendakinya. Bahkan manusia individu dalam masyarakat mengartikulasikan kepentingan secara bertubrukan, bellum omnium contra omnes. Masyatakat dalam kontek ini dalam Hegel disebut sebagai burgerliche gesellchaft. Dalam Franz Magnis–Suseno (1992) istilah ini deterjemahkan sebagai ‘masyarakat luas’. Tetapi menurutnya tidak tepat betul deterjemahkan sebagai masyarakat sipil.  Pada prinsipnya, yang dimaksud burgerliche gesellchaft merujuk pada interaksi antar anggota masyarakat yang mencakup ekonomi, sosial dan kultural diluar intervensi negara. Maka fungsi negara adalah menyatukan aneka kepentingan individu yang saling bertubrukan karena egoisme setiap anggota. Disini negara adalah dasar yang memungkinkan warga negara untuk menyadari kemerdekaan mereka dalam kebersamaan dengan orang lain (Devid Held;1988).  Melalui negaralah hubugan orang-orang menjadi teratur, karena melebur menjadi satu.

Yang perlu digarisbawahi dalam kerangka pemikiran semacam ini bahwa  masyarakat adalah unsur dari negara. Poin ini membedakannya dengan Hegel yang mempersenyawakan negara dengan masyarakat.  Dan, tentu saja karena secara analitik persenyawaan  ini hampir mustahil maka masyarakat harus meletakkan “kepercayaan” pada negara. Kata “kepercayaan” – menggunakan apostrop –  bukan sekedar berdimensi politis seperti pengertian “saya harus setuju pada kebijakan politik Jokowi karena ia dipilih melalui proses demokrasi” , bukan pula kepercayaan dalam pengertian bahasa inggris “trust” yang dibangun melalui proses sosial – nya Francis Fukuyama. Namun perngertian itu lebih jauh mengandung  dimensi teologik.  Manunggaling Kalula lan Gusti akan lebih dapat membantu menjelaskan ini.

 Melalui analitik relasional negara–rakyat diperoleh kesimpulan bahwa dalam negaranya Hegel, pemerintah adalah subyek dan rakyat/masyarakat  sebagai obyek. Karl Marx menjungkirbalikan logika Hegel tersebut. Bukan negara sebagai subyek, melainkan sebaliknya.  Masyarakat dan satuan sosial terkecil (keluarga) merupakan pengandaian dari negara. Kalau demikian adanya negara yang disebut Hegel sebagai titik penyatuan kepentingan manusia atau roh obyektif itu tidak lain merupakan artikulasi kepentingan kelas dalam masyarakat. Negara menjadi batu sandungan emansipasi sosial karena ia akhirnya menjadi kekuatan asing diri manusia yang memaksa, meskipun pemaksaan itu untuk kearah sosial (upaya Hegel dalam mengatasi anti-sosial manusia).

Dalam bahasa aleanasi Marx, negara adalah sesuatu yang terpisah dari individu. Dengan demikian Marx tidak bisa menerima negara dalam bentuk apapun, termasuk konstitusi dan undang-undang yang sebaik apapun. Yang menjadi perhatiannya negara harus ditarik kembali kedalam manusia. Ini artinya negara dengan masyarakat luas menjadi satu. Pengertian lebih kongkritnya tidak ada ruang bagi hak previlase sebagai akibat dari ‘satunya’ negara dengan masyarakat luas. Ketika satuan sosial itu terintegrasi tak ada lagi hak milik dan previlasi. Barangkali ilustrasinya ada pada satuan sosial keluarga.

 

Refleksi

Meskipun bagi Marx negara dalam bentuk apapun merupakan batu sandungan dalam emansipasi sosial manusia, namun kehadiran negara dalam masyarakat modern adalah sebuah kenyataan yang tak dapat dihindari. Setiap struktur sosial yang menampilkan hubungan-hubungan anti-emansipatif dengan sendirinya konflik obyektif ini hadir. Pertanyaan klasik yang coba diletakkan relefansinya dalam dunia modern,  apakah hubungan konfliktual  buruh – majikan yang terjadi sejak pra-negara akan bisa dihindari dengan kehadiran negara seperti hari ini ?  Pada kenyataannya konflik sejati buruh-majikan pada hari ini akan selalu menglami pergeseran yang terjadi di lapangan, menjadi buruh versus instrumen negara (bukan lagi dengan majikan). Walaupun,  tentu saja kenyataan ini tidak perlu bisa diletakkan sebagai formula. 

Sekali lagi, meskipun negara adalah biang keladi segala persoalan emansipasi manusia modern namun kehadirannya tak bisa dilawan. Proposisi ini mendekati Nietze dalam elaborasinya tentang kebenaran dan kepalsuan. Bahwa, kebenaran sesungguhnya tak akan parnah ada, yang ada adalah kepalsuan, oleh karena itu manusia tidak bisa hidup tanpa kepalsuan.   (Barangkali) Marx sadar bersikukuh dengan peniadaan negara justru menjadikan pemikirannya terasing dari kenyataan.  Harapan pembebasan kemudian ada pada diskusi demokrasi, dimana ia menyebut demokrasi sebagai bentuk negara “rasional” terhadap monarkhi (Franz Magnis-Suseno;1992). Dalam terjemahan Magnis dari Werke jilid I , “Demokrasi adalah kebenaran monarkhi, monarkhi bukanlah kebenaran demokrasi”.

 Persoalannya demokrasi tak akan dapat hadir dalam masyarakat kapitalis, karena logikanya peraturan demokrastis tak dapat direalisasikan dibawah tekanan dalam hubungan kapitalis produksi (David Held;2006).  Bagi Marx, negara[5] yang bisa merepresentasikan komunitas atau publik secara keseluruhan hanyalah ilusi. Mengapa?  Karena proposisi ini mengandaikan tak ada kelas dalam masyarakat; hubungan kelas tidak eksploitatif; kelas tidak mempunyai kepentingan fundamental. Padahal politik dimana ranah demokrasi hidup justru berangkat dari kepentingan-kepentingan yang berbeda pada setiap kelas dan kelompok.

Kebebasan hak pilih atau kesetaraan politik yang merupakan ikon demokrasi (demokrasi liberal) nampaknya dapat menjadi entry point pembebas (emansipasi) dangan sangat terbatas. Persoalannya terletak pada ketidak setaraan kelas. Model negara semacam ini akhirnya sulit menghindari dari rujukan ‘negara minimal’, batasan – batasan minimal saja intervensi negara atas kehidupan publik dan memberikan ruang bagi pasar bebas.  Negara yang nampaknya netral ini sesungguhnya tidak netral, karena negara memasuki susunan kehidupan ekonomi yang paling utama dengan cara memperkuat hak milik melalui legislasi, administrasi. Disini perekonomian dianggap bukan domain politik. Hubungan – hubungan ekonomi seperti relasi antara pemilik alat produksi dan para pekerja  dilepas melalui mekanisme kontrak pribadi yang bebas, tanpa perlu intervensi negara. Disini, hemat saya terdapat ruang afinitas antara demokrasi (liberal) dengan era kapitalisme awal khususnya pada mekanisme eksploitasi kaum pekerja (buruh)  sebagaimana dilihat secara sangat jeli oleh Marx dalam Das Kapital.

Marx memahami  ikon ‘kebebasan’ yang diangkat demokrasi (liberal) dengan meletakkan negara dan birokrasinya sebagai instrumen kelas yang muncul untuk mengatur masyarakat yang terpecah demi kepentingan kelas.  Pejabat negara merupakan kelompok penghisap melalui kewenangan tindakan politis.

 

Epilog

            Dari refleksi  di atas, jika mengharap pembebasan dari (perilaku) negara maka yang paling utama yang harus dilakukan oleh negara adalah kebebasan modal, bukan kekebasan politik. Kebebasan modal yang akan  membuat keadaan hidup manusia bebas dari tekanan kapitalis pribadi. Pengertian ini mengantar pada topik mengenai bentuk  negara sosialis atau negara komunis. Atau, paling tidak dalam kerangka wacana demokrasi hari ini dikenal ‘demokrasi terkendali’, disini peran negara amat besar. Konsep yang terakhir ini (demokrasi terkendali) sekedar keberpihakan negara terhadap kelas bawah yang secara demografis mayoritas. Meskipun  cara berfikir ini saya kira bukan dari Marx. Bagi Marx pembebasan hanya dapat diperoleh melalui penghapusan kelas, seperti yang dituang dalam The Poverty of Philosophy, berikut yang dikutip David Held, “Kelas pekerja, dalam perkembangannya, akan mengganti masyarakat sipil lama dengan asosiasi yang menyingkirkan kelas-kelas dan antagonismenya, dan tidak akan  ada lagi kekuatan politik semacam itu, karena kekuatan politik justru merupakan pernyataan resmi antagonisme dalam masyarakat sipil”. 

***

 

 Daftar Pustaka

Derrida, Jacques, 1994. Specters of Marx, Routladge, New York.

 

Harman, Chris.2000.Anti Kapitalisme, terj. Julian dan Setiapbudi, Teplok Press,

 Jakarta.

 

Habermas, Jurgen.1982. The Theory of Communicative Action: Reason and

 Rationalization of Society, Bacon Press, Boston.

 

Held, David. 2006. Models of Democracy, The Akbar Tanjung Institute, Jakarta.

Hughes, Jhon.1980.The Philosophy of Social Research, Long Man, London-New

 York

Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Penerbit Kanisius,

Yogyakarta.

Magnis-Suseno, Franz. 1999. Pemikiran Karl Marx, Penerbit Gramedia, Jakarta.

Kainz, Howard P. 1974. Hegel’s Philosophy of Right , with Marx Comentary,

            Martinus Nijhoff, Netherlands.

Yakhot, O.1995. What is Dialectical Materialism, Progress Publisher, Moskow.

Wardaya, Bhaskara T.2003. Marx Muda: Marxisme Berwajah Manusiawi,

 Penerbit Buku Baik, Yogyakarta.

Wolff, Jonathan.2002. Why Read Marx Today ?. Oxford University Press, New

 York. 

 

 

 

 

 

 

   

 

           

 

 

 

 




*  Substansi artikel ini pernah didiskusikan pada Program Doktor Sosiologi Universitas Indonesia, 10 Agustus  2011, dengan tajuk Karl Max tentang Negara.
 

 
[2] . Dalam pendekatan Marxian yang ketat, Uni Sovyet bukanlan ilustrasi negara (komunitas sosial) sosialis/komunis yang ideal sebagaimana digagas Karl Marx. Paling tidak karena  proses berdirinya negara ini justru penodaan atas hukum evolusi masyarakat. Komunisme akan hadir setelah melalui tahap kematangan kapitalisme,  Uni Sovyet memotong jalan tahap-tahap evolusi yang harus dilalui itu.  
 
[3] .  Dua tahun setelah terbit di New York,  buku ini deterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Yudhi Santosa dan publish melalui penerbit kecil yang tak pernah dikenal, Penerbit Mata Angin, Yogyakarta.
 
[4] . Perhatikan misalnya, Jurgen Habermas  dalam  The Theory of Communicative Action: Reason and Rationalization of Society (1982)   
[5] . Negara yang dimaksud Marx adalah seluruh perangkat pemerintah, dari eksekutif  dan legeslatif sampai kepolisisan dan militer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar