Tanggapan atas Rencana Penelitian Dr. Zulkarnein Koto, SH.,M.Hum
Penegakan Hukum atas Kebakaran Hutan
|
|
Menelusuri Social Forces dibalik Kebakaran Hutan
Sebuah
Perspektif Sosiologis
Kebakaran
Hutan: Mencari Hipotesis
Dalam sosiologi sejak
dari yang klasik seperti Auguste Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber,
hingga yang kontemporer seperti, misalnya, Giddens, Fukuyama hingga Machel Foucoult sulit sekali
mengelakan konsentrsi pikiran mereka pada
perubahan sosial. Perubahan sosial, tentu saja
secara gradatif, menyentuh cara berfikir dan kesadaran masyarakat. Hubungan
perubahan sosial dengan kesadaran/cara berfikir masyarakat mendapat tekanan
yang berbeda oleh sejumlah teoritisi sosiologi itu tadi. Disinilah menariknya. Misalnya
saja, bagi Marx dan Durkheim kesadaran/cara
berfikir masyarakat ditempatkan sebagai “akibat” (variabel dependen) dari pergeseran
struktur material. Posisi Weber jauh lebih kompleks.
Nah, mengapa dua hal (“perubahan sosial” dan
“kesadaran”) ini penting? Diskusi dua
variabel/istilah (yang mempunyai makna longgar ini) bisa menyentuh banyak dimensi,
tentu sangat relefan untuk sekedar “amunisi tambahan” buat Sdr. Dr. Zulkarnein
Koto dalam penelitiannya. Begini, misalkan kita persoalkan perihal/istilah[1] “penegakan
hukum”. Apakah “penegakan hukum” ini akan diletakkan sebagai : 1) perihal yang
disebabkan oleh sesuatu yang lain, atau sebalinkya? 2) apakah istilah penegakan hukum ini cenderung
merupakan ruang sebuah kesadaran/cara berfikir atau sebuah struktur sosial ?
Pertanyaan nomer 2 ini kita abaikan saja, selain
rumit, tak terlalu relefan, dan implikasi diskusinya bisa sangat amat panjang. Mendingan
konsentrasi pada pertanyaan pertama. Judul “Efektivitas Penegakan Hukum
Kebakaran Hutan dan Lahan”, hemat saya, perihal efektivitas
penegakan hukum tidak bisa dilepaskan dari “godaan” untuk menhubungkannya
dengan sejumlah faktor lain yang mempengarhui di dalamnya. Tidak bisa memutus
penjelasan dari sejumlah perihal yang mempengarhui proses penegakan hukum. Peneliti tak bisa berdalih begini, “ini
penelitian kualitatif, satu variabel saja, Bung. Jadi hanya ingin mengetahui
proses penegakan hukumnya saja”.
Mengapa dalih ini sangat lemah ? Karena pengetahuan si peneliti atas
realitas proses penegakan hukum akan secara simultan (secara bersamaan) menangkap sejumlah faktor atau sebab yang
mempengarhui proses penegakan hukum itu. Kalau saja kita klik google secara
rerata didapat kesimpulan, atau sebutlah
dalam hal ini adalah hipotesis perihal penegakan hukum dalam fenomena
kebakaran hutan ini. Yaitu, bahwa (jelas) kebakaran hutan yang terjadi
secara berulang itu diantaranya
disebabkan karena kegagalan penegakan hukum. Bahkan otoritas resmi
pemerintah melalui Menko Kesra Agung
Laksono menegaskan hal ini. Harian Pos Kota, 15/3/2014, menyebutkan bahwa
kebakaran hutan terjadi di Riau akibat lemahnya penegakkan hukum
.
.
Hemat saya, dari sini sudah tidak lagi perlu berkutat
pada pertanyaan yang terlalu umum tentang ‘bagaimana efektifitas penegakan hukum’.
Mengpa ? Jelas, sekali lagi, penegasan
pemerintah sudah bisa dipakai bahwa penegakkan hukum dalam perihal kebakaran hutan
tidak efektif. Maka dalam perumusan permasalahan posisi peneliti jelas dan
lebih runcing. Keruncingan permasalahan semacam ini penting untuk menuntun
elaborsi pada sisi detail, sekaligus ini merupakan standing position si
Peneliti
Jadi, bagaimana caranya? Yaitu, mem-break down (mem-preteli) permasalahan yang telah dirumuskan kedalam
pertanyuaan-pertanyaan yang bersifat lebih detail. Melalui keruncingan sejumlah peranyaan akan
memudahkan si Peneliti kearah mana orientasi arah elaborasi (jawaban) atas main question.
Pertanyaan runcing ini kalau dibuat dalam
bentuk pernyataan menjadi hipotesa.
Begini Identifikasi Permasalahan peneliti:
v
Bagaimana pelaksanaan penegakan hukum
terhadap kebakaran hutan dan lahan dan efektifitas penegakan hukumnya ?
Apakah penegakan hukum terhadap kebakaran hutan sebagaiana disampaikan
pemerintah itu memang tidak efektif ?
Kalau yang disampaikan pemerintah ini benar, mengapa ?
Catatan: 1)
Jabaran pertanyaan itu (kalau masuk), selayaknya pada prolog di Latar Belakang
perlu mengutip penegasan pemerintah tentang gagalnnya penegakan hukum itu.
2) hemat saya, pertanyaan penelitian selayaknya tidak bersayap.
Kalau ada dua pertanyaan, ya buat saja dua pertanyaan. Tidak perlu menggunakan
istilah efektifitas dalam pertanyaan itu karena sudah ada pada pertanyaan
runcing.
Menjawab
“Mengapa”
Dalam jabaran pertanyaan yang saya tawarkan di atas,
pertanyaan “mengapa” (mengapa penegakan hukum tidak efektif) adalah pertanyaan
primadona, meskipun bukan main question. Karena melalui jawaban atas
pertanyaan seperti ini terapi dan memilih panacea apa akan lebih akurat. Akan jauh lebih memuaskan jika penelitian ini
tidak berhenti pada sekedar menjawab “bagaimana” tetapi maju pada
pertanyaan “mengapa”. Barangkali
Sodara Dr. Zulkarnein Kotto sudah melirik pertanyaan “mengapa” itu, dan
memandang bahwa pertanyaan “mengapa” secara implisit telah dikandung dalam
“bagaimana”-nya. Pandangan Saudara Dr. Zulkarnein Koto ini -- kalau dugaan saya
benar -- memang tak terlalu salah.
Tetapi, hemat saya cara berfikir semacam ini tidak analitik. Pertanyaan “bagaiamana”
mengundang jawaban/elaborasi diskriptif atau eksplotarif; pertanyaan “mengapa” menuntut
elaborasi eksplanatif.
Bagaimana menjawab pertanyaan “mengapa penegakan
hukum tidak efektif terhadap kebakaran hutan/laha” ini ? Izinkan saya membagi jawaban dalam dua model.
Pertama, model yang ditawarkan Sdr. Zulkarnein Koto yang tertuang dalam
TOT-nya; dan, kedua, model yang saya tawarkan.
Model Pertama. Dalam menjawab pertanyaan ‘mengapa
penegakan hukum dalam kebakaran hutan ini gagal atu tidak efektif’, dalam TOR
dapat dilacak pada pilihan (kerangka) teoritiknya. Saya menangkap kesan dalam menjawb pertanyaan
itu si Peneliti, Saudara Dr. Zulkarnein Koto, akan lebih berkonsentrasi pada sisi konstruksi
regulasi. Saya kira bukannya Saudara Dr. Zulkarnein Koto tidak sadar terhadap sejumlah faktor lain
yang mempengerhui ketidak efektifan ini diluar teks regulasi. Misalnya seperti yang ditekankan H. D Hart, tetapi
posisi semacam ini nampaknya minor.
Kalau hal ini (ikhwal diluar teks regulasi) dipandang penting, maka
pelru pada bagian metode (metodologi) memberikan ancang-ancang (rancangan)
untuk mengelaborasi hal ini. Tetapi nampaknya pada bagian Teknik Pengumpulan
Data meletakkan konstentrasi elaborasi pada ikhwal analisis teks regulasi.
Jadi, sampai disini secara singkat dapat diambil kesimpulan bahwa konsentrasi
penelitian dalam menjawab “mengapa” diletakkan pada titik beratnya pada persoalan
teks regulasi.
Padahal diantara
kutipan mengandung porsi yang cukup kuat mengangkat juga dimensi (faktor) lain
dalam menjawab pertanyanya ‘mengapa’ ini, “tidak efektifnya undang-undang bisa
disebabkan karena kabur atau tidak jelas, aparat tidak konsisten dan masyarakat
tidak mendukung pelaksanaan undang-undang tersebut”. Proposisi ini secara tegas mengandung sebuah ‘petunjuk’ (baca: hipotesa, yang harus
dibuktikan secara empirik), bahwa terdapat tiga dimensi untuk menjawab
“mengapa” penegakan hukum atas kebakaran hutan dan lahan tidak efektif. Yaitu:
1) undang-undangnya kabur atau tidak jelas;
2) aparatnya tidak konsisten; dan,
3) masyarakatnya tidak mendukung.
Model Kedua. Kalau ditilik secara analitik model
pertama di atas, efektifitas implementasi
undang-undang itu terdiri dari dua saja: undang-undangnya (teks regulasi) dan
manusianya. Yang dimaksud manusianya itu terdiri dari aparat dan masyarakatnya.
Nah, disinilah, pada Model Kedua ini akan konsentrasi pada manusianya (baik aparat dan
masyarakat), bukan pada teks regulasinya.
Begini, asumsi dasarnya manusia (baik aparat
maupun masyarakat) adalah mahluk
penafsir. Teks regulasi betapapun jelas, pada derajat tertentu akan selalu terbuka
ruang tafsir. (apalagi kalau regulasi
itu masih kabur sebagaimana secara eksplitit dikemukakan Sdr. Dr. Zulkarnein
Koto). Terbukanya ruang tafsir itu bisa dua sisi: sisi teks regulasinya an
sich , dan sisi realitas interaksi
sosial. Jadi yang ditafsir bukan sekedar teks tertulis tetapi realitas
interaksi sosialnya. Meminjam sitilah sosilogi kontemporer adalah ‘reifikasi’. Reifikasi
pada dasarnya proses tafsir dalam mengepaskan (compatibilty) antaran
teks dengan konteks. Konteks adalah kancah interaksi sosial yang kompleks. Dibawah
ini kutipan dari sebuah media (maaf saya kehilangan sumbernya) tentang
lepasnya jeratan pembalak hutan.
|
"Hakim harusnya melihat lingkungan hidup itu tidak hanya lahan
yang terbakar, tetapi udara sebagai akibatnya. Jelas kami kecewa,"
kata Hadi.
Dalam sidang, majelis hakim yang terdiri dari Parlas Nababan, Eli
Warti, dan Kartidjo menolak seluruh gugatan Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) selaku penggugat yang juga dibebankan membayar biaya
perkara sebesar Rp 10.200.000.
Menurut hakim, seluruh gugatan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan oleh PT Bumi Mekar Hijau di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, tidak dapat dibuktikan, baik berupa kerugian dan kerusakan hayati.
Apalagi, selama proses kebakaran lahan, PT Bumi Mekar Hijau selaku
tergugat telah menyediakan sarana pemadam kebakaran dalam lingkungan
perkebunan. Majelis hakim menilai kebakaran lahan perkebunan bukan
dilakukan tergugat, tetapi pihak ketiga, sehingga tergugat lepas dari
jeratan hukum.
|
Kisah ini penggalan dari (mungkin) puluhan kisah lain yang “sejenis”.
Kalau kita kembalikan pada dasar asumsi di atas, tindakan manusia adalah produk
tafsir: tafsir atas regulasi dan realitas sosial. Tafsir atas teks regulasi dan
realitas tidak kedap dari kekuatan sosial (social forces). Istilah
vulgarnya adalah “kepentingan”. Bagaimana cara melacak social forces ini
? Yaitu,
melalui banguan/konstruksi sosial hasil tafsir atas teks regulasi dan
tafsir atas realitas. Cara yang lebih praktis
penelusuran kontruksi sosialnya pada: siapa - menafsirkan apa – dapat apa. “Siapa”
harus merupakan peran sosial (social role),
mengacu pada aktor yang harus
dibaca secara sosial. Ini menyangkut posisi sosial. Posisi sosial inilah
‘mengontrol’ tindakan aktor, kemudian artikulasi social forces ini mewujud
dalam cara dia menafsir (teks regulasi dan realitas sosial).
Prinsipnya, aktor tidak steril dari lingkungan sosial
yang terdiri dari (belitan) kekuatan ekonomi, politik, dan budaya. Meminjam metode kalangan weberian, cara
untuk memahami tindakan sosial sebagaimana kita diskusikan ini adalah verstehen.
Istilah ini acapkali diterjemahkan ke bahasa inggris sebagai interpretative
understanding, meskipun banyak komentar terjemahan seperti ini ke dalam
bahawa inggris itu tidk terlalu tepat betul.
Orientasi metode ini adalah
melacak cara orang menafsir realitas atas tindakan. Dalam buku-buku teks disebut
sebagai (menafsir) tindakan sosial.
Memang tidak gampang melacak bahwa aktor itu,
misalnya, ‘dikontrol/ditekan’ kekuatan ekonomi. Tetapi, proxy-nya bisa
dilacak dari rasionalitas dari lawan-lawannya. Denggan demikian, paling sial
kalaupun tidak bisa ditangkap ‘kontrol/tekanan’ ekonomi tetap saja ada sesuatu
yang mengontrol gerak rasionaltas. Prinsipnya, tindakan individu tidak
sepenuhnya ‘bebas’ atau otonom mengembangkan rasionalitas. Disinilah letak
sosialnya. Bagaimana cara melacak bahwa tindakan aktor itu sebetulnya tidak
otonom (tetapi sekali lagi merupakan fungsi dari kolektiva) ?
Berikut kita angkat sebuah ilustrsi data yang dinukil dari seorang yang menggeluti ikhwal hutan menuliskannya dalam Blog,[2]
|
“...Sedangkan penyumbang kerusakan
atau ancaman yang paling besar terhadap hutan alam di Indonesia adalah
penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan dan
eksploitasi hutan. Kenyataan yang dapat dilihat dilapangan lahan hutan
banyak dimanfaatkan sebagai pengembangan pemukiman dan industri.”
|
Data semacam ini akan membuat ‘nyaman’ bagi si Peneliti (Saudara Dr. Zulkarnein Koto)
untuk melacak jenis-jenis aktor yagn terlibat dalam pembakaran hutan:
bahwa aktor pembakar hutan bersifat
agregatis secara sosial. Dalam pembacaan
yang paling sederhana betapa tarikan force
ekonomi begitu kuta mengontrol perilaku aktor.
Data semacam ini sangat mudah ditemukan di
google. Ucapkan termakasih pada google!
Misalnya lagi keterangan dari Kepala Departemen Sosial dan Inisiasi
Kebijakan Sawit Watch, Harijazudin. Orang ini penting karena posisinya sebagai
kepala departemen, jadi informasinya A1-lah. Ia mengatakan bahwa fenomena
kebakaran hutan dan lahan tahunan terjadi secara sistematis. Masyarakat lokal
seringkali menjadi kambing hitam padahal untuk memenuhi kebutuhan aktor-aktor
besar.[3]
Keterangan Harizudin ini tentu sebuah
data pentinf, terlepas dari kekuatan kesahihan (validitas) tentu perlu
dikonfirmasi melalui data yang lain (triangulasi). Bagaimana mambaca data ini dalam konteks
penelitian ini ? Data ini menegaskan
lagi-lagi peran kekuatan ekonomi atau korporasi. Kapital atau dengan kata lain korporasi memainkan perilaku penegak hukum. Penjelasan
ini bisa jadi ‘terlalu jauh’, tetapi hal
ini bukan tidak mempunyai rujukan teoritik. Cukup kuat sejumlah teori yang
menjelaskan bahwa kapital (korporasi) mengontrol perilaku aktor, bahkan komunitas atau bahkan aparat.
|
Kutipan 2
...., penegakan hukum tak optimal karena tak
ada efek jera, seperti PT Adei Plantation (AD), berkali-kali terkena
hukuman.
Tahun 2001, AD divonis bersalah Mahkamah
Agung delapan bulan penjara dan denda Rp100 juta karena sengaja membakar
lahan 3.000 hektar. Pada 2006, terjadi gugatan perdata US$1,1 juta karena
di Bengkalis terbakar. Pada 2013, didakwa membakar lahan di Desa Batang
Nilo Kecil, Pelalawan seluas 304.703 meter persegi. Terakhir kasus IUP
ilegal 2014. Namun tiga terdakwa yaitu Danesuvaran KR Singam,
Tan Kei Yoong dan Goh Tee Meng (warga negara Malaysia) vonis bebas.
“Dibebaskan dengan alasan terdakwa orang asing, yakni Malaysia. Ini aneh.
Harusnya KLHK banding.”
BP REDD+ pada Oktober 2014, mengeluarkan
audit kepatuhan perusahaan dan pemda di Riau terkait pencegahan kebakaran
hutan. Hasilnya, seluruh perusahaan tak patuh soal penanganan kebakaran
hutan dan lahan.....
http://www.mongabay.co.id/2015/07/13/buku-menyibak-kebakaran-hutan-dan-lahan-yang-terus-berulang/
|
Data lain,
Kutipan ini bisa saja diletakkan sebagai data proxy
untuk menjawab adanya kekuatan sosial yang mempengaruhi tindakan sosial
seseorang. Jadi, kutipan ini dapat menjelaskan bahwa berulangnya kebakaran
hutan disebabkan karena tak ada jera terhadap hukuman. Tak perlu poin ini
di-personalisasi, bahwa misalnya ketidak jaraan ini merupakan fenomena
personal-kejiwaan. Bukan itu persoalannya. Pilihan atas tindakan membakar hutan
harus dipandag rasional. Cara memandang pelaku menggunakan pilihan rasional ini
penting untuk menjelaskan kekuatan ekonomi yang sedang bekerja. Kutipan di atas
keuntungan membakar hutan lebih reasonable meskipun kena hukum pidana. Nah,
dari sini barulah make sense mempersoalakan teks regulasinya. Lagi pula,
dalam sebuah web yang lain saya kira otoritatif menukil tentang sumber daya
alam, “Kerusakan bahkan diperburuk oleh krisis ekonomi yang melanda sejak
beberapa tahun yang lalu”[4].
Data kutipan terakhir ini-- Kerusakan bahkan
diperburuk oleh krisis ekonomi-- kembali menegaskan bahwa kekuatan ekonomi begitu dahsyat
dalam fenomena berulangnya kebakaran hutan, yang an sich merambah pada tumpulnya penegakan hukum.
Skema dua model
Skema ini hanya kesimpulan dari uraian di atas. Pusat pertanyaannya, “mangapa kebakaran
hutan selalu berulang ? “
Pertanyaan ini paralel dengan “Mengapa penegakan hukum terhadap
kebakaran hutan tidak efektif ?
Terdapat dua cara
berfikir (teori) besar sebagaimana
dirumuskan pada skema. Model pertama lebih menekankan pada ikhwal teks
regulasinya. Didalamnya menyangkut tumpang tindih peraturan dan undang-undang
dan ketidakjelasan atau kaburnya bunyi
regulasi. Pada model kedua lebih
menekankan pada aspek-aspek diluar teks regulasi yang membelit tindakan
manusia. Yang dimaksud manusia adalah termasuk di dalamnya aparat penegak hukum
dan masyarakat. Karena manusia adalah
mahluk yang menafsir, tetapi cara ia menafsir tidak bisa lepas dari belitan
kekuatan-kekuatan di luar dirinya.
Mencari
“Sebab Terdekat”
Kalau kita sedikit mau merenung ke belakang, ratusan tahun
lalu atas fenomena kebakaran hutan ini, masyarakat menkategorikanya sebagai jenis musibah atau cobaan, atau bencana alam biasa seperti halnya gunung
meletus. Pengertiannya, tidak ada campur
tangan manusia dalam yang terlibat
langsung atas fenomena kebakaran itu. Mereka
menyebut ‘alam sedang marah’. Orang-orang “pinter” pada era itu tidak semata
menglamatkan pada dosa manusia tetapi alam ini mempunyai roh. Dan, hidup dan
minta sesaji. Kemarahan alam karena manusia lupa tidak lagi memberikan sesajen.
Ketika agama dari Timur Tengah mendunia, misalnya pada
abad 13-an, fenomena asal-usul kebakaran hutan atau sama dengan bencana alam
tentu saja tidal lagi dialamatkan kepada alam yang marah tetapi kepada manusia an
sich . Dialamatkan kepada dosa manusia. Tetapi apa itu dosa ? Yang dimaksud dosa mengacu secara terbatas
pada wacana besar (grand discourse) fiqh-eskatologik. Para da’i di
mesjid (dan pendeta di gereja) dalam khutbahnya berpesan agar umatnya rajin-rajin melakukan
ritus-ritus sebagaimana diajarkan Sang Tauladan. Isinya: tidak boleh berzinah,
rajin-rajin shalat berjamaah, bayar zakat dan seterusnya-seterusnya.
Apakah makna dari kisah
sejarah ini ? Maknanya adalah : cara
berfikir teologik-methafisis semacam itu sudah tidak lagi mandapat tempat pada
hari ini, utamanya ketika teknologi penjelajah alam semesta begitu canggih dan
sangat efektif. Paling tidak, kerangka berfikir lama semacam di atas terasa
usang. Tidak memuaskan. Kalau agama mau
tetap eksis musti disuntik/bersahabat
dengan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, caranya dengan meletakan reduksi bahwa
fenomena alam merupakan hubungan kuat dengan fenomena sosial yang komplek. Sehingga, misalnya, masuk akal dan tepat komentar Agung Laksono di Kemenko Kesra, Kamis
(27 Februari 2016), bahwa 95 persen
kebakaran hutan akibat ulah manusia, bukan karena faktor alam. Karenanya,
pelakunya jangan hanya ditangkap, tapi harus diadili dan dihukum
seberat-beratnya[5]. Disini ilmu pengetahuan justru dengan sifatnya yang
analitik akan selalu mengandung reduksi.
Rumusnya harus dicari pada “sebab terdekat” yang bisa menjelaskan
kebakaran hutan. Atau, bahasa metodiknya
disebut sebagai “variabel langsung”. Bukan
“variabel antara”. Misalnya, banyak
orang berzina, berghibah, maksiat dan seterusnya, tentu fenomena agama ini bukan merupakan sebab langsung atas terjadinya kemarahan alam.
Meskipun dimensi semacam itu bisa saja memberikan kontribusi atas kemarahan alam
tetapi penjelasnannya masih membutuhkan “sebab-sebab yang terdekat” yang bisa memuaskan terjadinya kebakaran hutan
yang berulang.
Maka,
apa “sebab terdekat” itu ?
Hemat saya, tak perlu buru-buru menjawab pertanyaan
semacam ini, sebelum terlebih dahulu mendudukan
perkaranya pada apa yang dimaksud “sebab terdekat” itu sendiri. Diskusi semacam
ini penting karena menyangkut pilihan paradigma dalam melacak “sebab terdekat”:
antara aktor dengan struktur
(Giddens: ). Kalau menilik
komentar Agung Laksono di atas maka
secara kentara berpijak pada struktur, baik dalam mengatasi persoalan maupun
perihal yang dipandang sebagai “sebab”. Artinya, persoalan struktur lah yang
menhyebabkan berulangnya kebakaran hutan. Bukan berarti aktor itu tidak kreatif
atau tak berdaya. Tetapi jika fenomena yang menyangkut manusia di dalam masayarakat
itu mempunyai trend atau kecendereungan secara statistik maka ada sesuatu “yang sosial” disitu! Bandingkan
dengan lilustrasi di bawah ini yang
meletkkan ‘aktor’ sebagai sebab.
Sebuah media massa pernah melaporkan. Pada
suatu musim kemarau seorang wartawan
melihat langsung seseorang membuang puntung rokok. Diluar dugaan menyebabkan
kebakaran hutan. Kemudian wartawan ini menulis bahwa kebakaran hutan disebabkan
oleh puntung rokok yang dibuang secara sembarangan. Nah, puntung rokok dalam kisah itu memang merupakan “sebab
lansung” tetapi bukan pula sebab semacam
ini yang menjadi primadona dalam menjelaskan fenomena sosial.
Jakarta, 7 Maret 2016
* Sutrisno, Pengajar Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian pada bidang “Sosiologi” dan “Filsafat”; Doktor Sosiologi Universitas
Indonesia dengan Disertasi tentang ‘Relasi Kuasa’.
[1] . Khusus disini saya lebih suka menggunakan
istilah “perihal”, bukan “variabel”. Penggunaan
istilah “perihal” supaya tidak menjadi kegaduhan yang tak perlu. Acapkali menyita waktu dan (maaf: tidak mutu)
kalau sekedar, misalnya, jika saya menggunakan istilah ‘variabel’ terus
ditanggapi, ‘koq kualitatif pake variabel, atau yang lain’. Padahal,
kedua terminologi ini secara fungsional mempunyai makna yang tidak berbeda.
Begitu pula dengan istilah ‘efektifitas’, saya sepakat dengan Sdr. Dr.
Zulkarnein Koto dalam penelitian ini. Bahwa tidak perlu selalu bertendensi
kuantitatif. Sama halnya dengan istilah
‘pengaruh’, sekali lagi, tak selalu harus kuantitatif. Konteks-lah (persoalan)
yang memformat penelitian itu kuanti
atau kuali.
[2].https://isharyanto.wordpress.com/derap-ekonomi-publik/kebakaran-hutan-di-indonesia-dan-penegakan-hukumnya/
[3]
http://www.mongabay.co.id/2015/07/13/buku-menyibak-kebakaran-hutan-dan-lahan-yang-terus-berulang/
[4]
.
http://saveforest.webs.com/masalah.hutan.pdf
[5].
http://possore.com/2014/02/27/menko-kesra-kebakaran-hutan-berulang-karena-lemahnya-penegakan-hukum/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar