Rabu, 09 Maret 2016

Tentang Kebakaran Hutan (sebuah tanggapan terrhadap Rencana Penelitian)







Tanggapan atas Rencana Penelitian Dr. Zulkarnein Koto, SH.,M.Hum

Penegakan Hukum atas Kebakaran Hutan

  

 
 

 

 

 

 
 

 

 


Menelusuri Social Forces dibalik Kebakaran Hutan

Sebuah Perspektif Sosiologis


 

Kebakaran Hutan: Mencari Hipotesis  
 
            Dalam sosiologi sejak dari yang klasik seperti Auguste Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, hingga yang kontemporer seperti, misalnya, Giddens, Fukuyama  hingga Machel Foucoult sulit sekali mengelakan  konsentrsi pikiran mereka pada perubahan sosial. Perubahan sosial, tentu saja  secara gradatif, menyentuh cara berfikir dan kesadaran masyarakat. Hubungan perubahan sosial dengan kesadaran/cara berfikir masyarakat mendapat tekanan yang berbeda oleh sejumlah teoritisi sosiologi itu tadi. Disinilah menariknya. Misalnya saja, bagi Marx dan Durkheim  kesadaran/cara berfikir  masyarakat ditempatkan sebagai  “akibat” (variabel dependen) dari pergeseran struktur material. Posisi Weber jauh lebih kompleks.  

Nah, mengapa dua hal (“perubahan sosial” dan “kesadaran”) ini penting?  Diskusi dua variabel/istilah (yang mempunyai makna longgar ini) bisa menyentuh banyak dimensi, tentu sangat relefan untuk sekedar “amunisi tambahan” buat Sdr. Dr. Zulkarnein Koto dalam penelitiannya. Begini, misalkan kita persoalkan perihal/istilah[1] “penegakan hukum”. Apakah “penegakan hukum” ini akan diletakkan sebagai : 1) perihal yang disebabkan oleh sesuatu yang lain, atau sebalinkya?  2) apakah  istilah penegakan hukum ini cenderung merupakan ruang sebuah kesadaran/cara berfikir atau sebuah struktur sosial ?  

Pertanyaan nomer 2 ini kita abaikan saja, selain rumit, tak terlalu relefan, dan implikasi diskusinya bisa sangat amat panjang. Mendingan konsentrasi pada pertanyaan pertama. Judul “Efektivitas Penegakan Hukum Kebakaran Hutan dan Lahan”,   hemat saya, perihal efektivitas penegakan hukum tidak bisa dilepaskan dari “godaan” untuk menhubungkannya dengan sejumlah faktor lain yang mempengarhui di dalamnya. Tidak bisa memutus penjelasan dari sejumlah perihal yang mempengarhui proses penegakan hukum.  Peneliti tak bisa berdalih begini, “ini penelitian kualitatif, satu variabel saja, Bung. Jadi hanya ingin mengetahui proses penegakan hukumnya saja”.  Mengapa dalih ini sangat lemah ? Karena pengetahuan si peneliti atas realitas proses penegakan hukum akan secara simultan (secara bersamaan)  menangkap sejumlah faktor atau sebab yang mempengarhui proses penegakan hukum itu. Kalau saja kita klik google secara rerata  didapat kesimpulan, atau sebutlah dalam hal ini adalah hipotesis perihal penegakan hukum dalam fenomena kebakaran hutan ini. Yaitu, bahwa (jelas) kebakaran hutan yang terjadi secara  berulang itu diantaranya disebabkan karena kegagalan penegakan hukum. Bahkan otoritas resmi pemerintah  melalui Menko Kesra Agung Laksono menegaskan hal ini. Harian Pos Kota, 15/3/2014, menyebutkan bahwa kebakaran hutan terjadi di Riau akibat lemahnya penegakkan hukum
.

Hemat saya, dari sini sudah tidak lagi perlu berkutat pada pertanyaan yang terlalu umum tentang ‘bagaimana efektifitas penegakan hukum’. Mengpa ?  Jelas, sekali lagi, penegasan pemerintah sudah bisa dipakai bahwa penegakkan hukum dalam perihal kebakaran hutan tidak efektif. Maka dalam perumusan permasalahan posisi peneliti jelas dan lebih runcing. Keruncingan permasalahan semacam ini penting untuk menuntun elaborsi pada sisi detail, sekaligus ini merupakan standing position si Peneliti

Jadi, bagaimana caranya? Yaitu, mem-break down (mem-preteli)  permasalahan yang telah dirumuskan kedalam pertanyuaan-pertanyaan yang bersifat lebih detail. Melalui  keruncingan sejumlah peranyaan akan memudahkan si Peneliti kearah mana orientasi  arah elaborasi (jawaban) atas main question.   Pertanyaan runcing ini kalau dibuat dalam bentuk pernyataan menjadi hipotesa.

 

Begini Identifikasi Permasalahan peneliti:

 

v  Bagaimana pelaksanaan penegakan hukum terhadap kebakaran hutan dan lahan dan efektifitas penegakan hukumnya ?  

 

Apakah penegakan hukum terhadap kebakaran hutan sebagaiana disampaikan pemerintah itu memang tidak efektif ? 

Kalau yang disampaikan pemerintah ini benar, mengapa ?  

 

Catatan:  1) Jabaran pertanyaan itu (kalau masuk), selayaknya pada prolog di Latar Belakang perlu mengutip penegasan pemerintah tentang gagalnnya penegakan hukum itu.

2) hemat saya, pertanyaan penelitian selayaknya tidak bersayap. Kalau ada dua pertanyaan, ya buat saja dua pertanyaan. Tidak perlu menggunakan istilah efektifitas dalam pertanyaan itu karena sudah ada pada pertanyaan runcing.

 

Menjawab “Mengapa”

Dalam jabaran pertanyaan yang saya tawarkan di atas, pertanyaan “mengapa” (mengapa penegakan hukum tidak efektif) adalah pertanyaan primadona, meskipun bukan main question. Karena melalui jawaban atas pertanyaan seperti ini terapi dan memilih panacea apa akan lebih akurat.   Akan jauh lebih memuaskan jika penelitian ini tidak berhenti pada sekedar menjawab “bagaimana” tetapi maju pada pertanyaan “mengapa”.  Barangkali Sodara Dr. Zulkarnein Kotto sudah melirik pertanyaan “mengapa” itu, dan memandang bahwa pertanyaan “mengapa” secara implisit telah dikandung dalam “bagaimana”-nya. Pandangan Saudara Dr. Zulkarnein Koto ini -- kalau dugaan saya benar --  memang tak terlalu salah. Tetapi, hemat saya cara berfikir semacam ini tidak analitik. Pertanyaan “bagaiamana” mengundang jawaban/elaborasi diskriptif atau eksplotarif;  pertanyaan “mengapa” menuntut elaborasi eksplanatif.  

Bagaimana menjawab pertanyaan “mengapa penegakan hukum tidak efektif terhadap kebakaran hutan/laha ini ?  Izinkan saya membagi jawaban dalam dua model. Pertama, model yang ditawarkan Sdr. Zulkarnein Koto yang tertuang dalam TOT-nya; dan, kedua, model yang saya tawarkan.

Model Pertama. Dalam menjawab pertanyaan ‘mengapa penegakan hukum dalam kebakaran hutan ini gagal atu tidak efektif’, dalam TOR dapat dilacak pada pilihan (kerangka) teoritiknya.  Saya menangkap kesan dalam menjawb pertanyaan itu si Peneliti, Saudara Dr. Zulkarnein Koto,  akan lebih berkonsentrasi pada sisi konstruksi regulasi. Saya kira bukannya Saudara Dr. Zulkarnein Koto  tidak sadar terhadap sejumlah faktor lain yang mempengerhui ketidak efektifan ini diluar teks regulasi.  Misalnya seperti yang ditekankan H. D Hart, tetapi posisi semacam ini nampaknya minor.  Kalau hal ini (ikhwal diluar teks regulasi) dipandang penting, maka pelru pada bagian metode (metodologi) memberikan ancang-ancang (rancangan) untuk mengelaborasi hal ini. Tetapi nampaknya pada bagian Teknik Pengumpulan Data meletakkan konstentrasi elaborasi pada ikhwal analisis teks regulasi. Jadi, sampai disini secara singkat dapat diambil kesimpulan bahwa konsentrasi penelitian dalam menjawab “mengapa” diletakkan pada titik beratnya pada persoalan teks regulasi.

 Padahal diantara kutipan mengandung porsi yang cukup kuat mengangkat juga dimensi (faktor) lain dalam menjawab pertanyanya ‘mengapa’ ini,  tidak efektifnya undang-undang bisa disebabkan karena kabur atau tidak jelas, aparat tidak konsisten dan masyarakat tidak mendukung pelaksanaan undang-undang tersebut”.  Proposisi ini secara tegas mengandung  sebuah ‘petunjuk’ (baca: hipotesa, yang harus dibuktikan secara empirik), bahwa terdapat tiga dimensi untuk menjawab “mengapa” penegakan hukum atas kebakaran hutan dan lahan tidak efektif. Yaitu:

1) undang-undangnya kabur atau tidak jelas;

2) aparatnya tidak konsisten; dan,

3) masyarakatnya tidak mendukung.

 

            Model Kedua. Kalau ditilik secara analitik model pertama di atas,  efektifitas implementasi undang-undang itu terdiri dari dua saja: undang-undangnya (teks regulasi) dan manusianya. Yang dimaksud manusianya itu terdiri dari aparat dan masyarakatnya. Nah, disinilah, pada Model Kedua ini akan  konsentrasi pada manusianya (baik aparat dan masyarakat), bukan pada teks regulasinya.

            Begini,  asumsi dasarnya manusia (baik aparat maupun masyarakat)  adalah mahluk penafsir. Teks regulasi betapapun jelas,  pada derajat tertentu akan selalu terbuka ruang tafsir. (apalagi  kalau regulasi itu masih kabur sebagaimana secara eksplitit dikemukakan Sdr. Dr. Zulkarnein Koto). Terbukanya ruang tafsir itu bisa dua sisi: sisi teks regulasinya an sich , dan   sisi realitas interaksi sosial. Jadi yang ditafsir bukan sekedar teks tertulis tetapi realitas interaksi sosialnya. Meminjam sitilah sosilogi kontemporer adalah ‘reifikasi’. Reifikasi pada dasarnya proses tafsir dalam mengepaskan (compatibilty) antaran teks dengan konteks. Konteks adalah kancah interaksi sosial yang kompleks.  Dibawah  ini kutipan dari sebuah media (maaf saya kehilangan sumbernya) tentang lepasnya jeratan pembalak hutan.







 

"Hakim harusnya melihat lingkungan hidup itu tidak hanya lahan yang terbakar, tetapi udara sebagai akibatnya. Jelas kami kecewa," kata Hadi.

Dalam sidang, majelis hakim yang terdiri dari Parlas Nababan, Eli Warti, dan Kartidjo menolak seluruh gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku penggugat yang juga dibebankan membayar biaya perkara sebesar Rp 10.200.000.
Menurut hakim, seluruh gugatan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan oleh PT Bumi Mekar Hijau di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, tidak dapat dibuktikan, baik berupa kerugian dan kerusakan hayati.

Apalagi, selama proses kebakaran lahan, PT Bumi Mekar Hijau selaku tergugat telah menyediakan sarana pemadam kebakaran dalam lingkungan perkebunan. Majelis hakim menilai kebakaran lahan perkebunan bukan dilakukan tergugat, tetapi pihak ketiga, sehingga tergugat lepas dari jeratan hukum.

 

 


 

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

           

 

Kisah ini penggalan dari (mungkin) puluhan kisah lain yang “sejenis”. Kalau kita kembalikan pada dasar asumsi di atas, tindakan manusia adalah produk tafsir: tafsir atas regulasi dan realitas sosial. Tafsir atas teks regulasi dan realitas tidak kedap dari kekuatan  sosial (social forces). Istilah vulgarnya adalah “kepentingan”. Bagaimana cara melacak social forces ini ?  Yaitu,  melalui banguan/konstruksi sosial hasil tafsir atas teks regulasi dan tafsir atas realitas. Cara yang lebih praktis  penelusuran kontruksi sosialnya  pada: siapa - menafsirkan apa – dapat apa. “Siapa” harus merupakan peran sosial (social role),  mengacu pada  aktor yang harus dibaca secara sosial. Ini menyangkut posisi sosial. Posisi sosial inilah ‘mengontrol’ tindakan aktor, kemudian artikulasi social forces ini mewujud dalam cara dia menafsir (teks regulasi dan realitas sosial).

Prinsipnya, aktor tidak steril dari lingkungan sosial yang terdiri dari (belitan) kekuatan ekonomi, politik, dan budaya.  Meminjam metode kalangan weberian, cara untuk memahami tindakan sosial sebagaimana kita diskusikan ini adalah verstehen. Istilah ini acapkali diterjemahkan ke bahasa inggris sebagai interpretative understanding, meskipun banyak komentar terjemahan seperti ini ke dalam bahawa inggris itu tidk terlalu tepat betul.  Orientasi  metode ini adalah melacak cara orang menafsir realitas atas tindakan. Dalam buku-buku teks disebut sebagai (menafsir) tindakan sosial.

 Memang tidak gampang melacak bahwa aktor itu, misalnya, ‘dikontrol/ditekan’ kekuatan ekonomi. Tetapi, proxy-nya bisa dilacak dari rasionalitas dari lawan-lawannya. Denggan demikian, paling sial kalaupun tidak bisa ditangkap ‘kontrol/tekanan’ ekonomi tetap saja ada sesuatu yang mengontrol gerak rasionaltas. Prinsipnya, tindakan individu tidak sepenuhnya ‘bebas’ atau otonom mengembangkan rasionalitas. Disinilah letak sosialnya. Bagaimana cara melacak bahwa tindakan aktor itu sebetulnya tidak otonom (tetapi sekali lagi merupakan fungsi dari kolektiva)  ?  Berikut kita angkat sebuah ilustrsi data yang dinukil dari  seorang yang menggeluti ikhwal hutan  menuliskannya  dalam Blog,[2]

 

 

 







 

“...Sedangkan penyumbang kerusakan atau ancaman yang paling besar terhadap hutan alam di Indonesia adalah penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan dan eksploitasi hutan. Kenyataan yang dapat dilihat dilapangan lahan hutan banyak dimanfaatkan sebagai pengembangan pemukiman dan industri. 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Data semacam ini akan membuat ‘nyaman’  bagi si Peneliti (Saudara Dr. Zulkarnein Koto) untuk melacak jenis-jenis aktor yagn terlibat dalam pembakaran hutan: bahwa  aktor pembakar hutan bersifat agregatis secara sosial.  Dalam pembacaan yang paling sederhana  betapa tarikan force ekonomi begitu kuta mengontrol perilaku aktor.

Data semacam ini sangat mudah ditemukan di google. Ucapkan termakasih pada google!  Misalnya lagi keterangan dari  Kepala Departemen Sosial dan Inisiasi Kebijakan Sawit Watch, Harijazudin. Orang ini penting karena posisinya sebagai kepala departemen, jadi informasinya A1-lah. Ia mengatakan bahwa fenomena kebakaran hutan dan lahan tahunan terjadi secara sistematis. Masyarakat lokal seringkali menjadi kambing hitam padahal untuk memenuhi kebutuhan aktor-aktor besar.[3]

Keterangan Harizudin ini tentu sebuah data pentinf, terlepas dari kekuatan kesahihan (validitas) tentu perlu dikonfirmasi melalui data yang lain (triangulasi).  Bagaimana mambaca data ini dalam konteks penelitian ini ?  Data ini menegaskan lagi-lagi peran kekuatan ekonomi atau korporasi.  Kapital atau dengan kata lain korporasi  memainkan perilaku penegak hukum. Penjelasan ini bisa jadi ‘terlalu jauh’,  tetapi hal ini bukan tidak mempunyai rujukan teoritik. Cukup kuat sejumlah teori yang menjelaskan bahwa kapital (korporasi) mengontrol perilaku aktor,  bahkan komunitas atau bahkan aparat.  

 







Kutipan 2

...., penegakan hukum tak optimal karena tak ada efek jera, seperti PT Adei Plantation (AD), berkali-kali terkena hukuman.

Tahun 2001, AD divonis bersalah Mahkamah Agung delapan bulan penjara dan denda Rp100 juta karena sengaja membakar lahan 3.000 hektar. Pada 2006, terjadi gugatan perdata US$1,1 juta karena di Bengkalis terbakar. Pada 2013, didakwa membakar lahan di Desa Batang Nilo Kecil, Pelalawan seluas 304.703 meter persegi. Terakhir kasus IUP ilegal 2014. Namun tiga terdakwa  yaitu  Danesuvaran KR Singam, Tan Kei Yoong dan Goh Tee Meng (warga negara Malaysia) vonis bebas. “Dibebaskan dengan alasan terdakwa orang asing, yakni Malaysia. Ini aneh. Harusnya KLHK banding.”

BP REDD+ pada Oktober 2014, mengeluarkan audit kepatuhan perusahaan dan pemda di Riau terkait pencegahan kebakaran hutan. Hasilnya, seluruh perusahaan tak patuh soal penanganan kebakaran hutan dan lahan.....

 

http://www.mongabay.co.id/2015/07/13/buku-menyibak-kebakaran-hutan-dan-lahan-yang-terus-berulang/

 


Data lain,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kutipan ini bisa saja diletakkan sebagai data proxy untuk menjawab adanya kekuatan sosial yang mempengaruhi tindakan sosial seseorang. Jadi, kutipan ini dapat menjelaskan bahwa berulangnya kebakaran hutan disebabkan karena tak ada jera terhadap hukuman. Tak perlu poin ini di-personalisasi, bahwa misalnya ketidak jaraan ini merupakan fenomena personal-kejiwaan. Bukan itu persoalannya. Pilihan atas tindakan membakar hutan harus dipandag rasional. Cara memandang pelaku menggunakan pilihan rasional ini penting untuk menjelaskan kekuatan ekonomi yang sedang bekerja. Kutipan di atas keuntungan membakar hutan lebih reasonable meskipun kena hukum pidana. Nah, dari sini barulah make sense mempersoalakan teks regulasinya. Lagi pula, dalam sebuah web yang lain saya kira otoritatif menukil tentang sumber daya alam, “Kerusakan bahkan diperburuk oleh krisis ekonomi yang melanda sejak beberapa tahun yang lalu[4].

Data kutipan terakhir ini-- Kerusakan bahkan diperburuk oleh krisis ekonomi-- kembali menegaskan  bahwa kekuatan ekonomi begitu dahsyat dalam fenomena   berulangnya kebakaran hutan, yang an sich  merambah pada tumpulnya penegakan hukum.

 

 

 

Skema dua model

 

 


 

 

 

Skema ini hanya kesimpulan dari uraian di atas.  Pusat pertanyaannya, “mangapa kebakaran hutan selalu berulang ? “    Pertanyaan ini paralel dengan “Mengapa penegakan hukum terhadap kebakaran hutan tidak efektif  ? 

 Terdapat dua cara berfikir (teori)  besar sebagaimana dirumuskan pada skema. Model pertama lebih menekankan pada ikhwal teks regulasinya. Didalamnya menyangkut tumpang tindih peraturan dan undang-undang dan ketidakjelasan  atau kaburnya bunyi regulasi.  Pada model kedua lebih menekankan pada aspek-aspek diluar teks regulasi yang membelit tindakan manusia. Yang dimaksud manusia adalah termasuk di dalamnya aparat penegak hukum dan  masyarakat. Karena manusia adalah mahluk yang menafsir, tetapi cara ia menafsir tidak bisa lepas dari belitan kekuatan-kekuatan di luar dirinya.

 

 

 

Mencari “Sebab Terdekat”

Kalau kita sedikit mau merenung ke belakang, ratusan tahun lalu atas fenomena kebakaran hutan ini, masyarakat menkategorikanya  sebagai jenis musibah atau cobaan,  atau bencana alam biasa seperti halnya gunung meletus.  Pengertiannya, tidak ada campur tangan manusia dalam  yang terlibat langsung  atas fenomena kebakaran itu. Mereka menyebut ‘alam sedang marah’. Orang-orang “pinter” pada era itu tidak semata menglamatkan pada dosa manusia tetapi alam ini mempunyai roh. Dan, hidup dan minta sesaji. Kemarahan alam karena manusia lupa tidak lagi memberikan sesajen. 

Ketika agama dari Timur Tengah mendunia, misalnya pada abad 13-an, fenomena asal-usul kebakaran hutan atau sama dengan bencana alam tentu saja tidal lagi dialamatkan kepada alam yang marah tetapi kepada manusia an sich . Dialamatkan kepada dosa manusia.  Tetapi apa itu dosa ?   Yang dimaksud dosa mengacu secara terbatas pada wacana besar (grand discourse) fiqh-eskatologik. Para da’i di mesjid (dan pendeta di gereja) dalam khutbahnya  berpesan agar umatnya rajin-rajin melakukan ritus-ritus sebagaimana diajarkan Sang Tauladan. Isinya: tidak boleh berzinah, rajin-rajin shalat berjamaah, bayar zakat dan seterusnya-seterusnya.      

            Apakah makna dari kisah sejarah ini ?  Maknanya adalah :   cara berfikir teologik-methafisis semacam itu sudah tidak lagi mandapat tempat pada hari ini, utamanya ketika teknologi penjelajah alam semesta begitu canggih dan sangat efektif. Paling tidak, kerangka berfikir lama semacam di atas terasa usang.  Tidak memuaskan. Kalau agama mau tetap eksis  musti disuntik/bersahabat dengan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, caranya dengan meletakan reduksi bahwa fenomena alam merupakan hubungan kuat dengan fenomena sosial yang komplek. Sehingga, misalnya, masuk akal dan tepat komentar  Agung Laksono di Kemenko Kesra, Kamis (27 Februari 2016), bahwa  95 persen kebakaran hutan akibat ulah manusia, bukan karena faktor alam. Karenanya, pelakunya jangan hanya ditangkap, tapi harus diadili dan dihukum seberat-beratnya[5]. Disini  ilmu pengetahuan justru dengan sifatnya yang analitik akan selalu mengandung reduksi.  Rumusnya harus dicari pada “sebab terdekat” yang bisa menjelaskan kebakaran hutan. Atau,  bahasa metodiknya disebut sebagai  “variabel langsung”. Bukan “variabel antara”.  Misalnya, banyak orang berzina, berghibah, maksiat dan seterusnya,  tentu fenomena agama ini  bukan merupakan  sebab langsung atas terjadinya kemarahan alam. Meskipun dimensi semacam itu bisa saja  memberikan kontribusi atas kemarahan alam tetapi penjelasnannya masih membutuhkan “sebab-sebab yang terdekat” yang  bisa memuaskan terjadinya kebakaran hutan yang berulang.

 

  Maka, apa “sebab terdekat” itu ? 

Hemat saya, tak perlu buru-buru menjawab pertanyaan semacam ini, sebelum  terlebih dahulu mendudukan perkaranya pada apa yang dimaksud “sebab terdekat” itu sendiri. Diskusi semacam ini penting karena menyangkut pilihan paradigma dalam melacak “sebab terdekat”: antara aktor dengan struktur  (Giddens:      ). Kalau menilik komentar Agung Laksono di atas  maka secara kentara berpijak pada struktur, baik dalam mengatasi persoalan maupun perihal yang dipandang sebagai “sebab”.  Artinya, persoalan struktur lah yang menhyebabkan berulangnya kebakaran hutan. Bukan berarti aktor itu tidak kreatif atau tak berdaya. Tetapi jika fenomena yang menyangkut manusia di dalam  masayarakat  itu mempunyai trend atau kecendereungan secara statistik  maka ada sesuatu “yang sosial” disitu!   Bandingkan dengan  lilustrasi di bawah ini yang meletkkan ‘aktor’ sebagai sebab.

   Sebuah media massa pernah melaporkan. Pada suatu  musim kemarau seorang wartawan melihat langsung seseorang membuang puntung rokok. Diluar dugaan menyebabkan kebakaran hutan. Kemudian wartawan ini menulis bahwa kebakaran hutan disebabkan oleh puntung rokok yang dibuang secara sembarangan. Nah, puntung rokok  dalam kisah itu memang merupakan “sebab lansung”  tetapi bukan pula sebab semacam ini yang menjadi primadona dalam menjelaskan fenomena sosial.

 

 

Jakarta, 7 Maret 2016

 

 

 




* Sutrisno, Pengajar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian pada bidang “Sosiologi” dan “Filsafat”; Doktor Sosiologi Universitas Indonesia dengan Disertasi tentang ‘Relasi Kuasa’.
 
[1] . Khusus disini saya lebih suka menggunakan istilah “perihal”, bukan “variabel”.  Penggunaan istilah “perihal” supaya tidak menjadi kegaduhan yang tak perlu.  Acapkali menyita waktu dan (maaf: tidak mutu) kalau sekedar, misalnya, jika saya menggunakan istilah ‘variabel’ terus ditanggapi, ‘koq kualitatif pake variabel, atau yang lain’. Padahal, kedua terminologi ini secara fungsional mempunyai makna yang tidak berbeda. Begitu pula dengan istilah ‘efektifitas’, saya sepakat dengan Sdr. Dr. Zulkarnein Koto dalam penelitian ini. Bahwa tidak perlu selalu bertendensi kuantitatif.  Sama halnya dengan istilah ‘pengaruh’, sekali lagi, tak selalu harus kuantitatif. Konteks-lah (persoalan) yang memformat  penelitian itu kuanti atau kuali.
[2].https://isharyanto.wordpress.com/derap-ekonomi-publik/kebakaran-hutan-di-indonesia-dan-penegakan-hukumnya/
 
[3] http://www.mongabay.co.id/2015/07/13/buku-menyibak-kebakaran-hutan-dan-lahan-yang-terus-berulang/
 
[4] .  http://saveforest.webs.com/masalah.hutan.pdf
[5]. http://possore.com/2014/02/27/menko-kesra-kebakaran-hutan-berulang-karena-lemahnya-penegakan-hukum/
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar