Sabtu, 02 April 2016

Semiotika Kepolisian



Semiotika Kepolisian

Kalau polisi dihadapkan pada dua pilihan antara penegakan hukum dengan  ketertiban masyarakat,  manakah  yang lebih utama ?  Pertanyaan semacam ini selain menjadi bahan diskusi sehari-hari di ruang pendidikan formal kepolisian sejak dari  PTIK hingga Sespimti, juga  merupakan isu paling tua sejak kehadiran polisi sebagai sebuah profesi.  Sebagai profesi,  artinya ia bekerja secara modern: dilatih dan digajih. Ini prinsip utama yang membedakanya dengan polisi  pra modern yang meskipun juga dilatih namun sepenuhnya merupakan  refleksi  kuasa sang raja. Di dalam sistem politik otoritarian dan umumnya era pra modern  tidak ada yang mengantarai untuk dirujuk sebagai sumber bertindak  selain sang raja,  sehingga diskresi kepolisian hanya pada tafsir atas sabda Sang Raja. Disini diskresi kepolisian hampir tidak pernah salah.  
Jadi, jadi polisi era pra modern cenderung mudah, tidak perlu berkemampuan menafsir realitas. Tidak perlu cerdas seperti polisi sekarang. Bayangkan, polisi hari ini dituntut  tidak sekedar harus mempunyai kemampuan menafsir  otoritas/kuasa yang didalamnya musti  menimbang orang nomer satu, nomer dua  dan seterusnya, tetapi juga harus menafsir teks legal formal,  dan jangan lupa sekaligus harus menafsir realitas sosial. Tidak berlebihan kalau sejumlah kalangan memandang bahwa kerja polisi saling berkelindan antara mahir berhukum juga sekaligus mahir bersosiologi.  
Rentetan kesibukan Bareskrim Polri awal tahun yang menyeret rekan-rekan sejawat penegak hukum KPK merupakan pergulatan klasik tentang bagaimana ia menjawab pertanyaan besar  di atas.  Sebagai realitas yang serba bisa ditafsir sedemikian rupa,  antara penegakan hukum sebagai persoalan teks hukum  dan  ketertiban masyarakat sebagai sebuah gejala tatanan masyarakat,  tidaklah begitu nyata senyata siang dan malam. Coba saja telisik, yang pertama, apakah masyarakat akan kacau atau menjadi tidak tertib kalau polisi memilih penegakan  hukum? Di lain pihak apakah yang dimaksud penegakan hukum itu memang murni persoalan  hukum? Keduanya tidak jelas sejelas siang dan malam itu. 
Tetapi yang jelas kesibukan Mabes Polri awal tahun ini memilih ‘yang hukum’, ketimbang  ‘yang masyarakat’. Tentu saja, dasar argumen penangkapan  harus standar-formalistik. Sebagaimana disampaikan otoritas kepolisian kepada publik: normatif. Kerangka normatif semacam ini pun tidak luput dari serangan publik. Alih alih tak ada bahasa lain yang patut digunakan kalangan penegak hukum  selain  bahasa legal formal yang normatif, yang mempunyai watak warna hitam-putih. Kalaupun ada yang abu-abu, melalui kerja mesin hukumlah  ia ‘dikembalikan’ kepada  hitam atau putih.

Warna kontras hitam dan putih begitu penting sekaligus menjadi watak ranah hukum. Barangkali,  tidak pula perlu ditafsir secara tegas bahwa hitam sebagai selalu salah dan putih selalu benar dalam kerangka moral. Ini karena justru diskresi kepolisian selayaknya merupakan kontestasi teks legal dengan dunia sosial yang bergerak. Jangan-jangan “diskresi” Noval yang memakan korban warga hanya berlaku pada waktu itu, sehingga tidak pula dipersoalkan oleh kepolisian pada waktu itu. Toh, belakangan diskresi ini tidak lagi bisa berdamai  dengan nilai rasa institusi ini. Meminjam cara pikir realisme, betapa realitas itu  kompleks dan berundak-undak. Disini menegaskan  hukum bukanlah institusi yang terisolasi dari lingkungan sosial yang statis.  Persoalanya alasan penangkapan  bukanlah argumentasi yang relefan tentang pilihan pada dua aras kerja kepolisian antara pilihan hukum dengan kepentingan ketertiban masyarakat,   betapapun argumen legal formal  menjadi  jangkar berlabuh yang nyaman  bagi  kepolisian   karena  sifatnya yang  hitam putih.
Argumen derivatif  yang mengikat logika pilihan penegakan hokum  adalah, “ikuti proses hukum, hentikan bermain opini massa dan kuasa!”  Penggunaan argumentasi semacam ini tidak  sadar bahwa dirinya sesungguhnya sedang pula memainkan  kuasa, paling tidak kuasa dalam memilih jalur. Bukankah pilihan pada  penegakan hukum ataupun  ketertiban masyarakat mustahil mengesampingkan dimensi kuasa. Eksistensi pilihan itu sendiri adalah sebuah ruang kuasa. Menanggalkan kemungkinan pilihan justru mempersempit kuasa. Alih-alih pilihan pada jalur hukum berarti melempar persoalan  pada mekanisme memaksa yang menjadi watak kuasanya sembari secara sekaligus mempersempit kuasanya. Tentu, sense of superiority semacam ini tidak salah dalam perspektif demokrasi dimana ruang-ruang kuasa tercecer sedemikian rupa. Namun tentu pula sense of superiority itu tidak cukup semata disandarkan pada teks legal kalau tidak mau menghadapi persoalan legitimasi dari masyarakat yang sesungguhnya menjadi ruh institusi kepolisian. 

Menghindari ‘Ruang Mistik’
Menempatkan kepentingan hukum dengan kepentingan ketertiban masyarakat sebagai hubungan permainan jungkat-jungkit (see-saw) tentu merupkan tata pikir yang terlalu menyederhanakan persoalan. Karena pada dasarnya eksistensi hukum legal formal itu sendiri untuk menjaga tertib masyarakat. Memang tidak selalu linier memandang hukum legal formal sebagai penyelesai segala persoalan, karena berarti  sama dengan secara sengaja membuat buta diri atas ruh tertib kemasyarakatan yang justru merupakan credo berhukum itu sendiri. Bahkan, misalnya Bankowski dan Nelken (1981) menyebut solusi hukum justru menjadi musuh demokrasi partisipatif.  
Bukan karena semata-mata  teks hukum legal formal itu tertinggal dari perubahan sosial,  tetapi acapkali instrument dan elemen-elemen mesin hukum itu bekerja kontra produktif bagi demokrasi.  Pertama, teks hukum legal formal tidak mengenal prioritas mana yang harus didahulukan dan dibelakangkan. Skala prioritas ini harus dilihat pada konstelasi holistik hubungan antar antar institusi dalam kerangka sistem yang menunjang bangunan demokrasi.  Kepolisian sebagai otoritas hukum baru bisa menempatkan prioritas tindakanya setelah mengkontestasikan cara berhukum dengan ranah  ralitas sosial yang disebut ketertiban masyarakat itu.
Kedua, mesin hukum yang didalamnya terlibat sejumlah elemen acap kali bekerja dalam remang-remang, kalau tidak gelap. Remang-remang ini  meminjam  J.P Brodeor (1983) disebut sebagai ruang mistik. Chaeruddin Ismail, mantan Kapolri lebih suka menyebutnya sebagai tertutupnya meta kognisi. Banyak riset, demikian kata Brodeor dalam bukunya High Policing and Low Policing itu bahwa  tugas utama polisi dalam sejarah peradaban adalah melawan ruang mistik ini. Mistik adalah sebuah dimensi sosial dimana hanya orang terbatas saja yang bisa memasuki ruang ini. Jangan sampai cara berhukum menjadi sebuah prosedur teknis yang tidak lagi dapat difahami secara rasional seperti halnya praktek dalam ritus-ritus kepercayaan: ayat-ayat dalam pasal menjadi mantra yang bergerak dengan mekanismenya sendiri. Tidak!  Kemajuan sebuah komunitas manusia, sebutlah itu sebuah bangsa,  tidak bisa diserahkan pada mekanisme alam yang bergerak sendiri setelah mantra didendangkan  sebagaimana kepercayaan era metafisik yang mistik. Bersikukuh pada teks legal formal tanpa mendealektikakan dengan realitas sosial  hanya  membuka peluang  terjebak pada  dimensi mistik yang tak masuk akal. Kemasukakalan dalam keranga ini berarti mengembaika  orientasi cara kerja polisi pada dasar-dasar kepentingan ketertiban dan tatanan masyarakat. Tidak kurang-kurang literatur penting memperkuat proposisi semacam ini, seperti Scolnick (1975), Brogden (1982), dan Cain (1979). Wallahu’alam.   


             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar