Kecenderungan
Global, Kamdagri, dan (Re)posisi Kepolisian
(Penelusuran
Sosiologi atas Ideologi Fundamentalisme)
Utilitatis ratio alicuius perspicua
nobis out obscura
Bagi
kita, alasan kegunaan sesuatu itu bisa jelas
tetapi juga bisa gelap
Abstrak
Fundamentalisme
hadir di penghujung abad ke-20 bukan melulu berbasis agama (dengan
‘iming-iming’ after live) dan Marxis, namun fundamentalisme juga hadir dalam matra rasionalitas
instrumental. Otoritas negara, selain ‘gamang’ menjegal gerak fundamentalis dalam alam
demokrasi ini, pada sisi lain tak mudah bagi negara mengidentifikasi persoalan
dasarnya. Alih-alih, negara terperangkap pada pusaran fundamentalisme bermatra
rasionalitas instrumental. Artikel pendek ini lebih menawarkan sebuah persoalan
ketimbang jawaban, perihal: dari mana memulai pembacaan persoalan yang
mengancam rasa aman atas ras manusia dan kolektivitas yang disebut negara
bangsa ?
Kata Kunci: Fundamentalisme, Rasionalisme, dan Utilitarianisme.
Prolog
Di tahun 1980-an ramai
diskusi di kalangan cendikiawan muslim perihal kontribusi agama bagi
kemanusiaan. Kalau dirumuskan dalam sebuah kalimat tanya topik diskusi itu adalah, “Apakah agama
mempunyai fungsi sentrifugal atau sentripetal?” Topik diskusi ini marak setelah
sejumlah pengeboman yang dilakukan kalangan islam garis keras di sejumlah
tempat. Sekitar sepuluh tahun setelah reformasi angka jama’ah haji dari Indonesia meningkat pesat.
Kenaikan orang bertitel haji ini dibaca sebagai dua indikasi: pertama, meningkatnya
taraf ekonomi, dan kedua, meningkatnya jumlah orang-orang soleh di Indonesia. Sosiolog
Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola pada sebuah acara diskusi televisi dengan
sengit membantah hipotesis yang kedua ini. Menurutnya tak ada hubungan antara
kesolehan ritual (haji) dengan kesolehan sosial. Alasan yang dikemukakan
sosiolog ini sederhana, bahwa koruptor besar maupun kecil di Indonesia, kalau
di KTP tercantum beragama islam hampir bisa dipastikan pernah berhaji[1].
Jika hipotesis sosiolog
ini benar, bagaimana cara membaca ‘kesolehan’ kelompok islam garis keras yang
ramai didiskusikan pada tahun 80-an itu ? Mereka berjuang atas nama jihad mengorbankan jiwa raga untuk
islam ? Dalam logika linier, modus keberagamaan kelompok islam garis keras ini
lebih soleh dibandingkan orang-orang yang bertitel haji di atas. Tandanya
adalah ‘tindakan sosial’ bersifat asketik dan altruistik yang melekat pada
kelompok islam garis keras. Altruistik merupakan buah loyalitas atas
nilai-nilai non material. Dalam kerangka Emile Durkheim, altruisme ini merupakan
bentuk tindakan kesholehan yang mempunyai implikasi serius pada solidaritas
sosial.
Namun, kerangka Durkheimian
ini pada era modern agaknya tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan
mendasar atas pertanyaan: “apakah agama mempunyai fungsi sentrifugal atau
sentripetal ?” Kesulitannya adalah pada ukuran moral yang menjadi pijakan untuk
mengukur sebuah tindakan. Modernisme yang bertumpu pada filsafat moral
utulitarian selain menyuguhkan janji prosperity
(baca: kemudahan dalam menghadapi alam), juga menggelar jenis rasionalitas
yang dalam banyak hal menindas virtue kemanusiaan.
Sehingga relasi sosial selalu diformat dalam rasionalitas instrumental.
Disinilah persoalannya: kalau modus keberagamaan fundamentaslime dipandang
sebagai ancaman terhadap keamanan dan ketertiban; maka bentuk rasionalisme instrumental
yang diusung modernisme itu sendiri
sesungguhnya sebuah bentuk fundamentalisme baru disepanjang peradaban
manusia. Disini, rasa keamanan manusia terusik oleh dua jenis fundamentalisme
ini hadir secara bersama-sama di pengujung abad ke-21 ini.
Penelusuran
Perspektif: Kecenderungan Global
Amitai Etzioni,
sosiolog Israel-Amerika kelahiran 1930, berkarir di University of California, dalam The
Moral Dimension Toward a New Economics me-wanti-wanti
hadirnya pertarungan sistem moral yang bekerja dalam sistem ekonomi.
Pertarungan sistem moral ini dimulai, paling tidak, gelagatnya dapat dibaca sejak
menguatnya teknologi informasi (baca: globalisasi). Apa itu pertarungan sistem
moral ?