Kamis, 07 Maret 2013

Kecenderungan Global vs. Kepolisian



Kecenderungan Global, Kamdagri, dan (Re)posisi Kepolisian
(Penelusuran Sosiologi atas Ideologi Fundamentalisme)

 

Utilitatis ratio alicuius perspicua
nobis out obscura
Bagi kita, alasan kegunaan sesuatu itu bisa jelas
 tetapi juga bisa gelap

Abstrak
Fundamentalisme hadir di penghujung abad ke-20 bukan melulu berbasis agama (dengan ‘iming-iming’ after live) dan Marxis, namun fundamentalisme  juga hadir dalam matra rasionalitas instrumental. Otoritas negara, selain  gamang’ menjegal gerak fundamentalis dalam alam demokrasi ini, pada sisi lain tak mudah bagi negara mengidentifikasi persoalan dasarnya. Alih-alih, negara terperangkap pada pusaran fundamentalisme bermatra rasionalitas instrumental. Artikel pendek ini lebih menawarkan sebuah persoalan ketimbang jawaban, perihal: dari mana memulai pembacaan persoalan yang mengancam rasa aman atas ras manusia dan kolektivitas yang disebut negara bangsa ?   


Kata Kunci: Fundamentalisme, Rasionalisme,  dan Utilitarianisme.  

Prolog
Di tahun 1980-an ramai diskusi di kalangan cendikiawan muslim perihal kontribusi agama bagi kemanusiaan. Kalau dirumuskan dalam sebuah kalimat tanya  topik diskusi itu adalah, “Apakah agama mempunyai fungsi sentrifugal atau sentripetal?” Topik diskusi ini marak setelah sejumlah pengeboman yang dilakukan kalangan islam garis keras di sejumlah tempat. Sekitar sepuluh tahun setelah reformasi angka  jama’ah haji dari Indonesia meningkat pesat. Kenaikan orang bertitel haji ini dibaca sebagai dua indikasi: pertama, meningkatnya taraf ekonomi, dan kedua, meningkatnya jumlah orang-orang soleh di Indonesia. Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola pada sebuah acara diskusi televisi dengan sengit membantah hipotesis yang kedua ini. Menurutnya tak ada hubungan antara kesolehan ritual (haji) dengan kesolehan sosial. Alasan yang dikemukakan sosiolog ini sederhana, bahwa koruptor besar maupun kecil di Indonesia, kalau di KTP tercantum beragama islam hampir bisa dipastikan pernah berhaji[1]. 
Jika hipotesis sosiolog ini benar, bagaimana cara membaca ‘kesolehan’ kelompok islam garis keras yang ramai didiskusikan pada tahun 80-an itu ? Mereka berjuang  atas nama jihad mengorbankan jiwa raga untuk islam ? Dalam logika linier, modus keberagamaan kelompok islam garis keras ini lebih soleh dibandingkan orang-orang yang bertitel haji di atas. Tandanya adalah ‘tindakan sosial’ bersifat asketik dan altruistik yang melekat pada kelompok islam garis keras. Altruistik merupakan buah loyalitas atas nilai-nilai non material. Dalam kerangka Emile Durkheim, altruisme ini merupakan bentuk tindakan kesholehan yang mempunyai implikasi serius pada solidaritas sosial.
Namun, kerangka Durkheimian ini pada era modern agaknya tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan mendasar atas pertanyaan: “apakah agama mempunyai fungsi sentrifugal atau sentripetal ?” Kesulitannya adalah pada ukuran moral yang menjadi pijakan untuk mengukur sebuah tindakan. Modernisme yang bertumpu pada filsafat moral utulitarian selain menyuguhkan janji prosperity (baca: kemudahan dalam menghadapi alam), juga menggelar jenis rasionalitas yang dalam banyak hal menindas virtue kemanusiaan. Sehingga relasi sosial selalu diformat dalam rasionalitas instrumental. Disinilah persoalannya: kalau modus keberagamaan fundamentaslime dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan dan ketertiban; maka bentuk rasionalisme instrumental yang diusung modernisme itu sendiri  sesungguhnya sebuah bentuk fundamentalisme baru disepanjang peradaban manusia. Disini, rasa keamanan manusia terusik oleh dua jenis fundamentalisme ini hadir secara bersama-sama di pengujung abad ke-21 ini.


Penelusuran Perspektif: Kecenderungan Global

Amitai Etzioni, sosiolog Israel-Amerika kelahiran 1930, berkarir di  University of California,  dalam The Moral Dimension Toward a New Economics  me-wanti-wanti hadirnya pertarungan sistem moral yang bekerja dalam sistem ekonomi. Pertarungan sistem moral ini dimulai, paling tidak, gelagatnya dapat dibaca sejak menguatnya teknologi informasi (baca: globalisasi). Apa itu pertarungan sistem moral ?