Kamis, 07 April 2016

"Relativitas" Ayat


"Relativitas" Ayat
            Mengapa ayat Al Qur’an turun tidak serentak ?  Rasionalnya, ia diturunkan secara berangsur-angsur dalam rangka merespon persoalan kemanusiaan (baca: umat islam) yang bergerak dinamis.  Ayat yang berfungsi regulasi  merupakan respon terhadap persoalan yang bergerak pula. Dalam bahasa pragmatis, turunnya ayat itu berorientasi  problem solving tadi. Karena tidak semua ayat itu bersifat regulatif, maka ayat semacam inilah yang tidak lekang oleh perubahan/dinamika sosial. Ayat semacam ini penerapannya tidak mengenal kondisi social.  Pengertian ayat regulatif pun bersifat gradatif pada tingat mengikatnya.

            Turunnya Al Qur’an secara berangsur atau tidak sekaligus menunjukan hubungan regulasi Tuhan atas manusia  dengn konndisi sosial itu bersifat dialektis. Dengan demikian pembacaan ayat tidak bisa dilepaskan dari konteks sosialnya, pada asbabun nuzul. Pembacaan ini selalu dua aras konteks: pertama, pembacaan terhadap ayat itu sendiri (hermenetik); kedua, pembacaan terhadap kondisi sosial. Pembacaan atas kondisi social mengandaikan penerimaan islam atas sosiologi.  Perdamaian keduanya bertemu pada titik silang yang disebut maqasid al syari’ah. Tanpa mendamaikan posisi dialektis trsebut berarti mengangkangi  formula dasar  orientiasi turunya ayat yang berangsur itu. Hemat saya, surat Makiyah dan Madinah sekedar pembabakan kronogis, tanpa harus meletakkan kerangka preferensi ‘tipe ideal’ sebuah siste sosial. Bagi seorang muslim tak perlu memaki zaman. Setiap zaman mempunyai semangatnya sendiri tanpa men-tipe ideal-kan sebuah zaman. Zaman terus bergerak...

Senin, 04 April 2016

Mbah Sadiman


Mbah Sudiman

            Kick Andi edisi minggu lalu menghadirkan tamu istimewa:  Pak Sudiman dari Wonogiri,  laki-laki bertubuh kecil usia lebih dari 60 tahun yang menghijaukan  tanah tandus seluas lebih 100 hektar. Tanpa biaya pemrintah. Ini gila!  Lebih hebat lagi ia menanami tanah yang bukan miliknya sendiri. Ia Cuma menanam, menanam, dan terus menanam. Tujuannya cuma supaya hutan tanah tandus itu hijau kembali. Titik. Bibitnya kadang dibeli dasi uang yg ia sisakan dari peruntukan keluarga.
Pada acara Kick Andy ini menceritakan kembali saat-saat Pak Sadiman  mendapat award  Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurmabya. Dalam acara bergenngsi ini Pak Sudiman dipanggil ke depan. Menerima semacam fandel.  Entahlah, baginya apa gunanya fandel ini. Ketika ditanya senangkah ia mendapatkan penghargaan itu, ia mengatakan biasa-biasa saja. Ya, memang biasa saja, untuk apa fandel itu! Untuk apa jadi juara! Manusia jenis ini bukanlah manusia yang pandai bicara, atau butuh jadi juara,  apa lagi mendayagunakan secara berlipat penghargaannya untuk keuntungan dirinya layaknya politikus yang melipatkagandakan fungsi  lidahnya tak bertulang. Memuakkan! Tetapi mungkin saja fandel itu ada gunanya, menjadi salah satu barang bagian dari hiasan ruang tamu yang sederhana. Dan, kelak menjadi bahan cerita cucu dan cicit. Syukur-sukur dengan itu cucu atau cicit bisa mendayagunakan vandel itu untuk tujuan politik, ya..jadi lurah...

Vandel penghargaan bergengsi yang diterima dari Menteri ini digendong, dikempit  dengan kedua tangnnya. Kemudian Mbah Sadiman maju ke depan mendekati microfon. Tangan kanannya memcocokan microfon dengan tinggi badannya. Siap berpidato. Dibuka dengan puji syukur. Sepertinya tak fasih mengucap kata “Allah”. Jangan dibandingkan dengan  politisi partai agama! Terimakasih kepada “Gusti Allah”, begitu ia menyebutnya. Setelah kalimat pembuka ini Pak Sadiman lupa lagi entah apa lagi yang mau diucapkan. Tidak sesuai rencana awal tentang apa yang mau dikatakannya. Ya, sudahlah...ia turun dari panggung. Menyalami sejumlah pejabat dan petingggi  LSM yang duduk di depan panggung. Orasi itu isinya hanya pembuka.

Tentu, sekali lagi, manusia jenis ini tak pandai bicara. Untuk menjadi manusia  berguna tak harus pandai bicara..... khairu nas yanfa’u linas.

Minggu, 03 April 2016

Memilih Gubernur


 

Memilih Gubernur

Sebuah Renungan
 

Tak habis pikir bagi saya mengapa MUI tidak mengeluarkan fatwa tentang  cara memilih gubernur, bupati, atau presiden khusus kaitannya dengn identitas agama. Misalnya pertanyaannya bisa dirumuskan demikian:  Apakah hukumnya memilih gubernur atau pemimpin pemerintahan non-muslim? Patokan cara memilih pemimpin pemerintahan merupakan kebutuhan dalam kerangka orientatif perilaku keagamaan pada era demokrasi seperti hari ini. Barangkali, yang harus menjadi diskusi di kalangan MUI adalah pada perbandingan sistem sosial hari ini yang rumit dengan era  beberapa saat setelah jatuhnya kekalifahan dimana produk fiqh mulai menemukan dinamikanya. Hari ini, ketika demokrasi berkembang sedemikian rupa tentu cenderung tidak mudah begitu saja mengambil istinbath sebagaimana fiqh ratusan tahun yang lalu.  Oleh karena itu, patokan (produk MUI, berupa fatwa) ini tidak pula perlu ‘tegas’ dalam pegnertian teknis .     

Secara sosiologis  fatwa penting dalam kerangka standar (conduct) perilaku yang direstui agama. Kekosongan code of conduct MUI terhadap persoalan ini bagi saya mengundang pertanyaan.  Mungkin MUI memandang soal milih gubernur  ini sebagai remeh temeh! Mungkin pula sikap MUI untuk sekedar menghindari kontroversi.   Kekosongan fatwa ini diisi banyak kalangan mubaligh  “membuat”  fatwa sendiri sesuai seleranya. Cara berfikirnya seringkali instan, alias  langsung merujuk pada Al Qur’an (dan Sunah), tanpa bantuan ilmu-ilmu lain. Seakan-akan kitab suci itu diletakkan sebagai manual praktis tanpa referensi yang  lain.