Minggu, 03 April 2016

Memilih Gubernur


 

Memilih Gubernur

Sebuah Renungan
 

Tak habis pikir bagi saya mengapa MUI tidak mengeluarkan fatwa tentang  cara memilih gubernur, bupati, atau presiden khusus kaitannya dengn identitas agama. Misalnya pertanyaannya bisa dirumuskan demikian:  Apakah hukumnya memilih gubernur atau pemimpin pemerintahan non-muslim? Patokan cara memilih pemimpin pemerintahan merupakan kebutuhan dalam kerangka orientatif perilaku keagamaan pada era demokrasi seperti hari ini. Barangkali, yang harus menjadi diskusi di kalangan MUI adalah pada perbandingan sistem sosial hari ini yang rumit dengan era  beberapa saat setelah jatuhnya kekalifahan dimana produk fiqh mulai menemukan dinamikanya. Hari ini, ketika demokrasi berkembang sedemikian rupa tentu cenderung tidak mudah begitu saja mengambil istinbath sebagaimana fiqh ratusan tahun yang lalu.  Oleh karena itu, patokan (produk MUI, berupa fatwa) ini tidak pula perlu ‘tegas’ dalam pegnertian teknis .     

Secara sosiologis  fatwa penting dalam kerangka standar (conduct) perilaku yang direstui agama. Kekosongan code of conduct MUI terhadap persoalan ini bagi saya mengundang pertanyaan.  Mungkin MUI memandang soal milih gubernur  ini sebagai remeh temeh! Mungkin pula sikap MUI untuk sekedar menghindari kontroversi.   Kekosongan fatwa ini diisi banyak kalangan mubaligh  “membuat”  fatwa sendiri sesuai seleranya. Cara berfikirnya seringkali instan, alias  langsung merujuk pada Al Qur’an (dan Sunah), tanpa bantuan ilmu-ilmu lain. Seakan-akan kitab suci itu diletakkan sebagai manual praktis tanpa referensi yang  lain. 
     

Bolehkan memilih gubernur/pemimpin pemerintahan  non muslim?  Nash yang dipakai untuk menjawab ini biasanya merujuk pada term “awliya” dalam Al Maidah;51 :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi “awliya” mu; sebagian mereka adalah “awliya” bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi “awliya”, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

 Jiika “Awliya” dirterjemahkan sebagai pemimpin pemerintahan maka selesai ceritanya, bahwa :  TIDAK BOLEH MEMILILH GUBERNUR NON-MUSLIM!.

Tetapi seberapa kuat (koheren) cara penarikan kesimpulan semacam ini ? Apakah ukuran kohernesi itu sendiri ?  Dalam http://liputanislam.com/opini/tentang-memilih-pemimpin-non-muslim/ kalangan nahdhiyin (NU) mengkritisi cara pengambilan kesimpulan semacam itu. Terminologi  “awliya” bukanlah ddalamm  pengertian ‘pemimpin’ dengan merujuk pada Ibnu Katsir, apalagi pengertian sempit 'gubernur' atau 'bupati'. 

Bagaimana kisah turunnya ayat ini ?  Ulama ahli tafsir berbeda pendapat. Kalau merujuk As Saadi ayat ini turun berkenaan dengan dua oran laki laki.  Kejadiannya setelah perang Uhud, seorang diantaranya bilang “ saya akan pergi kepada si Yahudi itu. lalu saya mau berlindug, ngikut agama mereka”. Laki laki lain berkata, “kalau saya mau ikut si Fulan yang beragama Nasrani di Syam, biarin deh ikut agama mereka”.   Nah, peristiwa inilah yang ‘menurunkan’ Al-Maidah: 51 “...Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi “awliya” kalian….”.   Jadi, “awliya” itu tidak diartikan sebagai PEMIMPIN, tetapi  SEKUTU. Ayat itu ya  maknanya tidak boleh bersekutu dengan lawan islam. Itu!  

Nah, masih relefan ada ayat lain tentang awliya ini, maknanya  masih mmenguatkan bahwa “Awliya” bukanlah diartikan sebagai pemimpin, apalagi sejenis gibernur saat ini yang bisa dipecat, tetapi mempunyai makna ‘sekutu yang meninggalakan kalangan islam’,  QS An-Nissa ayat 144: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi “awliya” dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksa kalian)?”

Bagi saya, realitas sosial hari ini sudah demikian kompleks. cara keberagamaan melalui rujukan itab suci juga tidak bisa lagi ‘hitam-putih’ skriptual. Paling tidak harus dibedakan mana yang tetap di dalam agama; dan mana yang (bisa) berubah. Harus dibedakan mana yang sakral dan mana yang profan.  Mensakralkan yang profan cenderung malah membangun berhala yang ia sembah sendiri. Apa bedanya dengan ayah Nabi Ibrahim yang membuat patung kemudian ia sembah sendiri petung itu.  

Anyway, saya dikirimi pandangan seorang mubalihg melalui WA dlam bentuk video. Ceramah ini ‘keras’ menurut ukuran saya,  bukan sekedar intonasinya, ttapi juga isinya. Ia menyiimpulkan haram hukunya memilih gubernur non muslim. “Titik”, katanya, tidak boleh ada koma,  “jangan diputer-puter tuh ayat!” 

Bagi saya, watak pengajian semacam ini adlah bentuk ‘indoktrinasi’ dan ideologik. Bukankan soal iman itu soal doktrin ?  Mubaligh ini bukan sedang memberikan penjhelasan ilmiah, sebab kalo mau penjelasan ilmu bukan di pengajian,  tetapi di bangku sekolah. Maka, bisa jadi bubaaligh ini slah tempat mengangkat topik ini disini, atau saya yang salah tempat, berharap terlalu banyak.  Harus dibedakan ilmu dengan ideologi atau indoktrinisasi. Watak ‘ideologi’ itu membatasi pandangan lain, difensif. ‘ideologi’ dalam pengertian yang sesungguhnya adalah sebuah sistem berfikir dan tertutup dengan batasan-batasannya sendiri – tentu saja dibuat sendiri.

Perhatikan, jika seorang jamaah bertanya, “mana yang paling direstui islam, peminpin non-muslim tetapi jujur atau pemimpin muslim tapi diragukan (culas)?” Pertanyaan sepmacam ini dipandang SALAH oleh mubaligh ini. Kemudian menggeser pertanyaan  menjadi begini,  mana yang paling direstui islam, peminpin non-muslim tetapi jujur atau pemimpin muslim yang jujur juga?”. Hemat saya, bagaimana mungkin pertanyaan ummat bisa disalahkan, dan bukan dijawab !  Tentu saja, pertanyaan yang diadaptasi oleh mubalihg itu tidak ada persoalan empiriknya. Tidak ada persoalan dalam pertanyaan itu. padahal, ummat membutuhkan jawaban atas pertanyaan awal itu.

Analisis tentang awliya yang saya urai di atas tentu dipandagn oleh mubaligh ini sebagai ‘mengutak-atik’ ayat. Oleh karena itu posisi argumen yang sya pakai cenderung didaku berasal dari kalangan luar, kalau tidak dari Yahudi!  Saya hanya berfikir: bagaimana mungkin (hendak) menerapkan perintah Allah (ayat) tanpa upaya untuk mengerti betul apa maunya Allah itu. Upaya untuk mengerti pesan Allah ya ada alatnya. Kita harus mau mendengar, menggali, belajar....alladzina yastami’unal kaula fa yatabi’una ahsana....

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar