Memilih Gubernur
Sebuah
Renungan
Tak habis pikir bagi saya mengapa MUI tidak
mengeluarkan fatwa tentang cara memilih
gubernur, bupati, atau presiden khusus kaitannya dengn identitas agama.
Misalnya pertanyaannya bisa dirumuskan demikian: Apakah hukumnya memilih gubernur atau pemimpin
pemerintahan non-muslim? Patokan cara memilih pemimpin pemerintahan merupakan
kebutuhan dalam kerangka orientatif perilaku keagamaan pada era demokrasi
seperti hari ini. Barangkali, yang harus menjadi diskusi di kalangan MUI adalah
pada perbandingan sistem sosial hari ini yang rumit dengan era beberapa saat setelah jatuhnya kekalifahan
dimana produk fiqh mulai menemukan dinamikanya. Hari ini, ketika demokrasi
berkembang sedemikian rupa tentu cenderung tidak mudah begitu saja mengambil
istinbath sebagaimana fiqh ratusan tahun yang lalu. Oleh karena itu, patokan (produk MUI, berupa
fatwa) ini tidak pula perlu ‘tegas’ dalam pegnertian teknis .
Secara sosiologis fatwa penting dalam kerangka standar
(conduct) perilaku yang direstui agama. Kekosongan code of conduct MUI
terhadap persoalan ini bagi saya mengundang pertanyaan. Mungkin MUI memandang soal milih gubernur ini sebagai remeh temeh! Mungkin pula sikap
MUI untuk sekedar menghindari kontroversi. Kekosongan fatwa ini diisi banyak kalangan mubaligh
“membuat” fatwa sendiri sesuai seleranya. Cara
berfikirnya seringkali instan, alias
langsung merujuk pada Al Qur’an (dan Sunah), tanpa bantuan ilmu-ilmu
lain. Seakan-akan kitab suci itu diletakkan sebagai manual praktis tanpa
referensi yang lain.
Jiika “Awliya” dirterjemahkan sebagai pemimpin
pemerintahan maka selesai ceritanya, bahwa :
TIDAK BOLEH MEMILILH GUBERNUR NON-MUSLIM!.
Bolehkan memilih gubernur/pemimpin
pemerintahan non muslim? Nash
yang dipakai untuk menjawab ini biasanya merujuk pada term “awliya” dalam Al
Maidah;51 :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi “awliya” mu; sebagian
mereka adalah “awliya” bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu
mengambil mereka menjadi “awliya”, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim.
Tetapi seberapa kuat (koheren) cara penarikan
kesimpulan semacam ini ? Apakah ukuran kohernesi itu sendiri ? Dalam http://liputanislam.com/opini/tentang-memilih-pemimpin-non-muslim/ kalangan nahdhiyin (NU) mengkritisi cara
pengambilan kesimpulan semacam itu. Terminologi
“awliya” bukanlah ddalamm pengertian ‘pemimpin’ dengan merujuk
pada Ibnu Katsir, apalagi pengertian sempit 'gubernur' atau 'bupati'.
Bagaimana kisah turunnya ayat ini ? Ulama ahli tafsir berbeda pendapat. Kalau merujuk
As Saadi ayat ini turun berkenaan dengan dua oran laki laki. Kejadiannya setelah perang Uhud, seorang diantaranya
bilang “ saya akan pergi kepada si Yahudi itu. lalu saya mau berlindug, ngikut
agama mereka”. Laki laki lain berkata, “kalau saya mau ikut si Fulan yang
beragama Nasrani di Syam, biarin deh ikut agama mereka”. Nah, peristiwa inilah yang ‘menurunkan’ Al-Maidah:
51 “...Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi “awliya” kalian….”.
Jadi, “awliya” itu tidak diartikan sebagai PEMIMPIN, tetapi SEKUTU. Ayat itu ya maknanya tidak boleh bersekutu dengan lawan
islam. Itu!
Nah, masih relefan ada ayat lain tentang
awliya ini, maknanya masih mmenguatkan bahwa
“Awliya” bukanlah diartikan sebagai pemimpin, apalagi sejenis gibernur saat ini
yang bisa dipecat, tetapi mempunyai makna ‘sekutu yang meninggalakan kalangan
islam’, QS An-Nissa ayat 144: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kalian mengambil orang-orang kafir menjadi “awliya” dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah
(untuk menyiksa kalian)?”
Bagi saya, realitas sosial hari ini sudah
demikian kompleks. cara keberagamaan melalui rujukan itab suci juga tidak bisa
lagi ‘hitam-putih’ skriptual. Paling tidak harus dibedakan mana yang tetap di
dalam agama; dan mana yang (bisa) berubah. Harus dibedakan mana yang sakral dan
mana yang profan. Mensakralkan yang profan
cenderung malah membangun berhala yang ia sembah sendiri. Apa bedanya dengan ayah
Nabi Ibrahim yang membuat patung kemudian ia sembah sendiri petung itu.
Anyway, saya dikirimi pandangan seorang mubalihg
melalui WA dlam bentuk video. Ceramah ini ‘keras’ menurut ukuran saya, bukan sekedar intonasinya, ttapi juga isinya.
Ia menyiimpulkan haram hukunya memilih gubernur non muslim. “Titik”, katanya,
tidak boleh ada koma, “jangan
diputer-puter tuh ayat!”
Bagi saya, watak pengajian semacam ini
adlah bentuk ‘indoktrinasi’ dan ideologik. Bukankan soal iman itu soal doktrin
? Mubaligh ini bukan sedang memberikan
penjhelasan ilmiah, sebab kalo mau penjelasan ilmu bukan di pengajian, tetapi di bangku sekolah. Maka, bisa jadi
bubaaligh ini slah tempat mengangkat topik ini disini, atau saya yang salah
tempat, berharap terlalu banyak. Harus dibedakan
ilmu dengan ideologi atau indoktrinisasi. Watak ‘ideologi’ itu membatasi
pandangan lain, difensif. ‘ideologi’ dalam pengertian yang sesungguhnya adalah
sebuah sistem berfikir dan tertutup dengan batasan-batasannya sendiri – tentu saja
dibuat sendiri.
Perhatikan, jika seorang jamaah bertanya, “mana
yang paling direstui islam, peminpin non-muslim tetapi jujur atau pemimpin
muslim tapi diragukan (culas)?” Pertanyaan sepmacam ini dipandang SALAH
oleh mubaligh ini. Kemudian menggeser pertanyaan menjadi begini, “mana yang paling direstui islam, peminpin
non-muslim tetapi jujur atau pemimpin muslim yang jujur juga?”. Hemat saya,
bagaimana mungkin pertanyaan ummat bisa disalahkan, dan bukan dijawab ! Tentu saja, pertanyaan yang diadaptasi oleh
mubalihg itu tidak ada persoalan empiriknya. Tidak ada persoalan dalam
pertanyaan itu. padahal, ummat membutuhkan jawaban atas pertanyaan awal itu.
Analisis tentang awliya yang saya urai di
atas tentu dipandagn oleh mubaligh ini sebagai ‘mengutak-atik’ ayat. Oleh karena
itu posisi argumen yang sya pakai cenderung didaku berasal dari kalangan luar,
kalau tidak dari Yahudi! Saya hanya
berfikir: bagaimana mungkin (hendak) menerapkan perintah Allah (ayat) tanpa upaya
untuk mengerti betul apa maunya Allah itu. Upaya untuk mengerti pesan Allah ya
ada alatnya. Kita harus mau mendengar, menggali, belajar....alladzina
yastami’unal kaula fa yatabi’una ahsana....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar