Kamis, 20 Juni 2013

Kecenderuungan Global dan Keamanan Dalam Negeri


Kecenderungan Global, Kamdagri, dan (Re)posisi Kepolisian

(Penelusuran Sosiologi atas Ideologi Fundamentalisme)

 

 

Utilitatis ratio alicuius perspicua

nobis out obscura

Bagi kita, alasan kegunaan sesuatu itu bisa jelas

 tetapi juga bisa gelap

 

Abstrak

Fundamentalisme hadir di penghujung abad ke-20 bukan melulu berbasis agama (dengan ‘iming-iming’ after live) dan Marxis, namun fundamentalisme  juga hadir dalam matra rasionalitas instrumental. Otoritas negara, selain  gamang’ menjegal gerak fundamentalis dalam alam demokrasi ini, pada sisi lain tak mudah bagi negara mengidentifikasi persoalan dasarnya. Alih-alih, negara terperangkap pada pusaran fundamentalisme bermatra rasionalitas instrumental. Artikel pendek ini lebih menawarkan sebuah persoalan ketimbang jawaban, perihal: dari mana memulai pembacaan persoalan yang mengancam rasa aman atas ras manusia dan kolektivitas yang disebut negara bangsa ?   

 

 

Kata Kunci: Fundamentalisme, Rasionalisme,  dan Utilitarianisme.  

 

Prolog

Di tahun 1980-an ramai diskusi di kalangan cendikiawan muslim perihal kontribusi agama bagi kemanusiaan. Kalau dirumuskan dalam sebuah kalimat tanya  topik diskusi itu adalah, “Apakah agama mempunyai fungsi sentrifugal atau sentripetal?” Topik diskusi ini marak setelah sejumlah pengeboman yang dilakukan kalangan islam garis keras di sejumlah tempat. Sekitar sepuluh tahun setelah reformasi angka  jama’ah haji dari Indonesia meningkat pesat. Kenaikan orang bertitel haji ini dibaca sebagai dua indikasi: pertama, meningkatnya taraf ekonomi, dan kedua, meningkatnya jumlah orang-orang soleh di Indonesia. Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola pada sebuah acara diskusi televisi dengan sengit membantah hipotesis yang kedua ini. Menurutnya tak ada hubungan antara kesolehan ritual (haji) dengan kesolehan sosial. Alasan yang dikemukakan sosiolog ini sederhana, bahwa koruptor besar maupun kecil di Indonesia, kalau di KTP tercantum beragama islam hampir bisa dipastikan pernah berhaji[1]. 

Jika hipotesis sosiolog ini benar, bagaimana cara membaca ‘kesolehan’ kelompok islam garis keras yang ramai didiskusikan pada tahun 80-an itu ? Mereka berjuang  atas nama jihad mengorbankan jiwa raga untuk islam ? Dalam logika linier, modus keberagamaan kelompok islam garis keras ini lebih soleh dibandingkan orang-orang yang bertitel haji di atas. Tandanya adalah ‘tindakan sosial’ bersifat asketik dan altruistik yang melekat pada kelompok islam garis keras. Altruistik merupakan buah loyalitas atas nilai-nilai non material. Dalam kerangka Emile Durkheim, altruisme ini merupakan bentuk tindakan kesholehan yang mempunyai implikasi serius pada solidaritas sosial.

Namun, kerangka Durkheimian ini pada era modern agaknya tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan mendasar atas pertanyaan: “apakah agama mempunyai fungsi sentrifugal atau sentripetal ?” Kesulitannya adalah pada ukuran moral yang menjadi pijakan untuk mengukur sebuah tindakan. Modernisme yang bertumpu pada filsafat moral utulitarian selain menyuguhkan janji prosperity (baca: kemudahan dalam menghadapi alam), juga menggelar jenis rasionalitas yang dalam banyak hal menindas virtue kemanusiaan. Sehingga relasi sosial selalu diformat dalam rasionalitas instrumental. Disinilah persoalannya: kalau modus keberagamaan fundamentaslime dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan dan ketertiban; maka bentuk rasionalisme instrumental yang diusung modernisme itu sendiri  sesungguhnya sebuah bentuk fundamentalisme baru disepanjang peradaban manusia. Disini, rasa keamanan manusia terusik oleh dua jenis fundamentalisme ini hadir secara bersama-sama di pengujung abad ke-21 ini.

 

 

Penelusuran Perspektif: Kecenderungan Global

 

Amitai Etzioni, sosiolog Israel-Amerika kelahiran 1930, berkarir di  University of California,  dalam The Moral Dimension Toward a New Economics  me-wanti-wanti hadirnya pertarungan sistem moral yang bekerja dalam sistem ekonomi. Pertarungan sistem moral ini dimulai, paling tidak, gelagatnya dapat dibaca sejak menguatnya teknologi informasi (baca: globalisasi). Apa itu pertarungan sistem moral ?  

Pertanyaan semacam ini, sungguhpun bersifat fundamental[2] namun seperti lepas dari landasan picu yang menjadi keprihatinan para pengamat keamanan. Ketika buku Etzioni diterbitkan tahun 1988 gagasan dasarnya dipandang  tak menarik sama sekali oleh kalangan pengamat ekonomi maupun keamanan. Bahkan, gagasan Etzioni dalam buku ini dipandang tak ada relefansinya dengan kondisi yang mencemaskan perikehidupan manusia pada awal pergantian abad ke-21. Lima tahun kemudian, bersamaan dengan runtuhnya Uni Sovyet (1991), buku ini mulai sedikit diperhitungkan. Konsep ‘rasionalitas’, sebagaimana diintrodusir Max Weber,  dalam buku itu menurut Etzioni berakar di dalam filsafat politik dan etika tertentu (Etzioni;146). Disini Etzioni tidak sedang menggiring untuk membangun kecurigaan kepada musuh Amerika pasca rontoknya adidaya di belahan dunia Timur yang anti kapitalisme-liberalisme itu. Tidak pula, sebagaimana gaya Hantington yang (hemat Saya, maaf: provokativ)  menuntun kekuatan hegemonik Amerika dan sekutunya mengarahkan kewaspadaan terhadap Islam dalam jargon yang terkenal dengan clash civilization. Ancaman terhadap kemanusiaan, menurut logika Etzioni, tidak harus berpusat pada arus entitas sosial besar yang saling berbenturan, seperti kapitalisme versus sosialisme, atau Barat versus Timur.

Dalam konteks terbatas ini, agaknya Atzioni menyerupai bagian tesis Karl Marx perihal ‘kontradiksi internal’. Yang membedakannya, Marx cenderung mudah melakukan simplifikasi pada proses sosial yang dikandung sistem kapitalisme -- kontradiksi kelompok sosial di dalam sistem yang tak pernah bisa didamaikan -- yaitu dua entitas sosial: bawah dan atas. Telah banyak kritik atas tesis Marx ini, utamanya menyangkut fakta eksistensi sistem kapitalisme yang berdiri kokoh hingga kini: bararti menggugurkan tesis Marx itu sendiri. Para penganut Marx menanggapi kritik faktual ini dengan mengatakan, “kapitalisme telah memperbaharui dirinya”.