Kecenderungan
Global, Kamdagri, dan (Re)posisi Kepolisian
(Penelusuran Sosiologi
atas Ideologi Fundamentalisme)
Utilitatis ratio alicuius perspicua
nobis out obscura
Bagi
kita, alasan kegunaan sesuatu itu bisa jelas
tetapi juga bisa gelap
Abstrak
Fundamentalisme
hadir di penghujung abad ke-20 bukan melulu berbasis agama (dengan
‘iming-iming’ after live) dan Marxis, namun fundamentalisme juga hadir dalam matra rasionalitas
instrumental. Otoritas negara, selain ‘gamang’ menjegal gerak fundamentalis dalam alam
demokrasi ini, pada sisi lain tak mudah bagi negara mengidentifikasi persoalan
dasarnya. Alih-alih, negara terperangkap pada pusaran fundamentalisme bermatra
rasionalitas instrumental. Artikel pendek ini lebih menawarkan sebuah persoalan
ketimbang jawaban, perihal: dari mana memulai pembacaan persoalan yang
mengancam rasa aman atas ras manusia dan kolektivitas yang disebut negara
bangsa ?
Kata
Kunci: Fundamentalisme, Rasionalisme,
dan Utilitarianisme.
Prolog
Di tahun 1980-an ramai
diskusi di kalangan cendikiawan muslim perihal kontribusi agama bagi
kemanusiaan. Kalau dirumuskan dalam sebuah kalimat tanya topik diskusi itu adalah, “Apakah agama
mempunyai fungsi sentrifugal atau sentripetal?” Topik diskusi ini marak setelah
sejumlah pengeboman yang dilakukan kalangan islam garis keras di sejumlah
tempat. Sekitar sepuluh tahun setelah reformasi angka jama’ah haji dari Indonesia meningkat pesat.
Kenaikan orang bertitel haji ini dibaca sebagai dua indikasi: pertama, meningkatnya
taraf ekonomi, dan kedua, meningkatnya jumlah orang-orang soleh di Indonesia. Sosiolog
Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola pada sebuah acara diskusi televisi dengan
sengit membantah hipotesis yang kedua ini. Menurutnya tak ada hubungan antara
kesolehan ritual (haji) dengan kesolehan sosial. Alasan yang dikemukakan
sosiolog ini sederhana, bahwa koruptor besar maupun kecil di Indonesia, kalau
di KTP tercantum beragama islam hampir bisa dipastikan pernah berhaji[1].
Jika hipotesis sosiolog
ini benar, bagaimana cara membaca ‘kesolehan’ kelompok islam garis keras yang
ramai didiskusikan pada tahun 80-an itu ? Mereka berjuang atas nama jihad mengorbankan jiwa raga untuk
islam ? Dalam logika linier, modus keberagamaan kelompok islam garis keras ini
lebih soleh dibandingkan orang-orang yang bertitel haji di atas. Tandanya
adalah ‘tindakan sosial’ bersifat asketik dan altruistik yang melekat pada
kelompok islam garis keras. Altruistik merupakan buah loyalitas atas
nilai-nilai non material. Dalam kerangka Emile Durkheim, altruisme ini merupakan
bentuk tindakan kesholehan yang mempunyai implikasi serius pada solidaritas
sosial.
Namun, kerangka Durkheimian
ini pada era modern agaknya tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan
mendasar atas pertanyaan: “apakah agama mempunyai fungsi sentrifugal atau
sentripetal ?” Kesulitannya adalah pada ukuran moral yang menjadi pijakan untuk
mengukur sebuah tindakan. Modernisme yang bertumpu pada filsafat moral
utulitarian selain menyuguhkan janji prosperity
(baca: kemudahan dalam menghadapi alam), juga menggelar jenis rasionalitas
yang dalam banyak hal menindas virtue kemanusiaan.
Sehingga relasi sosial selalu diformat dalam rasionalitas instrumental.
Disinilah persoalannya: kalau modus keberagamaan fundamentaslime dipandang
sebagai ancaman terhadap keamanan dan ketertiban; maka bentuk rasionalisme instrumental
yang diusung modernisme itu sendiri
sesungguhnya sebuah bentuk fundamentalisme baru disepanjang peradaban
manusia. Disini, rasa keamanan manusia terusik oleh dua jenis fundamentalisme
ini hadir secara bersama-sama di pengujung abad ke-21 ini.
Penelusuran
Perspektif: Kecenderungan Global
Amitai Etzioni, sosiolog
Israel-Amerika kelahiran 1930, berkarir di University of California, dalam The
Moral Dimension Toward a New Economics me-wanti-wanti
hadirnya pertarungan sistem moral yang bekerja dalam sistem ekonomi.
Pertarungan sistem moral ini dimulai, paling tidak, gelagatnya dapat dibaca sejak
menguatnya teknologi informasi (baca: globalisasi). Apa itu pertarungan sistem
moral ?
Pertanyaan semacam ini,
sungguhpun bersifat fundamental[2] namun seperti lepas dari
landasan picu yang menjadi keprihatinan para pengamat keamanan. Ketika buku
Etzioni diterbitkan tahun 1988 gagasan dasarnya dipandang tak menarik sama sekali oleh kalangan pengamat
ekonomi maupun keamanan. Bahkan, gagasan Etzioni dalam buku ini dipandang tak ada
relefansinya dengan kondisi yang mencemaskan perikehidupan manusia pada awal pergantian
abad ke-21. Lima tahun kemudian, bersamaan dengan runtuhnya Uni Sovyet (1991),
buku ini mulai sedikit diperhitungkan. Konsep ‘rasionalitas’, sebagaimana
diintrodusir Max Weber, dalam buku itu menurut
Etzioni berakar di dalam filsafat politik dan etika tertentu (Etzioni;146). Disini
Etzioni tidak sedang menggiring untuk membangun kecurigaan kepada musuh Amerika
pasca rontoknya adidaya di belahan dunia Timur yang anti
kapitalisme-liberalisme itu. Tidak pula, sebagaimana gaya Hantington yang
(hemat Saya, maaf: provokativ) menuntun kekuatan
hegemonik Amerika dan sekutunya mengarahkan kewaspadaan terhadap Islam dalam
jargon yang terkenal dengan clash
civilization. Ancaman terhadap kemanusiaan, menurut logika Etzioni, tidak
harus berpusat pada arus entitas sosial besar yang saling berbenturan, seperti
kapitalisme versus sosialisme, atau
Barat versus Timur.
Dalam konteks terbatas
ini, agaknya Atzioni menyerupai bagian tesis Karl Marx perihal ‘kontradiksi internal’.
Yang membedakannya, Marx cenderung mudah melakukan simplifikasi pada proses
sosial yang dikandung sistem kapitalisme -- kontradiksi kelompok sosial di
dalam sistem yang tak pernah bisa didamaikan -- yaitu dua entitas sosial: bawah
dan atas. Telah banyak kritik atas tesis Marx ini, utamanya menyangkut fakta eksistensi
sistem kapitalisme yang berdiri kokoh hingga kini: bararti menggugurkan tesis
Marx itu sendiri. Para penganut Marx menanggapi kritik faktual ini dengan
mengatakan, “kapitalisme telah memperbaharui dirinya”.
Mengapa dua sosok pemikir, Marx dan Atzioni, ini penting
dalam kontestasi perspektif keamanan global? Karena warisan dasar pemikiran
Marx muncul kembali dengan aneka wajah barunya di penghujung abad 20. Pada
bagian awal di bawah ini adalah elaborasi persoalan struktur masyarakat modern
yang cenderung memunculkan benih ideologi yang menguras energi otoritas
keamanan melalui mendekatan Marx dan variannya. Kemudian pada bagian tersendiri
pisau analis Atzioni digunakan untuk membedah perihal rasionalitas yang bekerja
tata kelola keamanan[3].
Hantington,
Galtung, Samir Amin, Cardoso, Budiman melalui PRD-nya adalah sedikit dari
mereka yang membangkitkan roh Marx dari alam kuburnya. Sebagian lagi mengambil
inspirasi darinya. Bahkan, kalangan fundamentalis agama yang tega meledakkan situs
Borobudur pada tahun 80-an (Al Habsyi), Hotel Mariot, hingga kedutaan Australia,
dalam banyak hal ‘pendekatan’ yang dipakainya mencuri ideologi Marx. Teologi
fundamentalisme agama -- tentu, pula kalangan findamentalis kiri -- secara
sosiologis tidak bisa dilepaskan dari fenomena marjinalisasi yang dilakukan kelompok sosial dominan memalui proses panjang
modernsiasi[4].
Marjinalisasi merupakan konsekwensi atas pilihan rasionalitas tertentu,
meminjam Atzioni: ‘berasal dari filsafat politik tertentu’ – poin ini akan
diurai di bagian belakang tulisan ini. Disini, fundamentalisme agama dan
radikalisme hanyalah salah satu bentuk artikulasi tindakan kelompok marjinal yang
diarahkan kepada struktur politik.
Mereka kelompok yang tak mempercayai ‘dialog’ sebagai
jalan keluar. Dalam bahasa sistem politik, mereka adalah kelompok yang tak
mempercayai perjuangan melalui partai politik. Cara-cara semacam ini paralel
dengan kelompok marxisme garis keras[5]. Dalam pasca kemerdekaan
orang-orang seperti Tan Malaka, Untung, Nyono, Aidit adalah kelompok komunis garis keras yang tidak
mempercayai ‘evolusi’ ke arah komunisme melalui cara Pemilu. Pada sisi ini
tidak ada yang membedakannya dengan gerakan fundamentalis agama garis keras
seperti kalangan Jama’ah Islamiyah yang melahirkan orang semacam Imam Samudra,
Umar Pathek, Amrozi dan sejenisnya. Prinsip mendasar dua jenis fundamentalisme
ini (kiri dan kanan) adalah emoh berjuang melalui partai. Konsekwensinya lebih jauh, dalam praksis
gerakan mereka hanya mempercayai revolusi.
Secara sosiologis sulit menghindari ceceran darah dalam praksis gerakan semacam
ini. Kalangan garis keras ini menambal kekhawatiran ceceran darah dengan
jargon, “tak akan ada ceceran darah dalam
revolusi-bila tak ada kontra-revolusi”. Argumentasi ‘stright logic’ semacam ini sangat digemari penganut marxisme garis
keras. Bahkan, argumentasi yang asal-usulnya (baru) muncul pada era Lenin ini menjadi
bagian dari ‘ideologi gerakan’. Dengan lain kata, argumentasi semacam ini di-ideologisasi. Padahal watak dari ideologi itu sendiri adalah
‘mengelabui realitas’[6]. Argumentasi tidak logis
tentu bukanlah pemikiran yang baik, tetapi argumentasi yang logis tidak pula
selalu baik jika berangkat dari pengandaian yang keliru. Ideologi bagaimanapun
adalah sebuah pembatasan terhadap cara berfikir kritis itu sendiri, kalau
tidak, adalah sebuah pembodohan.
Dalam logika semacam inilah fundamentalisme, baik kiri
dan kanan, menjadi ancaman kemanusiaan global abad modern ini mendapatkan
amunisi ideologiknya.
(Pergeseran)
Sistem Moral dalam Bernegara
Argumentasi lain untuk
menyerang (tesis) Marx di atas adalah pada variabel negara: Negara mempunyai
peran memperkuat bekerjanya sistem kapitalisme.[7] Mudah dihitung dengan jari
hubungan negara dengan bekerjanya kapitalisme bersifat kontraproduktif. Misalnya,
Iran pasca jatuhnya Reza Pahlevi, Venezuela
era Hugo Chavez, dan Cuba dibawah Fidel Castro[8]. Marx akan sangat keteteran menghadapi argumen kritik semacam
ini. Pasalnya, peran negara bangsa pada era Marx sangat berbeda dengan perannya
dipenghujung abad-20.[9]
Disinilah Etzioni mengisi celah kosong itu! Tetapi tentu tak bisa dilepaskan
begitu saja gagasan dasar Marx bagi Etzioni. Utamanya, sebagaimana tesis
Etzioni sebagaimana diurai di atas perihal rasionalitas –yang menurut
pendapatnya– berakar pada filsafat politik dan etika tertentu. Maka negara menempati posisi sentral disini.
Konsep negara dalam
kerangka ini mengacu pada Weberian. Bahwa, ia adalah sekelompok orang yang
diberi (tepatnya: mendapatkan) otoritas untuk melindungi perihal yang dipandang
sakral oleh masyarakat. Pada prinsipnya, negara tidak pernah bisa tidak
berpihak pada pilihan rasionalitas yang merasuk pada bekerjanya dimensi
kekuasaan. Meskipun sifat (keadaan) negara ditentukan oleh manusia yang
bersangkutan -- Drijarkara menyebutya sebagai ‘kegiatan manusia menegara’--
namun melalui relasi kuasa yang bekerja pada sistem dunia (meminjam Immanuel
Wallernstein) istilah ‘pilihan atas rasionalitas’ ini hanya sekedar mitos
karena pada akhirnya (pilihan) rasionalitas ini akan selalu berada pada bentuknya yang instrumental
(rasionalitas instrumental). Rezim kekuasaan negara akan cenderung rapuh jika tidak
merespon gelagat instrumen-instrumen kapitalisme. Kisah jatuhnya Rezim Suharto,
misalnya, digambarkan oleh Jefrey Winters,[10] terjadi ketika rezim ini
tak lagi dibutuhkan untuk menyangga kekuatan kapital internasional.
Persentuhan pasar dengan
filsafat moral utilitarianisme merupakan persenyawaan ideal yang melahirkan
sistem politik yang baru dikenal seratus tahun kemudian setelah revolusi
industri Inggris, yaitu: demokrsi. Asumsi
dasar yang mengitarinya adalah, “individu mengetahui apa yang terbaik”. Kolektifitas
rontok melalui kedaulatan konsumen[11]. Disini, konsumerisme
dipuja. Artinya, mengkonsumsi berarti menggelindingkan perekonomian,[12] sekaligus menentukan
posisi status kemulaiaan seorang manusia modern. Degradasi ini belum lagi
menelisik bekerjanya intrumen hukum yang menjadi daya paksa dalam interaksi
antar manusia. Perilaku instrumen daya paksa ini (hukum) tidak kedap terhadap
kekuatan logistik seseorang. Keamanan dan rasa aman adalah persoalan logistik.
Dua tabel di bawah ini adalah ilustrasi kecil yang
menjelaskan adanya hubungan (rasa) aman dengan
kekuatan logistik.
Kasus yang menjerat ‘orang kecil’
Tahun
|
Kasus
|
Pelaku
|
Vonis Hukuman
|
Okt. 2009
|
Pencurian 3 butir kakao seharga Rp.2.100 di
Ajibarang, Banyumas
|
Aminah (55 TH)
|
Penjara 1
bulan 15 hari di PN Purwokerto.
|
Feb. 2010
|
Pencurian 1 karung plastic buah randu
senilai Rp.12.000 di Batang, Jateng
|
Manisih (39), Sri Suratmi (19), Juwono (16),
Rustono (14)
|
Penjara
24 Hari di PN Batang
|
Sep. 2010
|
Pencurian seekor ayam jago di Balen,
Bojonegoro, Jatim
|
Agus Budi Santoso (25)
|
penjara
4 bulan di PN Bojonegoro
|
Okt. 2010
|
Pencurian 2 batang singkong dan 1 batang
bambu di Pasuruan, Jatim
|
Supriyadi (40)
|
1 bulan 20 hari kurungan di PN Bangil
|
Juli 2011
|
Pekerja rumah tangga yang dituduh mencuri
sarung bekas seharga Rp.3000 di Pamekasan, Jatim
|
Amirah
|
Dipenjara
3 bulan 24 hari
|
Jan. 2012
|
Pencurian sandal jepit di Palu, Sulawesi Tengah
|
AAL (15)
|
Dinyatakan bersalah, dikembalikan ke orang tuanya di PN Palu
|
Sumber: Harian Kompas, 6 Januari 2010
Kasus Hukum Sejumlah Elit
Tahun
|
Kasus
|
Pelaku
|
Vonis
|
Juli 2008
|
Menyuap Jaksa dalam
kasus BLBI yang melibatkan pemilik BDNI
|
Artalyta Suryani
|
5 TH penjara
pengadilan Tipikor, bebas setelah 2/3 masa hukuman
|
Mei 2011
|
Korupsi dana bagi
hasil PBB 2006-2007, senilai 21,3 M
|
Agusrin M Najamudin
(Gub. Bengkulu)
|
bebas di PN Jakarta Pusat
|
Agus. 2011
|
Korupsi biaya
pemungutan PBB, Rp 14 M
|
Eep Hidayat (Bupat
Subang)
|
bebas di Tipikor Bandung
|
Okt. 2011
|
Suap anggota DPRD
1,6 M, penyalahgunaan uang makan minum Rp 639 Jt. Suap Piala Adipura Rp. 500
JT, suap BPK Rp.500 JT
|
Mochtar Mohamad
(Wali Kota Bekasi)
|
Bebas di PN Tipikor Bandung
|
Okt. 2011
|
Korupsi APBD Rp. 28
M
|
Andi Ahmad Sampura
Jaya (Mantan Bupati Lampung Tengah)
|
bebas PN Tanjungkarang
|
Okt. 2011
|
Korupsi dana
kegiatan DPRD Kukar 2005, Rp.2,6 M
|
14 Anggota DPRD
Kutai Kartanegara
|
Bebas PN Samarinda
|
Sumber: Harian Kompas, 6 Januari 2010
Pembandingan perlakuan negara atas kelas sosial pada dua tabel itu
menegaskan hubungan kekuatan logistik di hadapan instrumen negara. Dalam
perspektif utilitarian penggalan data pendek ini mengadopsi moralitas sistem
sosial yang mengacu pada rasionalitas instrumental. Kekuatan logistik, yang
dalam sejarah berasal dari etos Calvinisme sebagai semangat “meraih sorga”
-- sebagaimana dielaborasi Weber –
menemukan wajah barunya di era modern ini. Sorga dengan sendirinya telah hadir
pada alam fana ditarik dari struktur relefansi
‘moral’ kekuatan logistik.
Logika
Utilitarian dalam Praktek
Yang bisa mengobati
rontoknya kolektivisme tentu bukanlan jenis persekutuan yang bebasis
rasionalitas instrumental. Jenis persekutuan semacam ini hanya bisa ditemukan
dalam pengelompokan agama, suku, dan ras. Ini berarti konsep negara bangsa
menghadapi dua tantangan secara bersamaan, yaitu rasionalitas instrumental itu
sendiri dalam kerangka kontradiksi internal dan primordialisme (tepatnya:
fundamentalisme primordial). Rasionalitas instrumental bukan sekedar sebuah modus adaptasi komunitas sosial
terhadap lingkungan yang bergerak sejak menguatnya hegemoni pasar, namun juga
berarti sebuah gejala munguatnya dominasi
sistem moral baru: utilitarianisme.
Kualitas nilai moral
dalam sistem utilitarianisme diukur pada akibat sebuah tindakan. Tindakan
dipandang mempunyai restu moral dilihat pada apa yang akan terjadi pada
(akibat) tindakan itu. Sistem moral inilah yang mem-back up modernisme (baca: pembangunan) yang acapkali tak sensitif
terhadap substansi keadilan. Kisah di
bawah ini exemplar dari main-stream yang bekerja pada logika
utilitarian.
Pada oktober 1958 seorang
gadis bernama Anglynn York mengajukan gugatan atas penyerangan dirinya. Petugas
kepolisian, Ron Story, menerima sesuai kewenangannya: bahwa nona York perlu
dibuat fotonya. Ron Story membawa York ke sebuah ruangan kemudian mengunci pintu
dan memintanya melepas pakaian. York, si pengadu yang cantik ini keberatan
karena, toh, luka-lukanya tak tampak
di foto telanjang itu. Ron Story menyebarkan foto telanjang itu pada rekan-rekan personilnya. Pada April 1960 Nona York mengajukan tuntutan perkara
atas peredaran foto telanjangnya terhadap para petugas. Tetapi, menurut utilitarianisme tindakan
petugas ini dapat dibela, alasannya hasil tindakannya memberikan pemerataan
kebahagiaan di atas ketidakbahagiaan (yang cuma diderita oleh satu orang). Kisah
ini seperti lelucon, tetapi betul terjadi!
Logika yang bekerja dalam
kisah York ini tentu tidak sulit ditemui paralelismenya di tanah air. Logika
ini juga bersarang pada jargon, “lebih mengedepankan ketertiban ketimbang penegakan hukum”: didalam ketertiban
berarti jumlah orang yang bahagia lebih banyak. Utilitarianisme dengan demikian
hanyalah konstruksi jumlah. Kualitas sebuah tindakan tidak bisa dipisahkan
dari persoalan angka-angka: kuantitas. Hak kebebeasan berkeyakinan (agama) kaum
monoritas harus dikorbankan demi ketertiban (baca: menghinhdari keberingasan) kelompok
mayoritas.
(Re)Posisi
Kepolisian
‘Wajah baru’ etos
Calvinisme yang direduksi melulu pada rasionalitas instrumental bagaimanapun
pada era modern bisa menjadi ancaman kolektivitas negara bangsa. Hari ini kolektifitas negara bangsa gamang
menghadapi serangan wajah baru ‘etos Calvin’. Indonesia masih menyisakan PR
serius dalam menempatkan ancaman kolektivitas yang mengacaukan batas-batas
ruang “keamanan”, antara ‘k’ besar dengan ‘k’ kecil yang menjadi
tarik-menarik orotias kepolisian dengan militer. PR yang tertunda ini masih
akan dibebani pekerjaan yang jauh lebih
rumit perihal wajah kejahatan dunia cyber. Issunya: mana batas-batas yang
disebut crime cyber dengan ikhwal ancaman berdimensi cyber defence. Disini, pemisahan kepolisian dengan otoritas militer
dipertanyakan ulang. Bahkan, konsep Trias Politika yang menganjurkan pemisahan
(lembaga) kekuasaan negara akhirnya
perlu pembacaan ulang secara lebih arif.
Sejumlah negara yang baru
lepas dari otoritarian mengadopsi trias politika secara telanjang, kemudian
menyebabkan lembaga-lembaga negara steril dari kontrol eksternal. Di Indonesia,
keluarnya UU No.2/2002 disambut sorak sorai kalangan kepolisian. Karena, substansi materi Buku Biru yang dirumuskan
era Kapolri Jenderal Rusmanhadi diterima dalam undang undang ini. Buku Biru
ini tentang pembenahan kepolisian melalui tiga aspek (struktural, instrumental,
dan kultural). Penerimaan otoritas politik atas substansi Buku Biru berarti
ucapan ‘selamat tinggal’ atas bentuk sub-ordinasi institusi kepolisian. Bukan
sekedar ia tidak lagi dibawah (sub-ordinasi) militer, tetapi de facto ia hanya ada dibawah Tuhan.
Pasalnya, struktur dibawah Presiden, hanya
dengan 6 orang komisioner Kompolnas (dengan kewenangan terbartas pula) mengawasi 440.000 polisi, seorang ahli tata
negara berujar atas Kompolnas, ‘tidur atau kerja keraspun, raksasa tak
bergeming’.
Posisi kepolisian
langsung dibawah Presiden secara sosio-politik bukanlah struktur yang permanen.
Karena pada kenyataanya posisi ini secara empirik selalu mendapat serangan
sporadis beberapa kali setelah isu-isu politisasi menerpa tubuh kepolisian. (Gagalnya) profesionalisme
kepolisian pada kasus-kasus yang berbau politisasi selalu dialamatkan pada
struktur posisinya dibawah Presiden. Serangan ini memang tidak terlalu serius
karena selain sporadis, juga bersifat elementer. Bisa jadi serangan ke depan
tidak lagi dalam bentuknya yang sporadis
jika isunya juga bergeser dari kasus-kasus elementer ke persoalan yang bersifat
koheren. Yang bersifat koheren ini menyangkut substansi kontrol eksternal
institusi kepolisian yang terasa kurang mendapat tempat.
Keluarnya UU No.2/2002
tentang Polri yang diapresiasi positiv kalangan kepolisian, sepanjang 1998
hingga 2008 telah lahir sejumlah regulasi sektor keamanan yang secara
subtantif mengikat institusi ini untuk
kontestasi dalam kerangka institusi yang demokratis [13]. Melalui kontestasi
empirik regulasi ini akan terus mempunyai persentuhan keras atas realitas
“keterbatasan” (re)posisi institusi kepolisian itu sendiri. Misalnya, wacana
human security yang hadir belakangan setelah wacana HAM, tumbuh dari ranah subur rasionalisme
instrumental instrumental ini. Dalam keranga inilah institusi kepolisian
akhirnya meskipun mandiri namun tak sepenuhnya bisa mendefinisikan realitas
secara mandiri.
Disinni Etzioni, sebagamana elaborasi di atas
menyingkap cara kerja rasionalitas jenis ini pada abad ini. Rasionalitas ini
membalik paradigma Hegelian; kini melalui rasionalitas jenis ini negara (cq.
Kepolisian) dipandang menjadi aktor kelompok yang paling bertanggungjawab
terhadap kekerasan. Rekan-rekan kepolisian tak mudah memahami logika yang
bekerja pada rasionalitas ini. Misalnya, istilah pelanggaran HAM hanya relefan
dikenakan pada kepolisian, tidak pada masyarakat. Namun, ketidakmengertian
mereka tidak menyurutkan bekerjanya logika rasionalitas instrumental berbasis
sistem moral utilitarian.
Daftar
Pustaka
Albert,
Hans.2004.Risalah Pemikiran Kritis,
terj. Yosep Wagiman & Moh. Hasan
Basri, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Elliston,
Frederick A dan Michel Feldberg (Edt.). 1985. Moral Issues in Police
Work, Rowan &
Littlefield Publishers, Inc, Maryland, Unitd States of America.
Etzioni,
Amitai.1990. The Moral Dimension Toward a
New Economics,
University of California.
Held, David..2006. Models of
Democracy, Polity Press, Malden, USA
Polanyi,
Karl.2003.Transformasi Besar; Asal-usul
Politik dan Ekonomi Zaman
Sekarang, terj.M.Taufik Rahman, Penerbit
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Prihatono,T.,
Jessica Evangeline, dan Iis Gindarsih (Peny.).2007. Keamanan Nasional;
Kebutuhan Membangun Perspektif
Integratif VersusPembiaran
Politik
dan Kebijakan, Propatria Institute,
Jakarta.
Prihantono, T. Hari
(Edt.). 2006. Penataan Regulasi Keamanan,
Propatria
Institute, Jakarta.
Rachels,
James.2004. Filsafat Moral, terj. A.
Sudiarja, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Ranadireksa,
Hendarmin.2007. Arsitektur Konstitusi Demokratik,
Fokusmedia,
Bandung.
Smelser, Neil dan
Richard Swedberg.2005.The Handbook of
Economic Sociology,
Princeton University, Oxford.
Sudibyo,
Agus.2009. Kebebasan Semu, PT. Kompas
Media Nusantara, Jakarta.
Stompka, Piotr.1993.
Sosiologi Perubahan Sosial, terj.
Alimandan, Prenada,
Jakarta.
Weber, Max.1978. Economy and Society, translated
Ephrahaim Fischoff, et all.
University of California.
Widjajanto
(edt.).2006. Negara, Intel, dan Ketakutan,
PACIVIS, University Of
Indonesia.
[1]. Tahun 90-an
sosiolog Jepang Saya Sasaki Shiraisi menulis disertasi dengan pendekatan
fenomenologik perihal kehidupan koruptor
di Indonesia. Ada kecenderungan “legimasi teologik” terhadap birokrat yang
menempati ‘tempat basah’, kemudian mengeruk uang negara untuk rekan dan keluarganya. Kerangka “ teologik”
ini memaknai keberhasilan menempati posisi basah itu sebagai makna
‘keberkahan’: bahwa, ia menjadi pilihan Tuhan. Rasa syukur itu diartikulasikan
melalui menaikan haji sanak keluarga bahkan pembantunya.
[2]. “Mendasar”
dimaksudkan mengacu kepada basis rasionalitas yang mendasari aturan-aturan
(norma dan regulasi) dalam tata hubungan antar manusia.
[3]. Proposisi ini
menjadi pusat gagasan dalam penulisan artikel ini. Mengacu pada Hans Albert (2004;xiii), “Problem rasionalitas adalah persoalan umum
dalam praktis manusia dan oleh karena itu tidak terbatas pada wilayah
pengetahuan atau praktek kognitif”.
[4]. Di atas kertas
modernisasi tidak hanya dapat dibaca
sebagai ‘biang kerok’ lahirnya kelompok sempalan fundamentalisme agama dan juga
garis keras marxisme, tetapi juga menjadi kondisi yang melatari post-strukturalisme, di beberapa belahan bumi
gerakan relativisme moral.
[5] . Di sepanjang elaborasi
proposisi ini, misalnya pada term “marxis
garis keras”, “pengingkaran terhadap
partai politik sebagai tunggangan ke arah komunisme” dan “pilihan terhadap revolusi ketimbang evolusi”
hanyalah terminologi yang berasal dari tafsir atas Marx. Jadi, tak bisa
dialamatkan secara koheren kepada Karl Marx. Meskipun acapkali Marx melakukan
simplifikasi, hemat saya, tak mudah menarik garis lurus “hitam-putih” itu
[6] . Untuk ini lihat, misalnya Karl Mannheim
(1991) dan
[7]. Proposisi
semacam ini tentu masih terbuka didiskusikan. Bahwa, peran negara bangsa
(secara ideal) menjadi pisau bermata dua dalam hubungannya dengan perikehidupan
kapitalisme: peran kontra produktif dan peran kontributif. Namun, sekedar
hitung-hitungan kasar saja peran kontra produktif negara bangsa terhadap
kapitalisme akan bararti mengisolasi dari pergaulan internasional dengan segala
implikasi kemanusiaan didalamnya.
[8] . untuk konteks
lokal, hemat saya perlu menyebut nama Jokowi.
[9]. Periksa,
misalnya Hans Kohn (1955). Hingga tahun 1900-an Eropa masih saja merupakan
pergulatan mencari bentuk sosok negara modern, meskipun ‘kapitalisme’ tentu
saja dalam pengertian yang minimal telah
hadir secara kokoh. Era ini utamanya merupakan pergulatan cita-cita nasional
Eropa Tengah.
[10] . Power in Motion....
[11] .
Atzioni
[12] .
Sosiologi Uang....
[13]. Beberapa
diantaranya: Tap MPR tentang Pemisahan TNI dan Polri, Undang Undang Petahanan,
Undang-Undang Polri, Undang – Undan TNI, Undang-Undang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang Pengadilan HAM, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, dan
lain-lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar