Kamis, 20 Juni 2013

Kecenderuungan Global dan Keamanan Dalam Negeri


Kecenderungan Global, Kamdagri, dan (Re)posisi Kepolisian

(Penelusuran Sosiologi atas Ideologi Fundamentalisme)

 

 

Utilitatis ratio alicuius perspicua

nobis out obscura

Bagi kita, alasan kegunaan sesuatu itu bisa jelas

 tetapi juga bisa gelap

 

Abstrak

Fundamentalisme hadir di penghujung abad ke-20 bukan melulu berbasis agama (dengan ‘iming-iming’ after live) dan Marxis, namun fundamentalisme  juga hadir dalam matra rasionalitas instrumental. Otoritas negara, selain  gamang’ menjegal gerak fundamentalis dalam alam demokrasi ini, pada sisi lain tak mudah bagi negara mengidentifikasi persoalan dasarnya. Alih-alih, negara terperangkap pada pusaran fundamentalisme bermatra rasionalitas instrumental. Artikel pendek ini lebih menawarkan sebuah persoalan ketimbang jawaban, perihal: dari mana memulai pembacaan persoalan yang mengancam rasa aman atas ras manusia dan kolektivitas yang disebut negara bangsa ?   

 

 

Kata Kunci: Fundamentalisme, Rasionalisme,  dan Utilitarianisme.  

 

Prolog

Di tahun 1980-an ramai diskusi di kalangan cendikiawan muslim perihal kontribusi agama bagi kemanusiaan. Kalau dirumuskan dalam sebuah kalimat tanya  topik diskusi itu adalah, “Apakah agama mempunyai fungsi sentrifugal atau sentripetal?” Topik diskusi ini marak setelah sejumlah pengeboman yang dilakukan kalangan islam garis keras di sejumlah tempat. Sekitar sepuluh tahun setelah reformasi angka  jama’ah haji dari Indonesia meningkat pesat. Kenaikan orang bertitel haji ini dibaca sebagai dua indikasi: pertama, meningkatnya taraf ekonomi, dan kedua, meningkatnya jumlah orang-orang soleh di Indonesia. Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola pada sebuah acara diskusi televisi dengan sengit membantah hipotesis yang kedua ini. Menurutnya tak ada hubungan antara kesolehan ritual (haji) dengan kesolehan sosial. Alasan yang dikemukakan sosiolog ini sederhana, bahwa koruptor besar maupun kecil di Indonesia, kalau di KTP tercantum beragama islam hampir bisa dipastikan pernah berhaji[1]. 

Jika hipotesis sosiolog ini benar, bagaimana cara membaca ‘kesolehan’ kelompok islam garis keras yang ramai didiskusikan pada tahun 80-an itu ? Mereka berjuang  atas nama jihad mengorbankan jiwa raga untuk islam ? Dalam logika linier, modus keberagamaan kelompok islam garis keras ini lebih soleh dibandingkan orang-orang yang bertitel haji di atas. Tandanya adalah ‘tindakan sosial’ bersifat asketik dan altruistik yang melekat pada kelompok islam garis keras. Altruistik merupakan buah loyalitas atas nilai-nilai non material. Dalam kerangka Emile Durkheim, altruisme ini merupakan bentuk tindakan kesholehan yang mempunyai implikasi serius pada solidaritas sosial.

Namun, kerangka Durkheimian ini pada era modern agaknya tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan mendasar atas pertanyaan: “apakah agama mempunyai fungsi sentrifugal atau sentripetal ?” Kesulitannya adalah pada ukuran moral yang menjadi pijakan untuk mengukur sebuah tindakan. Modernisme yang bertumpu pada filsafat moral utulitarian selain menyuguhkan janji prosperity (baca: kemudahan dalam menghadapi alam), juga menggelar jenis rasionalitas yang dalam banyak hal menindas virtue kemanusiaan. Sehingga relasi sosial selalu diformat dalam rasionalitas instrumental. Disinilah persoalannya: kalau modus keberagamaan fundamentaslime dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan dan ketertiban; maka bentuk rasionalisme instrumental yang diusung modernisme itu sendiri  sesungguhnya sebuah bentuk fundamentalisme baru disepanjang peradaban manusia. Disini, rasa keamanan manusia terusik oleh dua jenis fundamentalisme ini hadir secara bersama-sama di pengujung abad ke-21 ini.

 

 

Penelusuran Perspektif: Kecenderungan Global

 

Amitai Etzioni, sosiolog Israel-Amerika kelahiran 1930, berkarir di  University of California,  dalam The Moral Dimension Toward a New Economics  me-wanti-wanti hadirnya pertarungan sistem moral yang bekerja dalam sistem ekonomi. Pertarungan sistem moral ini dimulai, paling tidak, gelagatnya dapat dibaca sejak menguatnya teknologi informasi (baca: globalisasi). Apa itu pertarungan sistem moral ?  

Pertanyaan semacam ini, sungguhpun bersifat fundamental[2] namun seperti lepas dari landasan picu yang menjadi keprihatinan para pengamat keamanan. Ketika buku Etzioni diterbitkan tahun 1988 gagasan dasarnya dipandang  tak menarik sama sekali oleh kalangan pengamat ekonomi maupun keamanan. Bahkan, gagasan Etzioni dalam buku ini dipandang tak ada relefansinya dengan kondisi yang mencemaskan perikehidupan manusia pada awal pergantian abad ke-21. Lima tahun kemudian, bersamaan dengan runtuhnya Uni Sovyet (1991), buku ini mulai sedikit diperhitungkan. Konsep ‘rasionalitas’, sebagaimana diintrodusir Max Weber,  dalam buku itu menurut Etzioni berakar di dalam filsafat politik dan etika tertentu (Etzioni;146). Disini Etzioni tidak sedang menggiring untuk membangun kecurigaan kepada musuh Amerika pasca rontoknya adidaya di belahan dunia Timur yang anti kapitalisme-liberalisme itu. Tidak pula, sebagaimana gaya Hantington yang (hemat Saya, maaf: provokativ)  menuntun kekuatan hegemonik Amerika dan sekutunya mengarahkan kewaspadaan terhadap Islam dalam jargon yang terkenal dengan clash civilization. Ancaman terhadap kemanusiaan, menurut logika Etzioni, tidak harus berpusat pada arus entitas sosial besar yang saling berbenturan, seperti kapitalisme versus sosialisme, atau Barat versus Timur.

Dalam konteks terbatas ini, agaknya Atzioni menyerupai bagian tesis Karl Marx perihal ‘kontradiksi internal’. Yang membedakannya, Marx cenderung mudah melakukan simplifikasi pada proses sosial yang dikandung sistem kapitalisme -- kontradiksi kelompok sosial di dalam sistem yang tak pernah bisa didamaikan -- yaitu dua entitas sosial: bawah dan atas. Telah banyak kritik atas tesis Marx ini, utamanya menyangkut fakta eksistensi sistem kapitalisme yang berdiri kokoh hingga kini: bararti menggugurkan tesis Marx itu sendiri. Para penganut Marx menanggapi kritik faktual ini dengan mengatakan, “kapitalisme telah memperbaharui dirinya”.
 

Mengapa dua sosok pemikir, Marx dan Atzioni, ini penting dalam kontestasi perspektif keamanan global? Karena warisan dasar pemikiran Marx muncul kembali dengan aneka wajah barunya di penghujung abad 20. Pada bagian awal di bawah ini adalah elaborasi persoalan struktur masyarakat modern yang cenderung memunculkan benih ideologi yang menguras energi otoritas keamanan melalui mendekatan Marx dan variannya. Kemudian pada bagian tersendiri pisau analis Atzioni digunakan untuk membedah perihal rasionalitas yang bekerja tata kelola keamanan[3].

 Hantington, Galtung, Samir Amin, Cardoso, Budiman melalui PRD-nya adalah sedikit dari mereka yang membangkitkan roh Marx dari alam kuburnya. Sebagian lagi mengambil inspirasi darinya. Bahkan, kalangan fundamentalis agama yang tega meledakkan situs Borobudur pada tahun 80-an (Al Habsyi), Hotel Mariot, hingga kedutaan Australia, dalam banyak hal ‘pendekatan’ yang dipakainya mencuri ideologi Marx. Teologi fundamentalisme agama -- tentu, pula kalangan findamentalis kiri -- secara sosiologis tidak bisa dilepaskan dari fenomena marjinalisasi yang dilakukan  kelompok sosial dominan memalui proses panjang modernsiasi[4]. Marjinalisasi merupakan konsekwensi atas pilihan rasionalitas tertentu, meminjam Atzioni: ‘berasal dari filsafat politik tertentu’ – poin ini akan diurai di bagian belakang tulisan ini. Disini, fundamentalisme agama dan radikalisme hanyalah salah satu bentuk artikulasi tindakan kelompok marjinal yang diarahkan kepada struktur politik.  

Mereka kelompok yang tak mempercayai ‘dialog’ sebagai jalan keluar. Dalam bahasa sistem politik, mereka adalah kelompok yang tak mempercayai perjuangan melalui partai politik. Cara-cara semacam ini paralel dengan kelompok marxisme garis keras[5]. Dalam pasca kemerdekaan orang-orang seperti Tan Malaka, Untung, Nyono, Aidit adalah  kelompok komunis garis keras yang tidak mempercayai ‘evolusi’ ke arah komunisme melalui cara Pemilu. Pada sisi ini tidak ada yang membedakannya dengan gerakan fundamentalis agama garis keras seperti kalangan Jama’ah Islamiyah yang melahirkan orang semacam Imam Samudra, Umar Pathek, Amrozi dan sejenisnya. Prinsip mendasar dua jenis fundamentalisme ini (kiri dan kanan) adalah emoh berjuang melalui partai.  Konsekwensinya lebih jauh, dalam praksis gerakan  mereka hanya mempercayai revolusi. Secara sosiologis sulit menghindari ceceran darah dalam praksis gerakan semacam ini. Kalangan garis keras ini menambal kekhawatiran ceceran darah dengan jargon, “tak akan ada ceceran darah dalam revolusi-bila tak ada kontra-revolusi”. Argumentasi ‘stright logic’ semacam ini sangat digemari penganut marxisme garis keras. Bahkan, argumentasi yang asal-usulnya (baru) muncul pada era Lenin ini menjadi bagian dari ‘ideologi gerakan’. Dengan lain kata, argumentasi semacam  ini di-ideologisasi.  Padahal watak dari ideologi itu sendiri adalah ‘mengelabui realitas’[6]. Argumentasi tidak logis tentu bukanlah pemikiran yang baik, tetapi argumentasi yang logis tidak pula selalu baik jika berangkat dari pengandaian yang keliru. Ideologi bagaimanapun adalah sebuah pembatasan terhadap cara berfikir kritis itu sendiri, kalau tidak, adalah sebuah pembodohan.   

Dalam logika semacam inilah fundamentalisme, baik kiri dan kanan, menjadi ancaman kemanusiaan global abad modern ini mendapatkan amunisi ideologiknya.

 

 

(Pergeseran) Sistem Moral dalam Bernegara

 

Argumentasi lain untuk menyerang (tesis) Marx di atas adalah pada variabel negara: Negara mempunyai peran memperkuat bekerjanya sistem kapitalisme.[7] Mudah dihitung dengan jari hubungan negara dengan bekerjanya kapitalisme bersifat kontraproduktif. Misalnya,  Iran pasca jatuhnya Reza Pahlevi, Venezuela era Hugo Chavez, dan Cuba dibawah Fidel Castro[8]. Marx akan sangat keteteran menghadapi argumen kritik semacam ini. Pasalnya, peran negara bangsa pada era Marx sangat berbeda dengan perannya dipenghujung abad-20.[9] Disinilah Etzioni mengisi celah kosong itu! Tetapi tentu tak bisa dilepaskan begitu saja gagasan dasar Marx bagi Etzioni. Utamanya, sebagaimana tesis Etzioni sebagaimana diurai di atas perihal rasionalitas –yang menurut pendapatnya– berakar pada filsafat politik dan etika tertentu. Maka  negara menempati posisi sentral disini.

Konsep negara dalam kerangka ini mengacu pada Weberian. Bahwa, ia adalah sekelompok orang yang diberi (tepatnya: mendapatkan) otoritas untuk melindungi perihal yang dipandang sakral oleh masyarakat. Pada prinsipnya, negara tidak pernah bisa tidak berpihak pada pilihan rasionalitas yang merasuk pada bekerjanya dimensi kekuasaan. Meskipun sifat (keadaan) negara ditentukan oleh manusia yang bersangkutan -- Drijarkara menyebutya sebagai ‘kegiatan manusia menegara’-- namun melalui relasi kuasa yang bekerja pada sistem dunia (meminjam Immanuel Wallernstein) istilah ‘pilihan atas rasionalitas’ ini hanya sekedar mitos karena pada akhirnya (pilihan) rasionalitas ini akan selalu  berada pada bentuknya yang instrumental (rasionalitas instrumental). Rezim kekuasaan negara akan cenderung rapuh jika tidak merespon gelagat instrumen-instrumen kapitalisme. Kisah jatuhnya Rezim Suharto, misalnya, digambarkan oleh Jefrey Winters,[10] terjadi ketika rezim ini tak lagi dibutuhkan untuk menyangga kekuatan kapital internasional.

Persentuhan pasar dengan filsafat moral utilitarianisme merupakan persenyawaan ideal yang melahirkan sistem politik yang baru dikenal seratus tahun kemudian setelah revolusi industri Inggris, yaitu: demokrsi.   Asumsi dasar yang mengitarinya adalah, “individu mengetahui apa yang terbaik”. Kolektifitas rontok melalui kedaulatan konsumen[11]. Disini, konsumerisme dipuja. Artinya, mengkonsumsi berarti menggelindingkan perekonomian,[12] sekaligus menentukan posisi status kemulaiaan seorang manusia modern. Degradasi ini belum lagi menelisik bekerjanya intrumen hukum yang menjadi daya paksa dalam interaksi antar manusia. Perilaku instrumen daya paksa ini (hukum) tidak kedap terhadap kekuatan logistik seseorang. Keamanan dan rasa aman adalah persoalan logistik.  

Dua tabel  di bawah ini adalah ilustrasi kecil yang menjelaskan adanya hubungan (rasa) aman dengan  kekuatan logistik. 

 

Kasus yang menjerat ‘orang kecil’

Tahun
Kasus
Pelaku
Vonis Hukuman
Okt. 2009
Pencurian 3 butir kakao seharga Rp.2.100 di Ajibarang, Banyumas
Aminah (55 TH)
Penjara 1 bulan 15 hari di PN Purwokerto.
Feb. 2010
Pencurian 1 karung plastic buah randu senilai Rp.12.000 di Batang, Jateng
Manisih (39), Sri Suratmi (19), Juwono (16), Rustono (14)
Penjara 24 Hari di PN Batang
Sep. 2010
Pencurian seekor ayam jago di Balen, Bojonegoro, Jatim
Agus Budi Santoso (25)
penjara 4 bulan di PN Bojonegoro
Okt. 2010
Pencurian 2 batang singkong dan 1 batang bambu di Pasuruan, Jatim
Supriyadi (40)
1 bulan 20 hari kurungan di PN Bangil
 
Juli 2011
Pekerja rumah tangga yang dituduh mencuri sarung bekas seharga Rp.3000 di Pamekasan, Jatim
Amirah
Dipenjara 3 bulan 24 hari
Jan. 2012
Pencurian sandal jepit di Palu, Sulawesi Tengah
AAL (15)
Dinyatakan bersalah, dikembalikan ke orang tuanya di PN Palu

Sumber:  Harian Kompas, 6 Januari 2010

 

Kasus Hukum Sejumlah Elit

Tahun
Kasus
Pelaku
Vonis
 
Juli 2008
Menyuap Jaksa dalam kasus BLBI yang melibatkan pemilik BDNI
Artalyta Suryani
5 TH penjara pengadilan Tipikor, bebas setelah 2/3 masa hukuman
Mei 2011
Korupsi dana bagi hasil PBB 2006-2007, senilai 21,3 M
Agusrin M Najamudin (Gub. Bengkulu)
bebas di PN Jakarta Pusat
Agus. 2011
Korupsi biaya pemungutan PBB, Rp 14 M
Eep Hidayat (Bupat Subang)
bebas di Tipikor Bandung
 
Okt. 2011
Suap anggota DPRD 1,6 M, penyalahgunaan uang makan minum Rp 639 Jt. Suap Piala Adipura Rp. 500 JT, suap BPK Rp.500 JT
Mochtar Mohamad (Wali Kota Bekasi)
Bebas di PN Tipikor Bandung
 
Okt. 2011
 
Korupsi APBD Rp. 28 M
Andi Ahmad Sampura Jaya (Mantan Bupati Lampung Tengah)
bebas PN Tanjungkarang
Okt. 2011
Korupsi dana kegiatan DPRD Kukar 2005, Rp.2,6 M
14 Anggota DPRD Kutai Kartanegara
Bebas PN Samarinda

Sumber:  Harian Kompas, 6 Januari 2010

Pembandingan perlakuan negara atas kelas sosial pada dua tabel itu menegaskan hubungan kekuatan logistik di hadapan instrumen negara. Dalam perspektif utilitarian penggalan data pendek ini mengadopsi moralitas sistem sosial yang mengacu pada rasionalitas instrumental. Kekuatan logistik, yang dalam sejarah berasal dari etos Calvinisme sebagai semangat “meraih sorga” --  sebagaimana dielaborasi Weber – menemukan wajah barunya di era modern ini. Sorga dengan sendirinya telah hadir pada alam fana ditarik dari struktur relefansi   ‘moral’ kekuatan logistik.

 

Logika Utilitarian dalam Praktek

 

Yang bisa mengobati rontoknya kolektivisme tentu bukanlan jenis persekutuan yang bebasis rasionalitas instrumental. Jenis persekutuan semacam ini hanya bisa ditemukan dalam pengelompokan agama, suku, dan ras. Ini berarti konsep negara bangsa menghadapi dua tantangan secara bersamaan, yaitu rasionalitas instrumental itu sendiri dalam kerangka kontradiksi internal dan primordialisme (tepatnya: fundamentalisme primordial). Rasionalitas instrumental bukan sekedar  sebuah modus adaptasi komunitas sosial terhadap lingkungan yang bergerak sejak menguatnya hegemoni pasar, namun juga berarti sebuah gejala munguatnya dominasi  sistem moral baru: utilitarianisme. 

Kualitas nilai moral dalam sistem utilitarianisme diukur pada akibat sebuah tindakan. Tindakan dipandang mempunyai restu moral dilihat pada apa yang akan terjadi pada (akibat) tindakan itu. Sistem moral inilah yang mem-back up modernisme (baca: pembangunan) yang acapkali tak sensitif terhadap substansi keadilan.  Kisah di bawah ini exemplar dari  main-stream yang bekerja pada logika utilitarian.

Pada oktober 1958 seorang gadis bernama Anglynn York mengajukan gugatan atas penyerangan dirinya. Petugas kepolisian, Ron Story, menerima sesuai kewenangannya: bahwa nona York perlu dibuat fotonya. Ron Story membawa York ke sebuah ruangan kemudian mengunci pintu dan memintanya melepas pakaian. York, si pengadu yang cantik ini keberatan karena, toh, luka-lukanya tak tampak di foto telanjang itu. Ron Story menyebarkan foto telanjang itu  pada rekan-rekan personilnya. Pada April  1960 Nona York mengajukan tuntutan perkara atas peredaran foto telanjangnya terhadap para petugas.  Tetapi, menurut utilitarianisme tindakan petugas ini dapat dibela, alasannya hasil tindakannya memberikan pemerataan kebahagiaan di atas ketidakbahagiaan (yang cuma diderita oleh satu orang). Kisah ini seperti lelucon, tetapi betul terjadi!

Logika yang bekerja dalam kisah York ini tentu tidak sulit ditemui paralelismenya di tanah air. Logika ini juga bersarang pada jargon, “lebih mengedepankan ketertiban  ketimbang penegakan hukum”: didalam ketertiban berarti jumlah orang yang bahagia lebih banyak. Utilitarianisme dengan demikian hanyalah konstruksi jumlah. Kualitas sebuah tindakan tidak bisa dipisahkan dari  persoalan angka-angka:  kuantitas.  Hak kebebeasan berkeyakinan (agama) kaum monoritas harus dikorbankan demi ketertiban (baca: menghinhdari keberingasan) kelompok mayoritas.

 

 

(Re)Posisi Kepolisian

 

‘Wajah baru’ etos Calvinisme yang direduksi melulu pada rasionalitas instrumental bagaimanapun pada era modern bisa menjadi ancaman kolektivitas negara bangsa.  Hari ini kolektifitas negara bangsa gamang menghadapi serangan wajah baru ‘etos Calvin’. Indonesia masih menyisakan PR serius dalam menempatkan ancaman kolektivitas yang mengacaukan batas-batas ruang “keamanan”,  antara  ‘k’ besar dengan ‘k’ kecil yang menjadi tarik-menarik orotias kepolisian dengan militer. PR yang tertunda ini masih akan dibebani pekerjaan  yang jauh lebih rumit perihal wajah kejahatan dunia cyber. Issunya: mana batas-batas yang disebut crime cyber dengan  ikhwal ancaman berdimensi cyber defence. Disini, pemisahan kepolisian dengan otoritas militer dipertanyakan ulang. Bahkan, konsep Trias Politika yang menganjurkan pemisahan (lembaga) kekuasaan negara  akhirnya perlu pembacaan ulang secara lebih arif.  

Sejumlah negara yang baru lepas dari otoritarian mengadopsi trias politika secara telanjang, kemudian menyebabkan lembaga-lembaga negara steril dari kontrol eksternal. Di Indonesia, keluarnya UU No.2/2002 disambut sorak sorai kalangan kepolisian. Karena,  substansi materi Buku Biru yang dirumuskan era Kapolri Jenderal  Rusmanhadi  diterima dalam undang undang ini. Buku Biru ini tentang pembenahan kepolisian melalui tiga aspek (struktural, instrumental, dan kultural). Penerimaan otoritas politik atas substansi Buku Biru berarti ucapan ‘selamat tinggal’ atas bentuk sub-ordinasi institusi kepolisian. Bukan sekedar ia tidak lagi dibawah (sub-ordinasi) militer, tetapi de facto ia hanya ada dibawah Tuhan. Pasalnya,  struktur dibawah Presiden, hanya dengan 6 orang komisioner Kompolnas (dengan kewenangan terbartas pula)  mengawasi 440.000 polisi, seorang ahli tata negara berujar atas Kompolnas, ‘tidur atau kerja keraspun, raksasa tak bergeming’.

Posisi kepolisian langsung dibawah Presiden secara sosio-politik bukanlah struktur yang permanen. Karena pada kenyataanya posisi ini secara empirik selalu mendapat serangan sporadis beberapa kali setelah isu-isu politisasi menerpa  tubuh kepolisian. (Gagalnya) profesionalisme kepolisian pada kasus-kasus yang berbau politisasi selalu dialamatkan pada struktur posisinya dibawah Presiden.    Serangan ini memang tidak terlalu serius karena selain sporadis, juga bersifat elementer. Bisa jadi serangan ke depan tidak lagi dalam bentuknya yang  sporadis jika isunya juga bergeser dari kasus-kasus elementer ke persoalan yang bersifat koheren. Yang bersifat koheren ini menyangkut substansi kontrol eksternal institusi kepolisian yang terasa kurang mendapat tempat.  

Keluarnya UU No.2/2002 tentang Polri yang diapresiasi positiv kalangan kepolisian, sepanjang 1998 hingga 2008 telah lahir sejumlah regulasi sektor keamanan yang secara subtantif  mengikat institusi ini untuk kontestasi dalam kerangka institusi yang demokratis [13]. Melalui kontestasi empirik regulasi ini akan terus mempunyai persentuhan keras atas realitas “keterbatasan” (re)posisi institusi kepolisian itu sendiri. Misalnya, wacana human security yang hadir belakangan setelah wacana  HAM, tumbuh dari ranah subur rasionalisme instrumental instrumental ini. Dalam keranga inilah institusi kepolisian akhirnya meskipun mandiri namun tak sepenuhnya bisa mendefinisikan realitas secara mandiri.

Disinni  Etzioni, sebagamana elaborasi di atas menyingkap cara kerja rasionalitas jenis ini pada abad ini. Rasionalitas ini membalik paradigma Hegelian; kini melalui rasionalitas jenis ini negara (cq. Kepolisian) dipandang menjadi aktor kelompok yang paling bertanggungjawab terhadap kekerasan. Rekan-rekan kepolisian tak mudah memahami logika yang bekerja pada rasionalitas ini. Misalnya,  istilah pelanggaran HAM hanya relefan dikenakan pada kepolisian, tidak pada masyarakat. Namun, ketidakmengertian mereka tidak menyurutkan bekerjanya logika rasionalitas instrumental berbasis sistem moral utilitarian. 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Albert, Hans.2004.Risalah Pemikiran Kritis, terj. Yosep Wagiman & Moh. Hasan

 Basri, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

 

Elliston, Frederick A dan Michel Feldberg (Edt.). 1985. Moral Issues in Police

Work, Rowan & Littlefield Publishers, Inc, Maryland, Unitd States of America.

 

Etzioni, Amitai.1990. The Moral Dimension Toward a New Economics,

   University of  California.

 

Held, David..2006. Models of Democracy, Polity Press, Malden, USA

 

Polanyi, Karl.2003.Transformasi Besar; Asal-usul Politik dan Ekonomi Zaman

 Sekarang, terj.M.Taufik Rahman, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

 

Prihatono,T., Jessica Evangeline, dan Iis Gindarsih (Peny.).2007. Keamanan          Nasional; Kebutuhan  Membangun Perspektif Integratif VersusPembiaran

            Politik dan Kebijakan, Propatria Institute, Jakarta.

 

Prihantono, T. Hari (Edt.). 2006. Penataan Regulasi Keamanan, Propatria

 Institute, Jakarta.

 

Rachels, James.2004. Filsafat Moral, terj. A. Sudiarja, Penerbit Kanisius,

 Yogyakarta.

 

Ranadireksa, Hendarmin.2007. Arsitektur Konstitusi Demokratik,    Fokusmedia,

 Bandung.

 

Smelser, Neil dan Richard Swedberg.2005.The Handbook of Economic Sociology,

            Princeton  University, Oxford.

 

Sudibyo, Agus.2009. Kebebasan Semu, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.

 

Stompka, Piotr.1993. Sosiologi Perubahan Sosial, terj. Alimandan, Prenada,

 Jakarta.

 

Weber, Max.1978. Economy and Society, translated Ephrahaim Fischoff, et all.

            University of  California. 

 

Widjajanto (edt.).2006. Negara, Intel, dan Ketakutan, PACIVIS, University Of

            Indonesia.

 

 




[1]. Tahun 90-an sosiolog Jepang Saya Sasaki Shiraisi menulis disertasi dengan pendekatan fenomenologik  perihal kehidupan koruptor di Indonesia. Ada kecenderungan “legimasi teologik” terhadap birokrat yang menempati ‘tempat basah’, kemudian mengeruk uang negara untuk  rekan dan keluarganya. Kerangka “ teologik” ini memaknai keberhasilan menempati posisi basah itu sebagai makna ‘keberkahan’: bahwa, ia menjadi pilihan Tuhan. Rasa syukur itu diartikulasikan melalui menaikan haji sanak keluarga bahkan pembantunya.     
[2]. “Mendasar” dimaksudkan mengacu kepada basis rasionalitas yang mendasari aturan-aturan (norma dan regulasi) dalam tata hubungan antar manusia.
[3]. Proposisi ini menjadi pusat gagasan dalam penulisan artikel ini. Mengacu pada  Hans Albert (2004;xiii), “Problem rasionalitas adalah persoalan umum dalam praktis manusia dan oleh karena itu tidak terbatas pada wilayah pengetahuan atau praktek kognitif”.
   
[4]. Di atas kertas modernisasi  tidak hanya dapat dibaca sebagai ‘biang kerok’ lahirnya kelompok sempalan fundamentalisme agama dan juga garis keras marxisme, tetapi juga menjadi kondisi yang melatari  post-strukturalisme, di beberapa belahan bumi gerakan relativisme moral.
 
[5] . Di sepanjang elaborasi proposisi ini, misalnya pada term “marxis garis keras”, “pengingkaran terhadap partai politik sebagai tunggangan ke arah komunisme” dan “pilihan terhadap revolusi ketimbang evolusi” hanyalah terminologi yang berasal dari tafsir atas Marx. Jadi, tak bisa dialamatkan secara koheren kepada Karl Marx. Meskipun acapkali Marx melakukan simplifikasi, hemat saya, tak mudah menarik garis lurus “hitam-putih” itu 
 
[6] . Untuk ini lihat, misalnya Karl Mannheim (1991) dan
[7]. Proposisi semacam ini tentu masih terbuka didiskusikan. Bahwa, peran negara bangsa (secara ideal) menjadi pisau bermata dua dalam hubungannya dengan perikehidupan kapitalisme: peran kontra produktif dan peran kontributif. Namun, sekedar hitung-hitungan kasar saja peran kontra produktif negara bangsa terhadap kapitalisme akan bararti mengisolasi dari pergaulan internasional dengan segala implikasi kemanusiaan didalamnya.
 
[8] . untuk konteks lokal, hemat saya perlu menyebut nama Jokowi.  
 
[9]. Periksa, misalnya Hans Kohn (1955). Hingga tahun 1900-an Eropa masih saja merupakan pergulatan mencari bentuk sosok negara modern, meskipun ‘kapitalisme’ tentu saja dalam pengertian yang  minimal telah hadir secara kokoh. Era ini utamanya merupakan pergulatan cita-cita nasional Eropa Tengah.
 
[10] . Power in Motion....
[11] . Atzioni
[12] . Sosiologi Uang....
[13]. Beberapa diantaranya: Tap MPR tentang Pemisahan TNI dan Polri, Undang Undang Petahanan, Undang-Undang Polri, Undang – Undan TNI, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Pengadilan HAM, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, dan lain-lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar