Kamis, 25 Juli 2013


Perihal Teori Etika

 
Tradisi kritis :

Pintu masuk dunia filsafat Moral

 

Beraneka ragam pintu masuk dunia filsafat. Orang bisa memulai dari mempelajari sejarah (lahirnya) filsafat; bisa dari ketertarikan pada tema-tema tertentu[1] tanpa harus berangkat dari metode kronologis; bisa berangkat dari focus (kekaguman) pada  seorang filosof [2]; bisa pula berangkat dari metode berfikir kritis dan radikal. Tapi tentu saja orang tidak dapat masuk dunia filsafat melalui ketertarikannya pada wilayah klenik (jadi lucu ada mahasiswa yang menhubungkan filsafat dengan dunia perdukunan!). Dunia klenik menutup orang berfikir rasional. Wilayah klenik tidak perlu penjelasan dan argumentasi begini atau begitu, orang dituntut kepatuhan total (sebetulnya untuk keperluan-keparluan pragmatic jangka pendek)[3].

  Namun, bukan hanya wilayah klenik yang menutup argumentasi rasional, wilayah ideology juga mendekati ketertutupan argumentasi alternative[4]. Apakah agama masuk pada wilayah ini ? Pada banyak sisi agama justru menuntun / merangsang berfikir argumentative – menuntun rasionalitas. Namun ruang dogmatis agamalah yang acapkali membingkai rasio yang dibutuhkan filsafat.  Hemat saya, sistem sosisialah yang membuat agama beku  sehingga menyerupai wilayah klenik. Sistem social, merujuk jalan fakir Auguste Comte hanyalah merupakan suprastruktur dari infrastruktur tata fakir masyarakatnya. Misalnya, masyarakat yang didominasi klenik cenderung menghasilkan system kekuasaan feodal.   Jadi demokrasi hanya bisa hadir dalam masyarakat yang menerima pemikiran kritis, masyarakat yang memberi ruang argumentasi rasional.

Kita kembali ke pintu masuk filsafat. Metode berfikir kritis dan radikal kalau dirunut dari deretan kategori pintu masuk  filsafat di atas tergolong pada tema tertentu dalam filsafat. Dalam hal ini, epistemology dan logika, misalnya. Epistemology adalah cabang  filsafat tentang tata cara memperoleh pengetahuan, sementara logika adalah tata tertib agar cara memperoleh pengetahuan itu tidak sesat. Logika tidak untuk menjaring / mendapat pengetahuan tetapi sebagai rambu – rambu agar dalam proses menggapai pengatahuan tidak sesat.

Namun cara berfikir  radikal dan kritis  tidak melulu produk epistemology dan logika, masih perlu bidang yang menyeret realitas pada “gagasan – gagasan mendasar” yang menjadi tradisi berfikir filsafat. Misalnya bidang yang membahas apa yang dimaksud “pengetahuan”  dan  apakah  pengetahuan memang ada, apa yang dimaksud “ada”, bidang filsafat ini adalah ontology.  Bidang lain, Bidang filsafat yang bertugas membongkar nilai tidak dapat dilepaskan dari proses membangun tradisi berfikir kritis. Kehidupan social tidak lepas dari tindakan – tindakan yang berkategori nilai, dengan nilai  orang mengatakan  si A berbuat baik, si B berbuat tidak baik. Bandingkan misalnya seseorang yang hidup di hutan sendirian, nilai tidak akan terkonstruksi selayaknya dalam kehidupan social. Bidang filsafat yang mendiskusikan nilai adalah aksiologi. Pada bidang inilah persoalan – persoalan etika dimulai.

 Di atas telah diurai, betapa pemikiran  argumentasi  rasional - kritis hanya bisa tumbuh dalam masyarkat – Auguste Comte menyebutnya – positivistic. Masyarakat yang tunduk pada ilmu pengetahuan sebagai panglima; yaitu  sebuah corak masyarkat dimana dalam pencarian kebenaran diputuskan melalui ilmu pengetahuan. Comte, belakangan banyak dikritik[5]. Karena nampaknya Comte tidak begitu menaruh perhatian terhadap makna kebenaran yang ia legitimasikan dalam ilmu pengetahuan.

Maka menjadi sangat penting pintu masuk dunia filsafat juga adalah mendiskusikan apa yang dimaksud kebenaran. Atau, apa kritetria kebenaran?  Karena kebenaran gaya Comte yang membawa pencerahan (aufklarung) ternyata toh hanya sebuah dimensi dari dimensi kebenaran yang lain. Seperti yang diajukan kleim Mazhab Frankfurt, kebenaran gaya positivistic bersifat “mendominasi” dan “memonopoli”.  Disini kita memasuki wilayah epistemologi.

 

Etika;

Refleksi atas Ruang Moral

 

Orang mudah kepleset menyepadankan  istilah etika dengan etiket. Padahal kedua konsep ini jauh berbeda. Etiket dalam kamus bahasa inggris berarti etiquette, artinya sopan santun atau tata cara. Misalnya dalam kalimat berikut, “we have to keep our etiquette toward our guest”. Bisa jadi asal usul penggunaan etiket barangkali serapan dari kata etiquette ini, namun proses penyerapan ini mengalami peyoratif  makna dasarnya sehingga menyepadankannya dengan etika. Ini bias makna dalam skala yang serius. Jadi, etiket  (hanya) mempunyai makna yang merujuk pada kesusilaan; tata-krama; sopan santun, dan semacamnya. Prinsipnya sebuah tindakan social yang merujuk pada ukuran kewajaran castom atau kebiasaan setempat. Etiket terikat pada custom, bandingkan dengan etika! (dibawah, pada bagian Etika dan Budaya  kita akan diskusikan ini).

Namun demikian, tentu saja  etiket (sebutlah ; “kesusilaan”) tidak terlalu jauh lepas dari perbincangan wilayah etika  meskipun keduanya, menurut Bertens (2002;8) -- dilacak dari asal-usulnya  --  tak mempunyai hubungan apapun. 

 

Diskusi Sekitar Moral

Tidak ada debat  berkepanjangan bahwa etika sepenuhnya menyangkut diskusi tentang moral[6].  Singkatnya, kajian  tentang moral. Pertanyaan tentang apa itu yang baik  sama dengan bertanya apa itu (ber)moral.  Literatur  apa saja untuk menarik batasan tentang etika, hemat saya, definisi yang akan didapatkan tidak jauh dari upaya Christy Rakoczy dalam http://answers.yourdictionary.com  yang menempatkan pentingnya konsep moral sebagai konsep kunci dalam etika. Katanya;

the study of standards of conduct and moral judgment;

moral philosophya treatise on this study

the system or code of morals of a particular person, religion, group, profession, etc.

 

Taruhlah, kita tak perlu sulit memahami moral, cukuplah moral difahami sebagai mana orang-orang umum memahaminya. Konsep ini sepenuhnya menyangkut persoalan ‘yang baik’ dan ‘yang buruk’. Namun dalam belajar etika persoalannya terletak pada dua skema yang mendasar. Pertama,  apa itu baik, mengapa ia disebut baik, dan dari mana yang baik ini berasal. Pertanyaan ini tidak mengajak pada relatifisme; justru  etika mengantarkan kita pada kekokohan argumentasi tentang  kebaikan yang tidak relative[7].  Kedua, bagaimana standar moral itu mungkin dalam masyarakat, atau apakah kode moral itu memang ada ? Pertanyaan Ini menyangkut misteri moral.

Kita dilahirkan dan tumbuh dalam dunia social yang  telah lebih dahulu eksis belantara moral. Saya harus mempertimbangkan tindakan saya dalam dunia social menurut (standar) moral yang ada pada lingkungan social dimana saya tinggal[8].  Dan, tentu saja standar moral, taruhlah yang sejauh saya fahami,  standar moral berbeda-beda. Ukuran moral saya berbeda dengan ukuran moral Anda[9]. Anda mungkin lebih sensitive dari saya. Jangan mengukur moral(itas) saya menggunakan ukuran Anda karena ini menyangkut hati nurani yang persifat personal. Namun proposisi ini (“hati nurani yang persifat personal”) tak perlu ditarik deduksi secara kaku, toh pada dasarnya ada semacam hati nurani yang bersifat kolektif; ada moral yang bersifat kolektif. Atau dalam ungkapan lain, moral yang pengukurannya melalui hati nurani ini bersifat personal.

            Karena itu pengukuran tindakan manusia atas nilai moral berbeda beda secara personal. Namun jangan buru-buru mendakwa tulisan ini sebagai relatifisme[10]. Uniknya, perbedaan – perbedaan  pengukuran moral ini tidak berbeda terlalu jauh.  Pengertiannya, dalam kelonggaran ini masih relative ada standar kesamaan[11]. Mungkin, tepatnya, bebas tapi terbatas.  Para etikawan, misalnya menjuluki orang yang tindakannya  tidak sensitive terhadap nilai nilai moral sebagai moral insane, atau bebal moralitas.  Standar ini  berlaku dimana-mana bahwa perilaku culas, khianat, pengecut, menipu adalah tidak direstui secara moral.  Standar ini menggumkan! Berlaku dimanapun masyarakat manusia berada.  Di kalangan para Mafioso pun sejauh mereka punya system karir maka ukuran moral yang disebut di atas berlaku.  Sejumlah elit mafia pastilah sudah teruji berpegang teguh pada standar moral itu; mereka tidak khianat, culas, maupun tidak pengecut.  Bayangkan, nilai – nilai itu berlaku umum, sejak dari kalangan (masyarakat) Mafioso, komunitas Dewan di Senayan, arisan ibu-ibu PKK, hingga perkumpulan Sepak Bola.

Ilustrasi itu sedikit membantu kita, bahwa meskipun moral(itas) diukur secar relative berbeda pada setiap orang  namun ada standar sehingga perbedaan itu tidak jauh ajuh amat. Imanuel Kant-lah yang mencoba membangun standar itu dengan cara menetapkan rumus yang berlaku pada semua tindakan.  Ia mengusulkan tiga criteria bagi imperative kategoris pada tindakan moral. 

Rumus pertama, suatu tindakan disebut (ber)moral jika kaidahnya bisa disemestakan.  Mamang tidak perlu semua orang sepakat dengan kaidah ini secara actual namun setiap orang harusnya setuju. Sebuah kebohongan adalah tindakan yang tidak bisa disemestakan; atau dengan lain kata kebohongan itu sendiri hadir justru karena melanggar hukum yang bisa disemestakan. Kalau saya punya wanita simpanan, kemudian orang bertanya, “apakah si Dewi itu teman istimewamu ?”  Atas pertanyaan (issue) ini  saya sedang  berhadapan dengan pilihan moral. Saya berharap skandal saya tak ada yang mengetahui, maka saya (bisa) berbohong.

 Di lain sisi bisa juga saya mengatakan kebenarannya (tak berbohong) dengan demikian saya harus menghadapi akibatnya [12].   Ketika saya memilih  berbohong, sebetulnya semua bisa selesai – tak ada yang mengetahui. Dan meskipun berbohong untuk menyelesaikan kasus ini membuat saya lebih senang  namun demikian pilihan saya salah secara moral, karena didasarkan pada kaidah yang tak pernah menjadi hukum universal[13].  Saya masih bisa berargumentasi bahwa kebohongan yang saya lakukan adalah “untuk kebaikan”[14].  Namun pada rumus ini  tidak ada suatu yang khusus (kebohngan tertentu) yang bisa disemestkan, tidak bisa dikatakan “kebohongan sebagai hukum universal”. Bayangkan, jika argument saya diterima (kebohongan untuk “kebaikan”) ! bagi Palmquis (     ), jika kehidupan social ini menerima kebohongan yang akan menyenangkan orang maka fungsi utama bahasa (kemampuannya untuk menopang kebenaran) akan terkikis. 

Rumus kedua, menyasaratkan bahwa kita menghargai pribadi orang; bertindaklah sedemikian rupa dalam kerangka memperlakukan manusia sebagai tujuan, bukan sebagai alat semata.

Rumus Ketiga, mensyaratakan bahwa kaidah kita harus otonom (yang mengatur sendiri); setiap mahluk yang rasional menciptakan hukum universal. Maka dalam kontek ini kaidah moral harus selaras dengan penentuan hukum kehendak universal.

 

Etika dan Budaya

            Pertanyaan mendasar bagian ini  adalah “apakah etika / moral terikat pada budaya?”  Konon, di suatu wilayah di tanah air ada adat yang membenarkan ‘penculikan’ anak gadis yang hendak diperistri. Di bagian budaya  lain menempatkan wanita dalam posisi yang “berat” pada  relasi gender; katanya, sang pria (suami) sabung  ayam, si perempuan (istri) bekerja keras. Konon lagi, di wilayah budaya tertentu (agaknya) welcome terhadap pernikahan siri. Dan tentu masih ada deretan realitas moral lain dimana dipandang biasa atau wajar di suatu budaya tertentu, tetapi dianggap wirang[15]  bagi komunitas lain dalam masyarakat kita. Fenomena ekstrim diilustrasikan oleh (James:    ) berikut. Sebuah komunitas di Callatia (salah satu suku di India) memakan jenasah orang tuanya ketika meninggal. Laki – laki orang Eskimo sering mempunyai istri lebih dari satu; jika datang ke rumahnya,  cara mereka menghormati tamu ini dengan memberikan istri mereka. 

            Realitas dilematik-moral semacam itu tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat archeis dimana nilai dan norma diregulasikan secara antropologis. Di lingkungan masayarakat demokratis pun acap kali ditemukan dilematik-moral. Misalnya, setelah reformasi dan otonomi daerah, maka daerah bebas membuat regulasi menyangkut administratifnya sendiri. Belakangan sejumlah regulasi di daerah dipandang bermasalah. Misalnya, apakah menurut Anda otonomi daerah, melalui proses demokrasi di daerah, terus bebas pula menerapkan, misalnya “syari’at islam” ?   Kita juga harus sensitive  tentang moralitas yang ‘dianut’ dalam cara bangsa ini ber-demokrasi, misalnya. Misalnya, bagaimana etika memahami realitas pencitraan sebuah rezim ditengah kesulitan ekonomi yang diderita rakyat  di depan mata kita ?

            Dengan sejumlah perbedaan kebasaan yang menyentuh (persoalan) moral itu, orang mengatakan bahwa perbedaan itu wajar. Maknanya  setiap komunitas budaya mempunyai kode moral nya sendiri. Jadi, sekali lagi perbedaan dalam kode moral dipandang wajar. Pandangan ini dopegang oleh penganut relatifisme budaya (cultural relativism). Prinsip penganut ini adalah bahwa budaya merelatifkan nilai, norma, sekaligus kode moral. Istilah ‘salah’ dan ‘benar’ tak bisa dipaksakan dari satu komunitas budaya tertentu ke komunitas budaya lain. Tak ada standar moral yang bisa dipakai di semua tempat. Kebenaran difahami menurut tata cara masyarakat tertentu yang bersangkutan. Dengan demikian gagasan penganut relatifisme budaya memetahkan adanya nilai –nilai universal.

            Andaikan kita memahami bahwa hari ini sedang terjadi pertempuran gagasan, jika (faham) relatifisme budaya ini menang atau mendominasi  dalam pertempuran ini maka etika-pun akan pingsan. Kita tak lagi perlu mempalajari etika! Atau sebaliknya, argument relatifisme budaya ini justru merupakan tantangan keyakinan mengenai adanya obyektivitas dan universalitas kebenaran moral.

            Mari kita amati argumentasi kaum reltifisme budaya ini. Argumentasi yang dipakai berangkat dari fakta mengenai adanya perbedaan pandangan budaya. Kemudian melalui perbedaan fakta budaya ini  dipakai untuk menarik kesimpulan atas  status moralitas. Kita disini merasa miris mendengar ada komunitas budaya tertentu memakan jenasah orang tuanya; tapi fenomena ini biasa bagi suku Callatia di India.   Kaum relatifisme budaya ini menyimpulkan, bahwa;  makan jenasah itu tidak benar dan (tapi) tidak salah secara obyektf.  Jadi, menurut kaum relatifisme budaya ini berpandangan bahwa ‘memakan jenasah’ hanyalah pandangan yang berbeda dari suatu komunitas budaya tertentu dengan komunitas budaya lain.  Kesimpulan ini berangkat dari gagasan dasar nya; kebudayaan yang berbeda mempunyai kode moral yang berbeda. Tidak ada kebenaran obyektif dalam moralitas.

Kita periksa lagi argumen kaum relatifis ini. Presmis yang mereka ajukan adalah fakta mengenai perbedaan apa yang dipercayai oleh budaya tertentu; tetapi kesimpulan yang ditarik menyangkut  ‘apa yang sesungguhnya’. Atau, kesimpulan yang ditarik tidak berasal dari premis yang dihasilkannya.  

Jadi,  apakah jika fakta adanya perbedaan pendangan  terus dapat disimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif ?    Kalau ada dua  argument yang bertentangan, bisa jadi salah satu yang benar, atau dua-duanya bisa salah. Tapi, tak bisa dua-duanya benar.  Di lain sisi, kebenaran obyektif  moral tidak harus gugur atau dikatakan ‘tidak ada kebenaran moral obyektif’ hanya karena disebabkan  komunitas tertentu tidak mengetahuinya.

 

Empat Teori Etika

            Topik ini dimaksudkan sebagai pencarian orientasi kritis terhadap legitimasi atas suatu  tindakan. Legitimasi yang dimaksud adalah pada kekuatan etis selain pada kekuatan logic dan rasionalnya. Dalam interaksi sehari hari kekuatan legitimasi semacam ini ditemukan pada argumentasi, jadi argumentasi ini penting – apalagi dalam alam pekerjaan polisi sebagai garda depan penegak hokum dan ketertiban masyarakat. Namun demikian, etika atau filsafat moral agaknya sedikit berbeda dengan disiplin lain semacam administrasi, Menejeman Lalu Lintas dan lainnya yang cenderung “manual”. Dalam etika tidak pernah ada manual (baca: petunjuk operasional), oleh karrena itu bersifat reflektif – kritik.   Kebenaran tidak hadir secara kebetulan, ia dikonstruksi melalui (adu) argumentasi yang kerapkali sangat panjang. Kebenaran hanya bisa keketahui melalui argumentasi, menutup (adu) argumentasi sama halnya dengan menutup kebenaran itu sendiri[16]. Sesuatu dikatakan benar justru karena ia tahan atas serangan argumentasi lain.

Kembali ke awal persoalan, apakah yang dimaksud landasan yang mempunyai kekuatan etis?  Jawabannya adalah  landasan yang mempunyai dasar moral. Dalam kerangka inilah maka  pembahasan “etika” dalam pembagian materi filsatat dimasukkan sebagai “filsafat moral”.   Untuk mengerti hal ini kita diharuskan mengerti  makna moral. Dibawah ini sedikit elaborasi upaya kita dalam memahami makna moral. Ilustrasi  berikut diambil dari Franz Magnis Suseno (Etika Dasar: 1989),  bahwa manusia dapat dinilai dari banyak segi. 

Pak Iman seorang manusia yang baik, tapi tidak sebagai dosen yang baik. Penilaian sebagai ‘seorang yang baik’ adalah penilaian terhadap manusia sebagai “manusia”. Tolok ukur penilaian semacam ini (bahwa Pak Iman adalah seorang yang baik) adalah pertimbangan kategori moral. Semantara untuk ‘dosen yang baik’ bukanlah pada tolok ukur moral, tetapi skill (keahlian), sebutlah itu profesionalisme.  Jadi dengan mudah ditarik kesimpulan bahwa pertimbangan moral artinya menimbang Pak Iman dalam ukuran ukuran  manusia dan kemanusiaan. Misalnya, manusia hendaknya jujur, adil, tidak pernah culas, tidak korupsi, stabilitas emosi, tidak menyakiti orang tanpa sebab yang jelas. Nah, menimbang Pak Iman sebagai dosen berada diluar ukuran – ukuran (moralitas) itu, yaitu pada keluasan ilmu yang diajar, kemampuannya menyajikan materi perkuliahan, kekayaan literatur, berwawasan luas dan semacamnya. Semua mengacu pada keahlian yang menunjang pekrejaannya.

Secara katagorik dapat kita katakan bahwa Pak Iman adalah sebagai manusia yang baik tetapi bukan dosen yang baik. Perihal  Pak Iman sebagai dosen harus jujur dan berkemampuan mengajar yang handal adalah mencampuradukkan  criteria moralitas dengan profesi dosen. Kita disyaratkan berfikir analitis dalam menggunakan  konsep dalam filsafat moral. Dari sini ruang diskusi kita mulai; pada dasar – dasar penilaian moral itu.

 

1.     Hedonisme

            Sistem filsafat moral hedonisme ini memandang bahwa hal yang terbaik bagi manusia adalah “hedone” atau kesenangan. Sesuatu tindakan atau apapun itu mendapat predikat baik diukur dari seberapa jauh ia dapat memuaskan keinginan, meningkatkan kuantitas kesenangan dan menikmatinya.

Terdapat dua aliran dalam filsafat moral hedonisme ini. Pertama, dikembangkan oleh Aristipos, seorang murid Sokrates (433 – 355 SM).  Aristipos menekankan pada konstruksi kesenangan yang bersifat aktual.  Bukan kesenangan bersifat ‘opini’ yang meliputi kesenangan yang non-badani. Kesenangan non-badani dipandang sebagai semata-mata bersifat ilusi. Kesenagan yang akan datang, misalnya, adalah bukan kesenangan karena tidak aktual. Tidak bisa dikatakan menunda kesenangan untuk kesenangan yang akan datang adalah sebuah kesenangan. Artinya menunda kesengan itu sendiri bukanlah kesenangan. Akan tetapi, bagi Aristipos, sebagaimana diajarkan gurunya Sokrates, untuk meraih kesenangan kita harus mengendalikan kesenangan. Mengendalikan kesenangan bukan meninggalkan kesenangan.  

Kedua, aliran yang dikembangkan oleh Epikuros (341 – 270 SM).  Epikuros memperluas dimensi kesenangan, ada kesenangan non-badani selain kesenagan badani. Perluasan dimensi kesenangan ini akan lebih jelas dilihat dari pernyataannya yang diambil dari surat terhadap Menoikeus, “Bila kami mempertahankan bahwa kesenangan adalah tujuannya, kami tak maksudkan kesenangan inderawi, tapi kesenangan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa”. Kebebasan dari keresahan dalam jiwa dirumuskan dalam terminologi ataraxia .  Setiap kesenangan dinilai baik, persoalannya tidak setiap kesenangan harus dimanfaatkan (meskipun ia sanggup menikmati kesenangan itu)  guna memelihara ataraxia.

Kalau hedonisme ini kita letakkan sebagai teori untuk memahami realitas, bagaimana kita memahami orang semacam Ibu Theresa yang bersusah payah dan menghabiskan waktunya untuk orang orang kusta? Jawabnya, Ibu Theresa juga sedang mengejar kesenangan. Nah, aliran hedonisme-nya Epikurus lah yang bisa menjawab ini; yang dikejar Ibu Theresa adalah kesenangan jiwa, ataraxsia tadi. Jadi bagi system filsafat moral hedonisme, seluruh aktifitas dan kegiatan menusia diabdikan untuk (mencari) kesenangan.

Dalam K. Bertens (Etika; 2005) diuraikan kritik terhadap sistem filsafat hedonisme ini. Yaitu, diantaranya, menyejajarkan kesenangan dengan moralitas yang baik. Jika tindakan cenderung diorientasikan pada kesenangan, bagaimana kalau kesenangan  orang itu melukai manusia lain ?  Nah, disinilah persoalanya,  system filsafat hedonisme ada problem etis jika memaksakan masuk pada wilayah etika normative (yang baik secara moral). Cukuplah hedonisme ini berhenti pada wilayah etika deskriptif (kenyataan bahwa tingkah laku manusia dibimbing oleh kesenangan). Kritik Bertens ini bisa jadi ada kelemahan, karena pernyataan ‘kesenangan melukai orang lain’ sangat hipotetikal. Bagi Epikurian, konsep ataraxia dengan sendirinya akan terganggu oleh tindakan orang yang melukai orang lain.

Kelemahan berikutnya, hedonisme berpikir bahwa sesuatu itu baik karena disenangi.  Padahal  kesenangan tidak melulu diangkat dari perasaan subyektif tanpa referensi yang obyektif. Kesenangan memang subyektif, namun berangkat dari pantulan yang obyektif.  

 

2.     Eudomonia

Pada system filsafat hedonisme di atas,  kesenangan  diletakkan sebagai tujuan manusia. Setiap tindakan, dalam hedonisme, diorientasikan untuk memenuhi kesenangan dan mengurangi penderitaan.  Persoalannya manusia bukan jenis mahluk yang hanya terdiri dari tubuh dan jiwa. Pemuasan tubuh (hedonisme Aristipos) dan pemuasan tubuh dan jiwa (hedonisme Epikurus)  bermuara pada dimensi kesenangan, kesenangan ini akan berbeda dengan kebahagiaan sebagaimana dirumuskan dalam system filsafat eudomonia ini[17]. Karena manusia adalah mahluk komplek, multi dimensi. Ia dilahirkan  dalam pusaran pluralitas nilai; nilai fisikal, nilai pengetahuan, nilai kebenaran, nilai social, nilai moral, nilai estetis. Manusia baru dapat menjadi manusia utuh kalau belantara nilai tersebut dikenalinya. Dan, justru manusia, seperti dirumuskan Aristoteles, tidak akan menemukan kebahagiaan jika hanya melulu mengorientasikan aktifitasnya kepada kesenangan.  Ironisnnya, system filsafat Aristoteles ini berpendapat bahwa  manusia juga tak akan menemukan kebahagiaan jika hanya mengorientasikan aktifitasnya sekedar hanya untuk mancari kebahagiaan.

Jadi bagaimana kita selayaknya mengorientasikan aktifitas hidup kita?  Yaitu mengembangkan bakat – bakat  atau potensi kita sedemikian rupa ! Kebahagiaan didekati dengan cara merealisasikan potensi diri. Franz Magnis mengilustrasikan, seorang yang mau menjadi pengukir akan bahagia dengan patung sederhana hasil karyanya sendiri daripada patung yang jauh lebih indah yang diperoleh dari pembelian orang tuanya. Berkarya dan berkeringat dalam mengembangkan  potensinya secara otentik adalah hal yang membahagiakan. Salah satu kewajiban dasar manusia adalah mengembangkan diri; “manusia adalah tugas bagi dirinya sendiri”, tulis Franz Magnis (1987;119). Meminjam Descartes, cogito ergo sum, aku berfikir maka aku ada. Keberadaan seseorang manusia (eksistensi) sebagai manusia hanya  melalui kontribusinya terhadap noktah sekecil apapun di belantara pluralitas nilai yang telah disebut di atas.

Namun, manusia tak dapat berkembang jika ia semata – mata hanya mengorientasikan pada perkembangan dirinya, seperti halnya telah disebutkan di atas bahwa manusia tak akan bahagia jika hanya mngorientasikan diri untuk mencari kebahagiaan. Mengapa? Karena  melulu pada orientasi pengembangan  diri sama dengan  menghadirkan kekhawatiran akan dirinya sendiri. Kekhawatiran inilah yang  menjadi tirai penutup pengembangan diri yang otentik[18].  Praktik pengembangan diri yang diajarkan Aristoteles adalah obsesinya pada “kemanusiaan”, pada nilai atau tugas yang dipanggulkan kepadanya. Nilai dan tugas itu adalah tanggungjawab obyektif.

Apa itu tanggungjawab obyektif ? Ya, bukan tanggungjawab subyektif !  Bandingkan dengan system filsafat hedonisme, dalam hedonisme sesuatu yang dipandang bernilai adalah bila sesuatu itu mendekatkan pada kesenangan. Bagi Aristoteles kesenagan ini dibatasi pada lingkup yang “obyektif”.   Yaitu beban atau tugas kemanusiaan yang melekat dalam profesi apapun yang disandangnya. Dalam setiap  profesi[19] dikandung tugas kemanusiaan. Tentu dalam kontek ini  kita tak bisa menyebut pencuri dan mafia sebagai profesi (meskipun misalnya ada pendidikan khusus untuk itu – tapi ini mustahi khan? ) , karena dibatasi pada lingkup definisi tanggungjawab obyektif itu.

Kebahagiaan (eudaimonia), yang disebut sebagai tujuan akhir hanya dapat diperoleh ketika manusia mampu menanggalkan egonya bersamaan dengan cara mengembangkan diri. Pengembangan diri ini ditempuh melalui dua komponen, yaitu intelektual dan moral.

Konsep “tujuan akhir” ini penting dalam sistem filsafat moral Aristoteles, karena pada dasarnya setiap aktifitas manusia ditujukan pada sebuah tujuan. Aristoteles melakukan “potong kompas” atas deretan tujuan yang bersifat haerarkhi. Kekayaan, pangkat, status  tentu bukanlah tujuan akhir. Pencarian kekayaan adalah sebuah aktifitas untuk memperoleh tujuan yang lain, begitu pula pangkat. Seseorang mencapai tujuan akhir dengan menjalankan fungsinya sebagai manusia dengan baik. Komponen utama manusia adalah intelek dan moral. K. Bertens menyebut, “tujuan pemain suling adalah main suling dengan baik”.   

 


 

 

 

3.     Utilitarian

Kita tak bisa memahami sistem filsafat utilitarian ini tanpa mengerti sistem filsafat hedonisme. Utilis, bahasa Latin, artinya berguna. Menilai sesuatu itu baik sejauh memberikan manfaat atau nilai guna. Persoalannya menjadi rumit manakala, misalnya, jika saya melakukan sesuatu dengan maksud memberikan manfaat bagi orang tapi ternyata justru sebaliknya. Apakah efek atau akibat dari tindakan saya yang justru melenceng dari tujuan awal ini diluar tanggung jawab saya ? karena toh saya bermaksud memberi manfaat.

Dari persoalan ini utilitarian membagi dua nilai guna. Pertama, berguna bagi saya pribadi. Kedua, berguna bagi orang lain. Suatu tindakan belum tentu baik secara moral kalau hanya diukur dari satu ukuran saja. Misalnya, (hanya) berguna untuk saya, tidak bagi orang lain. Penilaian moral terletak pada kegunaannya bagi orang lain. Namun, pencapaian tujuan dalam memberikan guna bagi orang lain diluar tanggungjawab saya sebagai pelaku tindakan. Yang dinilai sacara moral adalah maksud dari sebuah tindakan. Franz Magnis Suseno mengilustrasikan, kalau saya pulang tengah malam sehingga secara tak sengaja membangunkan tetangga. Kemudian, karena itu, tetangga saya sempat memadamkan api yang sedikit menjalar hingga tak jadi kebakaran besar. Tetangga itu berterimakasih kepada saya, padahal saya tak sengaja membangunkannya, maka dalam penilaian moral saya tidak berjasa apa-apa.  

Utilitarianisme menganjurkan penghayatan moral yang kritis dan rasional. Tindakan “pada dirinya sendiri” tidak diperhitungkan; tidak ada hukum wajib atau haram pada diri pelaku atas dirinya sendiri, karena nilai moral atas tindakan diukur dari  tujuan dan akibatnya sejauh diperhitungkan sebelumnya. Terhadap hubungan sex diluar nikah, bagi penganut utilitarian tak mudah diyakinkan terhadap efek baik buruknya. Atau, kalau saya, sebagai  warga Indonesia mengaku tak percaya pada keberadaan Tuhan; apa yang salah dengan pengakuan ini? Yang jelas salah adalah kalau saya nyolong sendal jepit (karena jelas ada yang dirugikan! ). Jadi, coba bandingkan melalui imajinasi Anda, mana paling besar bobrok moral atas tiga “dosa” itu: sex diluar nikah, menyatakah tak percaya Tuhan, dan nyolong sendal jepit ! 

Jadi, sistem filsafat utilitarian memberikan “energi kritis” terhadap aturan moral. Misalnya, mengapa kebijakan negara perlu memelihara judi? Mengapa perlu lokalisasi ? mengapa polisi memilih tindakan / diskresi pemeliharaan ketertiban masyarakat (meskipun melanggar hukum) dari pada penegakkan hukum?  Jika kita sepakat semua jawaban itu semua bermuara pada nilai guna, disinilah utilitarianisme mengajak ulang menyasar lebih jauh pada dimensi nilai guna itu.   Utilitarian merangsang suasana pertanggungjawaban; suatu keputusan, tindakan msaih mengandung pertanyaan moral sejauh dapat mempertanggungjawabkan akibat-akibatnya bagi semua fihak yang terkena keputusan itu.

 

4.     Deontologi

Terminologi deontologi berasal dari kata Yunani, deon, berarti ‘apa yang harus dilakukan’ atau ‘kewajiban’.  Sering pula dikenal dengan nama Teori Kewajiban. Perbedaannya  mendasar dengan tiga teori yang disebut didepan sebelumnya, system etika ini (deontologi )  tidak mengukur baik tidaknya sebuah tindakan dari hasilnya, tetapi pada maksud (niat) si pelaku. Kritik yang biasa dilancarkan terhadap tiga teori sebelumnya adalah bahwa tiga teori itu berasifat teleologik. Pada deontologi tidak demikian, karena, sekali lagi, ukuran baik tidak terletak pada tujuan sebuah tindakan, tetapi pada maksud si pelaku.  

Immanuel Kant (1724 – 1804) paling berpengaruh mewarnai system etika ini. Menurutnya, apa saja yang disebut baik tergantung pada kehendak yang baik. Sebaliknya, apa saja yang baik  akan menjadi tidak baik kalau tidak didasari kehendak yang tidak baik. Pintar dan cerdas  tentu sebuah kualitas yang baik, namun tanpa didasari kehendak yang tidak baik  kepintarannya dan kecerdasannya menjadi potensi yang membahanyakan, menjadi tidak baik. 

Maka pertanyaannya ; apa yang membuat kehendak menjadi baik ?  Jawabannya sederhana; yaitu kewajiban!  Kewajiban inilah yang akhirnya memisahkan tindakan yang muncul dari kehendak yang subyektif menjadi tindakan yang muncul dari kehendak yang obyektif, karena kewajiban selalu bersentuhan dalam lingkup dari norma, dan nilai. Ini dapat dimengerti bahwa tingkah laku manusia hanya diformat oleh norma yang mewajibkan itu.[20] Tindakan yang didasarkan pada kewajiban tidak lagi ditafsir secara personal atau subyektif.  Misalnya, kalau perbuatan menolong atau membantu orang lemah hanya atas dasar kasihan, atau sebatas watak sebagai manusia penolong, maka  perbuatan ini masih belum mempunyai nilai moral. Perbuatan ini masih netral secara moral. Perbuatan ini baru mempunyai nilai moral kalau tindakan ini didasarkan pada kewajiban; adanya kehendak bahwa menolong orang lemah adalah kewajiban. Sama halnya kalau hati  Anda terketuk (terenyuh) melihat pengemis kemudian menolongnya atas dasar kasihan, maka menurut teori ini nilai tindakan Anda secara moral masih nol besar.

Sebuah tindakan adalah baik hanya jika dilakukan karena ia wajib dilakukan. Tindakan semacam itu oleh Kant disebut “legalitas”. Term legalitas ini selanjutnya (melalui perubahan social) menjadi dimaknai sebagai ‘taat hokum’; suatu tindakan bersifat moral jika semata-mata dilakukan karena untuk hokum dan moral.

Kritik terhadap teori ini biasanya dialamatkan pada kekakuan (rigorous) system nilai ini. Kalau saya menolong orang dengan alasan  bahwa saya senang berbuat baik  menurut teori ini dasar tindakan saya masih didorong oleh kecenderungan, oleh karena itu secara moral tindakan saya belum dikategorikan baik. Andaikan saya menjawab bahwa tindakan saya itu didorong oleh kewajiban berbuat baik, barulah tindakan tadi mempunyai bobot moral  baik.  Mengapa demikian ?  Dugaan saya tindakan atas dasar kewajiban lebih menyita pengorbanan, saya harus mengorbankan tindakan yang semau-saya sendiri (ada aspek “menahan diri”); sementara pada tindakan yang mengikuti kecenderungan tidak demikian. Oleh karena itu, menurut Kant, tindakan yang mengikuti kecenderungan dikategorikan ketidakbebasan (hiteronom). 

 

      

 

 



[1] . Misalnya, apa itu kematian, apa itu berfikir, apa itu hukum, apa itu kerja, apa itu salah dan benar  dan seterusnya. 
 
[2]. Mungkin saja (awal masuk filsafat) orang mengagumi Karl Marx karena (gagasan) radikalismenya, atau Mahatma Gandhi karena perlawanannya yang unik atas kolonialisme, atau Socrates karena semangat asketismenya, atau Sukarno karena gagasan nasionalismenhya dan seterusnya.  Sekedar catatan, kekaguman pada satu orang jika diseriusi akan merembet pada nama-nama besar lain; kekaguman pada nasionalisme Sukarno akan menyeretnya pada gagasan – gagasan awal integralistik  dan  “ide”  ; ke Baruch Spinosa ke Hegel ke Plato. Untuk mengerti Plato, agar lengkap perlu membaca Aristoteles dan seterusnya dan seterusnya. Anda mahasiswa jurusan non-filsafat tak usah khawatir, cara yang panjang dan rumit ini bukan untuk Anda !   
 
[3] .  Dalam hukum Tiga Tahap  Auguste Comte, filosof social Prancis  kelahiran 1798, wilayah pemikiran klenik ini mendominasi  tahap awal sejarah pemikiran masyarakat. Melalui temuan – temuan spekulatif teknologi  dengan sendirinya pemikiran klenik ini luntur, bahkan agama (terutama yang disebut agama monoteis ) sangat efektif memberangus perklenikan. 
 
[4]. Dalam bahasa sarkastik pemikiran ideologik adalah sebuah bentuk pembodohan, karena didalamnya orang dibimbing berfikir menggunakan kaca mata kuda; lurus, satu arah. Tentu ideology tidak pernah salah, ia selalu benar, tidak ada cara mengkritikny kecuali dengan menggunakan ideologi lain. 
[5]. Gugatan paling serius dari kalangan Mazhab Frankfurt, Jerman dipenghujung tahun 1950-an.  Di Amerika agak belakangan berkembang kritik atas positivistic, kulminasinya pada Richard Rorty.  Selain mazhab Frankfurt yang menjadi sparing partner pemikiran positivistic adalah kalangan agamawan. Kemajuan ilmu pengetahuan positive seringkali mendaku sebagai ditinggalkannya agama.
 
 
[6] . K. Berten sangat hati hati menjelaskan konsep etika dan moral ini. Etika, merujuk Berten  mengandung tiga pengertian yang dipakai secara sekaligus.  
[7] . Lihat, misalhnya Shamali….
[8] Tentu pengukuran semacam ini perlu bagi saya karena menyangkut “survival”.   Khusus catatan ini terbuka peluang untuk didiskusikan lebih jauh, misalnya, apakah  moral  relefan dihubungkan dengan  masalah survive?
[9] . Untuk ini lihat K. Berten.
[10] .  Relatifisme memandang bahwa kebenaran bersifat relative. Sama dengan mengatakan ‘tidak ada kebenaran tunggal’. Proposisi ini tak bermaksud meng-address perdebatan panjang antara kaum positivism dengan ost-positivism; positivism mengakui ada kebenaran tunggal, sebaliknya post-positivism menolak kebanaran tunggal.
[11] . Kesamaan standar (atau tepatnya similarity) ini  hemat saya tak begitu sulit dari pendektan sosiologis. Bahwa proses social memungkinkan ‘standarisasi’ perilaku anggota masyarakat.
[12] . saya menghadapi dilema moral ketika saya bisa memilih dua hal ini. Jadi, tindakan moral menysarakatkan  adanya  kebebasan; tidak ada moral tanpa kebebasan.
[13] . Tapi coba renungkan, bandingkan  jika  kebohongan itu untuk kebaikan.
[14] .  Istilah ini menggunakan tanda apostrop karena argument saya sebetulnya sebuah kata bersayap, tidak lain adalah untuk melindungi kesenangan saya, atau saya dibuat nyaman dengan diterimanya argument ini.
[15] . istilah Jawa, maknanya  malu karena tak wajar atau tak lazim  dilakukan.
[16]. Melalui tata fakir ini pula dunia kerja polisi selayaknya tidak  bertumpu pada model herarkhi yang ketat karena pertanggungjawaban atas tindakan profesinya bersifat personal. Argumentasi atas (pilihan) tindakan tidak bersifat kolektif . Kelancaran lalu lintas argumentasi tak mungkin hadir dalam system haerarkhi.
[17] .  Untuk membantu kritik terhadap hedonisme,  menarik tulisan Jiddu Krisnamurti, misalnya dalam The Impossible Question (1997), bahwa  kesenangan adalah dimensi pengalaman, semantara kebahagiaan tidak terikat pada pengalaman.
 
[18] . Temuan psikolog terakhir memperkuat tata fakir Aristoteles ini. Kebanyakan  sakit jiwa manusia modern yang serba berkecukupan secara materi justru disebabkan oleh modus “to have”, periksa  misalnya  karya psikoanalis Erich Fromm (banyak bukunya sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dianataranya “To Have or To Be” diterbitkan Gramedia ).
  
[19] . Profesi difahami sebagai peran social yang diperoleh melalui proses pendidikan secara  khusus.  “Tuntutan atas profesionalisme”  merujuk pada pemahaman memperlakukan / memainkan peran profesinya pada nilai-nilai dasar yang dituntut dalam profesi tersebut. 
[20]. Tentang hal ikhwal kewajiban ini Kant  memilah dua macam; imperative hipotetis  dan imperative kategorik  . Imperative hipotesis adalah kewajban yang menyertakan syarat. Misalnya jika saya mau lulus ujian maka saya harus belajar keras.  Imperative kategorik adalah kewajiban tanpa tawar menawar, atau mewajibkan begitu saja. Missal, janji harus ditepati. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar