Perihal Teori Etika
Pintu masuk dunia filsafat Moral
Beraneka
ragam pintu masuk dunia filsafat. Orang bisa memulai dari mempelajari sejarah
(lahirnya) filsafat; bisa dari ketertarikan pada tema-tema tertentu[1]
tanpa harus berangkat dari metode kronologis; bisa berangkat dari focus
(kekaguman) pada seorang filosof [2];
bisa pula berangkat dari metode berfikir kritis dan radikal. Tapi tentu saja
orang tidak dapat masuk dunia filsafat melalui ketertarikannya pada wilayah
klenik (jadi lucu ada mahasiswa yang menhubungkan filsafat dengan dunia
perdukunan!). Dunia klenik menutup orang berfikir rasional. Wilayah klenik
tidak perlu penjelasan dan argumentasi begini atau begitu, orang dituntut
kepatuhan total (sebetulnya untuk keperluan-keparluan pragmatic jangka pendek)[3].
Namun, bukan hanya wilayah klenik yang
menutup argumentasi rasional, wilayah ideology juga mendekati ketertutupan
argumentasi alternative[4].
Apakah agama masuk pada wilayah ini ? Pada banyak sisi agama justru menuntun /
merangsang berfikir argumentative – menuntun rasionalitas. Namun ruang dogmatis
agamalah yang acapkali membingkai rasio yang dibutuhkan filsafat. Hemat saya, sistem sosisialah yang membuat
agama beku sehingga menyerupai wilayah
klenik. Sistem social, merujuk jalan fakir Auguste Comte hanyalah merupakan
suprastruktur dari infrastruktur tata fakir masyarakatnya. Misalnya, masyarakat
yang didominasi klenik cenderung menghasilkan system kekuasaan feodal. Jadi demokrasi hanya bisa hadir dalam
masyarakat yang menerima pemikiran kritis, masyarakat yang memberi ruang
argumentasi rasional.
Kita kembali ke pintu masuk filsafat. Metode berfikir
kritis dan radikal kalau dirunut dari deretan kategori pintu masuk filsafat di atas tergolong pada tema tertentu
dalam filsafat. Dalam hal ini, epistemology dan logika, misalnya. Epistemology
adalah cabang filsafat tentang tata cara
memperoleh pengetahuan, sementara logika adalah tata tertib agar cara
memperoleh pengetahuan itu tidak sesat. Logika tidak untuk menjaring / mendapat
pengetahuan tetapi sebagai rambu – rambu agar dalam proses menggapai
pengatahuan tidak sesat.
Namun cara berfikir
radikal dan kritis tidak melulu
produk epistemology dan logika, masih perlu bidang yang menyeret realitas pada
“gagasan – gagasan mendasar” yang menjadi tradisi berfikir filsafat. Misalnya
bidang yang membahas apa yang dimaksud “pengetahuan” dan
apakah pengetahuan memang ada,
apa yang dimaksud “ada”, bidang filsafat ini adalah ontology. Bidang lain, Bidang filsafat yang bertugas
membongkar nilai tidak dapat dilepaskan dari proses membangun tradisi berfikir
kritis. Kehidupan social tidak lepas dari tindakan – tindakan yang berkategori
nilai, dengan nilai orang mengatakan si A berbuat baik, si B berbuat tidak baik.
Bandingkan misalnya seseorang yang hidup di hutan sendirian, nilai tidak akan
terkonstruksi selayaknya dalam kehidupan social. Bidang filsafat yang
mendiskusikan nilai adalah aksiologi. Pada bidang inilah persoalan – persoalan
etika dimulai.
Maka menjadi sangat penting pintu masuk dunia filsafat
juga adalah mendiskusikan apa yang dimaksud kebenaran. Atau, apa kritetria
kebenaran? Karena kebenaran gaya Comte
yang membawa pencerahan (aufklarung) ternyata toh hanya sebuah dimensi dari
dimensi kebenaran yang lain. Seperti yang diajukan kleim Mazhab Frankfurt,
kebenaran gaya positivistic bersifat “mendominasi” dan “memonopoli”. Disini kita memasuki wilayah epistemologi.
Etika;
Refleksi atas Ruang Moral
Orang mudah kepleset
menyepadankan istilah etika dengan
etiket. Padahal kedua konsep ini jauh berbeda. Etiket dalam kamus bahasa inggris berarti etiquette, artinya sopan santun atau tata cara. Misalnya dalam
kalimat berikut, “we have to keep our etiquette
toward our guest”. Bisa jadi asal usul penggunaan etiket barangkali serapan dari kata etiquette ini, namun proses penyerapan ini mengalami peyoratif makna dasarnya sehingga menyepadankannya
dengan etika. Ini bias makna dalam skala yang serius. Jadi, etiket
(hanya) mempunyai makna yang merujuk pada kesusilaan; tata-krama; sopan
santun, dan semacamnya. Prinsipnya sebuah tindakan social yang merujuk pada
ukuran kewajaran castom atau kebiasaan setempat. Etiket terikat pada custom,
bandingkan dengan etika! (dibawah, pada bagian Etika dan Budaya kita akan diskusikan ini).
Namun demikian, tentu saja etiket (sebutlah ; “kesusilaan”) tidak
terlalu jauh lepas dari perbincangan wilayah etika meskipun keduanya, menurut Bertens (2002;8)
-- dilacak dari asal-usulnya -- tak mempunyai hubungan apapun.
Diskusi Sekitar Moral
Tidak ada debat
berkepanjangan bahwa etika sepenuhnya menyangkut diskusi tentang moral[6]. Singkatnya, kajian tentang moral. Pertanyaan tentang apa itu
yang baik sama dengan bertanya apa itu
(ber)moral. Literatur apa saja untuk menarik batasan tentang etika,
hemat saya, definisi yang akan didapatkan tidak jauh dari upaya Christy Rakoczy
dalam http://answers.yourdictionary.com yang menempatkan pentingnya
konsep moral sebagai konsep kunci dalam etika. Katanya;
the study of standards of conduct and moral judgment;
moral philosophya treatise on this study
the system or code of morals of a particular person,
religion, group, profession, etc.
Taruhlah, kita tak perlu sulit memahami moral,
cukuplah moral difahami sebagai mana orang-orang umum memahaminya. Konsep ini
sepenuhnya menyangkut persoalan ‘yang baik’ dan ‘yang buruk’. Namun dalam
belajar etika persoalannya terletak pada dua skema yang mendasar. Pertama, apa itu
baik, mengapa ia disebut baik, dan dari mana yang baik ini berasal. Pertanyaan
ini tidak mengajak pada relatifisme; justru
etika mengantarkan kita pada kekokohan argumentasi tentang kebaikan yang tidak relative[7]. Kedua,
bagaimana standar moral itu mungkin dalam masyarakat, atau apakah kode moral
itu memang ada ? Pertanyaan Ini menyangkut misteri moral.
Kita
dilahirkan dan tumbuh dalam dunia social yang
telah lebih dahulu eksis belantara moral. Saya harus mempertimbangkan
tindakan saya dalam dunia social menurut (standar) moral yang ada pada
lingkungan social dimana saya tinggal[8]. Dan, tentu saja standar moral, taruhlah yang
sejauh saya fahami, standar moral
berbeda-beda. Ukuran moral saya berbeda dengan ukuran moral Anda[9].
Anda mungkin lebih sensitive dari saya. Jangan mengukur moral(itas) saya
menggunakan ukuran Anda karena ini menyangkut hati nurani yang persifat
personal. Namun proposisi ini (“hati nurani yang persifat personal”) tak perlu
ditarik deduksi secara kaku, toh pada dasarnya ada semacam hati nurani yang
bersifat kolektif; ada moral yang bersifat kolektif. Atau dalam ungkapan lain,
moral yang pengukurannya melalui hati nurani ini bersifat personal.
Karena itu pengukuran tindakan
manusia atas nilai moral berbeda beda secara personal. Namun jangan buru-buru
mendakwa tulisan ini sebagai relatifisme[10].
Uniknya, perbedaan – perbedaan
pengukuran moral ini tidak berbeda terlalu jauh. Pengertiannya, dalam kelonggaran ini masih
relative ada standar kesamaan[11].
Mungkin, tepatnya, bebas tapi terbatas.
Para etikawan, misalnya menjuluki orang yang tindakannya tidak sensitive terhadap nilai nilai moral
sebagai moral insane, atau bebal
moralitas. Standar ini berlaku dimana-mana bahwa perilaku culas,
khianat, pengecut, menipu adalah tidak direstui secara moral. Standar ini menggumkan! Berlaku dimanapun
masyarakat manusia berada. Di kalangan
para Mafioso pun sejauh mereka punya system karir maka ukuran moral yang
disebut di atas berlaku. Sejumlah elit
mafia pastilah sudah teruji berpegang teguh pada standar moral itu; mereka
tidak khianat, culas, maupun tidak pengecut.
Bayangkan, nilai – nilai itu berlaku umum, sejak dari kalangan
(masyarakat) Mafioso, komunitas Dewan di Senayan, arisan ibu-ibu PKK, hingga
perkumpulan Sepak Bola.
Ilustrasi itu sedikit membantu kita, bahwa meskipun
moral(itas) diukur secar relative berbeda pada setiap orang namun ada standar sehingga perbedaan itu
tidak jauh ajuh amat. Imanuel Kant-lah yang mencoba membangun standar itu
dengan cara menetapkan rumus yang
berlaku pada semua tindakan. Ia
mengusulkan tiga criteria bagi imperative kategoris pada tindakan moral.
Rumus pertama,
suatu tindakan disebut (ber)moral jika kaidahnya bisa disemestakan. Mamang tidak perlu semua orang sepakat dengan
kaidah ini secara actual namun setiap orang harusnya setuju. Sebuah kebohongan
adalah tindakan yang tidak bisa disemestakan; atau dengan lain kata kebohongan
itu sendiri hadir justru karena melanggar hukum
yang bisa disemestakan. Kalau saya punya wanita simpanan, kemudian orang
bertanya, “apakah si Dewi itu teman istimewamu ?” Atas pertanyaan (issue) ini saya sedang
berhadapan dengan pilihan moral. Saya berharap skandal saya tak ada yang
mengetahui, maka saya (bisa) berbohong.
Di lain sisi
bisa juga saya mengatakan kebenarannya (tak berbohong) dengan demikian saya
harus menghadapi akibatnya [12]. Ketika saya memilih berbohong, sebetulnya semua bisa selesai –
tak ada yang mengetahui. Dan meskipun berbohong untuk menyelesaikan kasus ini
membuat saya lebih senang namun demikian
pilihan saya salah secara moral, karena didasarkan pada kaidah yang tak pernah
menjadi hukum universal[13]. Saya masih bisa berargumentasi bahwa
kebohongan yang saya lakukan adalah “untuk kebaikan”[14]. Namun pada rumus ini tidak ada suatu yang khusus (kebohngan
tertentu) yang bisa disemestkan, tidak bisa dikatakan “kebohongan sebagai hukum
universal”. Bayangkan, jika argument saya diterima (kebohongan untuk
“kebaikan”) ! bagi Palmquis ( ), jika
kehidupan social ini menerima kebohongan yang akan menyenangkan orang maka
fungsi utama bahasa (kemampuannya untuk menopang kebenaran) akan terkikis.
Rumus kedua,
menyasaratkan bahwa kita menghargai pribadi orang; bertindaklah sedemikian rupa
dalam kerangka memperlakukan manusia sebagai tujuan, bukan sebagai alat semata.
Rumus Ketiga,
mensyaratakan bahwa kaidah kita harus otonom (yang mengatur sendiri); setiap
mahluk yang rasional menciptakan hukum universal. Maka dalam kontek ini kaidah
moral harus selaras dengan penentuan hukum kehendak universal.
Etika dan Budaya
Pertanyaan mendasar bagian ini adalah “apakah etika / moral terikat pada
budaya?” Konon, di suatu wilayah di
tanah air ada adat yang membenarkan ‘penculikan’ anak gadis yang hendak
diperistri. Di bagian budaya lain
menempatkan wanita dalam posisi yang “berat” pada relasi gender; katanya, sang pria (suami)
sabung ayam, si perempuan (istri)
bekerja keras. Konon lagi, di wilayah budaya tertentu (agaknya) welcome
terhadap pernikahan siri. Dan tentu masih ada deretan realitas moral lain
dimana dipandang biasa atau wajar di suatu budaya tertentu, tetapi dianggap wirang[15]
bagi komunitas lain dalam masyarakat
kita. Fenomena ekstrim diilustrasikan oleh (James: ) berikut. Sebuah komunitas di Callatia
(salah satu suku di India) memakan jenasah orang tuanya ketika meninggal. Laki
– laki orang Eskimo sering mempunyai istri lebih dari satu; jika datang ke
rumahnya, cara mereka menghormati tamu
ini dengan memberikan istri mereka.
Realitas
dilematik-moral semacam itu tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat archeis dimana nilai dan norma
diregulasikan secara antropologis. Di lingkungan masayarakat demokratis pun
acap kali ditemukan dilematik-moral. Misalnya, setelah reformasi dan otonomi
daerah, maka daerah bebas membuat regulasi menyangkut administratifnya sendiri.
Belakangan sejumlah regulasi di daerah dipandang bermasalah. Misalnya, apakah
menurut Anda otonomi daerah, melalui proses demokrasi di daerah, terus bebas
pula menerapkan, misalnya “syari’at islam” ?
Kita juga harus sensitive tentang
moralitas yang ‘dianut’ dalam cara bangsa ini ber-demokrasi, misalnya.
Misalnya, bagaimana etika memahami realitas pencitraan sebuah rezim ditengah
kesulitan ekonomi yang diderita rakyat
di depan mata kita ?
Dengan sejumlah perbedaan kebasaan
yang menyentuh (persoalan) moral itu, orang mengatakan bahwa perbedaan itu
wajar. Maknanya setiap komunitas budaya
mempunyai kode moral nya sendiri. Jadi, sekali lagi perbedaan dalam kode moral
dipandang wajar. Pandangan ini dopegang oleh penganut relatifisme budaya
(cultural relativism). Prinsip penganut ini adalah bahwa budaya merelatifkan
nilai, norma, sekaligus kode moral. Istilah ‘salah’ dan ‘benar’ tak bisa
dipaksakan dari satu komunitas budaya tertentu ke komunitas budaya lain. Tak
ada standar moral yang bisa dipakai di semua tempat. Kebenaran difahami menurut
tata cara masyarakat tertentu yang bersangkutan. Dengan demikian gagasan
penganut relatifisme budaya memetahkan adanya nilai –nilai universal.
Andaikan kita memahami bahwa hari
ini sedang terjadi pertempuran gagasan, jika (faham) relatifisme budaya ini
menang atau mendominasi dalam
pertempuran ini maka etika-pun akan pingsan. Kita tak lagi perlu mempalajari
etika! Atau sebaliknya, argument relatifisme budaya ini justru merupakan tantangan
keyakinan mengenai adanya obyektivitas dan universalitas kebenaran moral.
Mari kita amati argumentasi kaum
reltifisme budaya ini. Argumentasi yang dipakai berangkat dari fakta mengenai
adanya perbedaan pandangan budaya. Kemudian melalui perbedaan fakta budaya
ini dipakai untuk menarik kesimpulan
atas status moralitas. Kita disini
merasa miris mendengar ada komunitas budaya tertentu memakan jenasah orang
tuanya; tapi fenomena ini biasa bagi suku Callatia di India. Kaum relatifisme budaya ini menyimpulkan,
bahwa; makan jenasah itu tidak benar dan
(tapi) tidak salah secara obyektf. Jadi,
menurut kaum relatifisme budaya ini berpandangan bahwa ‘memakan jenasah’
hanyalah pandangan yang berbeda dari suatu komunitas budaya tertentu dengan
komunitas budaya lain. Kesimpulan ini
berangkat dari gagasan dasar nya; kebudayaan yang berbeda mempunyai kode moral
yang berbeda. Tidak ada kebenaran obyektif dalam moralitas.
Kita
periksa lagi argumen kaum relatifis ini. Presmis yang mereka ajukan adalah
fakta mengenai perbedaan apa yang dipercayai oleh budaya tertentu; tetapi
kesimpulan yang ditarik menyangkut ‘apa
yang sesungguhnya’. Atau, kesimpulan yang ditarik tidak berasal dari premis
yang dihasilkannya.
Jadi, apakah jika fakta adanya perbedaan
pendangan terus dapat disimpulkan bahwa
tidak ada kebenaran obyektif ? Kalau
ada dua argument yang bertentangan, bisa
jadi salah satu yang benar, atau dua-duanya bisa salah. Tapi, tak bisa
dua-duanya benar. Di lain sisi,
kebenaran obyektif moral tidak harus
gugur atau dikatakan ‘tidak ada kebenaran moral obyektif’ hanya karena
disebabkan komunitas tertentu tidak
mengetahuinya.
Empat Teori Etika
Topik ini dimaksudkan sebagai
pencarian orientasi kritis terhadap legitimasi atas suatu tindakan. Legitimasi yang dimaksud adalah
pada kekuatan etis selain pada kekuatan logic dan rasionalnya. Dalam interaksi
sehari hari kekuatan legitimasi semacam ini ditemukan pada argumentasi, jadi
argumentasi ini penting – apalagi dalam alam pekerjaan polisi sebagai garda
depan penegak hokum dan ketertiban masyarakat. Namun demikian, etika atau
filsafat moral agaknya sedikit berbeda dengan disiplin lain semacam
administrasi, Menejeman Lalu Lintas dan lainnya yang cenderung “manual”. Dalam
etika tidak pernah ada manual (baca: petunjuk operasional), oleh karrena itu bersifat
reflektif – kritik. Kebenaran tidak
hadir secara kebetulan, ia dikonstruksi melalui (adu) argumentasi yang
kerapkali sangat panjang. Kebenaran hanya bisa keketahui melalui argumentasi,
menutup (adu) argumentasi sama halnya dengan menutup kebenaran itu sendiri[16].
Sesuatu dikatakan benar justru karena ia tahan atas serangan argumentasi lain.
Kembali ke awal persoalan, apakah yang dimaksud
landasan yang mempunyai kekuatan etis?
Jawabannya adalah landasan yang
mempunyai dasar moral. Dalam kerangka inilah maka pembahasan “etika” dalam pembagian materi
filsatat dimasukkan sebagai “filsafat moral”.
Untuk mengerti hal ini kita diharuskan mengerti makna moral. Dibawah ini sedikit elaborasi
upaya kita dalam memahami makna moral. Ilustrasi berikut diambil dari Franz Magnis Suseno
(Etika Dasar: 1989), bahwa manusia dapat
dinilai dari banyak segi.
Pak Iman seorang manusia yang baik, tapi tidak sebagai
dosen yang baik. Penilaian sebagai ‘seorang yang baik’ adalah penilaian
terhadap manusia sebagai “manusia”. Tolok ukur penilaian semacam ini (bahwa Pak
Iman adalah seorang yang baik) adalah pertimbangan kategori moral. Semantara
untuk ‘dosen yang baik’ bukanlah pada tolok ukur moral, tetapi skill
(keahlian), sebutlah itu profesionalisme.
Jadi dengan mudah ditarik kesimpulan bahwa pertimbangan moral artinya
menimbang Pak Iman dalam ukuran ukuran
manusia dan kemanusiaan. Misalnya, manusia hendaknya jujur, adil, tidak
pernah culas, tidak korupsi, stabilitas emosi, tidak menyakiti orang tanpa
sebab yang jelas. Nah, menimbang Pak Iman sebagai dosen berada diluar ukuran –
ukuran (moralitas) itu, yaitu pada keluasan ilmu yang diajar, kemampuannya
menyajikan materi perkuliahan, kekayaan literatur, berwawasan luas dan
semacamnya. Semua mengacu pada keahlian yang menunjang pekrejaannya.
Secara katagorik dapat kita katakan bahwa Pak Iman
adalah sebagai manusia yang baik tetapi bukan dosen yang baik. Perihal Pak Iman sebagai dosen harus jujur dan
berkemampuan mengajar yang handal adalah mencampuradukkan criteria moralitas dengan profesi dosen. Kita
disyaratkan berfikir analitis dalam menggunakan
konsep dalam filsafat moral. Dari sini ruang diskusi kita mulai; pada
dasar – dasar penilaian moral itu.
1.
Hedonisme
Sistem filsafat moral hedonisme ini
memandang bahwa hal yang terbaik bagi manusia adalah “hedone” atau kesenangan. Sesuatu tindakan atau apapun itu
mendapat predikat baik diukur dari seberapa jauh ia dapat memuaskan keinginan,
meningkatkan kuantitas kesenangan dan menikmatinya.
Terdapat dua aliran dalam filsafat moral hedonisme
ini. Pertama, dikembangkan oleh Aristipos, seorang murid Sokrates (433 –
355 SM). Aristipos menekankan pada
konstruksi kesenangan yang bersifat aktual.
Bukan kesenangan bersifat ‘opini’ yang meliputi kesenangan yang non-badani.
Kesenangan non-badani dipandang sebagai semata-mata bersifat ilusi. Kesenagan
yang akan datang, misalnya, adalah bukan kesenangan karena tidak aktual. Tidak
bisa dikatakan menunda kesenangan untuk kesenangan yang akan datang adalah
sebuah kesenangan. Artinya menunda kesengan itu sendiri bukanlah kesenangan.
Akan tetapi, bagi Aristipos, sebagaimana diajarkan gurunya Sokrates, untuk
meraih kesenangan kita harus mengendalikan kesenangan. Mengendalikan kesenangan
bukan meninggalkan kesenangan.
Kedua, aliran yang dikembangkan oleh Epikuros
(341 – 270 SM). Epikuros memperluas
dimensi kesenangan, ada kesenangan non-badani selain kesenagan badani.
Perluasan dimensi kesenangan ini akan lebih jelas dilihat dari pernyataannya
yang diambil dari surat terhadap Menoikeus, “Bila kami mempertahankan bahwa
kesenangan adalah tujuannya, kami tak maksudkan kesenangan inderawi, tapi
kesenangan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam
jiwa”. Kebebasan dari keresahan dalam jiwa dirumuskan dalam terminologi ataraxia . Setiap kesenangan dinilai baik, persoalannya
tidak setiap kesenangan harus dimanfaatkan (meskipun ia sanggup menikmati
kesenangan itu) guna memelihara ataraxia.
Kalau hedonisme ini kita letakkan sebagai teori untuk
memahami realitas, bagaimana kita memahami orang semacam Ibu Theresa yang
bersusah payah dan menghabiskan waktunya untuk orang orang kusta? Jawabnya, Ibu
Theresa juga sedang mengejar kesenangan. Nah, aliran hedonisme-nya Epikurus lah
yang bisa menjawab ini; yang dikejar Ibu Theresa adalah kesenangan jiwa, ataraxsia tadi. Jadi bagi system
filsafat moral hedonisme, seluruh aktifitas dan kegiatan menusia diabdikan
untuk (mencari) kesenangan.
Dalam K. Bertens (Etika;
2005) diuraikan kritik terhadap sistem filsafat hedonisme ini. Yaitu,
diantaranya, menyejajarkan kesenangan dengan moralitas yang baik. Jika tindakan
cenderung diorientasikan pada kesenangan, bagaimana kalau kesenangan orang itu melukai manusia lain ? Nah, disinilah persoalanya, system filsafat hedonisme ada problem etis
jika memaksakan masuk pada wilayah etika normative (yang baik secara moral).
Cukuplah hedonisme ini berhenti pada wilayah etika deskriptif (kenyataan bahwa
tingkah laku manusia dibimbing oleh kesenangan). Kritik Bertens ini bisa jadi
ada kelemahan, karena pernyataan ‘kesenangan melukai orang lain’ sangat
hipotetikal. Bagi Epikurian, konsep ataraxia
dengan sendirinya akan terganggu oleh tindakan orang yang melukai orang lain.
Kelemahan berikutnya, hedonisme berpikir bahwa sesuatu
itu baik karena disenangi. Padahal kesenangan tidak melulu diangkat dari
perasaan subyektif tanpa referensi yang obyektif. Kesenangan memang subyektif,
namun berangkat dari pantulan yang obyektif.
2.
Eudomonia
Pada system filsafat hedonisme di atas, kesenangan
diletakkan sebagai tujuan manusia. Setiap tindakan, dalam hedonisme,
diorientasikan untuk memenuhi kesenangan dan mengurangi penderitaan. Persoalannya manusia bukan jenis mahluk yang
hanya terdiri dari tubuh dan jiwa. Pemuasan tubuh (hedonisme Aristipos) dan
pemuasan tubuh dan jiwa (hedonisme Epikurus)
bermuara pada dimensi kesenangan, kesenangan ini akan berbeda dengan
kebahagiaan sebagaimana dirumuskan dalam system filsafat eudomonia ini[17].
Karena manusia adalah mahluk komplek, multi dimensi. Ia dilahirkan dalam pusaran pluralitas nilai; nilai
fisikal, nilai pengetahuan, nilai kebenaran, nilai social, nilai moral, nilai
estetis. Manusia baru dapat menjadi manusia
utuh kalau belantara nilai tersebut dikenalinya. Dan, justru manusia,
seperti dirumuskan Aristoteles, tidak akan menemukan kebahagiaan jika hanya
melulu mengorientasikan aktifitasnya kepada kesenangan. Ironisnnya, system filsafat Aristoteles
ini berpendapat bahwa manusia juga tak
akan menemukan kebahagiaan jika hanya mengorientasikan aktifitasnya sekedar
hanya untuk mancari kebahagiaan.
Jadi bagaimana kita selayaknya mengorientasikan
aktifitas hidup kita? Yaitu
mengembangkan bakat – bakat atau potensi
kita sedemikian rupa ! Kebahagiaan didekati dengan cara merealisasikan potensi
diri. Franz Magnis mengilustrasikan, seorang yang mau menjadi pengukir akan
bahagia dengan patung sederhana hasil karyanya sendiri daripada patung yang
jauh lebih indah yang diperoleh dari pembelian orang tuanya. Berkarya dan
berkeringat dalam mengembangkan
potensinya secara otentik adalah hal yang membahagiakan. Salah satu
kewajiban dasar manusia adalah mengembangkan diri; “manusia adalah tugas bagi
dirinya sendiri”, tulis Franz Magnis (1987;119). Meminjam Descartes, cogito ergo sum, aku berfikir maka aku ada. Keberadaan seseorang manusia
(eksistensi) sebagai manusia hanya
melalui kontribusinya terhadap noktah sekecil apapun di belantara
pluralitas nilai yang telah disebut di atas.
Namun, manusia tak dapat berkembang jika ia semata –
mata hanya mengorientasikan pada perkembangan dirinya, seperti halnya telah
disebutkan di atas bahwa manusia tak akan bahagia jika hanya mngorientasikan
diri untuk mencari kebahagiaan. Mengapa? Karena
melulu pada orientasi pengembangan
diri sama dengan menghadirkan kekhawatiran
akan dirinya sendiri. Kekhawatiran inilah yang menjadi tirai penutup pengembangan diri yang
otentik[18]. Praktik pengembangan diri yang diajarkan
Aristoteles adalah obsesinya pada “kemanusiaan”, pada nilai atau tugas yang
dipanggulkan kepadanya. Nilai dan tugas itu adalah tanggungjawab obyektif.
Apa itu tanggungjawab obyektif ? Ya, bukan
tanggungjawab subyektif ! Bandingkan
dengan system filsafat hedonisme, dalam hedonisme sesuatu yang dipandang bernilai
adalah bila sesuatu itu mendekatkan pada kesenangan. Bagi Aristoteles kesenagan
ini dibatasi pada lingkup yang “obyektif”.
Yaitu beban atau tugas kemanusiaan yang melekat dalam profesi apapun
yang disandangnya. Dalam setiap profesi[19] dikandung tugas
kemanusiaan. Tentu dalam kontek ini kita
tak bisa menyebut pencuri dan mafia sebagai profesi (meskipun misalnya ada
pendidikan khusus untuk itu – tapi ini mustahi khan? ) , karena dibatasi pada
lingkup definisi tanggungjawab obyektif itu.
Kebahagiaan (eudaimonia), yang disebut sebagai tujuan
akhir hanya dapat diperoleh ketika manusia mampu menanggalkan egonya
bersamaan dengan cara mengembangkan diri. Pengembangan diri ini ditempuh
melalui dua komponen, yaitu intelektual dan moral.
Konsep “tujuan akhir” ini penting dalam sistem filsafat
moral Aristoteles, karena pada dasarnya setiap aktifitas manusia ditujukan pada
sebuah tujuan. Aristoteles melakukan “potong kompas” atas deretan tujuan yang
bersifat haerarkhi. Kekayaan, pangkat, status
tentu bukanlah tujuan akhir. Pencarian kekayaan adalah sebuah aktifitas
untuk memperoleh tujuan yang lain, begitu pula pangkat. Seseorang mencapai
tujuan akhir dengan menjalankan fungsinya sebagai manusia dengan baik.
Komponen utama manusia adalah intelek dan moral. K. Bertens menyebut, “tujuan
pemain suling adalah main suling dengan baik”.
3.
Utilitarian
Kita tak bisa memahami sistem filsafat utilitarian ini
tanpa mengerti sistem filsafat hedonisme. Utilis,
bahasa Latin, artinya berguna. Menilai sesuatu itu baik sejauh memberikan
manfaat atau nilai guna. Persoalannya menjadi rumit manakala, misalnya, jika
saya melakukan sesuatu dengan maksud memberikan manfaat bagi orang tapi
ternyata justru sebaliknya. Apakah efek atau akibat dari tindakan saya yang
justru melenceng dari tujuan awal ini diluar tanggung jawab saya ? karena toh
saya bermaksud memberi manfaat.
Dari persoalan ini utilitarian membagi dua nilai guna.
Pertama, berguna bagi saya pribadi. Kedua, berguna bagi orang lain. Suatu
tindakan belum tentu baik secara moral kalau hanya diukur dari satu ukuran
saja. Misalnya, (hanya) berguna untuk saya, tidak bagi orang lain. Penilaian
moral terletak pada kegunaannya bagi orang lain. Namun, pencapaian tujuan dalam
memberikan guna bagi orang lain diluar tanggungjawab saya sebagai pelaku
tindakan. Yang dinilai sacara moral adalah maksud dari sebuah tindakan. Franz
Magnis Suseno mengilustrasikan, kalau saya pulang tengah malam sehingga secara
tak sengaja membangunkan tetangga. Kemudian, karena itu, tetangga saya sempat
memadamkan api yang sedikit menjalar hingga tak jadi kebakaran besar. Tetangga
itu berterimakasih kepada saya, padahal saya tak sengaja membangunkannya, maka
dalam penilaian moral saya tidak berjasa apa-apa.
Utilitarianisme menganjurkan penghayatan moral yang
kritis dan rasional. Tindakan “pada dirinya sendiri” tidak diperhitungkan;
tidak ada hukum wajib atau haram pada diri pelaku atas dirinya sendiri, karena
nilai moral atas tindakan diukur dari tujuan dan akibatnya sejauh diperhitungkan
sebelumnya. Terhadap hubungan sex diluar nikah, bagi penganut utilitarian tak
mudah diyakinkan terhadap efek baik buruknya. Atau, kalau saya, sebagai warga Indonesia mengaku tak percaya pada
keberadaan Tuhan; apa yang salah dengan pengakuan ini? Yang jelas salah adalah
kalau saya nyolong sendal jepit (karena jelas ada yang dirugikan! ). Jadi, coba
bandingkan melalui imajinasi Anda, mana paling besar bobrok moral atas tiga
“dosa” itu: sex diluar nikah, menyatakah tak percaya Tuhan, dan nyolong sendal
jepit !
Jadi, sistem filsafat utilitarian memberikan “energi
kritis” terhadap aturan moral. Misalnya, mengapa kebijakan negara perlu
memelihara judi? Mengapa perlu lokalisasi ? mengapa polisi memilih tindakan /
diskresi pemeliharaan ketertiban masyarakat (meskipun melanggar hukum) dari
pada penegakkan hukum? Jika kita sepakat
semua jawaban itu semua bermuara pada nilai guna, disinilah utilitarianisme
mengajak ulang menyasar lebih jauh pada dimensi nilai guna itu. Utilitarian merangsang suasana
pertanggungjawaban; suatu keputusan, tindakan msaih mengandung pertanyaan moral
sejauh dapat mempertanggungjawabkan akibat-akibatnya bagi semua fihak yang
terkena keputusan itu.
4.
Deontologi
Terminologi deontologi berasal dari kata Yunani, deon, berarti ‘apa yang harus dilakukan’
atau ‘kewajiban’. Sering pula dikenal
dengan nama Teori Kewajiban. Perbedaannya
mendasar dengan tiga teori yang disebut didepan sebelumnya, system etika
ini (deontologi ) tidak mengukur baik
tidaknya sebuah tindakan dari hasilnya, tetapi pada maksud (niat) si pelaku.
Kritik yang biasa dilancarkan terhadap tiga teori sebelumnya adalah bahwa tiga
teori itu berasifat teleologik. Pada deontologi tidak demikian, karena, sekali
lagi, ukuran baik tidak terletak pada tujuan sebuah tindakan, tetapi pada
maksud si pelaku.
Immanuel Kant (1724 – 1804) paling berpengaruh
mewarnai system etika ini. Menurutnya, apa saja yang disebut baik tergantung
pada kehendak yang baik. Sebaliknya, apa saja yang baik akan menjadi tidak baik kalau tidak didasari
kehendak yang tidak baik. Pintar dan cerdas
tentu sebuah kualitas yang baik, namun tanpa didasari kehendak yang
tidak baik kepintarannya dan
kecerdasannya menjadi potensi yang membahanyakan, menjadi tidak baik.
Maka pertanyaannya ; apa yang membuat kehendak menjadi
baik ? Jawabannya sederhana; yaitu
kewajiban! Kewajiban inilah yang
akhirnya memisahkan tindakan yang muncul dari kehendak yang subyektif menjadi
tindakan yang muncul dari kehendak yang obyektif, karena kewajiban selalu
bersentuhan dalam lingkup dari norma, dan nilai. Ini dapat dimengerti bahwa
tingkah laku manusia hanya diformat oleh norma yang mewajibkan itu.[20]
Tindakan yang didasarkan pada kewajiban tidak lagi ditafsir secara personal
atau subyektif. Misalnya, kalau
perbuatan menolong atau membantu orang lemah hanya atas dasar kasihan, atau
sebatas watak sebagai manusia penolong, maka
perbuatan ini masih belum mempunyai nilai moral. Perbuatan ini masih
netral secara moral. Perbuatan ini baru mempunyai nilai moral kalau tindakan ini
didasarkan pada kewajiban; adanya kehendak bahwa menolong orang lemah adalah
kewajiban. Sama halnya kalau hati Anda
terketuk (terenyuh) melihat pengemis
kemudian menolongnya atas dasar kasihan, maka menurut teori ini nilai tindakan
Anda secara moral masih nol besar.
Sebuah tindakan adalah baik hanya jika dilakukan
karena ia wajib dilakukan. Tindakan semacam itu oleh Kant disebut “legalitas”.
Term legalitas ini selanjutnya (melalui perubahan social) menjadi dimaknai
sebagai ‘taat hokum’; suatu tindakan bersifat moral jika semata-mata dilakukan
karena untuk hokum dan moral.
Kritik terhadap teori ini biasanya dialamatkan pada
kekakuan (rigorous) system nilai ini. Kalau saya menolong orang dengan
alasan bahwa saya senang berbuat
baik menurut teori ini dasar tindakan
saya masih didorong oleh kecenderungan, oleh karena itu secara moral tindakan
saya belum dikategorikan baik. Andaikan saya menjawab bahwa tindakan saya itu
didorong oleh kewajiban berbuat baik, barulah tindakan tadi mempunyai bobot
moral baik. Mengapa demikian ? Dugaan saya tindakan atas dasar kewajiban
lebih menyita pengorbanan, saya harus mengorbankan tindakan yang semau-saya
sendiri (ada aspek “menahan diri”); sementara pada tindakan yang mengikuti
kecenderungan tidak demikian. Oleh karena itu, menurut Kant, tindakan yang mengikuti
kecenderungan dikategorikan ketidakbebasan (hiteronom).
[1] . Misalnya, apa itu kematian, apa itu berfikir, apa itu hukum, apa
itu kerja, apa itu salah dan benar dan
seterusnya.
[2]. Mungkin saja (awal masuk filsafat) orang mengagumi Karl Marx
karena (gagasan) radikalismenya, atau Mahatma Gandhi karena perlawanannya yang
unik atas kolonialisme, atau Socrates karena semangat asketismenya, atau
Sukarno karena gagasan nasionalismenhya dan seterusnya. Sekedar catatan, kekaguman pada satu orang
jika diseriusi akan merembet pada nama-nama besar lain; kekaguman pada
nasionalisme Sukarno akan menyeretnya pada gagasan – gagasan awal integralistik dan
“ide” ; ke Baruch Spinosa ke
Hegel ke Plato. Untuk mengerti Plato, agar lengkap perlu membaca Aristoteles
dan seterusnya dan seterusnya. Anda mahasiswa jurusan non-filsafat tak usah
khawatir, cara yang panjang dan rumit ini bukan untuk Anda !
[3] . Dalam hukum Tiga
Tahap Auguste Comte, filosof social
Prancis kelahiran 1798, wilayah
pemikiran klenik ini mendominasi tahap
awal sejarah pemikiran masyarakat. Melalui temuan – temuan spekulatif teknologi dengan sendirinya pemikiran klenik ini
luntur, bahkan agama (terutama yang disebut agama monoteis ) sangat efektif
memberangus perklenikan.
[4]. Dalam bahasa sarkastik pemikiran ideologik adalah sebuah bentuk
pembodohan, karena didalamnya orang dibimbing berfikir menggunakan kaca mata
kuda; lurus, satu arah. Tentu ideology tidak pernah salah, ia selalu benar,
tidak ada cara mengkritikny kecuali dengan menggunakan ideologi lain.
[5]. Gugatan paling serius dari kalangan Mazhab Frankfurt, Jerman
dipenghujung tahun 1950-an. Di Amerika
agak belakangan berkembang kritik atas positivistic, kulminasinya pada Richard
Rorty. Selain mazhab Frankfurt yang
menjadi sparing partner pemikiran
positivistic adalah kalangan agamawan. Kemajuan ilmu pengetahuan positive
seringkali mendaku sebagai ditinggalkannya agama.
[6] . K. Berten sangat hati hati menjelaskan konsep etika dan moral
ini. Etika, merujuk Berten mengandung
tiga pengertian yang dipakai secara sekaligus.
[7] . Lihat, misalhnya Shamali….
[8] Tentu pengukuran semacam ini perlu bagi
saya karena menyangkut “survival”.
Khusus catatan ini terbuka peluang untuk didiskusikan lebih jauh,
misalnya, apakah moral relefan dihubungkan dengan masalah survive?
[9] . Untuk ini lihat K. Berten.
[10] .
Relatifisme memandang bahwa kebenaran bersifat relative. Sama dengan
mengatakan ‘tidak ada kebenaran tunggal’. Proposisi ini tak bermaksud
meng-address perdebatan panjang antara kaum positivism dengan ost-positivism;
positivism mengakui ada kebenaran tunggal, sebaliknya post-positivism menolak
kebanaran tunggal.
[11] . Kesamaan standar (atau tepatnya
similarity) ini hemat saya tak begitu
sulit dari pendektan sosiologis. Bahwa proses social memungkinkan
‘standarisasi’ perilaku anggota masyarakat.
[12] . saya menghadapi
dilema moral ketika saya bisa memilih dua hal ini.
Jadi, tindakan moral menysarakatkan
adanya kebebasan; tidak ada moral
tanpa kebebasan.
[13] . Tapi coba renungkan, bandingkan
jika kebohongan itu untuk
kebaikan.
[14] . Istilah ini menggunakan
tanda apostrop karena argument saya sebetulnya sebuah kata bersayap, tidak lain
adalah untuk melindungi kesenangan saya, atau saya dibuat nyaman dengan
diterimanya argument ini.
[15] . istilah Jawa, maknanya
malu karena tak wajar atau tak lazim
dilakukan.
[16]. Melalui tata fakir ini pula dunia kerja
polisi selayaknya tidak bertumpu pada
model herarkhi yang ketat karena pertanggungjawaban atas tindakan profesinya
bersifat personal. Argumentasi atas (pilihan) tindakan tidak bersifat kolektif
. Kelancaran lalu lintas argumentasi tak mungkin hadir dalam system haerarkhi.
[17] .
Untuk membantu kritik terhadap hedonisme, menarik tulisan Jiddu Krisnamurti, misalnya
dalam The Impossible Question (1997),
bahwa kesenangan adalah dimensi
pengalaman, semantara kebahagiaan tidak terikat pada pengalaman.
[18] . Temuan psikolog terakhir memperkuat tata
fakir Aristoteles ini. Kebanyakan sakit
jiwa manusia modern yang serba berkecukupan secara materi justru disebabkan
oleh modus “to have”, periksa
misalnya karya psikoanalis Erich
Fromm (banyak bukunya sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia,
dianataranya “To Have or To Be” diterbitkan Gramedia ).
[19] . Profesi difahami sebagai peran social
yang diperoleh melalui proses pendidikan secara
khusus. “Tuntutan atas
profesionalisme” merujuk pada pemahaman
memperlakukan / memainkan peran profesinya pada nilai-nilai dasar yang dituntut
dalam profesi tersebut.
[20]. Tentang hal ikhwal kewajiban ini Kant memilah dua macam; imperative hipotetis dan imperative kategorik . Imperative hipotesis adalah kewajban yang
menyertakan syarat. Misalnya jika saya mau lulus ujian maka saya harus belajar
keras. Imperative kategorik adalah
kewajiban tanpa tawar menawar, atau mewajibkan begitu saja. Missal, janji harus
ditepati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar