Fenomenologi
untuk Kepolisian Indonesia
(Ketika Anda
hanya mempunyai sebilah palu,
Anda cenderung
melihat segala sesuatu seperti sebuah paku).
Fenomenologi lahir
sebagai sebuah gagasan filsafat, tulisan ini sejauh mungkin mengambil jarak
dari fenomenologi sebagai sebuah kerangka pemikiran filsafat itu. Fenomenologi disini diletakan sebagai sebuah pendekatan
sosiologis. Meskipun demikian, latar epistemologik tetap diperlukan dalam
mengawali tulisan pendek ini untuk
kepentingan keruntutan dan pendasaran konstuksi gagasan yang utuh. Dalam wacana
epistemologik, fenomenologi mempunyai dua makna penekanan. Pertama,
dari proses kelahirannya, sebagai gagasan filsafat fenomenologi merupakan reaksi atas sistem
filsafat positivisme; kedua, ia
sebagai oposisi terhadap pemikiran Imanuel Kant, utamanya tentang konsep
nomena-fenomena. Sistematika tulisan ini
pada bagian awal adalah upaya melacak sistem sosial yang menjadi implikasi dari bekerjanya logika positivisme.
Sekaligus, dari sisi ini pula entry
untuk memahami gerakan pemikiran fenomenologi sebagai oponen. Di bagian tengah
tulisan ini dimaksudkan elaborasi metode kritik fenomenologis. Hemat penulis,
pada bagian inni pula insan kepolisian dapat mengambil manfaat, utamanya dalam
cara berfikir induktif. Di bagian akhir tulisan ini merupakan sebuah model
pembacaan fenomenololgik atas kepolisian.
Duduk
Perkara ‘Fenomenologi’ sebagai Pendekatan
Sebagai reaksi atas
positivisme, fenomenologi menyerang konsep “struktur”. Padahal, “struktur” itu
temuan proyek besar peradaban aufklarung
yang nota bene ‘saudara sepupu’ positivisme. Menyerang konsep
ini berarti menyerang jantung peradaban positivisme itu sendiri. Konsep “struktur” yang membingkai perilaku manusia, sekali lagi,
dipakai kalangan positivis dalam membaca
segala persoalan kemanusiaan. Di kalangan akademisi, di rak-rak buku di
perpustakaan, pasti ditemukan literatur
metodologi yang menjelaskan perihal (fungsi) teori dalam kerangka
“struktur”-nya positivisme ini: mulai dari fungsi deskriptif, eksplanatif,
prediktif, dan preskriptif. Sejumlah fungsi teoritik ini khas dalam formasi
“struktural” gaya yang diproduksi positivistik. “Struktur” dalam pandangan
positivistik bersifat linier, sehingga
mereka (kalangan positivis) ini mempercayai masyarakat sebagai analogi
biologi; mekanistik
.
.
Dua raksasa sosiologi,
baik itu pendekatan struktural fungsional (Emile
Durkheim dan Auguste Comte)
maupun pendekatan konflik yang berpusat pada Karl Marx mendapatkan ruh epistemologi positivisme ini. “Struktur”
yang dipandang mengikat tindakan manusia pada dua perspektif ini dalam bahasa opersional
adalah ‘regulasi’ atau ‘aturan main’: terdiri dari undang-undang (law);
struktur politik (yang mengatur kekuasaan); kelas sosial ekonomi; budaya, dan seterusnya. Dalam strukturalisme Levi Straus hingga Ferdinand de Sousure “stuktur” ini melekat dalam bahasa. Meminjam kritik Madzhab Frankfurt sejumlah fungsi struktural itu memonopoli
kebenaran. Disini, “kebenaran” dipaksakan bersifat tunggal. Perihal efek disktruktif positivisme ini dilukiskan secara ekspresif dalam One Dimentional Man-nya Herbert Marcuse. Istilah “obyektif”
dalam metodologi ilmu sosial
positivistik itu sendiri pada dasarnya
destruktif bagi peradaban ‘di luar sana’ (the others). Dalam organisasi atau model tata hubungan
sosial, peradaban manusia pasca revolusi Perancis ini tidak bisa lagi melihat adanya alternatif
lain sebagai tandingan salain sistem demokrasi. Misalnya, terhadap model teokrasi dalam budaya global dipandang sebagai
‘tertinggal’. Ini menegaskan bentuk logika dominatif positivistik. Pergerakan
logika ini tidak hanya berhenti sampai di sini, karena demokrasi merupakan
teknologi know-how sehingga dalam
penerapannya membutuhkan persayaratan-persyaratan kualitas manusia . Hanya
jenis manusia/masyarakat tertentu yang telah memenuhi persyaratan yang compatable dengan sistem ini. Yang ingin
ditegaskan pada poin ini adalah bahwa sistem demokrasi merupakan struktur
raksasa yang melindas per/ke-adaban manusia hari ini, sistem ini adalah sebuah
homegenisasi atas ‘individualitas’ manusia dan kemanusiaan.
Tidak lagi menjadi perdebatan bahwa modernisme adalah anak kandung
positivisme dan saudara sepupu dengan demokrasi. Tidak pula terlalu sulit melacak akibat destruktif dari
modernisme ini (atau ‘modernisasi’, sama saja) setelah sederetan persoalan
metodologi dan episetemologi di atas. Prinsipnya, melalui modernisme-lah kaca
mata kuda memandang persoalan manusia direduksi hanya menjadi persoalan
‘seonggok roti’. “An army marches on its stomach” ujar Napoleon
Bonaparte. Terminologi modernisasi ini di Indonesia diekspresikan dalam istilah
Pembangunan. “Piramida Korban Manusia”, ujar Peter L Berger, adalah judul buku yang
ekspresif secara intensional menggambarkan implikasi modernisme.
Fenomenologi sebagai Pencerah
Kesimpulan
pendek yang dapat dirumuskan dari uraian di atas adalah: fenomenologi hendak
meruntuhkan pandangan positivisme dengan cara mencurigai terus menerus “struktur” yang membingkai perilaku manusia;
sekaligus melabrak modernisme dengan cara menunjukan kemungkinan liyan
(the others), ada realitas lain dari entitas sosial yang dipandang baku oleh
pootivis. Pengertian yang terakhir ini fenomenologi menjadi tawaran atas kerangka moralitas
tanpa harus terjebak pada relatifisme moral.
Deretan
“struktur” yang membingkai perilaku manusia sebagaimana difahami positivisme bersemayam pada ideologi, konstitusi, undang-undang, bunyi ikrar di apel pagi, dan seterusnya.
Bisa pula “struktur” itu bersemayam pada ‘kesolehan’ atas ritus
atau perilaku agama yang tampilan luarnya dipandang ‘ta’at beribadah’ .
Elaborasi Emile Durkheim, yang
dikenal sebagai seorang positivis sangat menarik melukiskan asal-usul
(etimilogi) kesolehan, sebagai sebuah terminologi (perilaku) keagamaan dalam kerangka fungsional sistem sosial. Yang
ditekankan Durkheim, kesolehan (ritus) ini
fungsional bagi kehidupan solidaritas masyarakat. Maka, tindakan sosial
yang menguatkan solidaritas masyarakat
itu sendiri menjadi sakralitas atau
pusat agama. Dari sini pula muncul derivasi terminologi kosa kata lain dalam agama, yaitu “dosa” atau “kejahatan”. Istilah ini (dosa) berasal dari tindakan sosial yang disfungsi bagi
solidaritas, dengan kata lain tindakan dosa berarti menggugat yang sakral. Sekali lagi, yang
dimaksud ‘sakral’ adalah ritus yang menyumbang solidaritas sosial. Jadi, “Yang
Sakral” dalam sosiologi Durkheim ini bukanlan perkara yang samata-mata turun
dari langit, ia berasal dari realitas profan yang kemudian ditarik sebagai
‘pusat’ keparcayaan/agama. Proposisi ini penting untuk melacak asal-usul sumber
norma yang dipakai pusat aturan main deduksi memformat tentang salah-benar
tindakan manusia. Jadi, agaknya analisis
Durkheim atas agama bergaya logika sibernetik: bolak-balik antara induktif ke deduktif. Lebih jauh, proposisi temuan
sakralitas Durkheim berfungsi mengingatkan masyarakat modern seperti
hari ini pada substansi persoalan dasar keteraturan masyarakat, meskipun
membuat gerah di kalangan agama. Pada sisi lain, pendekatan Durkheim atas agama
akan terbaca datar tanpa bantuan konstruksi fenomenologik.
Fenomenologi menyuntikan kesadaran pada tubuh wacana metodologi bahwa struktur
yang dimaksud positivisme bisa ‘mengicuh’ realitas karena sifatnya yang normatif-deduktif.
Belajar dari pembacaan terhadap Durkheim
di atas, posisi normatif- deduktif ini justru cenderung sangat mudah (di)manipulatif.
Padahal cara berfikir penegak hukum
berpusat pada bentuk logika normatif-deduktif ini. Teks-teks hukum dijadikan
alat pengepas tindakan sosial; yang tidak pas disebut jahat, yang pas disebut
tidak jahat. Persoalannya, seperti akan dijelaskan pada sub-bab di bawah,
ukuran pengepas tindakan ini berada dalam kerangkeng sistem sosial dan sistem
moralitas tertentu, sementara tindakan sosial bersifat “interaksionis”.
Tindakan interaksionis ini fenomenologik, pengertiannhya tindakan ini bergerak
sebagaimana individu bukanlah aktor pasiv dalam merespon stimulus lingkungan.
Dalam konteks inilah struktur yang dipandang baku oleh positivis terguncang
dalam fenomenologi. Dalam positivisme
aktor atau individu diasumsikan sebagai banda yang diam tidak
berkreativitas. Di sini, melalui
interaksionis struktur hukum
sesungguhnhya bisa lentur.
Fenomenologi akan jauh lebih menekankan
pentingnya (pembuktian) induktif. Bukan
berarti fenomenologi mengabaikan struktur yang dianggap mampu membingkai
perilaku oleh kalangan positivisme itu. Jika harus memaksakan untuk memfungsikan struktur-nya positivisme, ia
hanya diletakan sebagai ‘hipotesis’, atau panduan yang sangat spekulatif untuk
melakukan prediksi atas tindakan. Fenomenologi
lebih mempercayai “disini dan sekarang”.
Zu den Sachen selbst : kita perlu kembali ke benda-benda sendiri, ujar Edmund Husserl. Edmund
Gustav Aibercht Husserl adalah kelahiran Cekoslovakia berdarah Yahudi pada 1859
yang pertama kali memperkenalkan
fenomenologi. Obyek-obyek harus diberi
kesempatan untuk berbicara, prinsip yang akan ditegaskannhya adalah melihat (secara
intuitif) hakekat gejala-gejala. Melalui deskripsi fenomenologis dicari Wesenchau
sekali lagi bukan yang bersemayam pada
teks-teks indah (yang diduga oleh kalangan positivis) membingkai perilaku
anggota masyarakat. Bagi Husserl, ilmu pengetahuan (logos) disusun dari
gejala tentang apa yang tampak (phenomena). Setiap penelitian atau
setiap karya yang membahas cara penampakkan dari apa saja, sudah merupakan
fenomenologi. Meskipun proposisi ini bisa saja men jadi kleim pula di kalangan
positivis, namun sekali lagi, yang membedakannya adalah kalangan positivis
terlalu banyan bermain-main dengan logika deduktiv.
Fenomenologi Kepolisian
Struktur
dan sistem sebagaimana digagas positivisme acapkali menjadi keranjang sampah, tempat
untuk menunjukan alamat kesalahan moral. Pada lain sisi, struktur dan
sistem bahkan menjadi mesin dimana kesalahan (kesalahan moral) itu diproduksi. Seorang
individu tenggelam dalam sistem mekanik.
Melalui fenomenologi mempertanyakan ulang, dan ingin mengatakan bahwa
jangan-jangan mekanisme mesin sosial itu mitos belaka. Karena bukankan seorang
individu bebas berfikir? Bayangkan,
ketika seorang anggota diduga bersalah (diadili), dalam praktek mengalamatkan
kesalahan itu pada sistem! Apakah terus kemudian pengadilan ini harus mengadili
sistem/struktur? Di sini, sistem dan struktur menjadi bilik-bilik persembunyian yang dengan
sendirinya aman. Entitas penegak hukum ini mengerti dengan
fasih (“delapan enam”) kesalahan
seseorang bukanlah hadir secara
personal! Dalam kerja sistem semacam
ini, posisi kerja ‘basah’ menjadi ‘berkah’ ; posisi ‘kering’ adalah ‘musibah’. Lagi-lagi ini dalam sistem positivistik yang
telah terdegradasi sedemikian rupa samacam ini telah menjungkirbalikan sistem
moralitas. Pada derajat lebih serius, ritus-ritus agama yang pada ghalibnya suci itu menjadi kendaraan pengungkit
meluncurkan aktor pada tempat basah. Ini
tanpa ada rasa split personality sebagaimana
rekayasa teologik Nurcholis Madjid tahun 70-an yang mendamaikan Islam dengan
Nasionalisme.
Disini
ada kisah lain, diantara kisah ini ditulis oleh antorpolog Jepang Saya Sasaki Shiraisi dalam buku
Pahlawan-Pahlawan Belia (Penerbit Gramedia) perihal kehidupan sehari-hari (daily life) seorang koruptor. Seorang
pegawai negeri dengan penghasilan yang mudah diduga, dikisahkan mempunyai
kekayaan luar biasa. Salah satu rumah mewah yang ditinggalinya tergantung
sejumlah grafiti ayat-ayat suci, setiap kali pulang kantor Sang Bapak --yang konon koruptor besar ini—disambut ucapan
assalamu’alaikum, cium tangan dari anak-anak dan ‘cipika-cipiki’ sang istri
tercinta. Ketika Sang Koruptor ini meninggal dunia, tidak sebagaimana
diceritakan seorang Ustad yang penuh ancaman yang bakal menimpa para pendosa,
tetapui ia meninggal dalam keadaan “damai”, adem dan sejuk karena memasang puluhan air conditioner pada halaman rumah yang ramai lantunan
ayat-ayat suci. Suasana dan cuaca juga tidak sebagaimana diancamkan dari ustad
pengajian, tetapi sejuk dengan sejumlag AC. Disini, dalam kisah semacam ini,
perjalanan
Dalam sejumlah diskusi
serius acapkali sepakat bahwa dalam kekuasaan sistem yang ‘mbundet’ harapan terakhir hanya terletak pada aktor pemimpin.
Pandangan semacam ini sebetulnya
menyalahi kodrat konsistensi logiknya. Logika ini menuntun sistem sosial balik
ke belakang pada era teleologik: ketika masyarakat mempercaryai aktor
penyelesai persoalan tanpa mesin seleksi yang comfort atas aktor-aktor kreatif. Barangkali telah menjadi watak
dasar Manusia Indonesia sebagaimana disebut Mochtar
Lubis tahun 80-an; sulit sekali lepas dari gagassn-gagasan instan. Kehadiran
Imam Mahdi memenuhi dahaga atas
penyelesaian problem hubungan sistem/struktur dengan aktor ; dan antara
telaahan fenomenologik dengan pendekatan sturktur sosial. Ini persoalan rumit,
hingga Piotr Stompka, Sosiolog
Perubahan Sosial pun masih meletakkan tanda tanya – bukan tanda seru – dalam
literatur serius di bangku sekolah sosiologi.
Dalam kontek ini
menarik, sebuah literatur ilmu kalam
(teologi) yang mengalamatkan kondisi yang membingungkan ini sebagai kondisi
yang mendekati kiamat. Yaitu, hadirnya Dajal dianalogikan pada kehadiran sistem
dan struktur model filsafat positivistik yang menggelinding tanpa tanding.
Hingga manusia kehilangan alternatif berfikir dan juga model sistem sosial lain
selain dari demokrasi. Dan disini, derajat manusia berhenti pada ornamen sosial
yang dikenakannya. Ini cara berfikir tunggal, sebagaimana Dajal juga bermata
tunggal. One Dimensional Man, ujar
Herbert Marcus. Only have a hammer, every problem is seen as a
nail, ujar Maslow.
Daftar
Bacaan
Amos,
H.F. Abraham.2007. Katastropi Hukum &
Quo Vadis Sistem Politik Peradilan Indonesia,
Rajawali Perss, Jakarta.
Benton,
Ted dan Ian Craib. 2001. Philosophy of
Social Science, Palgrave, Hamsphire, New York.
Berger,
Peter L dan Hansfried Kellner.1985. Sosiologi
Ditafsirkan Kembali, terj. Herry
Joediono, LP3ES, Jakarta.
Craib,
Ian.1984. Teori Teori Sosial Modern,
Rajawali Press, Jakarta.
Craib,
Ian dan Ted Benton.2001. Philosophy of
Social Science, Palgrave, New York
Dahrendorf,
Ralf.1985. Law and Order, Westview
Press, Colorado.
Dahrendorf,
Ralf.1992. Kematian Sosialisme di Eropa;
Refleksi tahun 1989, PT.Tiara Wacana, Yogyakarta.
Durkheim,
Emile.1938.The Rules Of Sociological
Method, The Free Press, New York.
Eatwell,
Roger dan Anthony Wright.2004.Ideologi
Politik Kontemporer, Jendela, Yogyakarta.
Friedman,
Lawrence M.2009. Sistem Hukum ;
Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim, Nusa Media, Bandung.
Kant,
Immanuel. 1977. Prolegomena to any future metaphysics that will be able to
come
forward as science,: Hackett
Publishing Company, Indianapolis.
Muhadjir,
Noeng.1998. Filsafat Ilmu: telaah sistematis fungsional komparatif, Rake
Sarasin,
Yogyakarta.
Smith,
David Woodruf., Husserl, Routledge, London, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar