Mbah Sudiman
Kick
Andi edisi minggu lalu menghadirkan tamu istimewa: Pak Sudiman dari Wonogiri, laki-laki bertubuh
kecil usia lebih dari 60 tahun yang menghijaukan tanah tandus seluas
lebih 100 hektar. Tanpa biaya pemrintah. Ini gila! Lebih hebat lagi ia menanami tanah yang bukan miliknya
sendiri. Ia Cuma menanam, menanam, dan terus menanam. Tujuannya cuma supaya hutan
tanah tandus itu hijau kembali. Titik. Bibitnya kadang dibeli dasi uang yg ia
sisakan dari peruntukan keluarga.
Pada acara Kick Andy ini menceritakan kembali
saat-saat Pak Sadiman mendapat award Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurmabya. Dalam
acara bergenngsi ini Pak Sudiman dipanggil ke depan. Menerima semacam fandel. Entahlah, baginya apa gunanya fandel ini. Ketika
ditanya senangkah ia mendapatkan penghargaan itu, ia mengatakan biasa-biasa
saja. Ya, memang biasa saja, untuk apa fandel itu! Untuk apa jadi juara!
Manusia jenis ini bukanlah manusia yang pandai bicara, atau butuh jadi juara, apa lagi mendayagunakan secara berlipat penghargaannya
untuk keuntungan dirinya layaknya politikus yang melipatkagandakan fungsi lidahnya tak bertulang. Memuakkan! Tetapi mungkin
saja fandel itu ada gunanya, menjadi salah satu barang bagian dari hiasan ruang
tamu yang sederhana. Dan, kelak menjadi bahan cerita cucu dan cicit. Syukur-sukur
dengan itu cucu atau cicit bisa mendayagunakan vandel itu untuk tujuan politik,
ya..jadi lurah...
Vandel penghargaan bergengsi yang diterima dari
Menteri ini digendong, dikempit dengan
kedua tangnnya. Kemudian Mbah Sadiman maju ke depan mendekati microfon. Tangan
kanannya memcocokan microfon dengan tinggi badannya. Siap berpidato. Dibuka
dengan puji syukur. Sepertinya tak fasih mengucap kata “Allah”. Jangan dibandingkan
dengan politisi partai agama!
Terimakasih kepada “Gusti Allah”, begitu ia menyebutnya. Setelah kalimat
pembuka ini Pak Sadiman lupa lagi entah apa lagi yang mau diucapkan. Tidak
sesuai rencana awal tentang apa yang mau dikatakannya. Ya, sudahlah...ia turun
dari panggung. Menyalami sejumlah pejabat dan petingggi LSM yang duduk di depan panggung. Orasi itu
isinya hanya pembuka.
Tentu, sekali lagi, manusia jenis ini tak pandai
bicara. Untuk menjadi manusia berguna tak
harus pandai bicara..... khairu nas yanfa’u linas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar