Sabtu, 14 Maret 2015

Teori Kritis Madzhab Frankfurt



Teori Kritis
(Madzhab Frankfurt)

Sutrisno


Ä Prolog; Pandangan umum
            Ikon dalam pengembangan Teori Kritis ini adalah mengupas rasionalitas yang bekerja dalam masyarakat modern. Sangat tepat Perdue memberikan judul pembahasan teori ini dengan “Cultural Irrationality”. Prinsipnya, budaya yang berkembang dalam masyarakat modern menjegal perkembangan rasio (rasio yang sejati), ia sebut sebagai “irrational”. Kondisi ini dimulai dari aufklarung yang mengagungkan kebebasan manusia dari dunia magis (utamanya dalam The Dialectic of Enlightment, dari Adorno dan Hokheimer). Rupanya dalam perkembangan masyarakat pengagungan rasio yang bertitik tolak dari abad pencerahan itu  melulu menonjolkan jenis rasio yang instrumental[1] (dalam One Dimentional Man – Herbert Macuse)
Dari titik tolak ini teorinya mempunyai bobot kritis. Kritis dalam pengertian ini dialamatkan pada dua komponen: (epistemologi) ilmu sosial pada saat itu dan struktur masyarakat modern.  Kedua komponen yang menjadi sasaran tembak ini dianggap membelanggu emansipasi manusia. Secara umum Teori Kritis membongkar bagaimana cara-cara sistem mendominasi; menutup mata masyarakat dalam kegiatannya untuk menjamin reproduksi dalam kerangka kesinambungan sistem itu.  Dari sisi ini teori kritis mewarisi tradisi Marx, meskipun ia juga mengkiritik Marxisme ortodok yang dditerminisme ekonomi itu.
Berikut ini adalah ornamen dalam bangunan Teori Kritis ini.

Ä George Lucaks (1885-1971)
          Karena paling getol mengembangkan sisi subyektif pemikiran marxist, maka  Lucaks-lah yang paling menonjol sebagai pewaris Hegelian-Marxist (paling tidak, begitulah pendapat Perdue[2]). Tiga karya Lucaks yang dipandang monumental, The Soul and Its Forms; The Theory of Novel, dan History Class Consiousness. Untuk kepentingan pengembangan diskusi ini (Teori Kritis), History Class Consiousness-lah yang paling penting, meskipun secara umum sepanjang karyanya menunjukan perhatian pada “kesadaran”. 

            Fetishism of Comodities (Pemujaan Komoditas)
            Elaborasi konsep ini memperkuat (sturktural) marxis; menarik hubungan antara tingkat ekonomi, ideologi, ekonomi dan politik. Ketika hubungan-hubunganmanusia dikomoditikan, yang ditemukan kemudian adalah “hantu obyektivitas” (phantom objecktivity). Produk atau sesuatu yang dihasilkan dalam proses produksi terpisah dari buruh yang mengerjakannya, produk itu ada “di luar sana”. Dari pendekatan semacam ini pekerja selalu dalam kondisi tak berdaya, komoditas sebagai sebuah proyek raksasa yang mengalahkan apa saja dari sisi manusia.

            Reifikasi
            Konsep ini digunakan untuk menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern-kapitalis manusia disejajarkan dengan benda-benda yang (bisa) diperjualbelikan. Hunungan-hubungan sosial menjadi “obyek”yang dapat dimanipulasi, dan diperdagangkan. Jadi, merujuk Weber, rasionalitas dikonstruksikan melulu dalam kerangka instrumental. Konsep reifikasi selain digunakan sebagai pensejajaran manusia sebagai benda, juga kritik terhadap positivisme (saintisme)

Ä Madzhab Frankfurt
            Madzhab Frankfurt didirikan oleh beberapa multidisiplin pada tahun 1923 di Weimer, Jerman. Tiga fenomena yang dipandang melatari lahirnya madzhab ini; kegagalan positivisme ilmu, Marxisme-Leninisme, dan Nazisme.  Sejumlah nama penting yang mewarnai teori ini adalah Max Horkheimer (Filsuf) ,  Teodor Adorno (Psikologi Sosial), Herbert Marcuse (Filosof), Erich Fromm (Psikoanalis), Karl Wittfogel  sebagai generasi pertama.  Sementara Juergen Habermas  (filsafat ilmu / ahli metodologi ilmu sosial), Albert Wellmer (fiosof) adalah generasi kedua. Pengembangan   madzhab ini berpijak pada tradisi idealisme Hegel dengan realisme Marx (Hegelian Marxism).

Þ Max Horkheimer; aspek reifikasi teori
            Melalui Horkheimer madzhab Frankfurt ini mengkritisi teori ilmu sosial ‘tradisional’. Yang dimaksud Horkheimer tentang  teori ilmu sosial tradisional ini adalah teori sosial yang berpijak pada positivisme, yang menggunakan cara kerja ilmu alam. Kritiknya adalah bahwa teori tradisional meletakkan ilmu sebagai bebas nilai (value free), si peneliti mengambil jarak terhadap realitas[3].  Baginya para teoritisi  tradisional tidak sensitif terhadap persoalan eksistensi manusia, untuk itu yang ia sarankan adalah pemahaman holistik tetang masyarakat dan sejarahnya. Yang menjadi perhatian adalah teori yang mempunyai perhatian pada organisasi rasional aktifitas manusia, utamanya pada cara hidup manusia dalam mengembangkan potensinhya sebagai manusia.     
            Sisi lain yang ia kritik atas teori ilmu sosial tradisional yang berpijak pada positivistik adalah bahwa ia dalam proses kerja risetnya membenarkan (reify) teori itu sendiri. Teori pada positivisme ini dilihat sebagai produk yang lepas dari kontek sosial dimana ia dibangun. Dengan demikian, bagi Horkheimer teori menjadi sebuah bentuk “saintisme” yang memenjara, visi, dan bahasa ilmu digunakan sebagai sistem pemikiran yang tertutup.

Þ Erich Fromm; Lepas dari Kemerdekaan
            Fromm menaruh perhatian besar pada konstruksi aleanasi sebagaimana pernah menjadi perhatian Marx. Ia menengarai kondisi masyarakat telah mendestorsi hakekat manusia melalui keterpisashannya dari alam, dan utamanya manusia lerlepas dari kediriannya. Melalui konsep aleanasi ini ia menghubungakan pengaruh kapitalisme dengan struktur kepribadian. Karena aleanasi berarti mengingkari kreatifitas manusia, maka kapitalisme dengan pembagian kerjanya adalah sistem sosial yang mereduksi keutuhan manusia. Hubungan sosial diformat dalam dimensi okupasi, dan impersonal; tidak ada cinta. Kerpibadian otoriterian, dominasi dan perilaku kejam lainnya, misalnya fasis merupakan refleksi dari struktur sosial yang kompetitif dan menindas. 

Þ Theodore W. Adorno; Personaliti Authoritarian
            Adorno memimpin tim peneliti pikologi sosial di Universitas California tentang tipe personaliti otoritarian. Penelitian ini menemukan bahwa otoritarian adalah sebuah konstelasi yang stabil dan berhubungan dengan atribut-atribut personaliti, yaitu misalnya konformitas buta, percaya bahwa sebuah penggambaran otoritas herarkhi, dan dalam kontek lokal yang diteliti ini memasukkan unsur anti-semit. Dan, bersama Fromm, Adorno mempercayai bahwa fasisme, -- penekannnya pada authoritas, nasionalismenya, militerismenya -- merupakan produk dari pembusukan kapitalisme. Artinya, roh kapitalisme yang berdimensi dominatif  melalui perselingkuhannya dengan kekuasaan (otoritas) maka yang terjadi adalah sistem sosial fasisme, herarkhisme dan kepribadian outhoritarian.    


Þ Herbert Marcuse (1898-1979); One-Dimensionality
            Marcuse yang dilahirkan di Berlin ini karyanya  menitikberatkan pada kritik terhadap budaya kapitalisme dan marxisme gaya Rusia. Karya magnum opus-nya, One-Dimensional Man berangkat dari gagasan Hegel tentang “force negation” dalam masyarakat teknologi modern. Mesin-mesin produksi yang canggih memang dapat menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan material manusia dan kebebasan menggapai sisi intelektual, namun dalam proses ini ada yang tergadai dari manusia.
            Bagi Marcuse dan layaknya Madzhab Farankfurt ini, rasio dipandang menjadi tolok ukur (kesemprunaan) manusia.  Dengan demikian rasio difahami sebagai kekuatan sejarah. Kematangan rasio  dibentuk dalam proses sejarah, tempat dan waktu. Yang dimaksud sejarah bukanlah runtutan fakta dan peristiwa tetapi pergulatan pemikiran dalam mengadaptsi dunia untuk merubah potensi manusia. Pada masyarakat yang sehat (free society), anggota masyarakat mempunyai kontrol atas perkembangnnya sendiri; realitas dibentuk dalam kerangka potensialitas rasio.  Dengan demikian kebebasan (freedom) adalah ukuran ‘sehat’ atau tidaknya masyarakat.
            Dalam hakekat ilmu sosial, Marcuse mengelaborasi warisan Hegel tentang “the power of negative”; kontradiksi ia tempatkan pada posisi yang amat penting untuk mengembangkan kualitas rasio. Ketika penyangkalan berhenti (pada masyarakat modern) maka tidak ada lagi pengembangan kualitas rasio. Disini manusia menjadi berdimensi tunggal.
            Dalam One-Dimentional Man  Marcuse memfokuskan pada superstruktur budaya ketimbang pada basis material atau substruktur masyarakat.  Manusia memiliki memiliki dimensi inner sekaligus outer. Aspek inner adalah kesadaran atau ketaksadaran individu. Dimensi outer adalah wilayah publik. Selayaknya wilayah aprivat terpisah dari publik. Pada masyarakat modern  kebebasan inner atau dimensi pertama terampas oleh dimensi yang kedua.    
            Yang spesial dari Marcuse adalah mengupas akar rasionalitas yang berlaku dalam masyarakan modern. Rasio dimaksudkan adalah kemampuan memilah yang benar dan yang salah dalam kaitannya dengan being dan reality[4]. Pada era modern rasio tereduksi hanya sebagai sarana mencapai tujuan. Rasio yang awalnya kritis terhadap mitos dan kekuasaan akhirnya justru mengabdi kekuasaan. Dalam kerangka inilah One-Dimensional Man itu ditulis Marcuse.

                        Þ Juergen Habermas; Krisis Legitimasi
            Meskipun Habermas menulis tiga karya yang sangat berpengaruh bagi Teori Kritis, yaitu  Technology and Science as Ideology, Legitimation Crisis, dan  The Theory of Comunicative Action, namun Perdue lebih menitikkan pada Legitimation Crisis dalam buku yang sedang kita diskusikan ini. Ketiga karyanya, sebagaimana umumnya Madzhab Frankfurt, memandang modernisasi yang selalu identik dengan rasionalisasi. Disinilah persoalannya; “Technocratic counsciousness is opposed to reason”, kata Perdue (hal.382).  Dilain pihak, rasionalisasi ini dianggap “biang kerok”, karena ia berarti bahwa menusia harus mengadaptasikan tindakan sosialnya pada tertib birokrasi dan teknologi – yang melahirkan technocratic conciousness [5], yang mengantar pada fenomena rasionalitas instrumental.
            Melalui konsep ideologi kesadaran teknokratis[6] ia menjelaskan adanya dilema dalam legitimasi politik bagi negara (era) kapitalis yang nantinya ia tengarai sebagai krisis legitimasi.
            Berikut bagaimana Habermas mengelaborasi krisis itu. Masyarakat kapitalis terdapat tiga basis sub-sistem; 1) ekonomi   2) administratif-politik     3) budaya (life world). Kemungkinan krisis bisa terjadi pada level ekonomi (economic crirsis), krisis rasional (rationality crisis) krisis motivasi (motivation crisis), dan krisis legitimasi (legitimation crisis).  Masyarkat dalam gambaran tiga sub-sistem itu bukan sekedar eksternalitas yang meliput kebutuhan ekonomi-sosial, melainkan juga ada internalitas (penafsiran atas kebutuhan eksternal itu). Berjalannya sistem untuk memenuhi kebutuhan eksternalitas tidak mampu mengakomodasi kebutuhan internalitas; disinilah krisis itu! Jadi, ada konsep ganda tentang krisis. Maka, krisis ekonomi saja belum dipandang sebagai krisis yang serius karena hanya menyangkut distribusi barang dan jasa. Krisis yang serius adalah kalau sudah menyangkut aspek internalnya, karena bersentuhan dengan life world. Kandungan life world ini meliputi makna-makna kultural, norma dan nilai. Ini yang ia maksud krisis legitimasi; krisis ini bukan hanya mengancam integrasi sistem  tapi juga integrasi sosial.

Evaluasi Umum
            Evaluasi kritis terhadap teori ini adalah bahwa analisa  Teori Kritis ini tidak memberikan kontribusi rekomendasi yang cukup terhadap realitas dominasi dan eksploitasi ekonomi.  Teori ini hanya mempercayai bahwa kapitalisme dibangun dari irrasionalitas, dimana bentuk irrasionelitas ini sebagai derifasi dari nafsu kebinatangan. Misalnya, bagi Horkheimer  nafsu kebinantangan ini tercermin dalam kerangka ilmu sosial yang a-historis dan bentuk reifikasi teori. Bagi Fromm, kekacauan individualisme dan privatisme yang mengancam kemerdekaan manusia (dalam terminologinya outhentic human freedom)  ia katakan sebagai irrasional. Sementara bagi Adorno, personaliti outoritarian adalah realitas irrasional (irrational being).  Jadi, bagi tradisi Madzhab Kritis ini  bentuk paling parah dan irrasionalitas adalah kematian rasio.  Analisa Marcuse terhadap masyarakat teknologi tidak jelas dan  klir. Seakan akan yang ia kritik sisi teknologinya an sich daripada mayarakat sebagai pdengguna teknologi itu. Dengan demikian mengacaukan pula konsep kesenjangan budaya (cultural lag), dimana pengguna teknologi tidak siap dengan teknologi baru itu.

Evaluasi Kritis
·        Sulit menemukan solusi penyelesaian apa yang oleh mereka pandang sebagai   penyakit masyarakat modern, yang menjadi ajang kritik teori ini. Jadi, justru Teori Kritis ini hanya berhenti pada kritik, praksis emansipasinya kosong dibandingkan, misalnya dengan marxisme yang menjadi salah satu sasaran kritiknya
·        Yang dikatakan bahwa masyarakat modern terlalu mengedepankan rasionalitas instrumental, walaupun masyararakat ini bisa menyelesaikan kebutuhan material bersamaan dengan itu merampas ‘elemen’ manusia yang lain (cinta, atau rasionalitas afektif). Membuat manusia layaknya robot, tanpa perasaan. Maka, hemat saya, kalau manusia kehilangan cinta, sesungguhyna manusia juga kehilangan rasa benci atau dendam, bukankan kondisi ini mendekati gambaran surga yang digambarkan agama-agama? Sisi ini yang tak dilihat madzhab ini.   
·        Untuk Perdue. Cara Perdue mengangkat satu sudut topik terhadap pemikiran seseorang akan mereduksi pemikiran tokoh yang diangkatnya itu. Misalnya, terhadap  Horkheimer pada aspek reifikasi teori-nya saja padahal Horkheimer juga menulis estetika dan sastra yang tetap konsisten dengan kritik atas kapitalisme.


Literatur:
William D. Perdue.1986. Sociological Theory, Mayfield Publinshing Company, California.
(Kompilasi)  Teori Sosiologi Kontemporer, (Semester Genap 2006/2007), Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia    


[1] Disini pengaruh Max Weber dalam mengkonstruksi manusia dan masyarakat ideal melalui tipologi rasionalitasnya.

[2] . Jadi tentu masih bisa dikonfrontir pendapat Perude ini, misalnya dengan mempertanyakan apakah benar Lucaks yang paling getol mengelaborasi sisi subyektifitas Marx. Rasanya, hemat saya,  Erich From yang seorang psikoanalisis justru mempunyai kekuatan luar biasa mengembangkannya, bandingkan Lucaks yang berlatar belakang pendidikan filsafat. Namun agaknya mungkin tepat disebut sebagai orang paling awal dijajaran pengengkritik pencerahan, sebagai Hegelian-Marxis.

[3]. Sejauh ini posisi Horkheimer, hemat saya, paralel dengan Weber khususnya pada sisi metodologi. Disini selayaknya Perdue memberikan sedikit elaborasi dari sisi epistemology (dan ontology) untuk membedakan prinsip dua orang ini.    

[4] . Dengan konsep lain rasio dalam pengertian ini bersifat teoritis dan praktis.
[5] . Max Weber  mengindikasikan sebagai loss of freedom. Bagi Erich Fromm dan Adorno persoalan ini pula yang menyumbang struktur kepribadian (otoritarian, fasis ) yang sesungguhnya melenceng dari obsesi dasar  pencerahan/ aufklarung.  0leh Horkheimer dibingkai dalam konsep irrationality. 

[6] .  Misalnya, ideology of achievment adalah sebagai legitimasi haerarkhi kelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar