Komunikasi dan Rekayasa Sosial:
Kajian sosiologis terhadap kegiatan
komunikasi
“Komunikasi” sebagai sebuah konsep pada dasarnya
bukanlah terminologi yang akrab di dalam literatur sosiologi, jika misalnya,
dibandingkan dengan konsep “interaksi” dan “relasi”. Tentu saja karena interaksi hampir merupakan ‘subject
matter’. Tentu saja harus ditarik
garis tegas Antara ‘komunikasi’
dengan ‘interaksi’. Pembedaan ini untuk menegaskan ruang lingkup antara
disiplin ilmu yang meletakkan konsentrasi pada dua konsep utama ini. Semantara
komunikasi merupakan kata generic,
bahkan dalam perkembangannya ia menjadi sebuah kajian tersendiri. Sementara
‘interaksi’ tetap menjadi subjeck matter sosiologi. Namun demikian Garbner (dalam Bungin:2006; 30) lah yang
mensejajarkan komunikasi dengan interaksi. Tentu saja banyak sekali definisi
tentang “komunikasi”, tetapi menyamakanya begitu saja dengan “interaksi” akan
menemui sejumlah persoalan, utamanya menyangkut pertumbuhan dan perkembangan
aspek komunikasi belakangan ini.
Konstruksi
definisi Theodornoson and Theodornoson (1969) dipegangi secara umum, seperti
sebuah pengertian baku, meskipun tentu saja masih ada acuan definisi lain. Communication menurutnya mengacu pada
penyebaran informasi, ide-ide, sikap atau emosi dari seorang atau kelompok
kepada yang lain (atau lain-lainnya) terutama melalui simbol-simbol. Misalnya saja, onong Uchyana juga mempunyai
definisi yang mendekati Theodornoson pada prinsipnya adalah proses penyampaian
pikiran atau gagasan dalam pengertian
yang luas. Dalam definisi yang dipakai
Onong Uchyana, misalnya, bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pikiran
dalam pengertian yang luas.
Betapapun
terdapat perbedaan penekanan dalam definisi itu, pada dasarnya merupakan
‘kesepakatan’ jika mengurai komponen yang terlibat dalam proses komunikasi ini.
Komponen-komponen proses komunikasi itu adalah: komunikator (communicator), pesan (massage), media (media), dan komunikan (communicant).
Aspek Sosiologis
Kalau
kita pegang definisi yang digunakan Theodornoson di atas, didalam proses penyebaran informsai banyak sekali variable sosial yang terlibat
didalamnya. Variable sosial itu bukan sekedar komponen yang berperan dalam
proses sebagaimana yang disebut di atas, yaitu komunikator, pesan, media, dan
komunikan. Tetapi variable sosial itu “memasuki” mempengaruhi cara pada kerja setiap komponen komunikasi.
Disinilah aspek-aspek sosial (sosiologis)
berperan. Apakah aspek-aspek sosiologis itu? Yang harus diperhatikan pada
tahap paling awal adalah kondisi struktur
sosial yang melingkupi proses penyampaian pesan itu. Faktor struktur sosial
ini, misalnya saja, yang akan ‘membengkokan’ koherensi pesan atau informasi
yang disampaikan. Anda tidak bisa berpidato atau memberi ceramah dalam bahasa
yang akademis di tengah-tengah petani yang rata-rata berpendidikan tidak tamat
SMP. ‘Bicaralah dalam Bahasa kaummu’, demikian kalau tidak salah ujaran sebuah
hadis. Ini sebuah ilustrasi vulgar
perihal struktur sosial yang bekerja dalam prosess komunikasi. Ada hal lain. Coba kita bayangkan sebuah permainan
penyampaian pesan berantai sebagaimana yang dipertunjukan dalam infotainment di media televisi.
Perhatikan, apa yang membuat pesan itu menjadi bias ? Pesan itu – dalam permainan sederhana ini –
kemungkinan bias karena utamanya disebabkan faktor yang sederhana, yaitu ‘gangguan’
pada alat komunikasi. Gangguan alat komunikasi ini mempunyai pengertian yang
luas, pada prinsipnya ikhwal fisika atau alam. Tetapi, marilah kita berfikir
dari sekedar persoalan faktor alam atau fisika, yaitu faktor sosial tadi. Tidk
menutup kemungkinan bias penyampaian pesan itu karena faktor latar belakang actor
yang terlibat permainan itu relative berbeda. Cara berfikir manusia sangat
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Kekuatan yang dimaksud
disini adalah perihal sosialisasi. Ini diantaranya diskusi perihal struktur sosial
yang terlibat mempengaruhi pecahnya pesan di dalam komunikasi. Kita akan diskusikan faktor struktur sosial ini
secara tersendiri di bagian belakang.
Diluar
faktor sosial itu ada faktor pribadi --tentu
saja-- atau faktor psikologi. Kita akan mengabaikan faktor (kendala) pribadi
ini meskipun ia berpengaruh di dalam proses komunikasi. Wataknya yang “bersifat
pribadi” berarti adalah sebuah faktor yang tidak dapat ditarik generalisasi.
Biarlah ini menjadi ruang lingkup yang didiskusikan kalangan ahli jiwa. Hal ini penting, membedakan realitas komunikasi sebagai gejala psikologik dengan
gejala sosial. Sekali lagi untuk menjadi
penekanan, yang menjadi ruang bagi sosiologi adalah faktor non-spikologi itu,
yaitu faktor sosial. Dengan kata lain, ia (komunikasi) diletakkan sebagai faktor
yang mempengeruhi gejala sosial lain. Teknologi,
tentu saja merupakan faktor yang yang berpengaruh bagi proses penyampaian pesan
itu
Rekayasa Sosial
Kita
tidak dapat menemukan istilah rekayasa sosial dalam literature sosiologi.
Istilah ini adalah konsep ‘generik’, atau semacam konsep terapan dari
sosiologi, khususnya berkenaan dengan pengendalian perubahan sosial. Akan lebih mendekati menggunakan istilah
‘kontrol’ atau ‘sosial kontrol’, atau acapkali akrab dengan istilah
‘pengendalian sosial’. Kemudian untuk lebih mampun memberikan daya aktif atas
kondisi sosial itu maka muncul istilah “sosial
engineering”. Misalnya, dalam Wikipedia disebutkan Sosial
engineering is a discipline in social science that refers to efforts to
influence popular attitudes and sosial behaviors on a large scale, whether by
governments, media or private groups.
Prinsipnya,
rekayasa sosial acapkali dipakai untuk memberikan control atau pengendalian
terhadap proses perubahan sosial. Disini aspek komunikasi menjadi sangat
penting, utamanya menyangkut bagian dari alat pengendalian dalam perubahan sosial itu. Terdapat dua dimensi
dalam perubahan sosial kaitannya dengan pengendalian sosial/rekayasa sosial.
Pertama, perubahan sosial yang tidak disengaja atau umumnya digunakan istilah
perubahan sosial yang tidak dikehendaki (un-intended
sosial change), dan kedua ,
perubahan sosial yang disengaja (intended
sosial change). Konsep “pembangunan” pada dasarnya merupakan istilah
perubahan sosial yang diarahkan atau yang dikehendaki.
Namun,
dalam proses pembangunan akan selalu ada implikasi atau ekses. Implikasi atau
ekses dari proses pembangunan inilah yang dimaksud dengan perubahan sosial yang
tidak dikehendaki (un-intended sosial
change). Terlalu banyak menunjuk ekses pembangunan ini. Misalnya saja:
Pertama,
ketimpangan dan kesenjangan. Tidak semua warga Negara mempunyai akses atau
kesempatan yang sama terhadap fasilitas yang disedikan negara. Aspek
ini meliputi ekonomi sosial, dan budaya. Ada pendapat, khususnya pendekatan Marxian
bahwa kesenjangan ekonomi lah yang menjadi induk persoalan utama yang
selanjutnya merembet pada kesenjangan sosial dan budaya. Kedua,
degradasi moral. Poin ini meliputi ekses pembangunan yang mengancam nilai-nilai
yang dipandang berharga selain juga menyangkut norma moral universal. Acapkali
sebagian dari kita sulit atau bahkkan tidak bisa membedakan antara istilah ‘modern’ dengan ‘westernisasi’; begitu pula
acapkali menjadi diskusi yang tak selesai dalam wacana keagamaan, antara
‘Islam’ sebagai agama dengan pengaruh budaya didalamnya. Wacana keagamaan ini keohatannya sepele,
skedara menyangkut persoalan teologik atau eskatologik. Padahal, tidak. Bisa lebih
serius karena menyangkut benih-benih fundamentalisme dan kekerasan yang
dilakukan atas nama agama.
Nah, perubahan sosial yang disengaja inilah
yang menjadi topic garapan rekayasa sosial ini. Karena ‘kesengajaan’ itu
berarti unsur-usur yang direncanakan melalui rekayasa sosial. Komunikasi diletakkan sebagai alat
dalam rekayasa sosial, namun demikian
tentu saja ada realitas yang sebaliknya bahwa faktor sosial juga mempengaruhi
ciri komunikasi itu sendiri.
Aspek Komunikasi dalam Rekayasa Sosial
Terdapat
perbedaan aspek komunikasi pada dua jenis system politik: antara masyarakat
demokrasi dengan masyarakat feodal atau otoriter. Apa yang membedakan? Pada sisi mana kita akan
melihat titik-titik perbedaan itu ?
Misalnya, coba perhatikan artikel yang mengupas komunikasi gaya Era orde
Baru, diantaranya sebuah artikel yang berasal dari inspirasi Jalaludin Rahmat.
Dalam ini dalam https://upgradehigh.wordpress.com/2013/11/19.
Tentu
saja tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat handicap (hambatan) perubahan sosial
yang positive. Istilah ini (perubahan sosial yang positiv) mengacu pada peprubahan sosial yang
dikehendaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar