Kamis, 12 Maret 2015

Komunikasi dan Rekayasa Sosial




Komunikasi dan Rekayasa Sosial:
Kajian sosiologis terhadap kegiatan komunikasi

 “Komunikasi” sebagai sebuah konsep pada dasarnya bukanlah terminologi yang  akrab di dalam  literatur sosiologi,  jika misalnya,  dibandingkan dengan konsep “interaksi” dan “relasi”.  Tentu saja  karena interaksi hampir merupakan ‘subject matter’. Tentu saja harus ditarik  garis  tegas Antara ‘komunikasi’ dengan ‘interaksi’. Pembedaan ini untuk menegaskan ruang lingkup antara disiplin ilmu yang meletakkan konsentrasi pada dua konsep utama ini. Semantara komunikasi merupakan kata generic, bahkan dalam perkembangannya ia menjadi sebuah kajian tersendiri. Sementara ‘interaksi’ tetap menjadi subjeck matter sosiologi. Namun demikian   Garbner (dalam Bungin:2006; 30) lah yang mensejajarkan komunikasi dengan interaksi. Tentu saja banyak sekali definisi tentang “komunikasi”, tetapi menyamakanya begitu saja dengan “interaksi” akan menemui sejumlah persoalan, utamanya menyangkut pertumbuhan dan perkembangan aspek komunikasi belakangan ini.
Konstruksi definisi Theodornoson and Theodornoson (1969) dipegangi secara umum, seperti sebuah pengertian baku, meskipun tentu saja masih ada acuan definisi lain. Communication menurutnya mengacu pada penyebaran informasi, ide-ide, sikap atau emosi dari seorang atau kelompok kepada yang lain (atau lain-lainnya) terutama melalui simbol-simbol.  Misalnya saja, onong Uchyana juga mempunyai definisi yang mendekati Theodornoson pada prinsipnya adalah proses penyampaian pikiran atau gagasan  dalam pengertian yang luas. Dalam  definisi yang dipakai Onong Uchyana, misalnya, bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pikiran dalam pengertian yang luas.  
Betapapun terdapat perbedaan penekanan dalam definisi itu, pada dasarnya merupakan ‘kesepakatan’ jika mengurai komponen yang terlibat dalam proses komunikasi ini. Komponen-komponen proses komunikasi itu adalah: komunikator (communicator), pesan (massage), media (media), dan komunikan (communicant).

Aspek Sosiologis
Kalau kita pegang definisi yang digunakan Theodornoson di atas, didalam  proses penyebaran informsai  banyak sekali variable sosial yang terlibat didalamnya. Variable sosial itu bukan sekedar komponen yang berperan dalam proses sebagaimana yang disebut di atas, yaitu komunikator, pesan, media, dan komunikan. Tetapi variable sosial itu “memasuki” mempengaruhi cara pada  kerja setiap komponen komunikasi.
   Disinilah aspek-aspek sosial (sosiologis) berperan. Apakah  aspek-aspek  sosiologis itu? Yang harus diperhatikan pada tahap paling awal adalah kondisi struktur sosial yang melingkupi proses penyampaian pesan itu. Faktor struktur sosial ini, misalnya saja, yang akan ‘membengkokan’ koherensi pesan atau informasi yang disampaikan. Anda tidak bisa berpidato atau memberi ceramah dalam bahasa yang akademis di tengah-tengah petani yang rata-rata berpendidikan tidak tamat SMP. ‘Bicaralah dalam Bahasa kaummu’, demikian kalau tidak salah ujaran sebuah hadis.  Ini sebuah ilustrasi vulgar perihal struktur sosial yang bekerja dalam prosess komunikasi. Ada hal lain.  Coba kita bayangkan sebuah permainan penyampaian pesan berantai sebagaimana yang dipertunjukan dalam infotainment di media televisi. Perhatikan, apa yang membuat pesan itu menjadi bias ?   Pesan itu – dalam permainan sederhana ini – kemungkinan bias karena utamanya disebabkan faktor yang sederhana, yaitu ‘gangguan’ pada alat komunikasi. Gangguan alat komunikasi ini mempunyai pengertian yang luas, pada prinsipnya ikhwal fisika atau alam. Tetapi, marilah kita berfikir dari sekedar persoalan faktor alam atau fisika, yaitu faktor sosial tadi. Tidk menutup kemungkinan bias penyampaian pesan itu karena faktor latar belakang actor yang terlibat permainan itu relative berbeda. Cara berfikir manusia sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Kekuatan yang dimaksud disini adalah perihal sosialisasi. Ini diantaranya diskusi perihal struktur sosial yang terlibat mempengaruhi pecahnya pesan di dalam komunikasi.  Kita akan diskusikan faktor struktur sosial ini secara tersendiri di bagian belakang.    
Diluar faktor sosial itu ada faktor pribadi  --tentu saja-- atau faktor psikologi. Kita akan mengabaikan faktor (kendala) pribadi ini meskipun ia berpengaruh di dalam proses komunikasi. Wataknya yang “bersifat pribadi” berarti adalah sebuah faktor yang tidak dapat ditarik generalisasi. Biarlah ini menjadi ruang lingkup yang didiskusikan kalangan ahli jiwa.  Hal ini penting, membedakan realitas  komunikasi sebagai gejala psikologik dengan gejala sosial.  Sekali lagi untuk menjadi penekanan, yang menjadi ruang bagi sosiologi adalah faktor non-spikologi itu, yaitu faktor sosial. Dengan kata lain, ia (komunikasi) diletakkan sebagai faktor yang mempengeruhi gejala sosial lain.  Teknologi, tentu saja merupakan faktor yang yang berpengaruh bagi proses penyampaian pesan itu   

Rekayasa Sosial
Kita tidak dapat menemukan istilah rekayasa sosial dalam literature sosiologi. Istilah ini adalah konsep ‘generik’, atau semacam konsep terapan dari sosiologi, khususnya berkenaan dengan pengendalian perubahan sosial.  Akan lebih mendekati menggunakan istilah ‘kontrol’ atau ‘sosial kontrol’, atau acapkali akrab dengan istilah ‘pengendalian sosial’. Kemudian untuk lebih mampun memberikan daya aktif atas kondisi sosial itu maka muncul istilah “sosial engineering”. Misalnya, dalam Wikipedia disebutkan  Sosial engineering is a discipline in social science that refers to efforts to influence popular attitudes and sosial behaviors on a large scale, whether by governments, media or private groups.
Prinsipnya, rekayasa sosial acapkali dipakai untuk memberikan control atau pengendalian terhadap  proses perubahan sosial.   Disini aspek komunikasi menjadi sangat penting, utamanya menyangkut bagian dari alat pengendalian dalam  perubahan sosial itu. Terdapat dua dimensi dalam perubahan sosial kaitannya dengan pengendalian sosial/rekayasa sosial. Pertama, perubahan sosial yang tidak disengaja atau umumnya digunakan istilah perubahan sosial yang tidak dikehendaki (un-intended sosial change),  dan kedua , perubahan sosial yang disengaja (intended sosial change). Konsep “pembangunan” pada dasarnya merupakan istilah perubahan sosial yang diarahkan atau yang dikehendaki.
Namun, dalam proses pembangunan akan selalu ada implikasi atau ekses. Implikasi atau ekses dari proses pembangunan inilah yang dimaksud dengan perubahan sosial yang tidak dikehendaki (un-intended sosial change). Terlalu banyak menunjuk ekses pembangunan ini. Misalnya saja:
Pertama, ketimpangan dan kesenjangan. Tidak semua warga Negara mempunyai akses atau kesempatan yang sama terhadap fasilitas yang disedikan negara.   Aspek ini meliputi ekonomi sosial, dan budaya.   Ada pendapat, khususnya pendekatan Marxian bahwa kesenjangan ekonomi lah yang menjadi induk persoalan utama yang selanjutnya merembet pada kesenjangan sosial dan budaya.  Kedua, degradasi moral. Poin ini meliputi ekses pembangunan yang mengancam nilai-nilai yang dipandang berharga selain juga menyangkut norma moral universal. Acapkali sebagian dari kita sulit atau bahkkan tidak bisa membedakan antara istilah  ‘modern’ dengan ‘westernisasi’; begitu pula acapkali menjadi diskusi yang tak selesai dalam wacana keagamaan, antara ‘Islam’ sebagai agama dengan pengaruh budaya didalamnya.  Wacana keagamaan ini keohatannya sepele, skedara menyangkut persoalan teologik atau eskatologik. Padahal, tidak. Bisa lebih serius karena menyangkut benih-benih fundamentalisme dan kekerasan yang dilakukan atas nama agama.
 Nah, perubahan sosial yang disengaja inilah yang menjadi topic garapan rekayasa sosial ini. Karena ‘kesengajaan’ itu berarti unsur-usur yang direncanakan melalui rekayasa sosial.   Komunikasi diletakkan sebagai alat dalam  rekayasa sosial, namun demikian tentu saja ada realitas yang sebaliknya bahwa faktor sosial juga mempengaruhi ciri komunikasi itu sendiri.

Aspek Komunikasi dalam Rekayasa Sosial
Terdapat perbedaan aspek komunikasi pada dua jenis system politik: antara masyarakat demokrasi dengan masyarakat feodal atau otoriter.  Apa yang membedakan? Pada sisi mana kita akan melihat titik-titik perbedaan itu ?  Misalnya, coba perhatikan artikel yang mengupas komunikasi gaya Era orde Baru, diantaranya sebuah artikel yang berasal dari inspirasi Jalaludin Rahmat. Dalam ini dalam  https://upgradehigh.wordpress.com/2013/11/19. 
Tentu saja tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat handicap (hambatan) perubahan sosial yang positive. Istilah ini (perubahan sosial yang positiv)  mengacu pada peprubahan sosial yang dikehendaki.   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar