Yang Naif Dalam Beragama
Apa
yang bahaya dalam perilaku keagmaan ? Pertanyaan ini biasa dialamatakn pada fenomena
hadirnya fundamentalisme, untuk menganalisis mengapa agama yang pada dasarnya
hadir penuh kasih tetapi justru
sebaliknya. Rupanya belakangan ini pertanyaan semacam ini bukan alamat untuk
fundamentalsi saja tetapi bisa juga untuk menjadi bahan renungan dimensi
keagamaan kita. Fundamentalis itu adalah
takfiri, mudah sekali mengkafirkan orang yang tak sejalan. Istilah ‘tak
sejalan’ mempunyai pengertian yang serba
luas. Misalnya saja, sekedar gerak solat yang berbeda sudah masuk pada kategori
‘diluar dirinya’. Sekedar mengkui keunggulan Kahlifah Ali dari Khalifah yang
lain juga masuk kategori ‘kelompok lain’. Sekedar tidak mengikuti pengajian di
kelompoknya dipandang sebagai orang ‘dari luar sana’; atau paling tidak menjadi
sebuah senjata penghukuman sosial lebih lanjut. Kemudian, konon, ini yang paling umum: fiqih
menjadi alat ukur utama perilaku keagamaan. Padahal islam bukan hanya fiqh.
Didalamnya ada filsafat, tashauf, dan ilmu kalam. Para takfiri itu paling malas
mempelajari filsafat, tashauf, dan ilmu kalam. Merreka tidak berfikir: apakah
betul yang mereka fahami tentang sebuah perintah itu memang sebagaimana yang
dikehendaki Allah ? Apalagi belajar
sosiologi yang mengantarkan relatifitas konstruksi fiqh.
Kalau konstruksi fiqh ini berubah karena
persoalan relefansi dengan dunia sosial, maka pada dasarnya filsafat, tashauf,
dan ilmu kalam cenderung bersifat ‘tetap’; kalau fiqh berifat publik maka yang
lain itu bersifat sangat personal. Bagi filsafat, tashauf, dan ilmu kalam
agama pada dasarnya adalah sial
pertanggungjawaban personal. Tidak demikian bagi fiqh.
Kekerasan agama pertama sekali dialamatkan
pada persoalan tafsir. Tentu saja, perihal bagaimana orang menafsir teks
suci bisa saja dilacak dari dimensi
sosiologisnya. Sebuah tafsir tidak lepas dari konteks sosial yang
melingkupinya. Dua soal : pertama
menyangkut teks nya itu sendiri, dan
kedua soal realitas sosialnya. Lihat saja apa yang terjadi setelah jatuhnya
kekhalifahan. Beberapa tahun setelahnya terjadi pemboycotan ulama terhadap
umara. Komunitas muslim terpecah-pecah. Yang prinsip secara sosiologis adalah
dewan penasehat dalam Syura itu lumpuh. Apa akibatnya ? sebagian pemimpin
pemerintahan memanipulasi fiqh, tentu untuk kepentingannya sendiri. Lihat
misalnya literatru Abu Ameenah Bilal Philips dalam Sejarah dan Evolusi Fiqh
(2015). Dari sini tidak sulit difahami,
muncul pemicu ijtihad-ijtihad individual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar