Minggu, 10 April 2016

Yang Naif dalam Beragama


Yang Naif Dalam Beragama

            Apa yang bahaya dalam perilaku keagmaan ?  Pertanyaan ini biasa dialamatakn pada fenomena hadirnya fundamentalisme, untuk menganalisis mengapa agama yang pada dasarnya hadir  penuh kasih tetapi justru sebaliknya. Rupanya belakangan ini pertanyaan semacam ini bukan alamat untuk fundamentalsi saja tetapi bisa juga untuk menjadi bahan renungan dimensi keagamaan kita.  Fundamentalis itu adalah takfiri, mudah sekali mengkafirkan orang yang tak sejalan. Istilah ‘tak sejalan’ mempunyai pengertian  yang serba luas. Misalnya saja, sekedar gerak solat yang berbeda sudah masuk pada kategori ‘diluar dirinya’. Sekedar mengkui keunggulan Kahlifah Ali dari Khalifah yang lain juga masuk kategori ‘kelompok lain’. Sekedar tidak mengikuti pengajian di kelompoknya dipandang sebagai orang ‘dari luar sana’; atau paling tidak menjadi sebuah senjata penghukuman sosial lebih lanjut.    Kemudian, konon, ini yang paling umum: fiqih menjadi alat ukur utama perilaku keagamaan. Padahal islam bukan hanya fiqh. Didalamnya ada filsafat, tashauf, dan ilmu kalam. Para takfiri itu paling malas mempelajari filsafat, tashauf, dan ilmu kalam. Merreka tidak berfikir: apakah betul yang mereka fahami tentang sebuah perintah itu memang sebagaimana yang dikehendaki Allah ?   Apalagi belajar sosiologi yang mengantarkan relatifitas  konstruksi fiqh.

Kalau konstruksi fiqh ini berubah karena persoalan relefansi dengan dunia sosial, maka pada dasarnya filsafat, tashauf, dan ilmu kalam cenderung bersifat ‘tetap’; kalau fiqh berifat publik maka yang lain itu bersifat sangat personal. Bagi filsafat, tashauf, dan ilmu kalam agama  pada dasarnya adalah sial pertanggungjawaban personal. Tidak demikian bagi fiqh.

Kekerasan agama pertama sekali dialamatkan pada persoalan tafsir. Tentu saja, perihal bagaimana orang menafsir teks suci  bisa saja dilacak dari dimensi sosiologisnya. Sebuah tafsir tidak lepas dari konteks sosial yang melingkupinya. Dua soal :  pertama menyangkut  teks nya itu sendiri, dan kedua  soal realitas sosialnya.  Lihat saja apa yang terjadi setelah jatuhnya kekhalifahan. Beberapa tahun setelahnya terjadi pemboycotan ulama terhadap umara. Komunitas muslim terpecah-pecah. Yang prinsip secara sosiologis adalah dewan penasehat dalam Syura itu lumpuh. Apa akibatnya ? sebagian pemimpin pemerintahan memanipulasi fiqh, tentu untuk kepentingannya sendiri. Lihat misalnya literatru Abu Ameenah Bilal Philips dalam Sejarah dan Evolusi Fiqh (2015).  Dari sini tidak sulit difahami, muncul pemicu ijtihad-ijtihad individual.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar