Sabtu, 06 Desember 2014

Paradigma Ilmu Sosiall


Paradigma Ilmu Sosial

 
Apa itu Paradigma ?

          Paradigm sebagai sebuah konsep, yang kita tahu selama ini, tepatnya dalam penggunaan sehari-hari, dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu  pemikiran yang bersifat mendasar sehingga ia menjadi sandaran bagi pemikiran selanjutnya yang bersifat elementer. Misalnya, kalau orang menyebut istilah ‘shifting paradigm’, yang dimaksud adalah perubahan mendasar dalam berfikir yang kemudian diikuti perubahan-perubahan lainnya yang bersifat elementer. Tentu saja pengertian semacam ini tidak salah, tetapi tidak cukup! Kita akan melacak melalui cara yang analitik,  apa dan bagaimana konsep ini digunakan dalam ilmu sosial.

Konsep paradigma (paradigm) pertama sekali digunakan oleh Thomas Kuhn[1] dalam buku yang diterbitkanya pada tahun 1962, The Structure of Scientific Revolutions. Yang membuat buku ini booming adalah dua hal. Pertama, gagasan Kuhn dalam buku ini merevisi pandangan lama tentang pertumbuhan ilmu pengetahuan. Pandangan awal  perkembangan ilmu pengetahuan itu tumbuh secara evolusi, atau acapkali disebut sebagai kumulatif. Kedua, Kuhn menawarkan suatu cara bagi ilmu-ilmu  sosial, khususnya ilmu sosial murni (sosiologi),  dalam mempelajari disiplin ilmu mereka. 

Term paradigma merupakan konsep kunci untuk menganalisis perkembangan ilmu pengetahuan.  Pandangan kritis terhadap Kuhn disampaikan oleh Margaret Masterman[2] . Wikipedia menulis, “she criticised Thomas Kuhn for his use of the concept ‘Paradigm’. This criticism was accepted by Thomas Kuhn and was crucial in the shift of the concept ‘Paradigm’ to ‘Incommensurability’ “.  Kritik Masterman bahwa Kuhn tidak memberikan elaborasi definitive terhadap apa yang dimaksud dengan  paradigma. Kuhn menggunakan konsep ini secara ‘longgar’ sehingga dalam analisis Masterman, konsep paradigm digunakan oleh Kuhn  tidak kurang dari  duapuluh satu pengertian (George Ritzer:1985;5). Masterman memilah-milah penggunaan konsep paradgima oleh Kuhn yang  duapuluh satu pengertian itu kedalam tiga kategori. Namun demikian, pemilahan, atau tepatnya pengelompokan,  konsep paradigm menjadi tiga bagian yang dilakukan Masterman  meskipun cukup analitik tetapi masih bersifat ambigu. Ini pendapat Robert Frederich. Ia membantu mendefinisikan paradigm  secara ketat,  sebagai  a fundamental image a dicipline has of its subject metter. 

Pemilahan Masterman ini meskipun menurut Frederich dipandang mengandung ambigu namun diperlukan secara analitik. Pemilahan ini adalah:  Pertama, paradigma metafisik. Paradidgma ini merupakan  konsensus terluas dalam suatu disiplin ilmu. Mengacu pada (kesepakatan) ilmuwan yang memusatkan perhatian terhadap suatu yang ada, yang sama-sama menjadi pusat perhatian mereka. Kesepakatan terhadap ‘yang adaa’ ini kemudian disebut sebagai satu komunitas ilmuwan. Jadi, tentu ada banhyak komunitas ilmuwa yang batas-batasnya  disandarkan atas suatu kesepakatan kepada ‘yang ada’ -- yang menjadi pusat perhatian mereka. Kedua, paradigma sosiologis. Pengertian ini mengacu pada penemuan (yang amat kokoh)  sehingga  mendapat kesepakat umum. Kuhn menyebutnya sebagai exemplar. Dalam ilmu sosial murni seperti sosiologi, misalnya adalah karya Max Weber   dan  karya Emile Durkheim. Kedua karya ini mendapat pengakuan dan diterima secara umum dikalangan ilmuwan sosial.   Ketiga, paradigma konstrak. Paradigm jenis ini merupakan konsep yang paling sempit dintara tiga paradigma.    

Dengan demikian kalau kita harus menarik simpulan, paradigma itu bersifat gradatif atau berundak-undak tingkat mendasarnya dan kedalamannya.  Kalau ada pertanyaan bernada protes bahwa, katanya “kita harus melakuan perubahan paradigmatik (shifting paradigm)”, persoalannya pada level mana yang ia maksudkan perombakan paradigmatic itu. Tetapi, anyway,  diskusi  pada aras paradigma akan membantu untuk merumuskan tentang apa yang harus dipelajari dan persoalan-persoalan apa yang musti dijawab serta bagamiana (cara) menjawabnya. Perhatikan tiga pilahan paradigm yang dirumuskan Masterman di atas, misalkan pada level paradigm sosiologik, disini  terdapat satu pandangan tentang apa yang menjadi pokok persoalan dari cabang ilmu ini. 

Nah, pada pertemuan ini kita akan mendiskusikan poin sentral dalam ilmu sosial murni ini, utamanya issu yang diusung dua exemplar dalam sosiologi: Max Weber dan Emile Durkheim yang bersumber dari literatur George Ritzer. Dan, secara eklektik narasi ini dibumbui referensi Brian Fey.

 

Mencari yang riil secara sosial

 

          Judul kecil ini berangkat dari sebuah pertanyaan untuk menemukan pintu masuk dalam memahami  ‘yang ada’ (being) yang menjadi kesepakatan ilmu sosial murni (sosiologi). Apa kesepakatan yang dimaksud itu ?  Tidak lain kesepakatan ini perihal sisi atau dimensi manusia yang bersifat sosial. Bandingkan, misalnya,  dalam komunitas fisikawan,  yang mereka sepakati adalah perihal energi yang menggerakan benda.  Dalam pilahan paradigma-nya Masterman, level kesepakatan semacam ini -- tentang  sesuatu ‘yang ada’  --  merupakan diskusi pada level  paradigma metafisik. Jadi, sekali lagi,  ‘yang sosial’ harus dipandang sebagai realitas yang disepakati oleh ilmuwan sosial sebagai being.

Nah, persoalannya kemudian adalah bagaimana menjelaskan, merumuskan, dan meneliti perihal  being yang disebut yang sosial ini. Misalnya, mengapa terjadi peristiwa penggulingan paksa atas  Presiden Suharto pada Mei 1998 ?  Peristiwa jatuhnya Soeharto pada Mei 1998 adalah realitas sosial, cara menjelaskan realitas ini tentu tidak tunggal. Perbedaan penjelasan atas jatuhnya Soeharto acapkali tergantung pada perspektif yang digunakan. Atau perbedaan perspektif.  Istilah ‘perspektif’ ini disini  tidak ketat,  masih bersifat longgar[3]. Bisa saja perspektif yang berbeda namun berada dalam kerangkeng paradigma yang sama. Tentu derajat disparitas penjelasannya  akan jauh berbeda jika penjelasan berasal dari  perspektif berbeda dari paradigm yang berbeda pula.  Ini hanya satu missal saja untuk memahami posisi paradigma.

Mendiskusikan topic ini acapkali dimulai dari pertanyaan: mana yang riil, masyarakat atu individu ?   

 

 

 

1.     Fakta Sosial: Masyarakat sebagai yang riil

Pada diskusi pertemuan yang lalu kita sempat singgung sepintas bahwa kita sesungguhnya tidak pernah (bisa) melihat masyarakat. Tentu saja, karena ia hanyalah sebuah konsep abstrak[4]. Kumpulan orang-orang bukanlah masyarakat, tetapi cukup  kita sebut sebagai ‘sekumpulan orang-orang’, atau crowd. Jadi, konsep masyarakat pada dasarnya  semacam paradgima metafisik dalam rumusan Masterman. Ia adalah realitas ‘yang ada’ (being) yang menjadi kesepakatan kajian dalam  ilmuwan sosial (sosiologi). 

Tetapi kita harus hati-hati terhadap rumusan masyarakat  yang terlalu abstrak ini. Toh, Emile Durkheim memandang masyarakat sebagaimana sebuah benda:  a thing .  Artinya fakta sosial diperlakukan sebagai suatu barang yang ada diluar manusia tetapi mempengaruhi memaksa orang untuk ‘begini an begitu’.  Yang ingin ditekankan bahwa thing ini adalah dibedakan dengan ide, tentu saja perbedaan mendasar ini menyangkut cara ‘menangkap’ dan menganalisis antara keduanya.  jadi tidak dapat ditankap dengan mental murni yang spekulatif. Prinsipnya, fakta sosial tidak dapat dipelajari melalui instropeksi. Posisi metodologik ini dihadrikan Durkheim yang berbeda secara diametral terhadap Auguste Comte dan kalangan psiologi. Bagi Durkheim, Comte hanya berangan-angan karena membelokan sosiologi sebagai bagian dari filsafat (spekulatif)

Fakta sosial terdiri dari dua macam, yaitu dalam bentuk material dan dalam bentuk non-material. Fakta sosial dalam bentuk material, dapat ditangkap dan diobservasi. Ia adalah ‘nyata’ dalam pengertian external world. Misalnya,  tata ruang kota, struktur bangunan, dan norma hokum. Norma hukum ini nyata, karena bisa dilihat, dibaca, diobservasi, dan  ada diluar individu dan mempengaruhi cara bertindak. Begitu pula kelompok (kelompok sosial) itu riil,  seperti keluarga, agama, dan masyarakat politik. Bila ketika struktur kelompok ini bergeser maka berpengaruh terhadap kesadaran atau fakta sosial dalam  bentuk non-material.

     Fakta sosial yang non-material merupakan fakta yang intersubyektif.  Fakta sosial bentuk ini muncul dalam kesadaran manusia, misalnya  altruisme dan egoism. Perhatikan istilah intersubyektif  ini, ia hampir bisa dikatakan kesadaran yang dialami sebagai sebuah komunitas (bersama).  Oleh karena itu melalui bentuk yang kedua ini (non-material),  fakta sosial harus dikatakan tidak selalu berbentuk barang tetapi yang perlu dicatat adalah perihal “kekuatan memaksa” terhadap individu. Poin ini penting untuk membedakannya dengan fakta individu. Hati-hati terhadap pengertian “kekuatan memaksa” ini. Adakah sesuatu yang bukan barang[5] tetapi bersifat memaksa?  Tidak mudah untuk memahami hal ini kecuali  Ia harus dimengerti dengan istilah ‘diluar kesadaran’ seorang individu. Bahwa individu menjadi seperti adanya itu bukan karena kebebasan sebagimana ia seorang yang bebas dari kungkungan masyarakat. Format berfikir tentang ‘bebas’ sebagaimana ia fahami dan alami dibentuk oleh faktor diluar dirinya. Faktor diluar individu inilah yang dimaksud Durkheim sebagai fakta sosial.    

Sampai disini tidak mudah memahami fakta sosial dalam bentuk non-material. Untuk dapat memahaminya kita harus meletakan posisinya secara kontras dengan cara berfikir psikologi. Bagi Durkheim kemunculan dan kedewasaaan ilmu sosial murni (sosiologi) hanya  akan bisa mempunyai prospek bila dilepas dari  filsafat dan psikologi. Mengapa ?  Karena filsafat melulu menggunakan pendekatan spekultif deduktif. Filsafat tidak akan bisa maju (tumbuh) sebagai ilmu karena tidak berkonfirmasi dengan empiri.  Sementara psikologi merupakan ilmu yang penjelasannya bersifat ‘elementer’; bahwa ‘yang sosial’,  menurut Durkheim tidak bisa dijelaskan oleh yang elementer. Realitas psikologis (jiwa) biarlah menjadi ruang lingkup psikologi yang berjarak dengan fakta sosial. Fakta sosial harus dijelaskan dengan fakta sosial yang lain. Fakta psikologi tidak bisa untuk menjelaskan  fakta sosial, atau sebalikya.

 

Bunuh Diri. Dari sini jelas bahwa Durkheim membangun dasar-dasar sosiologi bertumpu pada fundamen positivistik[6]. Meskipun ia menyebut tentang ‘kesadaran’ yang seakan-akan bersarang pada batin seseorang ketika menjelaskan fakta sosial non-material, tetapi yang ia maksud adalah gejala yang bersifat kolektif: kesadaran kolektif.  Sasarannya menemunkan  metode obyektiv dengan cara  meletakkan obyek kajiannya diluar individu yang  teramati. Tentu saja, secara observatif  kita menemukan gejala sosial dari sosok individu yang, misalnya,  pada kasus bunuh diri. Semula, sebelum Durkheim realitas bunuh diri dipandang sebagai gejala stress/dipresi/kegilaan,  atau penjelasan lain pada hereditas (genetic atau kekturunan. Diluar itu  pendekatan yang agak maju gejala bunuh diri ini dialamatkan kepada ras. Durkheim membongkar semua pengetahuan yang disandarkan pada common sense ini.  

Gejala bunuh diri, jika dikategorikan sebagai  fakta sosial maka harus dijelaskan oleh fakta sosial lainnya. Sistematika pertanyaan ini dapat diformulasikan berikut,  pertama,  mengapa  bunuh diri masuk kategori fakta sosial?  Dan, kedua,  fakta sosial apa untuk menjelaskan fakta sosial bunuh diri ?

Mari kita elaborasi dua persoalan ini. Pada pertanyaan yang pertama, Durkheim menggolongkan bunuh diri sebagai fakta social,  caranya dimulai dari  mengutak-atik statistik. Ini permisalan saja yang dicuplik dari Anthony Giddens (2004;53). Dalam sebuah provinsi angka bunuh diri di kalangan pria yang sudah menikah berusia 20 hingga 25 tahun berjumlah 95 dari seribu penduduk; sementara bunuh diri di kalangan duda di usia yang sama berjumlah 153. Maka hubungan 153/95 memberi koefisien persevasi sebesar 1,61. Sementara perempuan untuk kategori yang sama  koefisiennya 1,46.  Maka jika dibandingkan koefisien-koefisien ini akan ditemukan keajegan (reliabilitas) bahwa dimanapun negara-negara eropa – daerah yang menjadi riset Durkheim – dapat disimpulkan jomblo atau hidup menyendiri memempunyai resultante bunuh diri yang lebih tinggi daripada mereka yang menikah; dan jomblo pria adalah paling rentan bunuh diri daripada wanita. 

Nah, sekali lagi, ini cara Durkhiem mengkategorikan bunuh diri sebagai fakta sosial: bunuh diri adalah fakta social. Bukan fakta psikologi.  Menggunakan cara perhitungan  yang sama terhadap realitas penganut agama. Bahwa penganut Protestan lebih mempunyai resultante lebih tinggi  terhadap bunuh diri dibandingkan panganut agama Katolik dan Yahudi.   

Disini, sebutlah keluarga dan agama sebagai  variable independen untuk menjelaskan bunuh diri sebagai variable dependen.  Penjelasannya  keluarga dan agama merupakan  kelompok sosial yang ‘membetot’ orang untuk melakukan ini atau itu, bahkan (memaksa) melakukan bunuh diri. Dalam  kasus penelitian di atas  hidup menjomblo lebih rentan  terhadap bunuh diri daripada mereka yang berkeluarga secara normal; duda lebih rentan bunuh diri ketimbang janda;   dan, kalangan  Protestan  lebih rentan melakukan bunuh diri dibandingkan kalangan Katolik dan  kalangan Yahudi. Apa yang dapat disimpulkan? Angka bunuh diri cenderung terjadi pada ikatan kelompok social yang longgar: ikatan social di kalangan Katolik lebih solid ketimbang ikatan social di kalangan pemeluk Protestasn,  dan tentu orang-orang yang hidup sendiri (khususnya duda) tidak mempunyai ikatan social dibanding mereka yang mempunyai  istri dan anak.

Ini  baru satu hal tentang kategori bunuh diri. Bunuh diri semacam itu disebutnhya sebagai “bunuh diri egoistik”. Bunuh diri jenis egoinstik  terjadi ketika solidaritas melonggar.  Ada kontrasya, yaitu : jika solidaritas social semakin ketat pun akan  lebih rentan bunuh diri. Jenis bunuh diri dalam ikatan social yang sangat ketat ini disebut sebagai “bunuh diri altruistik”. Fenomena ini terjadi pada masyarakat Jepang.

 

 

 

Durkheim melacaknya pada pergeseran sruktur sosial  yang terjadi pada pengelompokan.    di dalam  gejala solidaritas sosial. Dan, solidaritas sosial karena masuk kategori fakta sosial  harus pula dijelaskan oleh fakta sosial lain pula. Gejala  solidaritas sosial  ini dijelaskan dengan pembagian kerja. Kalau diformulasikan melalui skema  sederhana sebagai berikut :  

Pembagian kerja à solidaritas sosial à gejala bunuh diri. Proses sebab akibat ini bisa tak berujung.

 

 

Kambali kepada ikhwal ciri-ciri  fakta sosial di atas, kita tidak lagi perlu diskusi yang material karena ia cukup jelas, kita kembali pada yang  non-material, yang intersubyektif  yaitu  kesadaran yang dialami oleh sebuah komunitas.

 

Dalam karya magnum opus-nya Suicide Durkheim menjelaskan bahwa bunuh diri secara meyakinkan termasuk kategori sebuah fakta sosial, oleh karena itu secara meyakinkan pula dicari variable untuk menjelaskannya dari fakta sosial pula. Lihat penjelasnnya pada Anthony Giddens.

 

 

Merujuk Ritzer (1986) paling tidak terdapat empat varian teori yang berada dibawah payung paradigma Fakta Sosial ini:

Ø  teori system,

Ø  teori struktural fungsional,

Ø  teori konflik, dan

Ø  teori sosiologi makro.

 Dari empat varian ini yang dominan adalah teori struktural fungsional dan teori konflik. Yang dimaksud ‘dominan’ adalah dua teori lainnya -- teori system dan teori sosiologi makro --   acapkali menggunakan/meminjam salah satu dari dua teori yang dominan itu. Tepatnya, teori system, misalnya lebih akrab dengan teori structural fungsional, semantara teori sosiologi makro biasa meminjal teori konflik, meskipun tidak selalu demikian (tetapi hanya kelaziman saja).

Apa isu sentral yang mendasari kedua teori dominan ini ?  Dan, dalam elaborasi atas pertanyaan ini kita akan melihat secara jelas pengaruh payung peran paradigma fakta sosial. Yang mendasari pertanyaan itu adalah sebuah realitas  mendasar tentang adanya keteraturan dalam masyarakat: bagaimana mungkin sebuah masyarkat ini eksis ? Tepatnya, how is society possible ?

 

 

 

 

 (Ritzer:18). Bedakan fakta sosil dengan fakta psikologi: fakta sosial hanya dapat dijelaskan dengan fakta psiologi.

 



* Sutrisno Suki, menyelesaikan S1 hingga S3 dalam  bidang Sosiologi pada Universitas Indonesia. Disertasinya tentang Relasi Kuasa. Sebelum bergabung dengan PTIK pada 2004  ia bekerja sebagai Penanggungjawab Riset bidang Sosiologi pada The International Institute of Islamic Thought – Indonesia, sebuah NGO yang berpusat di Hendorn, Virginia, AS. 
 
[1] . Merujuk pada  situs  plato.stanford.edu diperoleh keterangan sebagai merikut.   Thomas S. Kunh menyelesaikan doktornya dalam bidang fisika di Havard University, risetnya tentang mekanikal kuantum, sebelum akhirnya menekuni ikhwal filsafat ilmu pengetahuan. Tahun 1961 mendapatkan gelar Profesor pada universitas California di Berkeley pada Departemen Filsafat. Tahun 1964  Kuhn meninggalkan Berkeley untuk berkarir sebagai professor filsafat dan sejarah ilmu pengetahuan  pada Princeton University. Kumpulan makalahnya tentang filsafat dan sejarah ilmu pengetahuan dipublikasikan pada tahun 1977.  
   
[2] . Merujuk Wikipedia,  Mastermen adalah mahasiswa kesayangan  Wittgestein (jadi disiplin dasarnya linguistic) di Universitas Cambridge. Lahir di London  pada 1910 dari  ayah dan ibunya  seorang politisi.  
[3] . Istilah perspektif acapkali dipertukarkan dengan teori. Perhatikan di penghujung  elaborasi di bagian bawah memilah  exemplar Fakta Sosial dalam empat teori, cara ini mengikuti George Ritzer.  Pada dasarnya  istilah teori yang disebut Ritzer ini bisa pula disebut  sebagai perspektif, karena logikanya  dalam satu perspektif terdiri dari sejumlah teori. Misalnya, Perspektif Konflik terdiri dari sejumlah teori, diantaranya memuat  teori marx ( teori Marxian), teori Dahrendorf dan lain-lain.  
[4] .Sekedar untuk direnungkan. Konsep mempunyai tingkat gradasi abstraksi yang berbeda-beda. Misalnya, ‘individu’  tentu adalah sebuah konsep, tetapi tingkat abstraksinya dibawah ‘masyarakat’. Kita bisa melihat individu tetapi kita tidak  bisa melihat masyarakat, karena kumpulan orang bukanlah masyarakat.  ‘Stratifikasi sosial’ juga konsep yang tingkat abstraksiya diatas individu tetapi masih dibawah masyarakat. Kita hampir bisa melihat stratififikasi social secara sensual. Kalau kita berada di ketinggian tertentu di wilayah udara Jakarta, segera akan terlihat kontras rumah-rumah kumuh  berhimpitan dengan gedung-gedung dan klaster mewah. Kontras ini gambaras sebuah stratifikasi spasial.  
 
[5] . Bedakan ini dengan suatu yang bersifat barang seperti norma hukum.
 
[6] . Perhatikan kembali diskusi kita minggu lalu utamanya tentang positivisme. Positivism berambisi membangun ilmu social yang ‘integratif”, yaitu menyatukan  metode/pendekatan dalam ilmu social dengan ilmu alam.  Auguste Comte sendiri meskipun sebagai penganut positivism tetapi belum sampai ke tingkat itu, bahkan menurut Durkheim melihatnya masih pada level spekulatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar