Prospek
Reformasi Sektor Keamanan
(Sebuah
Pendekatan Sosiologi Politik)
Jika hari ini sama dengan hari kemarin,
berarti kau merugi
Muhammad
SAW
‘Sektor keamanan’ bukan
terminologi yang difahami secara seragam, utamanya mengenai aktor-aktor keamanan yang terlibat
didalamnya. Tulisan pendek ini membatasi aktor keamanan secara minimalis, hanya
menyangkut militer dan kepolisian, bahkan lebih khusus konsentrtasi pada
institusi kepolisian. Kalau pergeseran format tata kelola sektor keamanan sebagai
bentuk mengadaptasi lingkungan global, lingkungan global ini pada dasarnya
terus bergerak. Artikel pendek ini adalah pembacaan atas bergeraknya lingkungan
global yang memungkinkan ‘menembus’ sektor tata kelola keamanan itu.
Prolog:
Isu Sentral Reformasi Sektor
Keamanan
Pergeseran konstelasi kekuatan pada
tingkat global, yang dimulai dengan bangkrutnya ideologi kiri pada dasawarsa
90-an menjadi isu mendasar bagi reformasi tata kelola keamanan di
Indonesia. Tentu saja secara normatif
pembaruan tata kelola sektor keamanan
ini harus tetap diletakkan dalam bingkai peta besar reformasi. Disinilah persoalannya, justru peta besar ini
nampaknya masih ‘ghoib’ di sepanjang
lebih dari satu dasawarsa ini. Yang membantu untuk membaca peta ‘ghoib’ ini
hanyalah sebuah asumsi dasar tentang paradigma
baru yang menempatkan masyarakat sebagai
asset dalam ikhwal keamanan dan order/keteraturan, masyarakat bukan lagi dilihat sebagai kendala
(obstacle). A Centre for Security Development and The Rule
of Law (DCAF), misalnya, menyebutkan, “security sector reform is based on the
assumption that societies are better off with a security sector that is an
asset, not an obstacle, to peace, security, development and stability”.
Namun demikian tetap sajan di kalangan aktor-aktor
pengendali keamanan -- juga para pengkritiknya -- bekerja keras menafsir barang
‘ghoib’ ini. Tolok ukur yang lebih operasional dalam menafsir asumsi dasar ini
adalah upaya membangun format yang kompatabel antara struktur institusi keamanan dengan demokrasi
dan apa yang terjadi pada skala global. Disini juga mengandung persoalan,
seakan-akan demokrasi berwajah tunggal dan konstelasi global bersifat konstan.[1] Misalnya, gagasan Montesque perihal pemisahan kekuasaan (trias politika)
dipandang sebagai kitab suci dan dibaca secara skriptual. Padahal, dalam
‘laboratorium’ sepuluh tahun lebih reformasi Indonesia memberikan pelajaran
bahwa pil trias politika ini tidak bisa serta merta ditelan bulat-bulat.[2]
Pasalnya semangat pemisahan kekuasaan justru menjadi energi bagi argumentasi
ego sektoral institusi.
Itulah
sebabnya banyak institusi -- bukan sekedar kepolisian -- (merasa) melakukan
yang legal (legalitas) tetapi minus legitimasi. Legalitas adalah ikhwal kesesuaian
antara tindak kekuasaan atas tata aturan main tertulis; legimasi bukan
semata-mata menyangkut aturan main tertulis tetapi respon atas moral universal. Sementara term “reformasi”-pun bukanlah suatu gagasan
yang telah selesai dan utuh. Sekedar mengajukan batasan yang ‘aman’ bagi
definisi term reformasi ini, adalah: sebuah
pencarian format baru dari otoritarian ke arah
tata kelola kehidupan yang demokratis dan beradab. Kalau definisi ini
diterima berarti reformasi merupakan proses yang tidak pendek karena pada dasarnya
menyoal secara terus menerus prinsip-prinsip adaptasi struktur, kultur dan proses institusi atas lingkungan yang berkembang di luarnya.
Secara
analitik paling tidak terdapat dua kondisi yang melatari perlunya reformsi sektor keamanan. Pertama -- dan paling utama --
pergeseran konstelasi kekuatan pada tingkat global, khususnya setelah rontoknya
sejumlah negara-negara berhaluan
(ideologi) kiri. Kedua, menyangkut postur
dan sistem keamanan dalam negeri yang tidak efisien dalam merespon nilai demokrasi.
Disini, di sisi militer, ruang tugasnya yang secara de vacto maupun de jure terlalu gemuk. Kegemukan ruang tugas militer secara
langsung mengganggu ruang kerja sipil
yang menjadi raison de etat format demokrasi[3]. Kegemukan
ruang tugas ini juga mengganggu konsentrasi institusi pada tugas-tugas utamanya
(kemampuan perang, profesionalisme militer). Sementara di sisi institusi kepolisian adalah pada pewarisan
nilai-nilai selama lebih dari 30 tahun dibawah pembinaan militer. Kondisi ini
bukan sekedar pewarisan budaya tetapi juga menyangkut implikasi pada postur,
organisasi, dan hubungan antar subsistem di dalam institusi ini.
Konstelasi
global tahun 90-an menjadi poin yang sangat serius dalam menimbang-ulang tata kelola keamanan nasional. Dalam kerangka Daniel Bell, rontoknya
negara-negara berhaluan ideologi kiri dibaca sebagai The End of Ideology. Padahal Bell menulis bukunya tahun 1960, namun
resonansinya baru terasa secara kuat setelah pecahnya Uni Sovyet pada awal
tahun 90-an itu. Tesis Bell ini tidak sendirian, intelektual kharismatik
Amerika dan Perancis menguatkannya pada saat itu, seperti Martin Seymour Lipset[4]
dan Raymond Aron[5].
Sepuluh tahun kemudian, barangkali melalui Francis Fukuyama[6]
tesis ‘endisme’ ini baru sangat terasa
menguat terjadi di Indonesia. Dalam The
End of History-nya Fukuyama berarti
bangkrutnya ideologi kiri, ini berarti pula aneka dimensi kejahatan mudah
bergerak menembus batas-batas administrasi kekuasaan negara klasik dan
geografis: aktor keamanan menghadapi tantangan kejahatan dengan wajah baru [7].
Jadi,
Fukuyama sebetulnya bukanlah mengintrodusir tesis baru perihal rontoknya
ideologi kiri kaitannya dengan tata kerja internasional (the international order). Yang
baru adalah ‘momen politis’-nya. Posisi sosial Fukuyama pada waktu itu sebagai
Staf Depertemen Luar Negeri Amerika Serikat. Posisi Fukuyama ini dicurigai sebagai
istimewa yang mengantarkan berkelindannya hubungan antara hard
power dengan soft power. Menjadi catatan penting dalam kerangka ini, ketika
Fukuyama menulis The End of History adalah
bersamaan dengan munculnya benih
persoalan yang mengganggu hubugan Rezim Soeharto dengan Amerika Serikat. Hingga
pada tahun 1993 Presiden Bill Clinton mendukung resolusi Komisi Hak Asasi
Manusia PBB yang mengungkapkan kerpihatinan terhadap Rezim Soeharto atas
pelanggaran hak asasi manusia [8]. Menjelang
lima tahun setelah ‘serangan’ delegitimasi
Bill Clinton itu, tahun 1998
Presiden Soeharto ditekan mundur kalangan mahasiswa. Amerika tidak
‘jauh-jauh’ menempati posisi istimewa dalam rangkaian peristiwa jatuhnya rezim
Soeharto. Terminologi yang dapat mewakili peristiwa ini dihubungkannya dengan
pergeseran kepentingan kapital Amerika pada tingkat global: Power in Motion, meminjam Jefery Winters[9].
Signifikansi
Ruh Pendiri Bangsa dan Kematangan Masyarakat Sipil
Terlepas
dari spekulasi tentang seberapa kuat pengaruh global atas pergeseran kekuasaan di tingkat nasional, runtuhnya negara-negara
berideologi kiri secara simultan menguatkan wacana HAM. Ini berarti rezim kekuasaan
tidak bisa lagi main-main terhadap isu hak asasi manusia. Penghargaan terhadap (hak) individu membuncah.
Gagasan ini mendapatkan wadah regulasi-institusionalnya pada konsep human security. Relasi negara dengan masyarakat sipil dalam wacana baru dasawarsa 90-an menggambarkan hubungan jungkat-jungkit
(see-saw): negara mengerut, (hak) individu/publik mengembang. Derivasi wacana human security bukan sekedar menyangkut urusan jaminan atas freedom from fear tetapi juga pada freedom from want. Disinilah dilematika
peran negara pasca reformasi: negara yang (telah) mengkerut secara subtantif menghadapi persoalan
memenuhi tataran peran freedom from want. Demokrasi yang dibaca
melulu pada liberalisasi memang menggairahkan sektor ekonomi, utamanya menggelembungkan sektor privat (swasta)
tetapi, lagi-lagi, konsekwensinya mengerutkan
peran negara. Disinilah proyek lanjutan dari reformasi sektor keamanan. Jadi, pada dasarnya instrumen good governance yang acapkali melekat
dalam proyek reformasi sektor keamanan tidak lain bertujuan memperkuat
kemampuan negara dalam mengemban amanah freedom from want, bukan sekedar freedom
from fear[10].
Pada
sisi lain sulit dalam kondisi semacam di atas menghindari masuknya para pemain sektor
bisnis (interprise) pada ruang-ruang politik. Apa soal dengan realitas ini?
Tidak soal memang dari sisi (prosedural)
demokrasi, namun pada derajat yang cukup serius -- atas nama demokrasi -- tidak ada lagi senjata untuk menangkis
hadirnya ‘kapitalisasi politik’. Istilah ‘kapitalisasi politik’ mengacu pada
pengertian bahwa politik dipandang sebagai komoditas. Politik adalah industri kekuasaan, ia hanya menjadi elemen
kecil dari proses produksi. Pemain
bisnis belakangan mulai menyadari bahwa proses produksi berkembang semakin
kompleks yang harus mamasukan unsur politik , dimana sebelumnya alat-alat
produksi yang menyumbang proses produksi
ini hanya meliputi modal, tenaga kerja, skill, dan informasi. Sektor interprise
menjadi infrastruktur atas suprastruktur politik. Meminjam penuturan Ketua Badan
Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat, Kiki Syahnakri dalam Harian Kompas
17 Januari 2013, “...kapitalisme juga membuka peluang bagi institusi korporasi (termasuk
asing) untuk turut pengatur sistem politik”. Untuk penguatan proposisi ini pada tingkat
global dapat ditemui dalam The
Corporation karya Joel Balkan.[11]
Yang
menjadi persoalan dalam kondisi ini keamanan (baca: situasi aman) bergeser dari public sector ke arah privat sector. Atau, paling tidak dua
sektor ini cenderung menjadi kabur. Mem-blok
separuh jalan untuk acara perkawinan; raung forwider
membuka jalan ditengah keramaian untuk lewatnya
pelaku bisnis; proses atas nenek pencuri kakao atau pencuri sendal jepit
yang kontras dengan melenggangnya sejumlah penjahat birokrasi; dan limbungnya definisi rahasia negara (lihat,
misalnya, undang undang intelejen negara) merupakan gambaran kaburnya –meminjam Emile
Durkheim – apa yang dianggap ‘sakral’
dalam masyarakat. Tantangan utamanya berkenaan
dengan peran negara dalam mewujudkan freedom from want.
Sejumlah
‘terapi’ struktural digelontorkan sepanjang kurang lebih sepuluh tahun setelah
tahun 2000.[12]
Pada prinsipnya ‘terapi’ struktural merupakan
upaya menemukan titik kompatibilitas
antara pembaruan tata kelola keamanan
terhadap pergeseran konstelasi global. Ini dimulai dari keluarnya Tap MPR Nomor VI
dan Tap MPR Nomor VII. Meskipun Tap MPR Nomor VII cenderung mengandung
persoalan aplikabilitas, misalnya khusus menyangkut postur dan fungsi Lembaga
Kepolisian Nasional (Kompolnas). Hemat Penulis, diluar persoalan postur dan
fungsi Lembaga Kepolisian Nasional merupakan issu feri-feral (masalah pinggiran
yang tidak terlalu penting). Misalnya, posisi kepolisian di bawah Presiden, juga
termasuk feri-feral karena struktur ini bukanlah tidak mempunyai keabsyahan (teori)
demokrasi,[13]selain
realitas empirik tidak cukup signifikan mempersoalkan isu semacam ini[14]. Para ‘penyerang’ struktur semacam ini pada
dasarnya sublim dan mudah patah.
Akhirnya
, reformasi sektor keamanan akan lebih signifikan bukan melalui academic
exercise gagasan-gagasan besar yang acapkali spekulatif semacam ini tetapi
pada kekuatan kontrol atas praktik fungsi dan peran yang dimaikan aktor
keamanan sehari-hari. Disini membutuhkan
tingkat kematangan masyarakat sipil itu sendiri untuk memungkinan kuatnya
kontrol secara masiv. Bahkan, faktor (kematangan) masyarakat sipil ini bagi
Juan J. Linz[15],
misalnya, menjadi prasyarat utama bagi konsolidasi demokrasi. Kematangan
masyarakat sipil (sebagi kontrol) ditandai dengan hadirnya bugerlich. Mereka berkumpul dalam
asosiasi-asosiasi non politik tetapi mempunyai kepentingan yang sama,
dan mereka cenderung berani melindungi kepentingannya secara kolektif yang mungkin saja di/terampas negara.[16]
Kekuatan masyarakat sipil melalui
instrumen bugerlich ini
mempersyaratkan ke kondisi sosiologis : kemampuan mengauasan teknologi
‘know how’ organisasi dan menggunakan kecakapan legalitas (hukum). Bugerlich tidak bisa “dipaksakan” tetapi
tentu membutuhkan basis pendidikan yang cukup. Kemudian ‘difasilitasi’ melalui
instrumen-instrumen demokratik, misalnya kebebasan pers, kebebasan berekspresi
dan kebebasan berserikat. Seandainya harus membaca sensitifitas kalangan masyarakat sipil ini, sekali
lagi, ‘agenda’ gerakan sosial mereka
bukan pada topik-topik yang bersifat struktural (misalnya posisi Polri di bawah
Presiden) tetapi pada praktek penegakan hukum sehari-hari.
Demokratisasi
bagaimanapun bukanlah proses short cut, ia
merupakan jalan panjang, terjal dan berliku. Dengan demikian bongkar-pasang
regulasi pada level hulu pun sejauh melalui proses subtantif demokrasi tentu
masih direstui para pendiri bangsa ini. Segala bongkar-pasang ini bertujuan -- melalui
ujaran heroik-- melindungi segenap tanah, tumpah darah bangsa: freedom from fear dan freedom from want. Disini, Bapak Bangsa tujuh puluh tahun lalu secara
implisit sangat sensitif terhadap kemungkinan yang akan terjadi pada komunitas
global.
Kecenderungan
Global “Jilid Tiga”
Untuk
sekedar reflektif, jika hipotesis konstelasi global sebagaimana diurai di atas
memang bisa dipercaya sebagai faktor utama (penentu) pembaruan sektor keamanan,
maka apakah konstelasi global ini bersifat konstan? Tentu, dalam perubahan terdapat
sisi yang bersifat konstan-permanen, ada pula yang berdimensi parsial/elementer
atau tidak permanen. Tidak mudah memisah tegas antara yang subtantif permanen
dengan yang elementer. Namun tanpa pemetaan analitik semacam ini upaya mendialogkan kecenderungan global
dengan kontek lokal menjadi kehilangan arah. Dalam konstelasi global yang terus
bergerak ini pertanyaannya bukan lagi
pada “seberapa demokrasikah demokrasi kita?” Pertanyaan semacam ini
sudah ‘ketinggalan kereta’ karena nampaknya dalam kecenderungan wacana politik
global ini lebih kuat emosi kolektifisme
ketimbang rasionalitas ekonomi. Rasionalitas ekonomi yang disokong tata kelola global sejak tahun 90-an mengedepankan
serba tembus pasar: term ‘globalisasi’ disini berarti serba tembus itu sendiri.
Maka pertanyaan yang relefan diajukan adalah, “bagaimana kita dalam praktek
demokrasi yang bergerak di level global itu?”
Kecenderungan
dua tahun belakangan sejumlah negara yang baru saja menyelesaikan hajat pesta
demokrasi pemilu ditengarai dimenangkan oleh rezim kapitalisme negara (state kapitalism). Semangat global
kepitalisme negara diam-diam tetapi pasti mulai merambah ke sejumlah negara. Tiongkok
menjadi ilustrasi exemplar, kemudian
diadopsi oleh negara-negara kawasan Asia Tenggara dan India. Kekalahan rezim
Gandhi atas BJP berarti kemenangan semangat ultranasionalis;
di Thailand, menguatnya sentimen nasionalisme setelah mengalami kriris
demokrasi; begitu pula Vietnam, Myanmar, Kamboja yang sejak ‘dini hari’ meniru
kapitalisme negara ala Tiongkok. Indonesia dari sisi (pandangan) masyarakat
juga ternyata terdapat kecenderungan sama, paling tidak jika merujuk polling Kompas, 12 mei 2014. Salah satu
pertanyaan yang diajukan dalam polling ini, “Lebih baik atau burukah mengenai
solidaritas sosial sebangsa di lingkungan Anda saat ini dibandingkan masa awal
reformasi?” Dari 685 responden yang
diambil secara acak di sejujmlah kota besar,
36,5 persen berpendapat lebih baik; 34,2 menjawab sama baik; 10,7
persen sama buruk; dan 18 persen
menjawab lebih buruk
Maka, apa relefansi pergeseran wacana global
ini dengan tata kelola keamanan,
sebagaimana tesis dasar artikel pendek ini? Prinsipnya dalam menguatnya
kecenderungan global yang mengarah pada kapitalisme negara -- sebagaimana
dipraktikan Tiongkok -- berarti
melumernya norma ‘ketembuspandangan’ karena lebih state-cenris. Atau, meredupnya wacana “pasar bebas”. Lantas, apa hubungannya dengan fungsi dan
peran serta postur aktor keamanan ? Ini bukan pertanyaan yang instan untuk
dijawab. Yang jelas, fungsi, peran dan
postur aktor keamanan Indonesia yang didiskusikan selama hampir sepuluh tahun pada
dasarnya adalah dalam merespon faktor global, justru hari ini menghadapi faktor
global “jilid tiga”. Dalam menguatnya kapitalisme negara posisi moral tindakan
berbasis nasionalisme akan semakin tegas.
Paling tidak barangkali logika hubungan subsidi BBM dengan penyelundupan
BBM ke luar negeri menjadi jelas posisi
moralnya. Pada paruh pemerintahan SBY
urung memberi subsidi BBM agar harganya tetap murah, salah satunya khawatir
terhadap maraknya penyelundupan kel Malaysia, padahal adalah tugas aktor
keamanan untuk menagkap penyelundup.
Penutup:
Dua
Aras dalam Prospek Reformasi Sektor Keamanan
Reformasi sektor keamanan (cq. kepolisian) -- Sebagaimana
penegasan di atas-- hanya imbas bola salju yang bergerak dari proyek demokratisasi pada
sektor sosial politik. Arah design-nya
adalah aktor keamanan ini tidak
lagi mendefinisikan realitas perihal apa yang disebut sebagai “aman” secara jumawa-mandiri
(Undang Undang Penanggulangan Konflik Sosial). Aktor keamanan ini berada dibawah kontrol aktor politik yang
secara prinsip (bisa) dievaluasi secara
reguler. Maka, masa depan proyek
reformasi sektor keamanan ini bergantung pada dua aras, supra dan infra
struktur politik ini.
Pertama, aras yang mengawaki supra-struktur politik. Pembacaan pada awak
supra strukutur politik ini untuk pemprediksi percepatan proyek reformasi
keamanan pada jangka pendek hingga menengah-awal, atau dua sampai lima tahun. Aneke
Osse menguatkan proposisi ini, “...pemerintah
yang demokratis lebih penting bagi reformasi kepolisian daripada reformasi
kepolisian untuk pemerintah yang demokratis”[17].
Kalau polling harian Kompas[18]
bisa dijadikan indikasi, maka kualitas percepatan proyek reformasi sektor keamanan
masih harus menempuh jalan terjal. Tetapi poin penting untuk prediksi ini juga
terletak pada aktor eksekutif, lebih khusus siapa Menteri Hukum dan HAM kabinet
mendatang. Kedua, kematangan
infrastruktur sosial. Aras ini untuk membaca prospek reformasi sektor keamanan
jangka menengah dan panjang, lima sampai sepuluh tahun. Taraf burgelich kelas menengah kota amat penting untuk
membaca kondisi ini
Dalam
kalkulasi jangka pendek dan menengah-awal, percepatan proyek
reformasi sektor keamanan sangat bergantung pada kualitas kemenangan
rezim yang mengawaki supra-struktur politik. Kualitas proses kemenangan
rezim pada supra struktur politik ini paralel dengan kualitas demokrasi itu
sendiri. Energi bagi reformasi sektor keamanan bergantung pada kualitas proses
pemenangan dalam Pileg dan Pilpres itu. Awak supra-struktur politik yang belepotan dosa dalam proses pemenangan,
dosa politik ini akan terus terbawa dalam perilaku kekuasaan yang membelenggu
reformasi. Ini tentu kontra produksi dengan demokrasi, cq. reformasi sektor
keamanan. Misalnya, secara keberanian teknis menentukan zaken kabinet sebagai
elemen sistem presidensial berpengaruh secara langsung pada reformasi di tubuh
aktor keamanan ini. Sementara pada sisi regulasi institusi kepolisian Pekerjaan Rumah paling mendasar jangka pendek
hingga menengah-awal adalah penyelesaian revisi Undang Undang Nomor 2/2002.
Revisi ini mengepaskan (kompatibel) struktur, sistem, postur kepolisian terhadap
tekstur konstelasi ancaman keamanan tanpa
abai terhadap nilai demokrasi. Hemat Penulis, perlemen nanti akan memberikan
bobot serius pada sisi pengawasan eksternal institusi kepolisian ini ketimbang
isu lain. Tentu, selain sangat
penting prediksi ini dialamatkan pada
yang mengawaki Menteri Hukum dan HAM. Upaya
kompatibilitas semacam ini secara
sekaligus hendak manggapai perubahan kultur di lingkungan Polri. Perubahan
kultur (dan mindset) tidak bisa dilakukan dengan nasehat-nasehat moral,
mengundang Mario Teguh, atau pengajian.
DAFTAR PUSTAKA
Aron, Raymond.1962.The Opium of The Intellectuals,
Norton, New York.
Asshidiqie, Jimly.2006. Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Konstitusi
Press, Jakarta.
Bakan, Joel.2002.The Corporation, terj. Sri
IsnaniHusnayati, PT. Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Baldwin, Robert dan Richard Kinsey.2002. Police, Power and Politics;
Kewenangan
Polisi
dan Politik, terj. Kunarto, Cipta
Manunggal, Jakarta.
Ball,
Nicole.2000. Good Practices in Security Sector Reform, Herbert Wulf (edt.),
Security Sector Reform, Berlin.
Beentham, David & Kevin Boyle.1995. Introducing Democracy; 80 Questions and
Answers, United Nations Educational, Scientific Cultural
Organization
(UNESCO), Paris, France.
Chandhoke, Neera. 1995. State and Civil Society, Sage
Publication, New Delhi, India.
Dahrendorf, Ralf.1985. Law and Order, Westview Press,
Colorado.
Dhakidae, Dhaniel.2003. Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde
Baru,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Djamin, Awaloedin et all.2006. Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia,
(Tanpa Penerbit).
Fukuyama, Francis.2005. Memperkuat Negara, terj. Zaim
Rofiqi, Gramedia, Jakarta.
Fukuyama, Francis.2000. The Great Disruption, terj. Ruslani,
Qalam, Yogyakarta.
Fukuyama, Francis.1992. The End of History and The Last Man, Hamish Hamilton,
London.
George, Vic dan Paul Wilding.1992. Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat,
terj.
Pustaka Utama,
Grafiti, Jakarta.
Held, David.1995. Demokrasi & Tatanan Global; Dari Negara
Modern hingga
Pemerintahan Kosmopolitan, terj. Terj.Damanhuri,
Pustaka Pelajar, Jakarta.
Held, David..2006. Models of Democracy, Polity Press,
Malden, USA
Herberle, R.1951. Social Movements; In Introduction to
Political Sociology, New
York.
Linz, Juan J. et al.2001. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat,
terj. Rahmani Astuti,
Mizan Media Utama
O’Donnel, Guillermo, at
al.1993. Transisi Menuju Demokasi; Tinjauan Berbagai
Perspektif, LP3ES, Jakarta.
Osse, Anneke.2006. Memahami Pemolisian, Rinam
Antartika, Jakarta.
Winters, Jefrey .1996. Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State,
Cornell University Press.
http://www.economist.com/node/21564235
* Sutrisno Suki, Doktor Sosiologi
Universitas Indonesia, bergabung dengan PTIK sejak 2004 sembari mengajar di Universitas Paramadina. Sebelumnya,
Penanggungjawab Depertemen Sosiologi pada The
International Institute of Islamic Thought- Indonesia, sebuah lembaga non
pemerintah berpusat di Hendorn- Virginia, AS; Dan, Kordinator Kajian Filsafat
untuk Peradaban (KAFARAD).
[1] . Padahal,
yang menjadi entry poin tulisan
pendek ini bahwa konstelasi global itu bergerak terus. Menarik pada tataran pertarungan gagasan,
cendikiawan yang menampilkan demokrasi kontekstual melalui penggalian
nilai-nilai Pancasila seperti berteriak di padang pasir. Gagasan demokrasi
kontekstual ini layu sebelum berkembang
sebagaimana dasawarsa 80-an melalui
Damarjati Supajar, seorang filsuf Jawa dari UGM.
PascaReformasi, Konstitusi Press, Jakarta.
[3] . Ketika
terminologi ‘keamanan’ diperbincangkan pada semangat zaman semacam ini, maka
kemudian disusul perseteruan verbal antara ‘keamanan negara’ dengan ‘keamanan
individu/publik’. Atau antara “k” besar dengan “k” kecil. Perseteruan verbal
ini bukan perebutan pepesan kosong antara sejumlah aktor-aktor keamanan, tetapi
menyangkut isi otoritas di dalamnya.
[4] .
Seymour Martin Lipset.1960. Political Man,
Heinemann, London.
[5] .
Raymond Aron.1962.The Opium of The
Intellectuals, Norton, New York.
[6] .
Francis Fukuyama.1992. The End of History and The Last Man, Hamish
Hamilton, London.
[7] . Tantangan
dalam wajah baru ini untuk menganalogikan-terbalik dalam dunia pewayangan, bahwa distingsi karakter baik dan karakter jahat tidak semudah performen fisik yang
ditampilkannya. Sehingga untuk tidak kehilangan subtstansi kebenaran yang
koheren (perihal demokrasi, misalnya)
akan sulit menghindari wacana “demokrasi epistemologik”, padahal justru
wacana semacam ini cenderung tidak laku karena kehilangan aspek entertain atau
aspek ke-publik-an. Publik semakin menjauh dari kebenaran subtantif.
[8] . Lihat misalnya, http://www.globalmuslim.web.id/2011/05
.
[9] . Jefrey Winters.1996. Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State, Cornell University Press.
[10] .
Periksa misalnya Nicole Ball, Good
Practices in Security Sector Reform, Herbert Wulf (edt.), Security Sector
Reform, Berlin, 2000.
[11] . Buku
ini berasal dari disertasi Joel Balkan
pada Colombia University. Versi Indonesia diterbitkan melalui Penerbit
Airlangga dengan anak judul ‘Pengejaran
Patologis Terhadap Harta Dan Tahta’.
[12] .
Dipenghujung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, hemat Penulis separuh
regulasi penting digelontorkan menutup bolong-bolong kompatibitas demokrasi.
Misalnya, Undang Undang Intelejen Negara,
Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial, Penguatan Dewan Perss.
[13] . Bahwa
prinsipnya institusi pemegang senjata (militer dan kepolisian) berada dibawah
otoritas sipil yang secara reguler bisa dievaluasi. Kepolisian yang langsung di
bawah Presiden telah memenuhi standar ini. Kalangan yang menyerang struktur
semacam ini mengkhawatirkan politisasi
atas institusi kepolisian, padahal di bawah apapun peluang politisasi itu tetap
sama, belum lagi menyoal ‘ongkos’ proses pengalihan itu, baik berupa
infrastruktur maupun suprastruktur.
[14] . Secara
metodologik harus dibedakan antara “masalah sosial (sosial-politik)” dengan “masalah
sosiologik” atas realitas posisi Polri
di bawah Presiden ini. “Masalah sosial
(sosial-politik)” adalah realitas interaksi yang menjadi persoalan (=moral
politik) sebagai konsekwensi dari posisi Polri di bawah Presiden; “masalah sosiologik” adalah exercise
akademisi mengenai posisi Polri di bawah Presiden.
[15] . Juan
J. Linz, et al.2001. Menjauhi Demokrasi
Kaum Penjahat, terj. Rahmani Astuti,
Mizan Media Utama, Bandung, hal. 40 – 45.
[16] . Sekedar
ilustrasi, dalam sebuah birokrasi korup
aktor birokrat tidak lagi takut atau khawatir terhadap sub/lembaga
kontrol negara (internal maupun eksternal) atas dosa-dosa yang dilakukannya,
justru yang di-ngeri-kan jika
‘tercium’ kalangan pers atau kalangan masyarakat sipil.
[18] . Harian
Kompas, 12 mei 2014, Polling ini dilakukan tanggal 7 – 9 mei 2014
terhadap 685 responden secara
acak berusia minimal 17 tahun. Pertanyaan yagn ajukan, “Yakin atau tidakkah Anda,
lembaga berikut mampu memenuhi tuntutan reformasi ?”
Lembaga
|
Tdk
Yakin
|
Yakin
|
|
1
|
Anggota DPRD dan DPD yang terpilih dari pemilu
April 2014
|
70,9
|
22,9
|
2
|
KPK
|
27,3
|
69,3
|
3
|
Lembaga
penegak hukum (Polri, Kejagung, Mahkamah Agung)
|
64,4
|
31,1
|
4
|
Mahasiswa dan gerakan pemuda
|
48,9
|
46,0
|
Parlemen bersama dengan
lembaga penegak hukum menempati posisi yang paling tidak dipercayai masyarakat
dalam mengawal pembaruan, keduanya jauh di bawah KPK dan mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar