Emile Duhrkheim
Sutrisno
Apakah yang
dimaksud Fakta Sosial ?
Yang harus dimengerti
dahulu adalah apakah itu “social”?
Pentingnya pendefinisian konsep social ini adalah untuk memberikan
batasan wilayah kajian sosiologi. Agar tidak tumpang tindih dengan biologi dan
psikologi. Poin penting dalam mendefinisikan konsep ini adalah bahwa perilaku,
fikiran dan perasaan yang menyangkut hal-hal yang berada diluar kesadaran
pribadi, dan ini semua terjadi pada setiap wearga masyarakat. Jadi, misalnya
kalau orang melakukan kontrak bisnis atau kontrak lainnya dengan orang lain,
atau (kewajiban sebagai warga Negara,
maka orang ini melaksanakan tugasnya menurut hokum yang berlaku. Adanya
perasaan ‘memaksa’ untuk berperilaku tertentu menurut hokum dan adat masyarakat
tertentu atas individu adalah menunjukan
adanya realitas obyektif diluar individu. Kalaupun seseorang tidak merasa
terpaksa atau sukarela atas realitas obyektiv yang mengikat tindakannya, tidak
dengan sendirinya menggugurkan realitas obyektiv yang bersifat memaksa itu
sendiri. Karena realitas obyektiv itu diperolehnya melalui pendidikan atasu
sosialisasi.
Dengan demikian fakta
social merujuk pada cirri – ciri tertentu yang berisikan cara berperilaku,
berfikir dan berperasaan yang sifatnya eksternal bagi individu yang didukung
oleh sesuatu kekuatan memaksa. Cara baerfikir dalam kontek ini harus dibedakan
dengan gejala biologis maupun psikologis yang hanya ada dalam kesadaran
pribadi. Cara – cara berfikir dan berperilaku itu merupakan ruang lingkup pokok
sosiologi. Konsep fakta social, dengan
demikian, sumbernya bukanlah manusia pribadi, tetapi masyarakat. Misalnya
masyarakat politik, atau kelompok kelompok yang menjadi bagian dari
masyaarakat.
Ringkasan. Suatu fakta social merupakan setiap cara berperilaku, baik yang tetap
maupun tidak, yang mampu memberikan tekanan eksternal pada individu, atau,
setiap cara bertingkah laku yang umum dalam suatau masyarakat , yang pada waktu
yang bersamaan tidak tergantung pada manivestasi individualnya.
Aturan – Aturan untuk Mengobservasi
Fakta Sosial
Sebelum fisika dan kimia menjadi
ilmu, manusia telah mempunyai pengertian tertentu mengenai gejala
fisiko-kimiawi. Ini artinya, gejala baru untuk masuk pada ruang lingkup ilmu
pengetahuan, lazimnya gejala tersebut harus sudah ada dalam fikiran dalam
bentuk persepsi atau konsep-konsep kasar. Atau, refleksi dan fikiran timbul
sebelum munculnya suatu ilmu tertentu. Ilmu
pengetahuan berproses dari gagasan ke sesuatu hal, bukandari suatu hal ke
gagasan. Jika orang cenderung menganalisis gagasan-gagasan daripada mengadakan
pengamatan, melukiskan, dan membandingkan suatu hal yang merupakan
kenyataan, hasilnya merupakan suatu
analisis ideologis. Ini yang harus dihindari, karena metode semacam semacam ini
tidak menghasilkan suatu yang bersifat obyektif. Dengan sekedar pengembangan
gagasan-gagasan tidak pernah dapat mengungkapkan hukum- hukum kenyataan. Cara
tersebut biasanya dipakai kalangan filsuf. Misalnya, teori etika terbatas pada
pembahasan gagasan mengenai kewajiban, apa yang baik dan apa yang benar.
Spekulasi abstrak ini bukan suatu suatu ilmu pengetahuan. Karena penentuannya
bukan aturan moralitas faktual, tetapi hanya pada apa yang seharusnya.
Gejala sosial harus difahami sebagai
suatu yang bereda dengan gambarannya dalam fikiran. Gejala ini harus dipelajari
sebagai suatu hal yang bersifat eksternal. Wlupun gejala sosial tidk mempunyai
ciri – ciri instrinsik namun gejal itu harus ditangani sebagaimana memahami
suatu hal. Ciri kesukarelaan suatu perilaku tidak boleh diasumsikan sebelumnya.
Ini penting sebagai kerangka bahwa obyek sosiologi tidaklan sebagaimana yang
digeluti psikologi. Seperti yang dikerjakan Comte dan
Spencer bahwa fakta sosial merupakan fakta alamiah. Bagi sosiologi bagaimana meninggalkan tahap
subyektif menuju tahap obyektif menjadi perhatian sentral.
Pertama sekali yang menjadi dasar metode
ilmiah adalah harus menghapuskan semua prakonsepsi. Seperti pada Descrates,
bila ia memutuskan untuk mempermasalahkan semua gagasan yang pernah
diterimanya, hal ini teradi karena ia ingin menggunakan konsep-konsep yang
dikembangkan secara ilmiah belaka. Yaitu konsep yang
dikonstruksikan sesuai dengan metode yang disusunnya sendiri. Ini mengisyaratakan seorang sosiolog harus, baik waktu menentukan
tujuan penelitian atau menjelaskan pembuktiannya, meniadakan penggunaan konsep
konsep yang berasal dari sumber diluar ilmu pengetahuan bagi kebutuhan yang
tidak bersifat ilmiah.
Selanjutnya penelitian ilmiah
tertuju pada gejala (social) terbatas, yang tercakup pada definisi yang ketat. “the subject matter of
research must only include of group of fenomena defined beforhand by certain
common external carracteristic and all phenomena which correspond to this
definition must be so included”
(Hal. 75). Pada
tahap ini adalah memberikan batasan pada suatu hal yang ditanganinya. Ini
penting untuk pembuktian dan verifikasi. Suatu teori hanya dapat diperiksa
kalau diketahui bagaimana mengetahui fakta yang hendak diteliti. Agar suatu
definisi bersifat obyektif, maka batasan ini harus mencakkup suatu gejala,
bukan sebagai gagasan. Definisi ini juga harus memberi karakteristik atas dasar
unsur-usur esensial secara hakiki.
Berikutnya, cara kerja sosiologi
hampir selalu menghasilkan pola klasifikasi. Pola klasifikasi ini tidak
tergantung pada fikirannya, namun pada hakekat suatu hal itu sendiri. Fakta
atau realitas (temuan)-lah yang membimbing sendirinyanya menemukan pola
klasifikasi. Hal ini diperoleh setelah seorang sosiolog mempunyai dasar yang
kuat dalam realitas. Misalnya, dalam membuat
klasifikasi terhadap berbagai jenis kejahatan, seorang sosiolog harus berusaha
mengkonstruksi cara hidup dan adat istiadat dalam berbagai lingkungan kehidupan
orang jahat
Aturan –
Aturan dalam Menjelaskan Fakta Sosial
Kebanyakan sosiolog menganggap telah
memahami gejala setelah mereka membuktikan kegunaannya dan peranan yang
dimainkannya. Seolah- oleh fakta itu ada karena ada peranannya. Auguste Comte,
misalnya, menelusuri semua kekuatan progresiv jenis mahluk hidup yang secara
fondamental mendorong manusia untuk mengembangkan keadaan dalam segala situasi.
Sementara Spencer menghubungkan kekuatan itu dengan
kebutuhan untuk hidup lebih bahagia. Spencer menghubungkan prinsip itu dengan
penjelasan mengenai pembentukan masyarakat sebagai hasil kerja sama; dan
lembaga pemerintahan sebagai kegunaan regulasi kerja sama.
Terdapat kerancuan dalam metode
tersebut, karena ada dua masalah yang berbeda. Untuk menunjukan kegunaan suatu
fakta, bukanlah dengan cara menjelaskan asal mulanya atau sebab timbulnya.
Kegunaannya merupakan suatu indikasi karakteristik hal itu; bukan kegunaan yang
menciptakannya. Gagasan mengenai kegunaannya memang dapat memotivasi manusia
untuk menggerakkan kekuatan (mengidentifikasi efek karakteristiknya); akan
tetapi tidak untuk menimbulkan efek itu dari hal yang tidak ada. Jadi,
misalnya untuk menimbulkan solidaritas
yang melemah tidak cukup hanya dengan menyadari manfaat hidup kekeluargaan.
Dalam memberikan wewenang yang diperlukan kepada pemerintah tidak cukup hanya
didasarkan atas kebutuhan akan wewenagn itu. Yang
diperlukan adalah pembentukan tradisi, semangat bersama dan seterusnya,
sosiolog harus menelusur kearah ini.
Jadi
untuk menjelaskan fakta social tidak cukup hanya dengan mengidentifikasi
penyebabnya. Yang harus dicari dalam penjelasan adalah penyebabnya yang efisien
yang menyebabkan timbulnya, dan fungsi yang dipenuhinya. Istilah “fungsi” lebih
disukai ketimbang istilah “tujuan”, karena gejala social bukanlah disebabkan
oleh hasil-hasilnya yang berguna. Tapi, sekali lagi, pada fungsi yang
dipenuhinya. Misalnya, reaksi social
yang dinamakan hukuman ditimbulkan oleh intensitas perasaan kolektif yang
dilanggar oleh suatu keahatan; tapi dari sudut lain hal itu mempunyai fungsi
untuk memelihara perasaan itu. Perasaan kolektif itu akan hilang kalau
pelanggar tidak dihukum, atau tidak ada pelanggaran. Dari kontek ini maka seuah fakta social dijelaskan oleh fakta social
yang lain. “The function of a social
fact ought always to be sought in its
relation to some social end ”.
Tugas
sosiolog adalah menemukan berbagai aspek lingkungan yang dapat mempengaruhi
gejala social. Terdapat dua perangkat fakta yang memenuhi syarat itu. Yaitu; a)
jumlah unit social atau besarnya masyarakat,
dan b) taraf konsentrasi kelompok atau kepadatan dinamis.