Paradigma Keteraturan
Sumber: Wiliam D. Perdue.1986. Sociological Theory, Mayfield
Publishing Company, California, Caphter 3, 5, 6, 7, 8.
Paradigma Keteraturan
Mempelajari pemikiran
filosof atau sosiolog melalui pandangannya tentang manusia dan masyarakat
merupakan cara yang strategis untuk memahami keutuhan pengembangan teori
selanjutnya. Pandangan dasar tentang manusia dan masyarakat ini merupakan dasar persoalan paradigma dimana
akan menjadi pijakan pengembangan teori. Teori dibangun dari interelasi logis atas
sejumlah konsep, sehingga merupakan gambaran yang utuh tentang seperangkat
gagasan. Teori yang baik, menurut Perdue akan memberikan makna pada realitas
kehidupan sosial dan menjadi pembimbing (guides) untuk melakukan penelitian
empiris.
Sejumlah
sosiolog dan filosof pada pembahasan ini
diarahkan untuk menjawab persoalan besar; bagaimana sebuah masyarakat itu
mungkin? Bagaimana sekelompok orang
melakukan panataan atas dirinya? Mengapa dan bagimana mereka membangun
institusi?
Thomas Hobbes (1588 – 1679)
Filosof
politik dari Inggris ini besar dalam
lingkungan sistem merkantilis. Karyanya yang gemilang The Leviathan dipublikasikan tahun 1651, dua tahun setelah kematian
Raja Charles I. Tiga persoalan untuk memahami The Leviathan. Pertama, pemahaman Hobbes tentang eksistensi, kedua
tentang kehidupan manusia sebagai sebuah entitas tersendiri, dan ketiga pada
kesejahteraan (commonwealth).
Manusia
pada pokoknya mempunyai naluri; keinginan, hasrat, nafsu yang dapat dikemas
pada konsep kepentingan pribadi (self-interest) sebagai sebuah pertimbangan
dalam susunan dan kehidupan sosial. Tarik menarik kepentingan pribadi ini yang
akhirnya mewarnai corak moralitas. Dalam keadaan sebelum ada negara, Hobbes
menyebutnya sebagai ‘keadaan alamiah’, konflik kepentingan itu terjadi tanpa
pengendalian atau wasit. Setiap orang memperjuangkan keinginan egoistiknya
masing-masing, bellum omnium contra omnes[1]. Dalam konteks
inilah negara diperlukan sebagai pengendali konflik kepentingan yang berangkat
dari naluri pribadi. Kepentingan pribadi bukan barang haram karena ia merupakan
naluri mempertahankan diri. Dimasa ketika negara telah hadir namun dalam perjalanan ia kehilangan
pengendalian atas tarik menarik kepentingan pribadi yang terjadi
anarkhi, yaitu kondisi ‘lowlewss state’. Dengan demikian dapat dibaca bahwa
eksistensi negara adalah sebuah bentuk naluri mempertahankan diri juga ! konsekwensinmya kemerdekaan pribadi bagi Hobbes tidak pernah ada, karena
kebahagiaan manusia harus diletakkan pada sosok negara[2].
Gagasan
Hobbes teersebut jelas kelihatan dipengaruhi rasionalisme abad tujuhbelas;
kesejahteraan dan segala tatanan (norma) tidak datang dari Tuhan, tetapi
berasal pada rekayasa rasional sains.
Plato (427 SM – 347 SM)
Kondisi
sosial yang mempengaruhi Plato adalah peperangan Sparta-Athena, posisinya dalam
kelas sosial, dan gurunya, Socrates, utamanya pada menjelang kematiannya.
Dalam
Republik Plato menggambarkan bentuk masyarakat atau
organisasi sosial ideal. Diantaranya, ada bentuk negasi. Bahwa mekanisme yang
tidak memberi ruang bagi lahirnya ahli (pemikir atau filosof) dalam masalah
politik dan dalam membuat keputusan hukum. Dengan dasar alasan itu Plato tidak
mempercayai demokrasi. Pada sisi lain, aristokrasi oligarki pada sistem
pemerintahan Sparta juga tidak mampu mengerem kekejaman yang tak bermoral.
Gagasan tentang
masyarakat ideal (polis ideal) merujuk pada gurunya, Socrates tentang asal mula
polis. Bahwa manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri secara
perorangan. Karenanya berkumpul dalam suatu komunitas, dimana individu –
individu saling membantu untuk memuaskan kebutuhan. Jadi, polis adalah
komunitas manusia yang telah menetap yang fungsi ekonomisnya dibeda-bedakan dan
dikhususkan agar kebutuhan anggota masyarakat tersebut dapat dipenuhi [3].
Disini Plato dituduh sebagai kolektivist dan otoritarian. Tuduhan ini agaknya
lemah karena belakangan gagasan tentang
masyarakat ideal tersebut mempunyai afinitas dengan teori masyarakat
fungsional. Plato pimikir paling awal yang memperjuangkan kesempatan tentang
kesamaan (inkulusi) . Dalam Republik, wisdom
-- kebijaksanaan tentang keadilan --
adalah nilai yang paling dijunjung
tinggi.
Konsep Tatanan (Keteraturan) dalam Ilmu Kemanusiaan:
Positivisme dan Fungsionalisme
Terdapat
dua model asumsi tentang keteraturan sosial; asumsi positivisme dan asumsi
fungsionalisme. Pada positivisme dipercayai dalam hubungan sosial hingga pada
keteraturannya terdapat hukum yang bermain di dalamnya, sebagaimana hukum-hukum
dalam fisika dan biologi; realitas sosial dapat dikontrol dan diprediksi. Dalam
penuturan Comte, a general principle to
wich all aplicable cases must conform. Positivisme pada sosiologi adalah
dengan penerapan model ilmu alam dalam pendekatannya. Keteraturan sosial dicari
dari hukum-hukum yang disebut sebagai variabel hingga membangun sebuah pola.
Auguste Comte
dalam The Positive Philosophi mengelaborasi mengapa wanita dalam posisi
tersubordinasi dalam kehidupan sosial.
Subordinasi wanita adalah faktor alamiah, wanita secara mental dan biologis dipandang
tidak pas untuk pekerjaan luar rumah. Ini kondisi Eropa pada pertengahan abad
sembilanbelas.
Pada paradigma
fungsionalis, posisi subordinasi wanita ini dilihat dari sisi “fungsi”-nya pada
sistem keluarga. Jadi fungsionalisme
menekankan kehidupan sosial yang didalamnya ada norma, kebiasaan dan
seperangkat aturan lain yang membingkai perilaku, yang disebut struktur sosial.
Emile Durkheim melihat posisi wanita pada pertengahan abad sembilanbelas itu sebagai ‘fungsional’ –
bukan konsekwensi biologis; penting sebagai bagian dari pembagian kerja.
Kritik terhadap
fungsionalis terletak pada posisinya yang konservatif. Kalau ia menyebut
“fungsi”, misalnya, pertanyaannya fungsi untuk apa atau siapa ? Jawabannhya pada status quo.
Berikut ini
Perdue mengabstraksikan asumsi Paradigma Keteraturan dan tipe ideal yang
digunakan pada asumsi
Elemen Paradigma
|
Asumsi
|
Tipe Ideal
|
Gambaran tentang Kehidupan
Manusia
|
Rasional (tindakan mempunyai
penjelasan), kepentingan pribadi, ketidak-samaan setiap individu
|
‘Hukum Alam’ dari Hobbes
Republic Plato.
|
Gambaran tentang Masyarakat
|
Kohesi, integrasi, konsensus,
self-koreksi, ketaksamaan sosial
|
Republic Plato.
|
Gambaran tentang Ilmu
|
Sistematik, positiv, empiris,
kuantitatif, prediktiv
|
Positivisme Comte,
Fungsionalisme Durkheim
|
Fungsionalisme;
Emile Durkheim dan Ferdinand Tonnies.
Topik
ini mengonsentrasikan pada kondisi dan hubungan – hubungan yang memberikan
kontribusi kohesi sosial, kesaling-hubungan (interdependensi) dan konsensus.
Kemunculan fungsionalisme ini dirangsang sistuasi transisi sosial dari bentuk
komunitas intim (intimate comunity) ke bentuk masyarakat impersonal. Kedua nama
besar penganut fungsionalisme, Durkheim dan Tonnies berusaha menjelaskan gejala
dua pola atau model masyarakat tersebut dan sebab-sebab pergeserannya. Konsep ‘fungsi’ menempati posisi utama dalam
analisa masyarakat. Sebagaimana Aristoteles, fungsi merujuk pada konstribusi
mutlak sebuah bagian (elemen) terhadap keseluruhan (whole). Penganut fungsionalis mempercayai setiap
elemen dalam masyarakat yang eksistens mempunyai kontribusi terbadap masyarakat
secara holistik. Sistem strstifikasi memberikan kontribusi pada sistem karir
yang jelas. Adanya perilaku menyimpan (deviant) memberikan kontribusi pada
hidupnya sel-sel kontrol sosial yang mereupakan jejaring integrasi. Bahkan prostitusi
berfungsi melindungi keutuhan keluarga, karena prostitusi merupakan “institusi”
penyaluran hasrat sex yang lepas dari emosional (unemotional sexual involvement).
Emile Durkheim (1858 – 1817). Durkheim
menjadi eksemplar dalam sosiologi fungsionalisme. Fakta Sosial menjadi perhatian utama sepanjang
karyanya. Dalam membandingkan masyarakat sederhana dangan masyarakat komplek,
Durkheim sesungguhnya membandingkan Fakta Sosial yang ada didalamnya. Ketika
membaca munculnya kejahatan atau penyimpangan sosial, konsep yang pas untuk itu
adalah anomie. Anomie inipun sebuah
fakta sosial, kondisi yang melahirkan kejahatan, dilain pihak anomie sendiri
akibat dari suatu sebab fakta sosial yang lain.
Ferdinan Tonnies (1855 – 1936). Konsep Gemeinschaft dan Gesellschaft merupakan
konsep utama dalam menjelaskan dua tipologi pengorganisasian masyarakat. Pada
Gesellchaft, sebuah masyarakat dimana individu dalam bertindak dibimbing dalam
kerangka rasional, dan impersonal,
bentuk hubungan means—to—an--end . misalnya semacam asosiasi profesional bisnis.
Pada Gemeinschaft mempunyai tingkat homogenitas yang tinggi; ikatan-ikatan
suku, kesamaan bahasa ibu. Singkatnya adalah ikatan – ikatan primordial.
Robert K. Merton. Dalam karyanya Social Structur and Anomie (terbit 1938) mempertajam atau malah mungkin merevisi
konsep anomie Durkeim. Anomie tidak semata-mata seperti yang ditulis Durkheim
bahwa anomie sama dengan ‘stagnasi’ hukum dan norma, bagi Merton lebih analitik. Anomie, tepatnya anomie
deviance merupakan hubungan yang tidak
paralel antara tujuan-tujuan budaya dengan sttruktur alat untuk meraih
tujuan.
Keteraturan Politik;
Gaetano Mosca , Vilvredo Pareto dan Robert Michels
Kekuasaan
dan distribusinya marupakan bagian mendasar dalam masyarakat kaitannya dengan
integrasi dan keteraturan. Kalau pada bagian sebelumnya integrasi masyarakat
dibaca sebagai ‘alamiah’ dimana institusi dan norma mempunyai mekanismenya sendiri,
pada bagian ini kekuasaan menjadi bagian yang mendasari integrasi itu.
Kekuasaan adalah elemen integrasi, sebagaimana paradigma ini memahami
masyarakat [4]. Kekuasaan difahami sebagai kemampuan untuk
mengontrol, melakukan tekanan pada organisasi sosial melalui
keputusan-keputusan (decisions). Maka Rulling Class atau kelas yang berkuasa
merupakan kelompok yang memegang kontrol tersebut.
Gaetano Mosca (1858 – 1941). Seluruh
masyarakat memuat perbedaan minoritas yang diperintah (The Rulled Class) dan mayoritas yang
memerintah (The Rulling Class). Sistem politik – semacam sosialisme,
liberalisme dan demokrasi – hanyalah ideologi yang menjadi justifikasi kelas
masyoritas sebagai status quo. Konsensus, kalau itu ada merupakan ilusi. Namun
membandingkan sistem politik yang jelek dari yang terjelek itu Mosca masih
memilih demokrasi dengan alasan sistem ini memberi jaminan secara juridis bagi
warga dengan demikian mudah pula menjadikannya sebagai bagian dari kelas yang
memimpin.
Vilfredo Pareto (1848 – 1923). Pareto
menekankan faktor naluri manusia yang tidak rasional. Memulai teorinya dari
penolakan terhadap Marx tentang peubahan sosial, Marx mendeterminasi faktor
kalkulatif rasional dalam hitung-hitungan ekonomi-material. Padahal ada faktor
non-rasional yang menggerakkan sejarah. Telah menjadi asumsi dasar bahwa
masyarakat didominasi oleh sejumlah kecil elit yang memerintah berdasar
kepentingannya sendiri. Elit ini meengoperasikan kekuasaannya dengan
nor-rasional, dan mendominasi massa rakyat yang nonrasional juga. Berbeda
berseberangan dengan Marx, menurut Pareto karena kapasitas rasional rakyat
terbatas maka mereka tak bisa menjadi kekuatan revolusioner. Proses pergantian
elit manakala terjadi kemerosotan moral dan digantikan elit baru. Elit baru ini
bukan dari kalangan massa rakyat, tapi secara hererki sosial politik ada di
atasnya, dan proses baru dimulai.
Robert Michels (1876 – 1936). Fenomena
oligarki terkait erat dengan perkembangan organisasi dan tidak dapat dihindari.
Meskipun ada konstitusi sebagai model masyarakat demokratis, namun tetap saja
‘hukum besi oligarki’ akan terbentuk karena watak organisasi yang selalu ada monopoli oleh minoritas. Dan
minoritas yang memonopoli ini tidak lain mengopeerasikan organisasi dalam
kerangka melanggengkan kekuasaannya.
Sistematisisme
;
Talcot
Parson dan Emitai Etzioni
Kehidupan
sosial adalah sebuah sistem. Institusi, adat atau kebiasaan, dan aspek
kehidupan sosial yang lain secara dinamik berhubungan dengan elemen-elemen yang
lebih besar dan komplek. Perubahan bada bagian manapun pada elemen sebuah
sistem akan mempengaruhi keseluruhan sistem itu secara gradasi.
Talcot Parsons (1902 – 1979). Parson mengembangkan teori sistem dengan konsentrasi pada ekuilbrium,
masyarakat yang merupakan sistem selalu bergerak menuju ekuilibrium. Ia
kelihatan hati-hati dalam konseptualisasi dan proses penerapannya pada sosiologi,
tidak ingin konsep yang (masih) terlalu abstrak dipakai untuk menganalisa
masyarakat. Pada konseptualisasi sistem sosial adalah konsep pelembagaan yang
mengacu pada pola interaksi antara para aktor menurut kedudukannya
masing-masing yang relaltif stabil. Pola – pola itu diatur secara normatif dan
dipengaruhi oleh pola-pola kebudayaan. Prinsipnya, indikasi proses pembentukan sistem, sejauh interaksi itu telah melembaga maka hal
itu merupakan syarat adanya sistem. Dalam bukunya The Social System, Parson membahas persyaratan-persyaratan sistem,
tepatnya persyaratan untuk pertahan. Yaitu adaptasi, pencapaian tujuan,
integrasi dan latensi.
Emitai Etzioni . keteraturan sosial oleh
Etzioni diidentifikasi melalui tiga bentuk dasar ikatan sosial. Yaitu normativ,
dimana interaksi individu dalam masyarakat melalui proses mekanisme nilai dan
norma. Barangkali jika kita melihat kemungkinan faktor yang mengintegrasikan
Indonesia dalam kontek ini adalah semangat nasionelisme, kebangsaan, sejarah
dan semacamnya. Kedua, utilitarian, interaksi yang bersifat instrumental. Dalam
contoh Inndonesia itu, interaksi elemen bangsa yang bisa menjamin kesejahteraan
ekonomi akan memperkuat integrasi. Ketiga, coersiv, hubungan sosial yang diikat
oleh tekanan kekerasan. Dalam kongtek ilustrasi Indonesia, militer menempati
pisisi pemersatu bangsa.
[1]. Terminologi Latin ini tidak disentuh sama sekali
oleh William Perdue. Padahal, hemat saya konsep ini amat krusial untuk
menangkap gagasan Hobbes mengenai hubungan individu dengan negara.
[2] . Sampai disini Hobbes mempunyai afinitas dengan
Hegel. Bagi Hegel, tanpa menyebut tentang konflik kepentingan yang bersifat
naluriah seperti Hobbes, kebahagiaan individu diperoleh melalui peleburannya dengan negara.
[3]. Hal yang tak disentuh Perdue, dalam pengertian polis semacam ini mengilhami
konseptualisasi kehidupan sosial
berikutnya, seperti konsep “kota”
dalam pengertian besarnya deferennsiasi strukutural kehidupan sosial dan konsep “politik” dalam pengertian
pengelolaan dan distribusi kekuasaan.
[4] .
Masyarakat adalah sebuah sistem yang berada dalam keseimbangan,
sebagai kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung.
‘kekuasaan’, ‘politik’, ‘elit penguasa’ dan sejumlah konsep Mosca dan Pareto
merujuk definisi tersebut adalah bagian-bagian itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar