Senin, 17 Maret 2008

Paradigma Keteraturan



Paradigma Keteraturan
 

Sumber: Wiliam D. Perdue.1986. Sociological Theory, Mayfield Publishing Company, California, Caphter 3, 5, 6, 7, 8.


Paradigma Keteraturan
Mempelajari pemikiran filosof atau sosiolog melalui pandangannya tentang manusia dan masyarakat merupakan cara yang strategis untuk memahami keutuhan pengembangan teori selanjutnya. Pandangan dasar tentang manusia dan masyarakat ini  merupakan dasar persoalan paradigma dimana akan menjadi pijakan pengembangan teori. Teori dibangun dari interelasi logis atas sejumlah konsep, sehingga merupakan gambaran yang utuh tentang seperangkat gagasan. Teori yang baik, menurut Perdue akan memberikan makna pada realitas kehidupan sosial dan menjadi pembimbing (guides) untuk melakukan penelitian empiris.  
Sejumlah sosiolog dan filosof  pada pembahasan ini diarahkan untuk menjawab persoalan besar; bagaimana sebuah masyarakat itu mungkin?  Bagaimana sekelompok orang melakukan panataan atas dirinya? Mengapa dan bagimana mereka membangun institusi?

Thomas Hobbes (1588 – 1679)
            Filosof politik  dari Inggris ini besar dalam lingkungan sistem merkantilis. Karyanya yang gemilang The Leviathan dipublikasikan tahun 1651, dua tahun setelah kematian Raja Charles I.  Tiga persoalan  untuk memahami The Leviathan. Pertama, pemahaman Hobbes tentang eksistensi, kedua tentang kehidupan manusia sebagai sebuah entitas tersendiri, dan ketiga pada kesejahteraan (commonwealth).
            Manusia pada pokoknya mempunyai naluri;  keinginan, hasrat, nafsu yang dapat dikemas pada konsep kepentingan pribadi (self-interest) sebagai sebuah pertimbangan dalam susunan dan kehidupan sosial. Tarik menarik kepentingan pribadi ini yang akhirnya mewarnai corak moralitas. Dalam keadaan sebelum ada negara, Hobbes menyebutnya sebagai ‘keadaan alamiah’, konflik kepentingan itu terjadi tanpa pengendalian atau wasit. Setiap orang memperjuangkan keinginan egoistiknya masing-masing, bellum omnium contra omnes[1]. Dalam konteks inilah negara diperlukan sebagai pengendali konflik kepentingan yang berangkat dari naluri pribadi. Kepentingan pribadi bukan barang haram karena ia merupakan naluri mempertahankan diri. Dimasa ketika negara telah hadir  namun dalam perjalanan ia kehilangan pengendalian atas   tarik menarik kepentingan pribadi yang terjadi anarkhi, yaitu kondisi ‘lowlewss state’. Dengan demikian dapat dibaca bahwa eksistensi negara adalah sebuah bentuk naluri mempertahankan diri juga !  konsekwensinmya kemerdekaan pribadi  bagi Hobbes tidak pernah ada, karena kebahagiaan manusia harus diletakkan pada sosok negara[2].  
            Gagasan Hobbes teersebut jelas kelihatan dipengaruhi rasionalisme abad tujuhbelas; kesejahteraan dan segala tatanan (norma) tidak datang dari Tuhan, tetapi berasal pada rekayasa rasional sains.

Plato (427 SM – 347 SM)
            Kondisi sosial yang mempengaruhi Plato adalah peperangan Sparta-Athena, posisinya dalam kelas sosial, dan gurunya, Socrates, utamanya pada menjelang kematiannya.  
            Dalam Republik  Plato menggambarkan bentuk masyarakat atau organisasi sosial ideal. Diantaranya, ada bentuk negasi. Bahwa mekanisme yang tidak memberi ruang bagi lahirnya ahli (pemikir atau filosof) dalam masalah politik dan dalam membuat keputusan hukum. Dengan dasar alasan itu Plato tidak mempercayai demokrasi. Pada sisi lain, aristokrasi oligarki pada sistem pemerintahan Sparta juga tidak mampu mengerem kekejaman yang tak bermoral. 
Gagasan tentang masyarakat ideal (polis ideal) merujuk pada gurunya, Socrates tentang asal mula polis. Bahwa manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri secara perorangan. Karenanya berkumpul dalam suatu komunitas, dimana individu – individu saling membantu untuk memuaskan kebutuhan. Jadi, polis adalah komunitas manusia yang telah menetap yang fungsi ekonomisnya dibeda-bedakan dan dikhususkan agar kebutuhan anggota masyarakat tersebut dapat dipenuhi [3]. Disini Plato dituduh sebagai kolektivist dan otoritarian. Tuduhan ini agaknya lemah karena  belakangan gagasan tentang masyarakat ideal tersebut mempunyai afinitas dengan teori masyarakat fungsional. Plato pimikir paling awal yang memperjuangkan kesempatan tentang kesamaan (inkulusi) . Dalam Republik, wisdom --  kebijaksanaan tentang keadilan --  adalah nilai yang paling dijunjung tinggi. 

Konsep Tatanan (Keteraturan) dalam Ilmu Kemanusiaan:
Positivisme dan Fungsionalisme
            Terdapat dua model asumsi tentang keteraturan sosial; asumsi positivisme dan asumsi fungsionalisme. Pada positivisme dipercayai dalam hubungan sosial hingga pada keteraturannya terdapat hukum yang bermain di dalamnya, sebagaimana hukum-hukum dalam fisika dan biologi; realitas sosial dapat dikontrol dan diprediksi. Dalam penuturan Comte, a general principle to wich all aplicable cases must conform. Positivisme pada sosiologi adalah dengan penerapan model ilmu alam dalam pendekatannya. Keteraturan sosial dicari dari hukum-hukum yang disebut sebagai variabel hingga membangun sebuah pola.
Auguste Comte dalam  The Positive Philosophi mengelaborasi  mengapa wanita dalam posisi tersubordinasi  dalam kehidupan sosial. Subordinasi wanita adalah faktor alamiah,  wanita secara mental dan biologis dipandang tidak pas untuk pekerjaan luar rumah. Ini kondisi Eropa pada pertengahan abad sembilanbelas.
Pada paradigma fungsionalis, posisi subordinasi wanita ini dilihat dari sisi “fungsi”-nya pada sistem keluarga.  Jadi fungsionalisme menekankan kehidupan sosial yang didalamnya ada norma, kebiasaan dan seperangkat aturan lain yang membingkai perilaku, yang disebut struktur sosial. Emile Durkheim melihat posisi wanita pada pertengahan  abad sembilanbelas itu sebagai ‘fungsional’ – bukan konsekwensi biologis; penting sebagai bagian dari pembagian kerja.      
Kritik terhadap fungsionalis terletak pada posisinya yang konservatif. Kalau ia menyebut “fungsi”, misalnya, pertanyaannya fungsi untuk apa atau siapa ?  Jawabannhya pada status quo.
Berikut ini Perdue mengabstraksikan asumsi Paradigma Keteraturan dan tipe ideal yang digunakan pada asumsi

Elemen Paradigma
Asumsi
Tipe Ideal
Gambaran tentang Kehidupan Manusia
Rasional (tindakan mempunyai penjelasan), kepentingan pribadi, ketidak-samaan setiap individu
‘Hukum Alam’ dari Hobbes
Republic Plato.
Gambaran tentang Masyarakat
Kohesi, integrasi, konsensus, self-koreksi, ketaksamaan sosial
Republic Plato.
Gambaran tentang Ilmu
Sistematik, positiv, empiris, kuantitatif, prediktiv
Positivisme Comte, Fungsionalisme Durkheim



Fungsionalisme;
Emile Durkheim  dan Ferdinand Tonnies.

            Topik ini mengonsentrasikan pada kondisi dan hubungan – hubungan yang memberikan kontribusi kohesi sosial, kesaling-hubungan (interdependensi) dan konsensus. Kemunculan fungsionalisme ini dirangsang sistuasi transisi sosial dari bentuk komunitas intim (intimate comunity) ke bentuk masyarakat impersonal. Kedua nama besar penganut fungsionalisme, Durkheim dan Tonnies berusaha menjelaskan gejala dua pola atau model masyarakat tersebut dan sebab-sebab pergeserannya.  Konsep ‘fungsi’ menempati posisi utama dalam analisa masyarakat. Sebagaimana Aristoteles, fungsi merujuk pada konstribusi mutlak sebuah bagian (elemen) terhadap keseluruhan (whole).  Penganut fungsionalis mempercayai setiap elemen dalam masyarakat yang eksistens mempunyai kontribusi terbadap masyarakat secara holistik. Sistem strstifikasi memberikan kontribusi pada sistem karir yang jelas. Adanya perilaku menyimpan (deviant) memberikan kontribusi pada hidupnya sel-sel kontrol sosial yang mereupakan jejaring integrasi. Bahkan  prostitusi  berfungsi melindungi keutuhan keluarga, karena prostitusi merupakan “institusi” penyaluran hasrat sex yang lepas dari emosional (unemotional sexual involvement).
Emile Durkheim (1858 – 1817). Durkheim menjadi eksemplar dalam sosiologi fungsionalisme.  Fakta Sosial menjadi perhatian utama sepanjang karyanya. Dalam membandingkan masyarakat sederhana dangan masyarakat komplek, Durkheim sesungguhnya membandingkan Fakta Sosial yang ada didalamnya. Ketika membaca munculnya kejahatan atau penyimpangan sosial, konsep yang pas untuk itu adalah anomie. Anomie inipun sebuah fakta sosial, kondisi yang melahirkan kejahatan, dilain pihak anomie sendiri akibat dari suatu sebab fakta sosial yang lain.
Ferdinan Tonnies (1855 – 1936). Konsep Gemeinschaft dan Gesellschaft  merupakan konsep utama dalam menjelaskan dua tipologi pengorganisasian masyarakat. Pada Gesellchaft, sebuah masyarakat dimana individu dalam bertindak dibimbing dalam kerangka  rasional, dan impersonal, bentuk hubungan  means—to—an--end . misalnya semacam asosiasi profesional bisnis. Pada Gemeinschaft mempunyai tingkat homogenitas yang tinggi; ikatan-ikatan suku, kesamaan bahasa ibu. Singkatnya adalah ikatan – ikatan primordial.
            Robert K. Merton. Dalam karyanya Social Structur and Anomie (terbit 1938) mempertajam atau malah mungkin merevisi konsep anomie Durkeim. Anomie tidak semata-mata seperti yang ditulis Durkheim bahwa anomie sama dengan ‘stagnasi’ hukum dan norma, bagi Merton  lebih analitik. Anomie, tepatnya anomie deviance merupakan hubungan yang  tidak paralel antara tujuan-tujuan budaya dengan sttruktur alat untuk meraih tujuan. 
           
           

Keteraturan Politik;
Gaetano Mosca , Vilvredo Pareto  dan Robert Michels

            Kekuasaan dan distribusinya marupakan bagian mendasar dalam masyarakat kaitannya dengan integrasi dan keteraturan. Kalau pada bagian sebelumnya integrasi masyarakat dibaca sebagai ‘alamiah’ dimana institusi dan norma mempunyai mekanismenya sendiri, pada bagian ini kekuasaan menjadi bagian yang mendasari integrasi itu. Kekuasaan adalah elemen integrasi, sebagaimana paradigma ini memahami masyarakat [4].  Kekuasaan difahami sebagai kemampuan untuk mengontrol, melakukan tekanan pada organisasi sosial melalui keputusan-keputusan (decisions). Maka Rulling Class atau kelas yang berkuasa merupakan kelompok yang memegang kontrol tersebut.

            Gaetano Mosca (1858 – 1941). Seluruh masyarakat memuat perbedaan minoritas yang diperintah  (The Rulled Class) dan mayoritas yang memerintah (The Rulling Class). Sistem politik – semacam sosialisme, liberalisme dan demokrasi – hanyalah ideologi yang menjadi justifikasi kelas masyoritas sebagai status quo. Konsensus, kalau itu ada merupakan ilusi.   Namun membandingkan sistem politik yang jelek dari yang terjelek itu Mosca masih memilih demokrasi dengan alasan sistem ini memberi jaminan secara juridis bagi warga dengan demikian mudah pula menjadikannya sebagai bagian dari kelas yang memimpin. 
            Vilfredo Pareto (1848 – 1923). Pareto menekankan faktor naluri manusia yang tidak rasional. Memulai teorinya dari penolakan terhadap Marx tentang peubahan sosial, Marx mendeterminasi faktor kalkulatif rasional dalam hitung-hitungan ekonomi-material. Padahal ada faktor non-rasional yang menggerakkan sejarah. Telah menjadi asumsi dasar bahwa masyarakat didominasi oleh sejumlah kecil elit yang memerintah berdasar kepentingannya sendiri. Elit ini meengoperasikan kekuasaannya dengan nor-rasional, dan mendominasi massa rakyat yang nonrasional juga. Berbeda berseberangan dengan Marx, menurut Pareto karena kapasitas rasional rakyat terbatas maka mereka tak bisa menjadi kekuatan revolusioner. Proses pergantian elit manakala terjadi kemerosotan moral dan digantikan elit baru. Elit baru ini bukan dari kalangan massa rakyat, tapi secara hererki sosial politik ada di atasnya, dan proses baru dimulai.
            Robert Michels (1876 – 1936). Fenomena oligarki terkait erat dengan perkembangan organisasi dan tidak dapat dihindari. Meskipun ada konstitusi sebagai model masyarakat demokratis, namun tetap saja ‘hukum besi oligarki’ akan terbentuk karena watak organisasi  yang selalu ada monopoli oleh minoritas. Dan minoritas yang memonopoli ini tidak lain mengopeerasikan organisasi dalam kerangka melanggengkan kekuasaannya.

Sistematisisme ;
Talcot Parson  dan Emitai Etzioni
            Kehidupan sosial adalah sebuah sistem. Institusi, adat atau kebiasaan, dan aspek kehidupan sosial yang lain secara dinamik berhubungan dengan elemen-elemen yang lebih besar dan komplek. Perubahan bada bagian manapun pada elemen sebuah sistem akan mempengaruhi keseluruhan sistem itu secara gradasi.
            Talcot Parsons (1902 – 1979).  Parson mengembangkan teori sistem  dengan konsentrasi pada ekuilbrium, masyarakat yang merupakan sistem selalu bergerak menuju ekuilibrium. Ia kelihatan hati-hati dalam konseptualisasi dan proses penerapannya pada sosiologi, tidak ingin konsep yang (masih) terlalu abstrak dipakai untuk menganalisa masyarakat. Pada konseptualisasi sistem sosial adalah konsep pelembagaan yang mengacu pada pola interaksi antara para aktor menurut kedudukannya masing-masing yang relaltif stabil. Pola – pola itu diatur secara normatif dan dipengaruhi oleh pola-pola kebudayaan. Prinsipnya, indikasi  proses pembentukan sistem,  sejauh interaksi itu telah melembaga maka hal itu merupakan syarat adanya sistem. Dalam bukunya The Social System, Parson membahas persyaratan-persyaratan sistem, tepatnya persyaratan untuk pertahan. Yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan latensi.
            Emitai Etzioni . keteraturan sosial oleh Etzioni diidentifikasi melalui tiga bentuk dasar ikatan sosial. Yaitu normativ, dimana interaksi individu dalam masyarakat melalui proses mekanisme nilai dan norma. Barangkali jika kita melihat kemungkinan faktor yang mengintegrasikan Indonesia dalam kontek ini adalah semangat nasionelisme, kebangsaan, sejarah dan semacamnya. Kedua, utilitarian, interaksi yang bersifat instrumental. Dalam contoh Inndonesia itu, interaksi elemen bangsa yang bisa menjamin kesejahteraan ekonomi akan memperkuat integrasi. Ketiga, coersiv, hubungan sosial yang diikat oleh tekanan kekerasan. Dalam kongtek ilustrasi Indonesia, militer menempati pisisi pemersatu bangsa.


[1]. Terminologi Latin ini tidak disentuh sama sekali oleh William Perdue. Padahal, hemat saya konsep ini amat krusial untuk menangkap gagasan Hobbes mengenai hubungan individu dengan negara. 
[2] . Sampai disini Hobbes mempunyai afinitas dengan Hegel. Bagi Hegel, tanpa menyebut tentang konflik kepentingan yang bersifat naluriah seperti Hobbes, kebahagiaan individu diperoleh  melalui peleburannya dengan negara.

[3]. Hal yang tak disentuh Perdue,  dalam pengertian  polis semacam ini mengilhami konseptualisasi kehidupan sosial  berikutnya, seperti  konsep “kota” dalam pengertian besarnya deferennsiasi strukutural kehidupan sosial  dan konsep “politik” dalam pengertian pengelolaan dan distribusi kekuasaan.

[4] .  Masyarakat adalah sebuah sistem yang berada dalam keseimbangan, sebagai kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung. ‘kekuasaan’, ‘politik’, ‘elit penguasa’ dan sejumlah konsep Mosca dan Pareto merujuk definisi tersebut adalah bagian-bagian itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar