Rabu, 04 Juli 2018

Marx tentang Negara




Karl Marx tentang Negara



Tentu saja pandangan Marx tentang negara berseberangan dengan pandangan Hegel. Tetapi hemat saya, memahami “negara”-nya Karl Marx tidak harus memulai dengan mengatakan bahwa ia adalah sekedar reaksi pandangan Hegel tentang negara. Bukan sekedar reaksi  karena posisi dialektika Hegel – Marx sudah dimulai dari ontologisnya; bagi Hegel yang nyata adalah roh, Marx menjungkirbalikkan bahwa yang riil adalah materi dari materialisme – realisme. Upaya memahami negaranya Marx nampaknya wajib melacakknya kembali dari Hegel.

 Maka diskusi nagara hanyalah sebuah tema / asesori dari Marx tentang emansipasi, pembebasan, aleanasi. Meskipun bersifat asesoris, diskusi tentang negara ini  mempunyai dimensi yang serius terhadap perubahan sosial. Hal yang merubah dunia, ketimbang diskusi tentang apa itu yang riil  (ontologi). Karena negara akhirnya harus difahami sebagai satu satunya alat merealisasikan dan mengartikulasikan pembebasan[1]. Hemat saya terakhir ini dimana demokrasi menjadi ikon, gagasan Marx tentang negara masih dipandang jauh lebih seksi ketimbang  pandangan Hegel.

***



Bagi Hegel, negara adalah ungkapan roh obyektif, yaitu penyatuan (titik temu)  segala kepentingan dan kehendak setiap orang. Karena itu kepentingan orang ditumpahkan pada negara. Manusia secara individu tidak akan pernah menemukan pembebasan jika tidak menitipkannya pada negara. Negaralah yang mengetahui kemana tujuan individu dibawa. Maka negara menjadi realitas kebebasan yang kongkrit. “The state is the concrete actualy of the ide of freedom” Howard P. Kainz (1974;45). Rakyat dalam pengertian demografik yang terdiri dari kumpulan orang – orang dengan demikian adalah individu – individu yang tidak tahu apa – apa tentang yang dikehendakinya. Bahkan manusia individu dalam masyarakat mengartikulasikan kepentingan secara bertubrukan, bellum omnium contra omnes. Masyatakat dalam kontek ini dalam Hegel disebut sebagai burgerliche gesellchaft. Dalam Franz Magnis–Suseno (1992) istilah ini deterjemahkan sebagai ‘masyarakat luas’, menurutnya tidak tepat betul deterjemahkan sebagai masyarakat sipil.  Pada prinsipnya, yang dimaksud burgerliche gesellchaft ini merujuk pada interaksi antar anggota masyarakat yang mencakup ekonomi, sosial dan kultural diluar intervensi negara. Maka fungsi negara adalah menyatukan aneka kepentingan individu yang saling bertubrukan karena egoisme setiap anggota. Disini negara adalah dasar yang memungkinkan warga negara untuk menyadari kemerdekaan mereka dalam kebersamaan dengan orang lain (Devid Held;1988).  Melalui negara masyarakat menjadi teratur, karena melebur menjadi satu. Dalam pengertian ini, unsur  negara adalah masyarakat, dan masyarakat harus meletakkan “kepercayaan”[2] pada negara. Melalui analitik relasional negara – rakyat diperoleh kesimpulan dari Hegel bahwa negara adalah subyek dan rakyat/masyarakat  sebagai obyek. 

Karl Marx menjungkirbalikan logika Hegel tersebut. Bukan negara sebagai subyek, melainkan sebaliknya.  Masyarakat dan satuan sosial terkecil (keluarga) merupakan pengandaian dari negara. Kalau demikian adanya negara yang disebut Hegel sebagai titik penyatuan kepentingan manusia atau roh obyektif itu tidak lain merupakan artikulasi kepentingan kelas dalam masyarakat. Negara menjadi batu sandungan emansipasi sosial karena ia akhirnya menjadi kekuatan asing diri manusia yang memaksa, meskipun pemaksaan itu untuk kearah sosial (upaya Hegel dalam mengatasi anti-sosial manusia).

Dalam bahasa aleanasi Marx, negara adalah sesuatu yang terpisah dari individu. Dengan demikian Marx tidak bisa menerima negara dalam bentuk apapun, termasuk konstitusi dan undang-undang yang sebaik apapun. Yang menjadi perhatiannya negara harus ditarik kembali kedalam manusia, ini artinya negara dengan masyarakat luas menjadi satu. Pengertian lebih kongkritnya tidak ada ruang bagi hak previlase sebagai akibat dari ‘satunya’ negara dengan masyarakat luas. Ketika satuan sosial itu terintegrasi tak ada lagi hak milik dan previlasi. Barangkali ilustrasinya ada pada satuan sosial keluarga.

***

Meskipun bagi Marx negara dalam bentuk apapun merupakan batu sandungan dalam emansipasi sosial manusia namun negara adalah sebuah kenyataan yang tak dapat dihindari. ( Barangkali ) Marx sadar bersikukuh dengan peniadaan negara justru menjadikan pemikirannya terasing dari kenyataan.  Harapan pembebasan kemudian ada pada diskusi demokrasi, dimana ia menyebut demokrasi sebagai bentuk negara “rasional” terhadap monarkhi ( Franz Magnis-Suseno;1992). Dalam terjemahan Magnis dari Werke jilid I , “Demokrasi adalah kebenaran monarkhi, monarkhi bukanlah kebenaran demokrasi”.

 Persoalannya demokrasi tak akan dapat hadir dalam masyarakat kapitalis, karena logikanya peraturan demokrastis tak dapat direalisasikan dibawah tekanan dalam hubungan kapitalis produksi (David Held;2006).  Bagi Marx, negara[3] yang merepresentasikan komunitas atau publik secara keseluruhan hanyalah ilusi. Karena proposisi ini mengandaikan tak ada kelas dalam masyarakat; hubungan kelas tidak eksploitatif; kelas tidak mempunyai kepentingan fundamental. Padahal politik dimana ranah demokrasi hidup justru berangkat dari kepentingan-kepentingan yang berbeda pada setiap kelas dan kelompok.

Kebebasan hak pilih atau kesetaraan politik yang merupakan ikon demokrasi (demokrasi liberal) nampaknya dapat menjadi entry point pembebas (emansipasi) dangan sangat terbatas. Persoalannya terletak pada ketidak setaraan kelas. Model negara semacam ini akhirnya sulit menghindari dari rujukan ‘negara minimal’, batasan – batasan minimal saja intervensi negara atas kehidupan publik dan memberikan ruang bagi pasar bebas.  Negara yang nampaknya netral ini sesungguhnya tidak netral, karena negara memasuki susunan kehidupan ekonomi yang paling utama dengan cara memperkuat hak milik melalui legislasi, administrasi. Disini perekonomian dianggap bukan domain politik. Hubungan – hubungan ekonomi seperti relasi antara pemilik alat produksi dan para pekerja  dilepas melalui mekanisme kontrak pribadi yang bebas, tanpa perlu intervensi negara. Disini, hemat saya terdapat ruang afinitas antara demokrasi (liberal) dengan era kapitalisme awal khususnya pada mekanisme eksploitasi kaum pekerja (buruh)  sebagaimana dilihat secara sangat jeli oleh Marx dalam Das Kapital.

Marx memahami  ikon ‘kebebasan’ yang diangkat demokrasi (liberal) dengan meletakkan negara dan birokrasinya sebagai instrumen kelas yang muncul untuk mengatur masyarakat yang terpecah demi kepentingan kelas.  Pejabat negara merupakan kelompok penghisap melalui kewenangan tindakan politis.

              ***

            Dari diskusi di atas, jika mengharap pembebasan dari (perilaku) negara maka yang paling utama yang harus dilakukan oleh negara adalah kebebasan modal, bukan kekebasan politik. Kebebasan modal yang akan  membuat keadaan hidup manusia bebas dari tekanan kapitalis pribadi. Pengertian ini mengantar pada topik mengenai bentuk  negara sosialis atau negara komunis. Atau, paling tidak dalam kerangka wacana demokrasi hari ini dikenal ‘demokrasi terkendali’, disini peran negara amat besar. Konsep yang terakhir ini (demokrasi terkendali) sekedar keberpihakan negara terhadap kelas bawah yang secara demografis mayoritas. Meskipun  cara berfikir ini saya kira bukan dari Marx. Bagi Marx pembebasan hanya dapat diperoleh melalui penghapusan kelas, seperti yang dituang dalam The Poverty of Philosophy, berikut yang dikutip David Held, “Kelas pekerja, dalam perkembangannya, akan mengganti masyarakat sipil lama dengan asosiasi yang menyingkirkan kelas-kelas dan antagonismenya, dan tidak akan  ada lagi kekuatan politik semacam itu, karena kekuatan politik justru merupakan pernyataan resmi antagonisme dalam masyarakat sipil”. 

***



Daftar Pustaka

Held, David. 2006. Models of Democracy, The Akbar Tanjung Institute, Jakarta.

Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Penerbit Kanisius,

Yogyakarta.

Magnis-Suseno, Franz. 1999. Pemikiran Karl Marx, Penerbit Gramedia, Jakarta.

Kainz, Howard P. 1974. Hegel’s Philosophy of Right , with Marx Comentary, Martinus

Nijhoff, Netherlands.













   



           











[1] . Artikulasi pandangan Hegel ada pada negara Prusia dan Jerman era Nazi ( dan sedikit pada Indonesia, khususnya pada integralisme ), pandangan Marx – meskipun malalui tafsir sana sini --  ada pada China dan Rusia (dan sedikit di Indonesia).
[2] . Kata “kepercayaan” – menggunakan apostrop –  istilah saya saja, bukan sekedar berdimensi politis seperti pengertian “saya harus setuju pada kebijakan politik  SBY karena ia dipilih melalui proses demokrasi” , bukan pula kepercayaan dalam pengertian “trust” yang dibanmgun melalui proses social – nya Francis Fukuyama. Namun perngertian itu lebih jauh mengandung  dimensi teologik. Manunggaling Kalula lan Gusti akan lebih dapat membantu menjelaskan ini.

[3] . Negara yang dimaksud Marx adalah seluruh perangkat pemerintah, dari eksekutif  dan legeslatif sampai kepolisisan dan militer.

1 komentar: