Karl Marx tentang Negara
Tentu saja pandangan Marx tentang negara berseberangan dengan pandangan
Hegel. Tetapi hemat saya, memahami “negara”-nya Karl Marx tidak harus memulai
dengan mengatakan bahwa ia adalah sekedar reaksi pandangan Hegel tentang
negara. Bukan sekedar reaksi karena
posisi dialektika Hegel – Marx sudah dimulai dari ontologisnya; bagi Hegel yang
nyata adalah roh, Marx menjungkirbalikkan bahwa yang riil adalah materi dari
materialisme – realisme. Upaya memahami negaranya Marx nampaknya wajib
melacakknya kembali dari Hegel.
Maka diskusi nagara hanyalah
sebuah tema / asesori dari Marx tentang emansipasi, pembebasan, aleanasi. Meskipun
bersifat asesoris, diskusi tentang negara ini
mempunyai dimensi yang serius terhadap perubahan sosial. Hal yang
merubah dunia, ketimbang diskusi tentang apa itu yang riil (ontologi). Karena negara akhirnya harus
difahami sebagai satu satunya alat merealisasikan dan mengartikulasikan
pembebasan[1].
Hemat saya terakhir ini dimana demokrasi menjadi ikon, gagasan Marx tentang
negara masih dipandang jauh lebih seksi ketimbang pandangan Hegel.
***
Bagi Hegel, negara adalah ungkapan roh obyektif, yaitu penyatuan (titik
temu) segala kepentingan dan kehendak
setiap orang. Karena itu kepentingan orang ditumpahkan pada negara. Manusia
secara individu tidak akan pernah menemukan pembebasan jika tidak menitipkannya
pada negara. Negaralah yang mengetahui kemana tujuan individu dibawa. Maka
negara menjadi realitas kebebasan yang kongkrit. “The state is the concrete actualy of the ide of freedom” Howard P.
Kainz (1974;45). Rakyat dalam pengertian demografik yang terdiri dari kumpulan
orang – orang dengan demikian adalah individu – individu yang tidak tahu apa –
apa tentang yang dikehendakinya. Bahkan manusia individu dalam masyarakat
mengartikulasikan kepentingan secara bertubrukan, bellum omnium contra omnes. Masyatakat dalam kontek ini dalam Hegel
disebut sebagai burgerliche gesellchaft.
Dalam Franz Magnis–Suseno (1992) istilah ini deterjemahkan sebagai ‘masyarakat
luas’, menurutnya tidak tepat betul deterjemahkan sebagai masyarakat sipil. Pada prinsipnya, yang dimaksud burgerliche gesellchaft ini merujuk pada interaksi antar anggota
masyarakat yang mencakup ekonomi, sosial dan kultural diluar intervensi negara.
Maka fungsi negara adalah menyatukan aneka kepentingan individu yang saling
bertubrukan karena egoisme setiap anggota. Disini negara adalah dasar yang
memungkinkan warga negara untuk menyadari kemerdekaan mereka dalam kebersamaan
dengan orang lain (Devid Held;1988). Melalui negara masyarakat menjadi teratur, karena
melebur menjadi satu. Dalam pengertian ini, unsur negara adalah masyarakat, dan masyarakat harus
meletakkan “kepercayaan”[2]
pada negara. Melalui analitik relasional negara – rakyat diperoleh kesimpulan
dari Hegel bahwa negara adalah subyek dan rakyat/masyarakat sebagai obyek.
Karl Marx menjungkirbalikan logika Hegel tersebut. Bukan negara sebagai
subyek, melainkan sebaliknya. Masyarakat
dan satuan sosial terkecil (keluarga) merupakan pengandaian dari negara. Kalau
demikian adanya negara yang disebut Hegel sebagai titik penyatuan kepentingan
manusia atau roh obyektif itu tidak lain merupakan artikulasi kepentingan kelas
dalam masyarakat. Negara menjadi batu sandungan emansipasi sosial karena ia akhirnya
menjadi kekuatan asing diri manusia yang memaksa, meskipun pemaksaan itu untuk
kearah sosial (upaya Hegel dalam mengatasi anti-sosial manusia).
Dalam bahasa aleanasi Marx, negara adalah sesuatu yang terpisah dari
individu. Dengan demikian Marx tidak bisa menerima negara dalam bentuk apapun,
termasuk konstitusi dan undang-undang yang sebaik apapun. Yang menjadi
perhatiannya negara harus ditarik kembali kedalam manusia, ini artinya negara
dengan masyarakat luas menjadi satu. Pengertian lebih kongkritnya tidak ada
ruang bagi hak previlase sebagai akibat dari ‘satunya’ negara dengan masyarakat
luas. Ketika satuan sosial itu terintegrasi tak ada lagi hak milik dan
previlasi. Barangkali ilustrasinya ada pada satuan sosial keluarga.
***
Meskipun bagi Marx negara dalam bentuk apapun merupakan batu sandungan
dalam emansipasi sosial manusia namun negara adalah sebuah kenyataan yang tak
dapat dihindari. ( Barangkali ) Marx sadar bersikukuh dengan peniadaan negara
justru menjadikan pemikirannya terasing dari kenyataan. Harapan pembebasan kemudian ada pada diskusi
demokrasi, dimana ia menyebut demokrasi sebagai bentuk negara “rasional”
terhadap monarkhi ( Franz Magnis-Suseno;1992). Dalam terjemahan Magnis dari
Werke jilid I , “Demokrasi adalah kebenaran monarkhi, monarkhi bukanlah
kebenaran demokrasi”.
Persoalannya demokrasi tak akan
dapat hadir dalam masyarakat kapitalis, karena logikanya peraturan demokrastis
tak dapat direalisasikan dibawah tekanan dalam hubungan kapitalis produksi
(David Held;2006). Bagi Marx, negara[3]
yang merepresentasikan komunitas atau publik secara keseluruhan hanyalah ilusi.
Karena proposisi ini mengandaikan tak ada kelas dalam masyarakat; hubungan
kelas tidak eksploitatif; kelas tidak mempunyai kepentingan fundamental.
Padahal politik dimana ranah demokrasi hidup justru berangkat dari
kepentingan-kepentingan yang berbeda pada setiap kelas dan kelompok.
Kebebasan hak pilih atau kesetaraan politik yang merupakan ikon
demokrasi (demokrasi liberal) nampaknya dapat menjadi entry point pembebas (emansipasi) dangan sangat terbatas. Persoalannya
terletak pada ketidak setaraan kelas. Model negara semacam ini akhirnya sulit
menghindari dari rujukan ‘negara minimal’, batasan – batasan minimal saja
intervensi negara atas kehidupan publik dan memberikan ruang bagi pasar
bebas. Negara yang nampaknya netral ini
sesungguhnya tidak netral, karena negara memasuki susunan kehidupan ekonomi
yang paling utama dengan cara memperkuat hak milik melalui legislasi,
administrasi. Disini perekonomian dianggap bukan domain politik. Hubungan –
hubungan ekonomi seperti relasi antara pemilik alat produksi dan para
pekerja dilepas melalui mekanisme
kontrak pribadi yang bebas, tanpa perlu intervensi negara. Disini, hemat saya
terdapat ruang afinitas antara demokrasi (liberal) dengan era kapitalisme awal
khususnya pada mekanisme eksploitasi kaum pekerja (buruh) sebagaimana dilihat secara sangat jeli oleh
Marx dalam Das Kapital.
Marx memahami ikon ‘kebebasan’
yang diangkat demokrasi (liberal) dengan meletakkan negara dan birokrasinya sebagai
instrumen kelas yang muncul untuk mengatur masyarakat yang terpecah demi
kepentingan kelas. Pejabat negara
merupakan kelompok penghisap melalui kewenangan tindakan politis.
***
Dari diskusi di atas, jika mengharap
pembebasan dari (perilaku) negara maka yang paling utama yang harus dilakukan
oleh negara adalah kebebasan modal, bukan kekebasan politik. Kebebasan modal
yang akan membuat keadaan hidup manusia
bebas dari tekanan kapitalis pribadi. Pengertian ini mengantar pada topik mengenai
bentuk negara sosialis atau negara
komunis. Atau, paling tidak dalam kerangka wacana demokrasi hari ini dikenal ‘demokrasi
terkendali’, disini peran negara amat besar. Konsep yang terakhir ini
(demokrasi terkendali) sekedar keberpihakan negara terhadap kelas bawah yang
secara demografis mayoritas. Meskipun
cara berfikir ini saya kira bukan dari Marx. Bagi Marx pembebasan hanya
dapat diperoleh melalui penghapusan kelas, seperti yang dituang dalam The Poverty of Philosophy, berikut yang
dikutip David Held, “Kelas pekerja, dalam perkembangannya, akan mengganti
masyarakat sipil lama dengan asosiasi yang menyingkirkan kelas-kelas dan
antagonismenya, dan tidak akan ada lagi
kekuatan politik semacam itu, karena kekuatan politik justru merupakan pernyataan
resmi antagonisme dalam masyarakat sipil”.
***
Daftar Pustaka
Held,
David. 2006. Models of Democracy, The
Akbar Tanjung Institute, Jakarta.
Magnis-Suseno,
Franz. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis,
Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Magnis-Suseno,
Franz. 1999. Pemikiran Karl Marx,
Penerbit Gramedia, Jakarta.
Kainz,
Howard P. 1974. Hegel’s Philosophy of
Right , with Marx Comentary, Martinus
Nijhoff, Netherlands.
[1] . Artikulasi pandangan Hegel ada pada negara Prusia dan
Jerman era Nazi ( dan sedikit pada Indonesia, khususnya pada integralisme ),
pandangan Marx – meskipun malalui tafsir sana sini -- ada pada China dan Rusia (dan sedikit di
Indonesia).
[2] . Kata “kepercayaan” –
menggunakan apostrop – istilah saya
saja, bukan sekedar berdimensi politis seperti pengertian “saya harus setuju
pada kebijakan politik SBY karena ia
dipilih melalui proses demokrasi” , bukan pula kepercayaan dalam pengertian
“trust” yang dibanmgun melalui proses social – nya Francis Fukuyama. Namun
perngertian itu lebih jauh mengandung
dimensi teologik. Manunggaling Kalula lan Gusti akan lebih dapat
membantu menjelaskan ini.
[3] . Negara yang dimaksud
Marx adalah seluruh perangkat pemerintah, dari eksekutif dan legeslatif sampai kepolisisan dan
militer.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus