Realisme Kritis dalam “Sosiolosi
Kepolisian: Relasi Kuasa Polisi dengan Organisasi Masyarakat Sipil"
Berikut adalah makalah
diskusi Bedah Buku Sosiologi Kepolisian karanangan Dr. Sutrisno, Penerbit Yayasan
Obor Indoneisia, 2016. Diskusi ini diselenggarakan oleh Sekretariat Program Doktor
Ilmu Kepolisian PTIK pada 29 November 2016. Makalah ini mengkonsentrasikan
sisi epistemology yang mendasari
penggunaan metodologi.
Prolog
Pada era Orde Baru Polri mempunyai fungsi diantaranya sebagai
stabilisator pembangunan. Pada posisi ini kepolisian tidak berdiri sendiri
dalam mendefinisikan realitas keamanan, fungsi stabilisator pembangunan acapkali
ditengarai oleh sejumlah kalangan
menimbulkan masalah terkesampingkannya hak-hak individu sebagai warga negara
dalam kehidupan masyarakat. Pasca Orde Baru negara berupaya menempatkan Polri
pada posisi ‘kompatabel’ dengan tuntutan demokrasi[1]. Diantaranya, pertama, dipisahkannya Polri dari
militer (TAP MPR VI Tahun 2000); menjadikan Polri sebagai lembaga
non-departemen (setingkat menteri) ; menjadikan Polri mitra kerja Komisi DPR
RI; mengubah struktur anggaran; membentuk Kompolnas (UU No.2/2002). Kedua, pada kurun ini pula terjadi
reformasi organisasi negara,
lembaga-lembaga kenegaraan, dan dibentuk banyak sekali lambaga dan komisi
independen (ouxylary organ).
Perubahan struktural ini merupakan konfigurasi baru relasi kekuasaan
Polri di sepanjang sejarah. Persoalannya, apakah sejumlah upaya perubahan ini
cukup memberi ruang bagi Polri dari bentuk relasi kekuasaan berdimensi dominatif ? Dan selanjutnya, bagaimana
implikasi dari kemandirian lembaga pengendali tata kelola keamanan ini?
Pada era sebelumnya, relasinya dengan masyarakat
(sipil) bersifat superior/dominanitf:
polisi medefinisikan sendiri tentang bagaimana ia harus bertindak
mendefinisikan realitas. Perubahan di tubuh kepolisian ini tidak bisa segera
mampu mengikuti ekspektasi masyarakat sebagaimana diurai dalam di atas. Tanpa harus mengingkari kontestasi
normatif bahwa tidak ada lembaga diluar
institusi kepolisian (sebagai artikulasi negara) yang mempunyai monopoli atas
sarana coersion: pada pasca reformasi menjadi sangat sensitif penggunaan sarana
coersion sehingga perlu legitimasi pada batas – batas tertentu.
Metodologi :
Realisme Kritis dan Konseptualisasi
Realisme Mengacu pada : 1) realitas (sosial)
tidak terikat pada si subyek. “di luar sana”;
2) realitas berundak-undak.
1)
Realitas
berada “di luar sana”.
Tiga raksasa sosiologi klasik menyandarkan konstruksi
teorinya pada realisme kritis. Ted Benton ( 2001: 131) menyebut, All
three (Marx, Weber and Durkheim) were
committed to the existence of social realities independent of the beliefs held
about them by individuals...
Untuk memahami ‘cara kerja’ realisme kritis ini,
menarik menengok bagaimana salah satu raksasa sosiologi itu menggunakanya.
Misalnya, Karl Marx. Sejumlah konsep yang digunakannya seperti: kepentingan; kesadaran
palsu dan kesadaran asli; hegemoni (ini dari neo-marxian, Antonio Gramsci);
eksplotitasi; dan seterusnya tak bisa difahami tanpa berangkat dari kerangka realisme
ini.
Konsep “konflik kepentingan”, misalnya. Kalangan
Marxian menggunakan konsep konflik
kepentingan ini utamanya mengacu pada aspek structur hubungan antar kelompok manusia atau peran
(role). Struktur hubungan untuk menjelaskan fenomena konflik kepentingan tidak
bisa difahami melalui observasi interaksional tatap muka. Pada tahap tertentu
tak perlu pula wawancara. Struktur hubungan sosial eksploitatif tak terlalu
relefan diamati pada interaksi tata muka. Tak perlu tertipu dengan (layaknya
permainan) drama sebagaimana yang dilakukan kaum intersksionis simbolik. Meskipun interaksi tatap muka antara aktor
kelas pekerja dengan kapitalis itu kelihatan mesra, bagi kalangan marxian tidak
begitu perduli dengan interaksi tatap muka mesra ini.
Yang dilihat oleh Marx adalah struktur relasi dalam hubungan antar peran dalam proses produksi (dalam format hubungan antar kelas sosial). Sehingga kalangan Marxian tidak mungkin
menggunakan instrument wawancara bertanya tentang “apakah Anda dieksploitasi?” atau “apakah Anda berkonflik dengan mereka?” Fenomena eksploitasi cukup ditelusuri pada angka-angka dari bekerjanya system produksi
(system ekonomi). Jika secara angka dalam bekerjanya system produksi ini
terdapat indikasi eksploitasi maka cukuplah disimpulkan adanya eksploitasi;
tidak perlu lagi mewawancara aktorr atau
kelompok untuk menelusuri apakah aktorr dieksploitasi.
Ini yang disebut ‘realitas di luar subyek’.
Dalam kerangka semacam itu jika metode
wawancara tetap dilanjutkan dan aktor/subyek ini memberikan jawaban bahwa
tidak ada eksploitasi dalam hubungan social, bagi seorang realis akan tetap lebih mempercayai
angka-angka. Jelaslah, ini menggambarkan realitas yang berundak. Gambaran ini
adalah tentang realitas obyektiv dan realitas subyektiv. Artinya ada
eksploitasi di situ (realitas obyektiv) tetapi aktor tak merasa dirinya dieksploitasi
(realatas subyektiv). Fenomena keterpilahan antara onbyektiv dengan subyektiv
dalam kerangka semacm ini selanjutnya oleh Marx disebut dengan konsep false consciousness atau kesadaran
palsu.
Konseptualisasi:
Relasi Kuasa. Nah,
konsep “relasi kuasa” itu juga meletakan
perhatian pada struktur sosial untuk memotret hubungan antar kelompok peran sosial. Secara metodik tidak bisa meletakan metode yang handal pada wawancara,
yang acapkali subyek menegasakan hubungan antar actor yang harmonis.
Jadi, apa yang
utamanya dilihat ? Diantara elemen struktur sosial itu yang penting adalah menganalis
pergeseran otoritas institusi pasca jatuhnya pemerintahan
Orde Baru. Ya, otoritas dulu yang dielaborasi, bukan kekuasaan (power). Kedua konsep ini, otoritas dan
kekuasaan berbeda secara mendasar. Kekuasaan
merupakan tindakan sosial yang ‘didasari’ pada tafsir atas otoritas (legal
formal). Dengan demikian kekuasaan pada dasarnya adalah soal tafsir atas teks
legal. Kekuatan tafsir di kalangan anggota kepolisian, misalnya, terletak pada
haerarkhi kepangkatan dan jabatan yang disandangnya. Disini haerarkhi dan
jabatan menjadi sumber daya kekuasaan. Ini hanya sebuah misal. Dalam ilmu
politik sumber daya kekuasaan itu bisa massa, dana, jabatan, keahlian, dan
seterusnya. Polisi sebagai sebuah
entitas sosial mempunyai (kekuatan) tafsir atas legal formal sejauh menyangkut
tugasnya terhadap apa yang akan dilakukannya.
Pada
perkembangan kontemporer kemudian Michel Foucoult memperluas jangkauan
kekuasaan, bahwa regulasi itu tidak melulu berangkat dri suatu teks tertulis alias
ada dimana-mana, maka kekuasaan pun ada dimana-mana. Tindakan kepolisian yang
berasal dari tafsir atas otoritas (legal formal) bukan hadir pada lingkungan sosial
yang hampa, karena harus bersisnggungan dengan entitas sosial diluar dirinya.
Persinggungan ini di sini dalam buku ini adalah utamanya dengan organisasi
masyarakat sipil.
Menganalisis otoritas-otoritas merarti membedah tekstual-regulatif normative. Tentu,
pergeseran didalamnya -- dan keluarnya regulasi -- tidak steril dari
pertarungan kekuasan dengan aneka basis sosialnya. Lihat
undang undang yang bergeser, TAP MPR, Perkap,
dan seterusnya tak lebih dari soal pertarungan kepentingan entitas sosial.
Perubahan sosial yang terjadi pasca jatuhnya Orde Baru
utamnya pada dua hal. Pertama, runtuhnya otoritas utama pendefinisi realitas
(yang cenderung bersifat tunggal yang diartikulasikan melalui Pak Harto); dan
kedua, kejatuhan Pak Harto adalah berarti tercecernya otoritas-otoritas pendefinisi
realitas. Otoritas pendefinisi realitas
ini berserak secara tidak merata. “ketakmerataan” ini pada dasarnya adalah
sebuah tarik-menarik keluasan otoritas antar (peran) lembaga. Seberapa luas,
otoritas kepolisian mengendalikan tata kelola keamanan; seberapa peran
masyarakat sipil; dimana ruang control, dan seterusnya. Disinilah persinggungan
relasi kuasa insitusi kepolisian dengan organisasi masyarakat sipil itu.
“Realita berada di luar sana” dalam Relasi Kuasa Polisi dengan OMS (RKPOMS). RKPOMS betumpu pada data
media massa. Tentu saja, Peneliti
menyadari sepenuhnya bahwa gambaran
media massa tentang sebuah realitas tak selalu mencerminkan realaitas yang
sesungguhnya. Tetapi, gambaran media
masa tentang sebuah realitas adalah realitasnya itu sendiri. Opini bukanlah
realitas; tetapi tetap ia adalah sebuah ‘realitas opini’. Bukan berarti Peneliti tak perlu memasuki
kebenaran koheren dari sebuah opini, tetapi Peneliti perlu berkesadaran bahwa
realitas ini berundak, yaitu: ada opini sebagai
realitas sendiri; ada pula kebenaran koherensi obyek opini. Sebagaimana opini public tentang suatu hal
tidaklah selalu menyajikan kebenaran yang diopinikan: tetapi opini tetaplah sebuah realitas yang riil’, yaitu:
realitas opini. Bahkan realitas ini empiris.
Kalau media atau public menggambarkan bahwa Si Fulan adalah seorang koruptor, dalam
realisme difahami bahwa media atau public
memandang bahwa Fulan itu koruptor.[2] Titik . Tidak lebih dari
itu. Peneliti tak bisa memasukan padangan pribadinya. Ini yang dimaksud ‘realitas ada di luar
sana’. Kalau public ketakutan karena
hantu, padahal peneliti meyakini bahwa
hantu itu tidak ada, maka Peneliti tak perlu menyimpulkanbahwa “public takut pada angan-angannya sendiri”;
tetapi harus disimpulkan bahwa “public
takut karena ada hantu”. Sekali
lagi: realitas ada ‘di luar sana’.
Pengertian bahwa “realitas di luar sana”
maksudnya dalam membaca data atau
realitas tidak terikat pada persepsi si subyek (Peneliti maupun subyek yang
diteliti). Ini utamanya cara yang dipakai Emile Durkheim dalam memperlakukan
fakta social. Peneliti tidak bisa mengatakan bahwa apa yang dipersepsi media
atau public itu salah secara koheren atau benar.
2. Realitas berundak-undak.
Singkatnya
dalam realisme ‘kebenaran’ difahami bersifat gradatif. Rumusan ini tak mudah
difahami tanpa menelusuri Imanuel Kant
perihal nomena-fenomena. Hemat saya, kesadaran bahwa realitas bersifat berundak
adalah sebuah kerendahatian. Sifat ini dianjurkan, bukan sekedar oleh para akademisi
sejati tetapi juga oleh agama, agama apa saja. Peter Berger menyebutnya sebagai ‘rendah hati terhadap realitas’.
Tidak arogan.
Sisi Kant yang cukup membantu menyingkap realisme adalah pada: “tinggalkanlah nomena! Geluti
saja fenomena!”. Fenomena mengacu
pada dua dimensi : yaitu semacam
realitas ‘empiris’[3]
dan mempunyai pola. Bukanlah kapasitas kita, manusia, di ruang akademik manapun untuk menangkap nomena. Mengapa ? Karena tidak
akan nyampe. Soalnya nomena itu
adalah ruang ‘kebenaran hakiki’[4]. Disini tak jadi soal
kalau istilah kebenaran dipertukarkan dengan’realitas’, dan juga istilah
‘hakiki’ dipertukarkan dengn ‘sejati’. Jadi ‘kebenaran hakiki’ sama dengan
mengatakan ‘realitas hakiki’ -- bukan pada persitilahan ini persoalannya. Apa
itu kebenaran/realitas hakiki ? Ribuan
tahun para filosof tak pernah selesai mendiskusikan ikhwal ini. Tak pula
sepakat. Muaranya pada pandangan biner antara Plato dengan Aristoteles: debat
panjang mana yang paling sejati antara
‘roh’ dan materi. Manusia beragama meletakan realitas hakiki itu pada
non-materi (roh?). Nah, disinilah rumitnya. Saya kira marilah kita hengkang saja dari diskusi topik semacam ini disini[5]. Singkat kata, sekali lagi
yang dipesankan Kant, bahwa bukan kapasitas kita memasuki ruang nomena. Usaha manusia
menangkap gejala kebenaran, bukan kebenaran
itu an sih.
Jadi,
apa yang dimaksud dengan realitas yang berundak ? Dalam ulasan pendek di atas, Kant dengan
sendirinya meletakan keberundakan realitas itu! Yaitu, ada realitas sejati, ada
realitas biasa yang manusiawi. Kebenaran/realitas sejati tak pernah bisa
dijangkau melalui instrumen penelitian
ilmiah biasa; sementara realitas ‘yang manusiawi’-lah yang menjadi gelanggang
penelitian ilmiah. Ini pun masih mempunyai keberundakan. Peralatan penelitian sosial,
misalnya, dalam kandungan konsep triangulasi
mengindikasikan perolehan pengetahuan yang berundak itu.
Mari kita periksa proposisi ini. Misalnya pada
triangulasi data berikut ini. Antara
data media massa; data wawancara; dan data dokumen adalah tiga (jenis) data
yang bisa saling cross-check. Meskipun
demikian tidak menutup kemungkinan masing-masing data ini ditempatkan ‘berdiri sendiri’ karena realitas
masing-masing berbeda -- sebagai pengetahuan bersifat gradatif. Yang dimaksud
‘berdiri sendiri’ juga bisa mempunyai mekanisme control, semacam triangulasi internal . untuk mengecek
kebenaran informasi yang disampaikan media massa tertentu bisa pula dicek
melalui pemberitaan media masa lain; begitu juga apa yang dikatakan informan
bisa dicek melalui informan lain.
Laporan media massa “x”, misalnya, menyebut bahwa
pejabat bernama Fulan melakukan penyalahgunaan wewenang. Bagi realisme tidak
perlu laporan ini dipercayai sepenuhnya; tetapi sekaligus tidak perlu pula
dinegasikan (ditolak kebenarannya)[6]. Yang perlu dicerna,
realitasnya bahwa media massa “x”
menyebut bahwa Fulan melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Titik. Inilah yang dimaksud bahwa (laporan) media
massa merupakan realitas sendiri. Bagaimana menilai kebenaran tentang Fulan ?
Begini diantara cara termudah. Laporan media massa tentang Fulan ini adalah undakan pertama. Pengetahuan si
Peneliti tentang Fulan yang paling awal. Ketika media massa lain memberikan
laporan yang tidak berbeda, maka masuk pada undakan ke dua; kemudian, misalnya Si Fulan tidak melakukan jawab
atau serangan menuntut balik terhadap media pemasok berita itu, mungkin ini
bisa masuk undakan ketiga. Ketika
proses criminal justice system
bekerja dan berhasil memasukan Si Fulan ke hotel prodeo maka ini undakan kerakhir.
Tidak perlu kaku meletakan undakan-undakan itu. Bisa
saja dalam kisah lain data dokumen yang
sinkron dengan laporan media massa –jika ini bisa diperoleh -- diletakan sebagai
undakan kedua. Ini misal saja. Prinsip dalam realisme adalah bahwa realitas (=pengetahuan)
itu berundak-undak nilai kebenarannya. Apakah Peneliti perlu melakuan check (triangulasi) dengan cara mewawancarai
langsung kepada subyek yang bersangkutan (Si Fulan) ? Ada dua pendapat dalam menjawab pertanyaan
ini.
Pendapat pertama,
tidak perlu, karena prinsip realisme tentang ‘realitas di luar sana’ akan
ditarik pada ‘realitas di dalam sini’. Maksudnya, jawaban subyektif tidak
mempunyai ruang dalam realisme. Fulan akan memberikan jawaban
subyektif-difensif. Pendapat kedua,
adalah perlu mewawancarai Fulan sebagai bagian dari check – triangulasi. Sejauh sasaran utamanya pada rangkaian
argumentasi ‘kemasukakalan’ terhadap bantahan. ‘Kemasukakalan’ dalam realisme,
lagi-lagi tidak melampaui posisi peletakan realitas yang ‘di luar sana’. Dalam
kerangka ini pada akhirnya bantahan tak terlalu mempunyai bobot dalam membangun
undakan realitas jika dibandingkan dengan dokumen yang dimilliki. Maka, pada
akhirnya menghubungi subyek penelitian dalam konteks semacam ini lagi-lagi
kembali pada bobot koonfirmasi pada data dokumentasi: bukan lagi pada data wawancara.
Ilustrasi
lain.
Para penganut sturkturalis-durkheimian mempercayai bahwa elemen struktur sosial
yang terpenting adalah hukum positive, semacam norma hukum yang tertulis. Meskipun
eksistensi corak dan warna hukum (tertulis) diletakkan sebagai variable
dependen dari perkembangan devition of
labour (pembagian kerja), tetapi elemen utama struktur sosial untuk melihat
perikelakuan masyarakat adalah hukum tertulis ini. Nah, dalam konteks realisme hukum
positive (tertulis) ini diletakan sebagai undakan pertama (pengetahuan awal)
dalam memotret perilaku masyarakat manusia. Perikelakuan manusia tentu bukan
hanya diformat oleh hokum positive, maka disinilah undakan-undakan berikutnya
diperlukan. Karena persoalannya perikelakukan manusia tidak sesederhana hukum
tertulis itu. Harus dibedakan antara ‘yang normative’ hukum positiv dengan
‘realitas perikelakuan’ masyarakat. Hukum tertulis yang difungsikan sebagai
data dokumen dalam penelitian adalah undakan pertama untuk memahami
perikelakuan masyarakat. Undakan kedua, ketiga, keempat adalah data-data
observasi, dokumen yang lain, dan
wawancara. Durkheim menyebut undakan-undakan ini sebagai fakta sosial.
Kepadatan penduduk (density) adalah
fakta sosial lain yang mempengaruhi perikelakuikan masyarakat masnusia, bahkan
soal moral.
Jadi, secara minimal tidak salah melihat
perikelakuan masyarakat manusia dari sisi hukum positiv sebagai sebuah data
dokumen. Tetapi sekali lagi cara ini adalah cara paling minimalis.
* Dipresentasikan pada acara Diskusi Bedah
Buku, 29 November 2016, Program Doktor Ilmu Kepolisian – PTIK, Jakarta.
[1] . “Tuntutan
demokrasi” ini, hemat saya adalah terminologi yang musti diberikan tanda
apostrop. Karena pada dasarnya format tuntutan ini masih terus bergerak. Tak
bisa dipungkiri sebagai sebuah bangsa yang berdemokrasi pencarian format ini
pun belum berhenti. Indikasinya pada arus perubahan terhadap regulasi level hulu
(konstitusi) hingga level menengah
(undang undang, cq. tetang kepolisian)
[2] . Bedakan dua
propsisi ini : “media atau public
memandang bahwa Fulan itu koruptor”
dengan “Fulan koruptor”. Kedua
proposisi ini sejauh bisa ditangkap secara empiri adalah tergolong realitas
(ya, realitas riil).
[3] . ‘Empiris’ juga
perlu diberi apostrop. Saya tidak ingin
menutup diskusi bahwa istilah ini sudah selesai sebagaimana di tangan empirisme
logic, jadi seakan pula ilmu pengetahuan yang digeluti di bangku akademik adalah
sejenis empirisme logic ini. Ini cupet. Alias mata kuda. Kalau begitu filsafat
menjadi tak punya tempat di universitas-universitas. Jadi, sekali lagi,
‘empirik’ tak perlu difahami secara sempit.
[4] Seorang fisikawan mengatakan bahwa sebuah
kabel tembaga mempunyai aliran listrik hanya melalui gejala nyalanya bolham
(bola lampu). Fisikawan ini tak perlu
mengeluarkan tenaga mengamati lompatan energi yang berlari di kabel tembaga
itu. Karena memang mengamati lompatan eneergi listrik di kabel itu tidak lah
efektif, efesien (dan, bahkan naif!).
[5] Kalau saya ingin cepat lepas dari diskusi
semacam ini tak pula perlu disimpulkan bahwa saya cenderung seorang materialis semacam
yang dianut kebanyakan ontologi marxian. Ini pikiran cupet Kawan diskusi saya meyerang RKPOMS sebagai karya yang tak jelas
ontologinya. Bagi saya sulit memberikan jawaban pendek – apa lagi kalau
komentar itu lepas semacam pengadilan in absentia.
[6] . Media massa,
sebagai sebuah komunitas pemasok informasi mempunyai caranya sendiri dalam
mengontrol isi pemberitaannya. (Percayalah!) ada kode etik di dalamnya; ada
dewan yang berfungsi pula menegakan etik ikhwal pemberitaan itu. Meragukan
informasi yang dipasok media massa pada
akhirnya sama dengan meragukan elemen-elemen demokrasi sebuah bangsa.