Sabtu, 23 April 2005

Strukturalisme dan Post



 Strukturalisme dan Poststrukturalisme

► Pemikiran yang melatari lahirnya Strukturalisme
            Kelahiran strukturalisme merupakan reaksi terhadap humanisme Perancis, utamanya pada eksistensialisme Jean-Pul Sartre. Eksistensialisme Sartre ini meletakkan pusat perhatian pada individu (kebebasan individu). Individu adalah aktor yang bebas, dalam arti ia menentukan dirinya sendiri – bukan pada hukum sosial dan struktur sosial yang lebih luas.  Kalau strukturalisme mengamanatkan struktur obyektif yang menentukan perilaku individu, maka eksistensialisme Sartre menekankan bahwa akktor mempunyai kapasitas untuk keluar dari mas kini, bergerak maju ke masa depan; ‘seseoran adalah apa yang dikerjakannya’, demikian Retzer mengutip Hayim. Meskipun Sartre bersimpati terhadap teori marxisme -- dimana marxisme ini meletakkan pentingnya struktur yang membatasi ‘kreatifitas’ individu --  namun Sartre tetap meletakkan hak istimewa manusia melebihi segalanya. Disini Sarter mengkritik marxisme struktural; bahswa terlalu membesar-besarkan peran dan struktur.  

► Strukturalisme
            Sebagai reaksi atas humanisme Perancis, Strukturalisme memusatkan perhatian pada struktur. Dalam hal ini memulai konstruksi teorinya dari struktur linguistik, hal yang membedakan pokok perhatian dalam strukkturalisme fungsional maupun strukturalisme konflik. Pokok perhatian yang bergeser dalam teori sosial yang semula terpancang pada arena struktur sosial ke perhatiannya pada arena struktur linguistik inilah yang mengubah  dari sisfat dasar ilmu sosial itu.

            Linguistik : Ferdinand de Saussure (1857 – 1913)
            Saussure dalam analisa struktur linguisntiknya  membedakan antara langue dan parole. Langue adalah sisten tata bahasa formal; sistem elemen phonic yang hubungannya ditentukan oleh hukum yang tetap. Hukum yang tetap inilah yang menjadi perhatian serius – yang kemudian dipandang sebagai ‘struktur’ itu. Karena langue merupakan sistem tanda dari sebuah struktur dan arti setiap tanda, diciptakan oleh hubungan antara tanda-tanda di dalam sistem. Sementara parole adalah percakapan yang sebenarnya, cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengatakan dirinya sendiri.
            Makna, pikiran dan kemudian kehidupan sosial  dibentuk oleh struktur bahasa. Dengan kata lain kehidupan manusia dan aspek kehidupan sosial dibentuk oleh struktur bahasa. Karena, disini, perhatian tentang struktur dalam linguistik ini berkembang ke semiotik; yaitu studi tentang seluruh sistem tanda (misalnya, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan seluruh bentuk komunikasi). Jadi, melalui semitik adalah studi tanda yang melampaui bahasa. Poin ini (semiotika) dikembangkan oleh Roland Barthes.

            Strukturalisme Antropologi; Claude Levi-Strauss
            Strauss mengembangkan karya Saussure tentang bahasa ke antropologi. Yaitu sistem ilmu bahasa disejajarkan kedalam sistem kekeluargaan. Pertama, istilah yang digunakan untuk melukiskan sistem kekeluargaan adalah unit analisis bagi antropologi. Kedua, istilah kekeluargaan tidak mempunyai arti sejauh tidak dilihat sebagai bagian intrgral dari sistem yang lebih luas. Ketiga, meskipun ada variasi empiris dalam sistem kekeluargaan namun variasi itu tetap dapat ditemukan hukumnya.

            Marxisme Struktural; Louise Althusser, Nicos Polantzas, dan Maurice Godiler
            Bagi Godiler, strukturalisme (strukturalisme modern)[1] bukan bukan berangkat dari Saussure melainkan dari karya Marx. Karena dalam teori dasar Marx wanti-wanti agar  struktur tak boleh dikacaukan dengan hubungan yang tampak dan menjelaskan logika yang tersembunyi, meskipun pengertian struktur pada Marx dengan strukturalisme mempunyai penekanan yang berbeda. Namun paling tidak keduanya memandang struktur sebagai sesuatu yang nyata (meskipun tidak kelihatan). Bagi Levi Strauss, struktur yang dimaksud dipusatkan pada struktur pikiran. Sementara bagi Marx pada struktur yang mendasari masyarakat. Lanjut Godiler tentang strukutur bagi Marx ini, tingkat realitas yang ada diluar hubungan yang tampak antara manusia dan merupakan logika yang mendasari sistem, dan melaluinya aturan yang tampak dapat dijelaskan. Keduanya, baik Strauss maupun menolak empirisisme.  
                  

► Post-Strukturalisme
           
            Jacques Derrida;
    (Pembongkaran) Logosentrisme dan decentering

            Derrida yang menjadi tokoh utama pendekatan post-strukturalisme ini membalik posisi struktur yang mengatasi individu, proposisi yang dipegang erat oleh strukturalissme. Baginya, peran bahasa hanya sekedar “tulisan” yang tak mempunyai kendali atas individu. Lebih jauh, lembaga sosial dilihat hanya sebagai tulisan, dan karenanya tak mempu memaksa orang. disinilah  Derrida mendekonstruksi bahasa dan institusi sosial.
Dekonstruksi Logosentrisme. Dalam dekonstruksi itu semua yang ia temui adalah tulisan; tulisan bukan struktur yang memaksa orang. Mustahil, menurutnya menemukan hukum umum yang mendasari bahasa. Dalam kerangka inilah Derrida  menyerang logosentrisme (pencarian sistem berfikir universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya). Logosentrisme didakwa yang menyebabkan ketertutupan filsafat dan ilmu pengetahuan manusia. Obsesi Derrida adalah membongkar sumber ketertutupan ini, dengan cara membebaskan tullisan dari yang memperbudaknya. Ini yang diistilahkan dengan dekonstruksi logosentrisme.  Dalam diskusinya tentang theatre of cruelty, ia membandingkan konsep itu dengan teater tradisional yang didominasi oleh sistem berfikir logika representasional. Dalam logika ini apa yang terjadi di panggung ‘mewakili’ apa yang terjadi di kehidupan nyata (atau apa yang terjadi diharapkan penulis skenario atau sutradara). Representasionalisme dengan demikian adalah sang penguasa teater, memberikan sifat teologis terhadap teater tradisional.  Derrida memimpikan pentas tidak lagi dikuasai oleh penulis dan naskah; aktor tidak lagi didikte, dan penulis tidak lagi mendikte apa yang terjadi di pentas.  Singkatnya, ia menginginkan masyarakat terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah menciptakan pemikiran dominan. Dengan ini semua menjadi penulis merdeka.
Decentering. Obsesi Derrida dan umumnya post-strukturalisme adalah menjauhkan teater dari “pusat” tradisionalnya (decentering), menjauh dari pemusatan perhatiannya pada penulis skenario (penguasa), sehingga meberikan peran kepada aktor yang lebih luas. Teater atau dunia tanpa pusat akan menjadi terbuka. Penolakan pada kepalsuan logosentrisme sama dengan mengatakan tak ada jawaban tunggal. Ketika logosentrisme ini bersemayam pada kekuasaan intelektual Barat, maka dalam decentering  Barat selayaknya tidak lagi dapat menjadi rujukan jawaban. Semua kita berada dalam proses menjulis, bertindak dengan peran peradaban.

Michel Foucoult
            Kepadatan memasukan teoritis terhadap pendekatan post-strukturalisme yang dilakukan Foucoult membuat tulisannya dikenal sangat sulit difahami, atau paling tidak tulisannya dianggap tidak lazim. Tiga nama penting yang berpengaruh terhadap ide Foucoult ini; Weber, Marx, dan Nietze. Dari Weber tentang teori rasionalisasi, tapi rasionalisasi ini oleh Foucoult tidak diletakkan sebagai “kerangkeng baja”; selalu ada perlawanan terhadap rasionalisasi. Dari Marx, Foucoult tidak membatasi pada materi. Atau, ketika bicara kekuasaan  Foucoult memusatkan perhatian pada “politik-mikro kekuasaan” ketimbang pada kekuasaan pada level masyarkat. Ada pengaruh fenomenologi, tapi menolak ide tentang akktor yang otonom.  Dari Nietze tentang hubungan  kekuasaan dengan pengetahuan, tapi hubungan ini lebih banyak dianalisis secara sosiologis.

Metodologi. Inti metodologi Foucolut pada “arkeologi ilmu pengetahuan”  dan  “geneologi kekuasaan”.   Arkeologi adalah pencarian sistem umum dari formasi dan transformasi pernyataan kedalam formasi diskursif. Dalam arkeologi ini, merujuk pada Dean: mengorganisasikan dokumen, membaginya, mendistribusikannya, mengaturnya dalam tingkatan-tingkatan, mengurutkan, membedakan antara yang relefan dengan yang tidak, menemukan elemen-elemen, mendefinisikan kesatuan, mendeskripsikan relasi.  Sementara geneologi adalah salah satu tipe sejarah sosial yang sangat berbeda, cara pengaitan pandangan historis dengan trajectories yang teratur dan terorganisir yang tidak mengungkapkan asal-usulnya atau tidak selalu merupakan realisasi tujuannya. Geneologi bersifat kritis, melibatkan interogasi tak kenal lelah terhadap apa yang dianggap netral, alami, niscaya, atau tetap. Dalam geneologi ini dibahas bagaimana  orang mengatur diri sendiri dan orang lain melalui produksi pengetahuan.
            Melalui geneologi ini Foucoult merusaha menjelaskan masa sekarang dengan menggunakan sumber historis untuk merefelsikan kemjungkinan (contingencies), singularitas, interkoneksi,  dan potensialitas dari lintasan elemen-elemen yang berbeda  yang mnenyusun aransemen sosial dewasa ini sebagai pengalaman. Tapi masa sekarang tidak selalu hasil perkembangan masa lampau, tidak ada determinisme  (determinisme sejarah).     

            Madness and Civilization. Pada buku Madness and Civilization ini Foucoult menerapkan arkeologi pengetahuan, khususnya psikiatri.  Pada era Renaesans, kegilaan dan nalar belum dipisahkan. Pada pariode klasik (1650 dan 1800) jarak kegilaan dan nalar mulai muncul, dan nalar menaklukkan kegilaan. Psikologi lahir dalam kerangka memisahkan kegilaan dengan nalar. Dan, praktek psikiatri merupakan taktik moral yang dilandasi mitos positivisme. Jadi ;psikologi dan psikiatri adalah usaha moral, bukan usaha ilmiah yang ditujukan terhadap orang gila. Orang gila dihukum oleh kemajuan ilmu pengetahuan ke dalam “penjara moral raksasa”. Akar ilmu pengetahuan (psikologi dan psikiatri) untuk membedakan antara kegilaan dengan kewarasan, dan mengontrol moral atas kegilaan. Begitu pula dengan ilmu kedokteran, menjadi pelopor ilmju pengetahuan dalam menerima pendirian tentang keadaan normal dan patologis manusia.

            Dicipline and Punish. Pada karya ini Foucolult menerapkan geneologi, khususnya tentang kekuasaan. Ia memulai pada pariode antara 1757 – 1830, dimana penyiksaan terhadap narapidana telah digantikan oleh pengendalian berdasarkan peraturan penjara. Peraturan penjara ini menggeser penyiksaan ke perlakukan narapidana yang lebih manusiawi. Hubungan antara pengetahuan dengan kekuasaan menjadi terjelaskan dalam kasus penyiksaan ; maka dengan berkembangnya peraturan, hubungan antara keduanya menjadi kurang jelas. Sebetulnya peraturan baru ini bukan untuk menghukum lebih manusiawi, tetapi untuk menghukum lebih baik; teknologi penggunaan kekuasaan banyak, lebih birokratis, lebih efisien, lebih impersonal – tak hanya mengawasi tindakan kriminal tetapi meliputi pengawasan seluruh masyarakat. Transisi dari penyiksaan ke peraturan penjara merupakan perubahan dari hukuman jasmani ke hukuman jiwa  atau kemauan. Perubahan ini selanjutnya menimbulkan pertimbangan normalitas dan moralitas.
            Tiga instrumen kekuasaan untuk mendisiplinkan. Pertama, observasi berjenjang (hierarchical observation) yaitu kemampuan pejabat untuk mengawasi seluruh yang mereka kontrol dengan tatapan tunggal. Kedua, kemampuan untuk membuat pertimbangan normal (normalizing judgment) dan menghukum orang yang melanggar norma. Ketiga, menggunakan pemeriksaan (examination), untuk mengamati subyek dan membuat penilaian normal terhadap orang.

             

           


[1] . Sayangnya disini Ritzer tidak mengelaborasi strukturalisme awal, pemenggalan pembahasan pada strukturalisme modern ini agaknya sedikit mengganggu pemahaman perkembangan internal strukturalisme ini. Seakan – akan kelahiran strukturalisme hanya berpijak atas reaksinya terhadap eksistensialisme Sartre seperti diulas di atas,. Padahal ada sejumlah nama penting yang ditengarai sebagai strukturalisme awal, diantaranya seperti Gaston Bachelard (1884), Mikhael Bakhtin (1895), dan nama yang sangat penting yang setahun lebih muda dari Saussusre adalah Sigmund Freud (1856). Keteranganj ini dirujuk dari John Lechte, dalam Fifty Key Contemporary Thinkers yang diterbitkan tahun 1994.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar