Strukturalisme dan Poststrukturalisme
► Pemikiran
yang melatari lahirnya Strukturalisme
Kelahiran
strukturalisme merupakan reaksi terhadap humanisme Perancis, utamanya pada
eksistensialisme Jean-Pul Sartre. Eksistensialisme Sartre ini meletakkan pusat
perhatian pada individu (kebebasan individu). Individu adalah aktor yang bebas,
dalam arti ia menentukan dirinya sendiri – bukan pada hukum sosial dan struktur
sosial yang lebih luas. Kalau
strukturalisme mengamanatkan struktur obyektif yang menentukan perilaku
individu, maka eksistensialisme Sartre menekankan bahwa akktor mempunyai
kapasitas untuk keluar dari mas kini, bergerak maju ke masa depan; ‘seseoran
adalah apa yang dikerjakannya’, demikian Retzer mengutip Hayim. Meskipun Sartre
bersimpati terhadap teori marxisme -- dimana marxisme ini meletakkan pentingnya
struktur yang membatasi ‘kreatifitas’ individu -- namun Sartre tetap meletakkan hak istimewa
manusia melebihi segalanya. Disini Sarter mengkritik marxisme struktural;
bahswa terlalu membesar-besarkan peran dan struktur.
► Strukturalisme
Sebagai
reaksi atas humanisme Perancis, Strukturalisme memusatkan perhatian pada
struktur. Dalam hal ini memulai konstruksi teorinya dari struktur linguistik,
hal yang membedakan pokok perhatian dalam strukkturalisme fungsional maupun strukturalisme
konflik. Pokok perhatian yang bergeser dalam teori sosial yang semula
terpancang pada arena struktur sosial ke perhatiannya pada arena struktur
linguistik inilah yang mengubah dari
sisfat dasar ilmu sosial itu.
◊ Linguistik
: Ferdinand de Saussure (1857 – 1913)
Saussure
dalam analisa struktur linguisntiknya
membedakan antara langue dan parole. Langue adalah sisten tata bahasa
formal; sistem elemen phonic yang hubungannya ditentukan oleh hukum yang tetap.
Hukum yang tetap inilah yang menjadi perhatian serius – yang kemudian dipandang
sebagai ‘struktur’ itu. Karena langue
merupakan sistem tanda dari sebuah struktur dan arti setiap tanda, diciptakan
oleh hubungan antara tanda-tanda di dalam sistem. Sementara parole adalah percakapan yang sebenarnya,
cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengatakan dirinya sendiri.
Makna,
pikiran dan kemudian kehidupan sosial dibentuk
oleh struktur bahasa. Dengan kata lain kehidupan manusia dan aspek kehidupan
sosial dibentuk oleh struktur bahasa. Karena, disini, perhatian tentang
struktur dalam linguistik ini berkembang ke semiotik; yaitu studi tentang
seluruh sistem tanda (misalnya, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan seluruh
bentuk komunikasi). Jadi, melalui semitik adalah studi tanda yang melampaui
bahasa. Poin ini (semiotika) dikembangkan oleh Roland Barthes.
◊ Strukturalisme
Antropologi; Claude Levi-Strauss
Strauss
mengembangkan karya Saussure tentang bahasa ke antropologi. Yaitu sistem ilmu
bahasa disejajarkan kedalam sistem kekeluargaan. Pertama, istilah yang
digunakan untuk melukiskan sistem kekeluargaan adalah unit analisis bagi
antropologi. Kedua, istilah kekeluargaan tidak mempunyai arti sejauh tidak
dilihat sebagai bagian intrgral dari sistem yang lebih luas. Ketiga, meskipun
ada variasi empiris dalam sistem kekeluargaan namun variasi itu tetap dapat
ditemukan hukumnya.
◊ Marxisme
Struktural; Louise Althusser, Nicos Polantzas, dan Maurice Godiler
Bagi
Godiler, strukturalisme (strukturalisme modern)[1]
bukan bukan berangkat dari Saussure melainkan dari karya Marx. Karena dalam
teori dasar Marx wanti-wanti agar
struktur tak boleh dikacaukan dengan hubungan yang tampak dan menjelaskan
logika yang tersembunyi, meskipun pengertian struktur pada Marx dengan
strukturalisme mempunyai penekanan yang berbeda. Namun paling tidak keduanya
memandang struktur sebagai sesuatu yang nyata (meskipun tidak kelihatan). Bagi
Levi Strauss, struktur yang dimaksud dipusatkan pada struktur pikiran.
Sementara bagi Marx pada struktur yang mendasari masyarakat. Lanjut Godiler
tentang strukutur bagi Marx ini, tingkat realitas yang ada diluar hubungan yang
tampak antara manusia dan merupakan logika yang mendasari sistem, dan
melaluinya aturan yang tampak dapat dijelaskan. Keduanya, baik Strauss maupun
menolak empirisisme.
► Post-Strukturalisme
◊ Jacques
Derrida;
(Pembongkaran)
Logosentrisme dan decentering
Derrida
yang menjadi tokoh utama pendekatan post-strukturalisme ini membalik posisi
struktur yang mengatasi individu, proposisi yang dipegang erat oleh
strukturalissme. Baginya, peran bahasa hanya sekedar “tulisan” yang tak mempunyai
kendali atas individu. Lebih jauh, lembaga sosial dilihat hanya sebagai
tulisan, dan karenanya tak mempu memaksa orang. disinilah Derrida mendekonstruksi bahasa dan institusi
sosial.
Dekonstruksi Logosentrisme. Dalam
dekonstruksi itu semua yang ia temui adalah tulisan; tulisan bukan struktur
yang memaksa orang. Mustahil, menurutnya menemukan hukum umum yang mendasari
bahasa. Dalam kerangka inilah Derrida
menyerang logosentrisme (pencarian sistem berfikir universal yang
mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya). Logosentrisme didakwa
yang menyebabkan ketertutupan filsafat dan ilmu pengetahuan manusia. Obsesi
Derrida adalah membongkar sumber ketertutupan ini, dengan cara membebaskan
tullisan dari yang memperbudaknya. Ini yang diistilahkan dengan dekonstruksi
logosentrisme. Dalam diskusinya tentang theatre of cruelty, ia membandingkan
konsep itu dengan teater tradisional yang didominasi oleh sistem berfikir
logika representasional. Dalam logika ini apa yang terjadi di panggung
‘mewakili’ apa yang terjadi di kehidupan nyata (atau apa yang terjadi
diharapkan penulis skenario atau sutradara). Representasionalisme dengan
demikian adalah sang penguasa teater, memberikan sifat teologis terhadap teater
tradisional. Derrida memimpikan pentas
tidak lagi dikuasai oleh penulis dan naskah; aktor tidak lagi didikte, dan
penulis tidak lagi mendikte apa yang terjadi di pentas. Singkatnya, ia menginginkan masyarakat
terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah menciptakan
pemikiran dominan. Dengan ini semua menjadi penulis merdeka.
Decentering. Obsesi Derrida dan umumnya
post-strukturalisme adalah menjauhkan teater dari “pusat” tradisionalnya
(decentering), menjauh dari pemusatan perhatiannya pada penulis skenario
(penguasa), sehingga meberikan peran kepada aktor yang lebih luas. Teater atau
dunia tanpa pusat akan menjadi terbuka. Penolakan pada kepalsuan logosentrisme
sama dengan mengatakan tak ada jawaban tunggal. Ketika logosentrisme ini
bersemayam pada kekuasaan intelektual Barat, maka dalam decentering Barat selayaknya tidak lagi dapat menjadi
rujukan jawaban. Semua kita berada dalam proses menjulis, bertindak dengan
peran peradaban.
◊ Michel Foucoult
Kepadatan
memasukan teoritis terhadap pendekatan post-strukturalisme yang dilakukan
Foucoult membuat tulisannya dikenal sangat sulit difahami, atau paling tidak
tulisannya dianggap tidak lazim. Tiga nama penting yang berpengaruh terhadap ide
Foucoult ini; Weber, Marx, dan Nietze. Dari Weber tentang teori rasionalisasi,
tapi rasionalisasi ini oleh Foucoult tidak diletakkan sebagai “kerangkeng
baja”; selalu ada perlawanan terhadap rasionalisasi. Dari Marx, Foucoult tidak
membatasi pada materi. Atau, ketika bicara kekuasaan Foucoult memusatkan perhatian pada
“politik-mikro kekuasaan” ketimbang pada kekuasaan pada level masyarkat. Ada
pengaruh fenomenologi, tapi menolak ide tentang akktor yang otonom. Dari Nietze tentang hubungan kekuasaan dengan pengetahuan, tapi hubungan
ini lebih banyak dianalisis secara sosiologis.
Metodologi. Inti metodologi Foucolut
pada “arkeologi ilmu pengetahuan”
dan “geneologi kekuasaan”. Arkeologi adalah pencarian sistem umum dari
formasi dan transformasi pernyataan kedalam formasi diskursif. Dalam arkeologi
ini, merujuk pada Dean: mengorganisasikan dokumen, membaginya,
mendistribusikannya, mengaturnya dalam tingkatan-tingkatan, mengurutkan,
membedakan antara yang relefan dengan yang tidak, menemukan elemen-elemen,
mendefinisikan kesatuan, mendeskripsikan relasi. Sementara geneologi adalah salah satu tipe
sejarah sosial yang sangat berbeda, cara pengaitan pandangan historis dengan
trajectories yang teratur dan terorganisir yang tidak mengungkapkan
asal-usulnya atau tidak selalu merupakan realisasi tujuannya. Geneologi
bersifat kritis, melibatkan interogasi tak kenal lelah terhadap apa yang
dianggap netral, alami, niscaya, atau tetap. Dalam geneologi ini dibahas
bagaimana orang mengatur diri sendiri
dan orang lain melalui produksi pengetahuan.
Melalui
geneologi ini Foucoult merusaha menjelaskan masa sekarang dengan menggunakan
sumber historis untuk merefelsikan kemjungkinan (contingencies), singularitas,
interkoneksi, dan potensialitas dari
lintasan elemen-elemen yang berbeda yang
mnenyusun aransemen sosial dewasa ini sebagai pengalaman. Tapi masa sekarang
tidak selalu hasil perkembangan masa lampau, tidak ada determinisme (determinisme sejarah).
Madness and Civilization. Pada buku Madness and Civilization ini Foucoult
menerapkan arkeologi pengetahuan, khususnya psikiatri. Pada era Renaesans, kegilaan dan nalar belum
dipisahkan. Pada pariode klasik (1650 dan 1800) jarak kegilaan dan nalar mulai
muncul, dan nalar menaklukkan kegilaan. Psikologi lahir dalam kerangka
memisahkan kegilaan dengan nalar. Dan, praktek psikiatri merupakan taktik moral
yang dilandasi mitos positivisme. Jadi ;psikologi dan psikiatri adalah usaha
moral, bukan usaha ilmiah yang ditujukan terhadap orang gila. Orang gila
dihukum oleh kemajuan ilmu pengetahuan ke dalam “penjara moral raksasa”. Akar
ilmu pengetahuan (psikologi dan psikiatri) untuk membedakan antara kegilaan
dengan kewarasan, dan mengontrol moral atas kegilaan. Begitu pula dengan ilmu
kedokteran, menjadi pelopor ilmju pengetahuan dalam menerima pendirian tentang
keadaan normal dan patologis manusia.
Dicipline and Punish. Pada karya ini
Foucolult menerapkan geneologi, khususnya tentang kekuasaan. Ia memulai pada
pariode antara 1757 – 1830, dimana penyiksaan terhadap narapidana telah
digantikan oleh pengendalian berdasarkan peraturan penjara. Peraturan penjara
ini menggeser penyiksaan ke perlakukan narapidana yang lebih manusiawi.
Hubungan antara pengetahuan dengan kekuasaan menjadi terjelaskan dalam kasus
penyiksaan ; maka dengan berkembangnya peraturan, hubungan antara keduanya
menjadi kurang jelas. Sebetulnya peraturan baru ini bukan untuk menghukum lebih
manusiawi, tetapi untuk menghukum lebih baik; teknologi penggunaan kekuasaan
banyak, lebih birokratis, lebih efisien, lebih impersonal – tak hanya mengawasi
tindakan kriminal tetapi meliputi pengawasan seluruh masyarakat. Transisi dari
penyiksaan ke peraturan penjara merupakan perubahan dari hukuman jasmani ke
hukuman jiwa atau kemauan. Perubahan ini
selanjutnya menimbulkan pertimbangan normalitas dan moralitas.
Tiga
instrumen kekuasaan untuk mendisiplinkan. Pertama, observasi berjenjang
(hierarchical observation) yaitu kemampuan pejabat untuk mengawasi seluruh yang
mereka kontrol dengan tatapan tunggal. Kedua, kemampuan untuk membuat
pertimbangan normal (normalizing judgment) dan menghukum orang yang melanggar
norma. Ketiga, menggunakan pemeriksaan (examination), untuk mengamati subyek dan
membuat penilaian normal terhadap orang.
[1] . Sayangnya disini Ritzer tidak mengelaborasi
strukturalisme awal, pemenggalan pembahasan pada strukturalisme modern ini
agaknya sedikit mengganggu pemahaman perkembangan internal strukturalisme ini.
Seakan – akan kelahiran strukturalisme hanya berpijak atas reaksinya terhadap
eksistensialisme Sartre seperti diulas di atas,. Padahal ada sejumlah nama
penting yang ditengarai sebagai strukturalisme awal, diantaranya seperti Gaston
Bachelard (1884), Mikhael Bakhtin (1895), dan nama yang sangat penting yang
setahun lebih muda dari Saussusre adalah Sigmund Freud (1856). Keteranganj ini
dirujuk dari John Lechte, dalam Fifty Key
Contemporary Thinkers yang diterbitkan tahun 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar