Teori Sosial Post-Modern
Pandangan Umum
Tidak layaknya
teori sosial yang lain dalam hal menyumbang khasanah kekayaaan sosiologi, teori
sosial Post-Modern diterima dengan agak “wanti-wanti” di kalangan sosiolog.
Seperti disangsikan, berkembang perdebatan apakah betul Post-Modern ini “anak
kandungnya” sosiologi. Terlepas dari perdebatan itu, ternyata teori ini
berkembang, dan nampaknhya sosiolog pun nampaknya mulai tak bisa mengabaikan
perkembangan ini.
Sukar menarik
generalisasi begitu saja dari sejumlah teori ini, misalnya untuk kebutuhan
pembacaan yang meringannkan karena semua semua bersifat ideosinkretik. Jika
tugas peringkasan itu diharuskan, Ritzer mengikutu Smart, membedakan tiga
pendirian di kalangan pemikir Post-Modern;
Pertama,
pendirian bahwa masyarakat modern telah terputus hubungannya dan telah
digantikan oleh masyarakat post modern. Tokoh pada pendirian ini adalah Jean
Baudrillard, Gilles Deleuze, dan Felix Gauttari.
Kedua, pendirian bahwa meski telah
terjadi perubahan , post modernisme muncul dan terus berkembang bersama dengan
modernisme. Mereka yang berpendirian di sini adalah kebanyakan pengikut
marxian, yaitu Frederick Jameson,
Ernesto Laclau, dan Chantal Mouffe.
Ketiga, pendirian bahwa modernisme dan
post-modernisme sebagai zaman. Post-modernisme terus menerus menunjukan
kelemahan modernisme. Pendidian ini adalah posisi Smart sendiri yang mebagi
tiga pendirian ini.
Untuk
mendapatkan kejelasan makna post-modern, perlu menyandingkan konsep ini dengan
istilah “pos-modernitas”, “pos-modernisme”, dan “teori post-modern”.
Post-modernitas mengacu pada pariode historis yagn umumnya dilihat menyusul era
modern. Post-modernisme mengacu pada produk kultural (dibidang kesenian, film,
arsitektur dan sebagainnya) yang berbeda dengan kultur produk kultur modern.
Teori sosial pos-modern mengacu pada cara fikir yang berbeda dari teori sosial
modern. Maka istilah post-modern merujuk pada pariode historis baru, produk kultural
baru dan tipe baru dalam penyusunan teori tentang kehidupan sosial.
Sejarah
kelahiran Teori Sosial Post-Modern
Penting
melacak akar munculnya teori ini dari basis realitas sosial. Istilah
post-modern, jika mengikuti kategori yang dibuat Smart di atas mengikuti
pendirian yang pertama. Yaitu difahami tertuju
pada keyakinan yang tersebar luas bahwa era modern telah berakhir dan
kita memasuki pariode baru, pariode post-modernitas. Pendirian ini mengacu pada
ilustrasi Lemert tentang kematian arsitektur modern. Dihancurkannya proyek
perumahan raksasa di St. Louis yang melambangkan arogansi perumahan modern,
megah dan dalam perencanaan awallnya untuk untuk membasmi kemiskinan. Hancurnya
proyek raksasa ini mengundang masuknya pemikiran alternatif tentang pengentasan
kemiskinan; apakah mungkin ditemukan penyelesaian rasional atas masyalah
masyarakat? Pada pemerintahan Reagen, ia
enggan membangun proyek raksasa dalam mengatasi kemiskinan. Ini lagi-lagi
menyangsikan bahwa tak ada jawaban tunggal rasional untuk menganggulangi
masalah manusia.
Di bidang
budaya, hal yang akan diurai pada bagian pembahasan Jameson di bawah, terdapat
indikasi bahwa produk post-modern cenderung menggantikan produk modern.
Di bidang teori,
terdapat perbedaan (nyata) teori modern dengan teori sosial post-modern. Teori
sosial modern mencari landasan universal, ahistoris, dan rasional untuk
analisis dan untuk mengkritik masyaarkat. Sementara teori sosial post-modern
menolak landasan ini, post modern cenderung relativistik, irrasional, dan
nihilistik. Landasan teori sosial modern dianggapnya memberikan kekuasaan pada
kelompok tertentu dan merampas kekuasaan kelompok yang lain.
Lyotard dan Bodrillard
Karena tidak
mencari universalitas maka teori post-modern menolak narasi besar, atau
metanarrative, topik inilah yang digarap Lyotard. Penolakannya terhadap narasi
besar, oleh Lyotard dimaksudkan mau memerangi totalitas, dan menghidupkan
perbedaan. Paling tidak di kalangan internal jajaran teoritisi post-modern, Lyotard ada benarnya; post moderen sendiri
menghimpun berbagai perspektif teoritis yang berbeda.
Kalau Lyotard
menolak narasi besar secafra umum, Boudrillard menolak narasi besar dalam
sosiologi dengan cara menolak seluruh
gagasan tentang kehidupan sosial. Dalm hal ini adalah prinsip pengorganisasian.
Gagasan pengorganisasian masyarakat dalam selama ini, bagi Boudrillard telah
berakhir.
Simmel dan Mills
Ada pandangan bahwa
kedua orang yang sepertinya “akrab” dalam teori sosiologi modern ini ternyata mengandung gagasan – gagasan yang
mendekati teori post-modern. Posisi dua orang
yang mengkritik pandangan modernisme ini akan cenderung mendekatkannya
pada posisi post-modernisme, meskipun hal ini adalah tafsiran atas dua orang
ini. Tapi tafsir yang memasukkan dua orang ini pada posisi post modern ditolak
oleh Kellner dan Best. Dibawah ini sekedar tafsiran dari Weinstein yang
meletakkannya pda posisi post-modern.
Simmel menentang keras totalisasi, dan
cenderung berpandangan detotalisasi modernitas. Dalam tafsiran Weinstein tentang karya Simmel, bahwa Simmel seorang modernis
liberal. Narasi besar tentang kecenderungan sejarah menuju dominasi kultur
obyektif, menuju “tragedi kultur” – kehancuran budaya. Paling tidak, Simmel
adalah seorang post-modernis moderat. Modernisme dan post-modernisme bukanlan
saling meng-eksklusi; tetapi dua bidang yang batanya tak bersambung satu sama
lain.
Posisi C. Wrght
Mills yang cenderung post-modernisme terlihat pada tiga faktor. Pertama, Mills
menggunakan istilah “post-modern” untuk melukiskan era pencerahan yang kita
masuki sebagai berada dipenghujung abad modern, segera memasuki abad
post-modern. Kedua, Mills adalah pengkritik gigih teori besar (grand theory)
modern. Ketiga, Mills menginginkan sosiologi menghubungkan masalah publik
dengan persoalan pribadi yang khusus.
Fredic
Jameson; Teori Sosial Post-Modern Moderat
Meskipun
ada perbedaan penting dalam jarak waktu antara modernitas ke post-modernitas,
namun ada kesinambungan antara keduanya. Proposisi ini yang digarap Jameson. Prinsipnya,
kapitalisme yang dalam perkembangannyi
kini berada pada fase “lanjutannya”
masih menjadi gambaran dominan, tetapi
telah menimbulkan logika kultural baru, yang disebut sebagai
post-modernisme. Dalam posisi gagasan ini, Jameson monolak Lyotard dan Boudrellard. Jameson
hendak menyelamatkan teori marxian dari serangan Lyotard dan Boudrellard yang
mengatakan teori marxian adalah narasi besar dan karena itu tak mempunyai
tempat dalam post-modernisme.
Bagi Jameson,
teori marxian menawarkan teori terbaik dalam memahami post-modernisme. Meskipun
dengan resiko bahwa jika marxian tetap digunakan dalam analisa post-modern tak
memadai pada basis ekonomi dari duania kultural baru ini. Namun masih bisa
relefan dalam posisi penjelasnnya tentang produksi estetika, bahwa produksi
estetika telah menyatu dengan produksi komoditi. Analisa yang menarik dari Jameson meminjam
marxian, kapitalisme hingga hari ini memberikan kemajuan dan pembebasan namun
bersamaan dengan itu meningkatkan penindasan dan alienasi. Jadi, dalam kapitalisme
ada malapetaka sekaligus kemajuan.
Dalam ulasan
Ernes Mendel, Jameson membagi tiga tahap kapitalisme.
- Pertama, kapitalisme pasar, sebagaimana dianalisis oleh Marx, kemunculan pasar nasional yang dipersatukan.
- Kedua, tahap imperialis dengan munculnya jaringan kapitalis global.
- Ketiga, kapitalisme akhir. Fase ini kapitalisme melabarkan sayap luar biasa melalui ekspansi kapital dan juga merentangkan komoditasnya, sehingga estetika pun menyatu dengan komoditas sebagaimana telah disinggung di atas. disini dapat dikatakan perubahan struktur ekonomi tercermin dalam perubahan kultural. Jameson bersikeras Marx masih sangat relefan dalam kontek ini; menghubungkan kultur realis dengan kapitalisme pasar.
Masyaralkat
post-modern, ditengarai oleh Jameson,
terdiri atas empat unsur ;
Pertama, masyasrakat post-modern ditandai dengan kedangkalan dan
kekuarangan kedalaman. Kedua, masyarakat post-modern ditandai
oleh kepura-puraan atau kelesuan emosi. Ketiga,
msyarakat post-nidern ditandai oleh hilangnya kesejarahan. Dan, keempat, masyarakat post-modern ditandai
sejenis teknologibaru yang berkaitan erat dengan masyarakat post-modern itu
sendiri. Misalnya, teknologi seperti telivisi atau teknologi elektronik lah –
dan bukan teknologi mesin mobil, misalnya – yang mengartikulasikan tekanan dan
pengembaraan imej.
Jean
Boudreillard; Teori Sosisal Post-Modern Ekstrim
Boudrillard,
meskipun ia berlatar belakang sosiologi
tetapi karyanya sudah tidak lagi bisa diidentifikasi dalam deretan
kelaziman karya sosiologis, karena ia menolak seluruh pembatasan disiplin ilmu.
Karya-karyanya sangat dipengaruhi ilmu bahasa dan semiotik. Oleh Kellner
karyanya dipandang sebagai suplemen semiologis terhadap teori polisik Marx.
Cara
Boudrillard melukiskan kehidupan post-modern bahwa kehidupan post-modern
ditandai oleh simulasi. Yaitu
mengarah pada kehidupan simulacra, oleh
Kellneer diartikan semacam “reproduksi obyek dan atau peristiwa”. Dalam
kaburnya perbedaan antara tanda dan realitas, maka semakin sukar mengenali yang
tulen dai barang tiruan. Ia mengilustrsikan larutnya kehidupan kedalam TV, dan
sebaliknya larutnya TV kedalam kehidupan. Jadi, simulasilah yang berkuasa;
manusia menjadi budak simulasi.
Hiperrealitas menjadi konsep penting.;
media, seperti surat kabar, TV, tabloid berhenti menjadi cermin realitas,
tetapi kemudian media menjadi realitas itu sendiri. Pada kerangka ini Boudrillard memperlihatkan
kultur yang mengalami revolusi dan merupakan bencana besar. Karena menyebabkan
massa meenjadi pasiv ketimbang memberontak seperti yang diperkirakan Marx.
Teori
Sosial Post-Modern dan Teori Sosiologi
Sebagian
berpendapat bahwa post-modern tak dapat dipandang sebagai teori, paling tidak
dalam pengetian yang teori yang lazim. Tetapi menurut Ritzer, khususnya
terhadap Boudrillard masih dapat
dimasukkan dalam jajaran teori sosial (sosiologi). Penerimaan terhadap
Boudrillard ini jika diteliti membuka pintu masuk bagi sejumlah nama lain,
seperti Jameson. Bagaimanapun sejauh inigagasan post-modern mempunyai implikasi
terhadap bagian substansial dari dunia sosial, bahkan menggairahkan.
Penerapan
Teori Sosial Modern
Inovasi
baru pada kehidupan sosial modern karena mereka sangat rasional. Rasionalistas
yang tinggi pada masyarakat modern ini bukan hanya memampukan mereka (dalam
pemikiran Simmel, membebaskan) tetapi
juga menciptakan masalah-masalah bagi mereka. Rasionelitas ternyatas tidak
serta merta menhyelesaikan masalah. Disinilah signifikansi teori post-modern
. Dalam cara Weber menjelaskan
rasionalisasi menampilkan disenchantment;
akibat rasionallisasi adalah semakin tidak menarik, dunia kehilangan elemen
magis. Maka, melalui teori post-modern
dikenalkan re-enchanchment. Atau, re-enchanchment
dari alat-alagt konsumsi baru menjadi jalan keluar bagi disenchantment.
Simulasi. Alasan penting penciptaan
simiulasi – atau pengubahan fenomena “riil” menjadi simulasi—adalah bahwa
mereka dapat dibuat lebih spektakuler ketimbang aslinya, dengan demikian dapat
lebih menarik konsumen.
Implosi (implosion). Dunia yang
berkembang cepat merepresentasikan semacam pertunjukan yang menarik konsumen ke
dalamnya dan membuat mereka mengonsumsinya.
Kritik
dan Teori Sosial Post-Modern
- Kegagalannya untuk berbuat sesuai dengan standar ilmiah. Dengan riset empiris sebagaimana digunakan kaum modernis, ide-ide teori post-modern tidak dapat dibuktikan.
- Lebik baik melihat teori post-modern sebagai ideologi. Karena, pengetahuan yang dihasilkan post-modernis ini tidak dapat dilihat sebagai suatu ide saintifik.
- Sifat eksesiv dari dari kebanyakan diskursus post-modern menyulitkan sebagian besar orang di luar perspektif ini untuk menerima prinsip dasarnya.
- Ide-ide post-modern seringkali sangat kabur dan abstrak sehingga sulit untuk menghubungkannya dengan dunia sosisal.
- Dalam analisisnya, teoritisi sosial post-modern seringkali melancarkan kritik terhadap masyarakat modern, namun kehilangan validitasnya karena kekurangan basis normativ untuk membuat penilaian.
- Kekuarangan suatu teori tentang agen. Karena penolakan terhadap subyek dan subyektivitas.
- Tidak mempunyai visi bagaimana masyarakat itu seharusnya.
- Sangat pesimis.
- Mengabaikan hal-hal yang dianggap penting dimasa kita.
Evaluasi
Umum
Pertama, hemat saya, nampaknya tidak
sepenuhnya fairness cara Ritzer sepanjang diringkas dalam kertas
kerja ini dalam memberikan komentar dan kritik terhadap post-modern. Yaitu
menilai post-modern dengan menggunakan ukuran yang biasa dipakai kaum modernis.
Yang paling prinsip adalah kedua “bacaan” ini (modernis dan post-modernis)
meletakkan ‘kebenaran’ dalam kerangka ontologi yang tidak sama. Bagi modernis
kebenaran itu tunggal, bagi post-modernis “kebenaran” itu diharuskan
menggunakan tanda kutip karena tidak tunggal.
Kalau
keduanya adalah produk sejarah yang bersifat kontinum, yang harus dikerjakan –
mungkin pekerjaan berat – adalah menarik garis kontinuitas itu; dan menemukan
disana-sini dis-kontinuitasnya. Jadi bukan dalam kerangka kritik – mengkritik
dalam tolok ukur yang berbeda. Perkara kelahiran post-modern adalah melalui
kritiknya terhadap modernisme, adalah hal yang berbeda kembali mengkiritik
post-modern menggunakan kerangka modernisme.
Kedua, sayangnya baik
Ritzer maupun para post-modern tak pernah menoleh spiritualitas (Agama
Timur?) dalam masyarakat modern.
Padahal, hemat saya, spiritualitas ini fakta empirisnya menawarkan makna ,
sehingga meneyelessaikan problem kedangkalan dan kekuarangan kedalaman yang
diderita masyarakat post-modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar