Rabu, 18 Mei 2005

Teori Sosial Post Modern



Teori Sosial Post-Modern



Pandangan Umum

Tidak layaknya teori sosial yang lain dalam hal menyumbang khasanah kekayaaan sosiologi, teori sosial Post-Modern diterima dengan agak “wanti-wanti” di kalangan sosiolog. Seperti disangsikan, berkembang perdebatan apakah betul Post-Modern ini “anak kandungnya” sosiologi. Terlepas dari perdebatan itu, ternyata teori ini berkembang, dan nampaknhya sosiolog pun nampaknya mulai tak bisa mengabaikan perkembangan ini.
Sukar menarik generalisasi begitu saja dari sejumlah teori ini, misalnya untuk kebutuhan pembacaan yang meringannkan karena semua semua bersifat ideosinkretik. Jika tugas peringkasan itu diharuskan, Ritzer mengikutu Smart, membedakan tiga pendirian di kalangan pemikir Post-Modern;
 Pertama, pendirian bahwa masyarakat modern telah terputus hubungannya dan telah digantikan oleh masyarakat post modern. Tokoh pada pendirian ini adalah Jean Baudrillard, Gilles Deleuze, dan Felix Gauttari. 
Kedua, pendirian bahwa meski telah terjadi perubahan , post modernisme muncul dan terus berkembang bersama dengan modernisme. Mereka yang berpendirian di sini adalah kebanyakan pengikut marxian, yaitu  Frederick Jameson, Ernesto Laclau, dan Chantal Mouffe.
Ketiga, pendirian bahwa modernisme dan post-modernisme sebagai zaman. Post-modernisme terus menerus menunjukan kelemahan modernisme. Pendidian ini adalah posisi Smart sendiri yang mebagi tiga pendirian ini.

Untuk mendapatkan kejelasan makna post-modern, perlu menyandingkan konsep ini dengan istilah “pos-modernitas”, “pos-modernisme”, dan “teori post-modern”. Post-modernitas mengacu pada pariode historis yagn umumnya dilihat menyusul era modern. Post-modernisme mengacu pada produk kultural (dibidang kesenian, film, arsitektur dan sebagainnya) yang berbeda dengan kultur produk kultur modern. Teori sosial pos-modern mengacu pada cara fikir yang berbeda dari teori sosial modern. Maka istilah post-modern merujuk pada pariode historis baru, produk kultural baru dan tipe baru dalam penyusunan teori tentang kehidupan sosial.



Sejarah kelahiran Teori Sosial Post-Modern
            Penting melacak akar munculnya teori ini dari basis realitas sosial. Istilah post-modern, jika mengikuti kategori yang dibuat Smart di atas mengikuti pendirian yang pertama. Yaitu difahami tertuju  pada keyakinan yang tersebar luas bahwa era modern telah berakhir dan kita memasuki pariode baru, pariode post-modernitas. Pendirian ini mengacu pada ilustrasi Lemert tentang kematian arsitektur modern. Dihancurkannya proyek perumahan raksasa di St. Louis yang melambangkan arogansi perumahan modern, megah dan dalam perencanaan awallnya untuk untuk membasmi kemiskinan. Hancurnya proyek raksasa ini mengundang masuknya pemikiran alternatif tentang pengentasan kemiskinan; apakah mungkin ditemukan penyelesaian rasional atas masyalah masyarakat?  Pada pemerintahan Reagen, ia enggan membangun proyek raksasa dalam mengatasi kemiskinan. Ini lagi-lagi menyangsikan bahwa tak ada jawaban tunggal rasional untuk menganggulangi masalah manusia.
Di bidang budaya, hal yang akan diurai pada bagian pembahasan Jameson di bawah, terdapat indikasi bahwa produk post-modern cenderung menggantikan produk modern. 
Di bidang teori, terdapat perbedaan (nyata) teori modern dengan teori sosial post-modern. Teori sosial modern mencari landasan universal, ahistoris, dan rasional untuk analisis dan untuk mengkritik masyaarkat. Sementara teori sosial post-modern menolak landasan ini, post modern cenderung relativistik, irrasional, dan nihilistik. Landasan teori sosial modern dianggapnya memberikan kekuasaan pada kelompok tertentu dan merampas kekuasaan kelompok yang lain. 

Lyotard dan Bodrillard
Karena tidak mencari universalitas maka teori post-modern menolak narasi besar, atau metanarrative, topik inilah yang digarap Lyotard. Penolakannya terhadap narasi besar, oleh Lyotard dimaksudkan mau memerangi totalitas, dan menghidupkan perbedaan. Paling tidak di kalangan internal jajaran teoritisi post-modern,  Lyotard ada benarnya; post moderen sendiri menghimpun berbagai perspektif teoritis yang berbeda. 
Kalau Lyotard menolak narasi besar secafra umum, Boudrillard menolak narasi besar dalam sosiologi  dengan cara menolak seluruh gagasan tentang kehidupan sosial. Dalm hal ini adalah prinsip pengorganisasian. Gagasan pengorganisasian masyarakat dalam selama ini, bagi Boudrillard telah berakhir.   

Simmel dan Mills
Ada pandangan bahwa kedua orang yang sepertinya “akrab” dalam teori sosiologi modern ini  ternyata mengandung gagasan – gagasan yang mendekati teori post-modern. Posisi dua orang  yang mengkritik pandangan modernisme ini akan cenderung mendekatkannya pada posisi post-modernisme, meskipun hal ini adalah tafsiran atas dua orang ini. Tapi tafsir yang memasukkan dua orang ini pada posisi post modern ditolak oleh Kellner dan Best. Dibawah ini sekedar tafsiran dari Weinstein yang meletakkannya pda posisi post-modern.
  Simmel menentang keras totalisasi, dan cenderung berpandangan detotalisasi modernitas. Dalam tafsiran Weinstein tentang  karya Simmel, bahwa Simmel seorang modernis liberal. Narasi besar tentang kecenderungan sejarah menuju dominasi kultur obyektif, menuju “tragedi kultur” – kehancuran budaya. Paling tidak, Simmel adalah seorang post-modernis moderat. Modernisme dan post-modernisme bukanlan saling meng-eksklusi; tetapi dua bidang yang batanya tak bersambung satu sama lain.
Posisi C. Wrght Mills yang cenderung post-modernisme terlihat pada tiga faktor. Pertama, Mills menggunakan istilah “post-modern” untuk melukiskan era pencerahan yang kita masuki sebagai berada dipenghujung abad modern, segera memasuki abad post-modern. Kedua, Mills adalah pengkritik gigih teori besar (grand theory) modern. Ketiga, Mills menginginkan sosiologi menghubungkan masalah publik dengan persoalan pribadi yang khusus.
 
Fredic Jameson; Teori Sosial Post-Modern Moderat

            Meskipun ada perbedaan penting dalam jarak waktu antara modernitas ke post-modernitas, namun ada kesinambungan antara keduanya. Proposisi ini yang digarap Jameson. Prinsipnya, kapitalisme  yang dalam perkembangannyi kini berada pada fase “lanjutannya”  masih menjadi gambaran dominan, tetapi  telah menimbulkan logika kultural baru, yang disebut sebagai post-modernisme. Dalam posisi gagasan ini, Jameson  monolak Lyotard dan Boudrellard. Jameson hendak menyelamatkan teori marxian dari serangan Lyotard dan Boudrellard yang mengatakan teori marxian adalah narasi besar dan karena itu tak mempunyai tempat dalam post-modernisme.
Bagi Jameson, teori marxian menawarkan teori terbaik dalam memahami post-modernisme. Meskipun dengan resiko bahwa jika marxian tetap digunakan dalam analisa post-modern tak memadai pada basis ekonomi dari duania kultural baru ini. Namun masih bisa relefan dalam posisi penjelasnnya tentang produksi estetika, bahwa produksi estetika telah menyatu dengan produksi komoditi.  Analisa yang menarik dari Jameson meminjam marxian, kapitalisme hingga hari ini memberikan kemajuan dan pembebasan namun bersamaan dengan itu meningkatkan penindasan dan alienasi. Jadi, dalam kapitalisme ada malapetaka sekaligus kemajuan.
Dalam ulasan Ernes Mendel, Jameson membagi tiga tahap kapitalisme.
  • Pertama, kapitalisme pasar, sebagaimana dianalisis oleh Marx, kemunculan pasar nasional yang dipersatukan.
  • Kedua, tahap imperialis dengan munculnya jaringan kapitalis global.
  • Ketiga, kapitalisme akhir. Fase ini kapitalisme melabarkan sayap luar biasa melalui ekspansi kapital dan juga merentangkan komoditasnya, sehingga estetika pun menyatu dengan komoditas sebagaimana telah disinggung di atas. disini dapat dikatakan perubahan struktur ekonomi tercermin dalam perubahan kultural.  Jameson bersikeras  Marx masih sangat relefan dalam kontek ini; menghubungkan kultur realis dengan kapitalisme pasar.

Masyaralkat post-modern, ditengarai oleh Jameson,  terdiri atas empat unsur ;
Pertama, masyasrakat post-modern ditandai dengan kedangkalan dan kekuarangan kedalaman.  Kedua, masyarakat post-modern ditandai oleh kepura-puraan atau kelesuan emosi. Ketiga, msyarakat post-nidern ditandai oleh hilangnya kesejarahan. Dan, keempat, masyarakat post-modern ditandai sejenis teknologibaru yang berkaitan erat dengan masyarakat post-modern itu sendiri. Misalnya, teknologi seperti telivisi atau teknologi elektronik lah – dan bukan teknologi mesin mobil, misalnya – yang mengartikulasikan tekanan dan pengembaraan imej.     


Jean Boudreillard; Teori Sosisal Post-Modern Ekstrim
            Boudrillard, meskipun ia berlatar belakang sosiologi  tetapi karyanya sudah tidak lagi bisa diidentifikasi dalam deretan kelaziman karya sosiologis, karena ia menolak seluruh pembatasan disiplin ilmu. Karya-karyanya sangat dipengaruhi ilmu bahasa dan semiotik. Oleh Kellner karyanya dipandang sebagai suplemen semiologis terhadap teori polisik Marx.
            Cara Boudrillard melukiskan kehidupan post-modern bahwa kehidupan post-modern ditandai oleh simulasi. Yaitu mengarah pada kehidupan simulacra, oleh Kellneer diartikan semacam “reproduksi obyek dan atau peristiwa”. Dalam kaburnya perbedaan antara tanda dan realitas, maka semakin sukar mengenali yang tulen dai barang tiruan. Ia mengilustrsikan larutnya kehidupan kedalam TV, dan sebaliknya larutnya TV kedalam kehidupan. Jadi, simulasilah yang berkuasa; manusia menjadi budak simulasi.
            Hiperrealitas menjadi konsep penting.; media, seperti surat kabar, TV, tabloid berhenti menjadi cermin realitas, tetapi kemudian media menjadi realitas itu sendiri.  Pada kerangka ini Boudrillard memperlihatkan kultur yang mengalami revolusi dan merupakan bencana besar. Karena menyebabkan massa meenjadi pasiv ketimbang memberontak seperti yang diperkirakan Marx.

Teori Sosial Post-Modern dan Teori Sosiologi
            Sebagian berpendapat bahwa post-modern tak dapat dipandang sebagai teori, paling tidak dalam pengetian yang teori yang lazim. Tetapi menurut Ritzer, khususnya terhadap Boudrillard  masih dapat dimasukkan dalam jajaran teori sosial (sosiologi). Penerimaan terhadap Boudrillard ini jika diteliti membuka pintu masuk bagi sejumlah nama lain, seperti Jameson. Bagaimanapun sejauh inigagasan post-modern mempunyai implikasi terhadap bagian substansial dari dunia sosial, bahkan menggairahkan.

Penerapan Teori Sosial Modern
            Inovasi baru pada kehidupan sosial modern karena mereka sangat rasional. Rasionalistas yang tinggi pada masyarakat modern ini bukan hanya memampukan mereka (dalam pemikiran Simmel, membebaskan)  tetapi juga menciptakan masalah-masalah bagi mereka. Rasionelitas ternyatas tidak serta merta menhyelesaikan masalah. Disinilah signifikansi teori post-modern .  Dalam cara Weber menjelaskan rasionalisasi menampilkan disenchantment; akibat rasionallisasi adalah semakin tidak menarik, dunia kehilangan elemen magis. Maka, melalui teori post-modern  dikenalkan re-enchanchment. Atau,  re-enchanchment dari alat-alagt konsumsi baru menjadi jalan keluar bagi disenchantment.
            Simulasi. Alasan penting penciptaan simiulasi – atau pengubahan fenomena “riil” menjadi simulasi—adalah bahwa mereka dapat dibuat lebih spektakuler ketimbang aslinya, dengan demikian dapat lebih menarik konsumen.
            Implosi (implosion). Dunia yang berkembang cepat merepresentasikan semacam pertunjukan yang menarik konsumen ke dalamnya dan membuat mereka mengonsumsinya.




Kritik dan Teori Sosial Post-Modern

  • Kegagalannya untuk berbuat sesuai dengan standar ilmiah. Dengan riset empiris sebagaimana digunakan kaum modernis, ide-ide teori post-modern tidak dapat dibuktikan.
  • Lebik baik melihat teori post-modern sebagai ideologi. Karena, pengetahuan yang dihasilkan post-modernis ini tidak dapat dilihat sebagai suatu ide saintifik.
  • Sifat eksesiv dari dari kebanyakan diskursus post-modern menyulitkan sebagian besar orang di luar perspektif ini untuk menerima prinsip dasarnya.
  • Ide-ide post-modern seringkali sangat kabur dan abstrak sehingga sulit  untuk menghubungkannya dengan dunia sosisal.
  • Dalam analisisnya, teoritisi sosial post-modern seringkali melancarkan kritik terhadap masyarakat modern, namun kehilangan validitasnya karena kekurangan basis normativ untuk membuat penilaian.
  • Kekuarangan suatu teori tentang agen. Karena penolakan terhadap subyek dan subyektivitas.
  • Tidak mempunyai visi bagaimana masyarakat itu seharusnya.
  • Sangat pesimis.
  • Mengabaikan hal-hal yang dianggap penting dimasa kita.



Evaluasi Umum

            Pertama, hemat saya, nampaknya tidak sepenuhnya fairness  cara Ritzer sepanjang diringkas dalam kertas kerja ini dalam memberikan komentar dan kritik terhadap post-modern. Yaitu menilai post-modern dengan menggunakan ukuran yang biasa dipakai kaum modernis. Yang paling prinsip adalah kedua “bacaan” ini (modernis dan post-modernis) meletakkan ‘kebenaran’ dalam kerangka ontologi yang tidak sama. Bagi modernis kebenaran itu tunggal, bagi post-modernis “kebenaran” itu diharuskan menggunakan tanda kutip karena tidak tunggal.
            Kalau keduanya adalah produk sejarah yang bersifat kontinum, yang harus dikerjakan – mungkin pekerjaan berat – adalah menarik garis kontinuitas itu; dan menemukan disana-sini dis-kontinuitasnya. Jadi bukan dalam kerangka kritik – mengkritik dalam tolok ukur yang berbeda. Perkara kelahiran post-modern adalah melalui kritiknya terhadap modernisme, adalah hal yang berbeda kembali mengkiritik post-modern menggunakan kerangka modernisme. 

            Kedua, sayangnya  baik  Ritzer maupun para post-modern tak pernah menoleh spiritualitas (Agama Timur?)  dalam masyarakat modern. Padahal, hemat saya, spiritualitas ini fakta empirisnya menawarkan makna , sehingga meneyelessaikan problem kedangkalan dan kekuarangan kedalaman yang diderita masyarakat post-modern.

             
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar