Kamis, 25 Juli 2013


Perihal Teori Etika

 
Tradisi kritis :

Pintu masuk dunia filsafat Moral

 

Beraneka ragam pintu masuk dunia filsafat. Orang bisa memulai dari mempelajari sejarah (lahirnya) filsafat; bisa dari ketertarikan pada tema-tema tertentu[1] tanpa harus berangkat dari metode kronologis; bisa berangkat dari focus (kekaguman) pada  seorang filosof [2]; bisa pula berangkat dari metode berfikir kritis dan radikal. Tapi tentu saja orang tidak dapat masuk dunia filsafat melalui ketertarikannya pada wilayah klenik (jadi lucu ada mahasiswa yang menhubungkan filsafat dengan dunia perdukunan!). Dunia klenik menutup orang berfikir rasional. Wilayah klenik tidak perlu penjelasan dan argumentasi begini atau begitu, orang dituntut kepatuhan total (sebetulnya untuk keperluan-keparluan pragmatic jangka pendek)[3].

  Namun, bukan hanya wilayah klenik yang menutup argumentasi rasional, wilayah ideology juga mendekati ketertutupan argumentasi alternative[4]. Apakah agama masuk pada wilayah ini ? Pada banyak sisi agama justru menuntun / merangsang berfikir argumentative – menuntun rasionalitas. Namun ruang dogmatis agamalah yang acapkali membingkai rasio yang dibutuhkan filsafat.  Hemat saya, sistem sosisialah yang membuat agama beku  sehingga menyerupai wilayah klenik. Sistem social, merujuk jalan fakir Auguste Comte hanyalah merupakan suprastruktur dari infrastruktur tata fakir masyarakatnya. Misalnya, masyarakat yang didominasi klenik cenderung menghasilkan system kekuasaan feodal.   Jadi demokrasi hanya bisa hadir dalam masyarakat yang menerima pemikiran kritis, masyarakat yang memberi ruang argumentasi rasional.

Kita kembali ke pintu masuk filsafat. Metode berfikir kritis dan radikal kalau dirunut dari deretan kategori pintu masuk  filsafat di atas tergolong pada tema tertentu dalam filsafat. Dalam hal ini, epistemology dan logika, misalnya. Epistemology adalah cabang  filsafat tentang tata cara memperoleh pengetahuan, sementara logika adalah tata tertib agar cara memperoleh pengetahuan itu tidak sesat. Logika tidak untuk menjaring / mendapat pengetahuan tetapi sebagai rambu – rambu agar dalam proses menggapai pengatahuan tidak sesat.

Namun cara berfikir  radikal dan kritis  tidak melulu produk epistemology dan logika, masih perlu bidang yang menyeret realitas pada “gagasan – gagasan mendasar” yang menjadi tradisi berfikir filsafat. Misalnya bidang yang membahas apa yang dimaksud “pengetahuan”  dan  apakah  pengetahuan memang ada, apa yang dimaksud “ada”, bidang filsafat ini adalah ontology.  Bidang lain, Bidang filsafat yang bertugas membongkar nilai tidak dapat dilepaskan dari proses membangun tradisi berfikir kritis. Kehidupan social tidak lepas dari tindakan – tindakan yang berkategori nilai, dengan nilai  orang mengatakan  si A berbuat baik, si B berbuat tidak baik. Bandingkan misalnya seseorang yang hidup di hutan sendirian, nilai tidak akan terkonstruksi selayaknya dalam kehidupan social. Bidang filsafat yang mendiskusikan nilai adalah aksiologi. Pada bidang inilah persoalan – persoalan etika dimulai.

 Di atas telah diurai, betapa pemikiran  argumentasi  rasional - kritis hanya bisa tumbuh dalam masyarkat – Auguste Comte menyebutnya – positivistic. Masyarakat yang tunduk pada ilmu pengetahuan sebagai panglima; yaitu  sebuah corak masyarkat dimana dalam pencarian kebenaran diputuskan melalui ilmu pengetahuan. Comte, belakangan banyak dikritik[5]. Karena nampaknya Comte tidak begitu menaruh perhatian terhadap makna kebenaran yang ia legitimasikan dalam ilmu pengetahuan.

Kamis, 20 Juni 2013

Kecenderuungan Global dan Keamanan Dalam Negeri


Kecenderungan Global, Kamdagri, dan (Re)posisi Kepolisian

(Penelusuran Sosiologi atas Ideologi Fundamentalisme)

 

 

Utilitatis ratio alicuius perspicua

nobis out obscura

Bagi kita, alasan kegunaan sesuatu itu bisa jelas

 tetapi juga bisa gelap

 

Abstrak

Fundamentalisme hadir di penghujung abad ke-20 bukan melulu berbasis agama (dengan ‘iming-iming’ after live) dan Marxis, namun fundamentalisme  juga hadir dalam matra rasionalitas instrumental. Otoritas negara, selain  gamang’ menjegal gerak fundamentalis dalam alam demokrasi ini, pada sisi lain tak mudah bagi negara mengidentifikasi persoalan dasarnya. Alih-alih, negara terperangkap pada pusaran fundamentalisme bermatra rasionalitas instrumental. Artikel pendek ini lebih menawarkan sebuah persoalan ketimbang jawaban, perihal: dari mana memulai pembacaan persoalan yang mengancam rasa aman atas ras manusia dan kolektivitas yang disebut negara bangsa ?   

 

 

Kata Kunci: Fundamentalisme, Rasionalisme,  dan Utilitarianisme.  

 

Prolog

Di tahun 1980-an ramai diskusi di kalangan cendikiawan muslim perihal kontribusi agama bagi kemanusiaan. Kalau dirumuskan dalam sebuah kalimat tanya  topik diskusi itu adalah, “Apakah agama mempunyai fungsi sentrifugal atau sentripetal?” Topik diskusi ini marak setelah sejumlah pengeboman yang dilakukan kalangan islam garis keras di sejumlah tempat. Sekitar sepuluh tahun setelah reformasi angka  jama’ah haji dari Indonesia meningkat pesat. Kenaikan orang bertitel haji ini dibaca sebagai dua indikasi: pertama, meningkatnya taraf ekonomi, dan kedua, meningkatnya jumlah orang-orang soleh di Indonesia. Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola pada sebuah acara diskusi televisi dengan sengit membantah hipotesis yang kedua ini. Menurutnya tak ada hubungan antara kesolehan ritual (haji) dengan kesolehan sosial. Alasan yang dikemukakan sosiolog ini sederhana, bahwa koruptor besar maupun kecil di Indonesia, kalau di KTP tercantum beragama islam hampir bisa dipastikan pernah berhaji[1]. 

Jika hipotesis sosiolog ini benar, bagaimana cara membaca ‘kesolehan’ kelompok islam garis keras yang ramai didiskusikan pada tahun 80-an itu ? Mereka berjuang  atas nama jihad mengorbankan jiwa raga untuk islam ? Dalam logika linier, modus keberagamaan kelompok islam garis keras ini lebih soleh dibandingkan orang-orang yang bertitel haji di atas. Tandanya adalah ‘tindakan sosial’ bersifat asketik dan altruistik yang melekat pada kelompok islam garis keras. Altruistik merupakan buah loyalitas atas nilai-nilai non material. Dalam kerangka Emile Durkheim, altruisme ini merupakan bentuk tindakan kesholehan yang mempunyai implikasi serius pada solidaritas sosial.

Namun, kerangka Durkheimian ini pada era modern agaknya tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan mendasar atas pertanyaan: “apakah agama mempunyai fungsi sentrifugal atau sentripetal ?” Kesulitannya adalah pada ukuran moral yang menjadi pijakan untuk mengukur sebuah tindakan. Modernisme yang bertumpu pada filsafat moral utulitarian selain menyuguhkan janji prosperity (baca: kemudahan dalam menghadapi alam), juga menggelar jenis rasionalitas yang dalam banyak hal menindas virtue kemanusiaan. Sehingga relasi sosial selalu diformat dalam rasionalitas instrumental. Disinilah persoalannya: kalau modus keberagamaan fundamentaslime dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan dan ketertiban; maka bentuk rasionalisme instrumental yang diusung modernisme itu sendiri  sesungguhnya sebuah bentuk fundamentalisme baru disepanjang peradaban manusia. Disini, rasa keamanan manusia terusik oleh dua jenis fundamentalisme ini hadir secara bersama-sama di pengujung abad ke-21 ini.

 

 

Penelusuran Perspektif: Kecenderungan Global

 

Amitai Etzioni, sosiolog Israel-Amerika kelahiran 1930, berkarir di  University of California,  dalam The Moral Dimension Toward a New Economics  me-wanti-wanti hadirnya pertarungan sistem moral yang bekerja dalam sistem ekonomi. Pertarungan sistem moral ini dimulai, paling tidak, gelagatnya dapat dibaca sejak menguatnya teknologi informasi (baca: globalisasi). Apa itu pertarungan sistem moral ?  

Pertanyaan semacam ini, sungguhpun bersifat fundamental[2] namun seperti lepas dari landasan picu yang menjadi keprihatinan para pengamat keamanan. Ketika buku Etzioni diterbitkan tahun 1988 gagasan dasarnya dipandang  tak menarik sama sekali oleh kalangan pengamat ekonomi maupun keamanan. Bahkan, gagasan Etzioni dalam buku ini dipandang tak ada relefansinya dengan kondisi yang mencemaskan perikehidupan manusia pada awal pergantian abad ke-21. Lima tahun kemudian, bersamaan dengan runtuhnya Uni Sovyet (1991), buku ini mulai sedikit diperhitungkan. Konsep ‘rasionalitas’, sebagaimana diintrodusir Max Weber,  dalam buku itu menurut Etzioni berakar di dalam filsafat politik dan etika tertentu (Etzioni;146). Disini Etzioni tidak sedang menggiring untuk membangun kecurigaan kepada musuh Amerika pasca rontoknya adidaya di belahan dunia Timur yang anti kapitalisme-liberalisme itu. Tidak pula, sebagaimana gaya Hantington yang (hemat Saya, maaf: provokativ)  menuntun kekuatan hegemonik Amerika dan sekutunya mengarahkan kewaspadaan terhadap Islam dalam jargon yang terkenal dengan clash civilization. Ancaman terhadap kemanusiaan, menurut logika Etzioni, tidak harus berpusat pada arus entitas sosial besar yang saling berbenturan, seperti kapitalisme versus sosialisme, atau Barat versus Timur.

Dalam konteks terbatas ini, agaknya Atzioni menyerupai bagian tesis Karl Marx perihal ‘kontradiksi internal’. Yang membedakannya, Marx cenderung mudah melakukan simplifikasi pada proses sosial yang dikandung sistem kapitalisme -- kontradiksi kelompok sosial di dalam sistem yang tak pernah bisa didamaikan -- yaitu dua entitas sosial: bawah dan atas. Telah banyak kritik atas tesis Marx ini, utamanya menyangkut fakta eksistensi sistem kapitalisme yang berdiri kokoh hingga kini: bararti menggugurkan tesis Marx itu sendiri. Para penganut Marx menanggapi kritik faktual ini dengan mengatakan, “kapitalisme telah memperbaharui dirinya”.

Kamis, 07 Maret 2013

Kecenderungan Global vs. Kepolisian



Kecenderungan Global, Kamdagri, dan (Re)posisi Kepolisian
(Penelusuran Sosiologi atas Ideologi Fundamentalisme)

 

Utilitatis ratio alicuius perspicua
nobis out obscura
Bagi kita, alasan kegunaan sesuatu itu bisa jelas
 tetapi juga bisa gelap

Abstrak
Fundamentalisme hadir di penghujung abad ke-20 bukan melulu berbasis agama (dengan ‘iming-iming’ after live) dan Marxis, namun fundamentalisme  juga hadir dalam matra rasionalitas instrumental. Otoritas negara, selain  gamang’ menjegal gerak fundamentalis dalam alam demokrasi ini, pada sisi lain tak mudah bagi negara mengidentifikasi persoalan dasarnya. Alih-alih, negara terperangkap pada pusaran fundamentalisme bermatra rasionalitas instrumental. Artikel pendek ini lebih menawarkan sebuah persoalan ketimbang jawaban, perihal: dari mana memulai pembacaan persoalan yang mengancam rasa aman atas ras manusia dan kolektivitas yang disebut negara bangsa ?   


Kata Kunci: Fundamentalisme, Rasionalisme,  dan Utilitarianisme.  

Prolog
Di tahun 1980-an ramai diskusi di kalangan cendikiawan muslim perihal kontribusi agama bagi kemanusiaan. Kalau dirumuskan dalam sebuah kalimat tanya  topik diskusi itu adalah, “Apakah agama mempunyai fungsi sentrifugal atau sentripetal?” Topik diskusi ini marak setelah sejumlah pengeboman yang dilakukan kalangan islam garis keras di sejumlah tempat. Sekitar sepuluh tahun setelah reformasi angka  jama’ah haji dari Indonesia meningkat pesat. Kenaikan orang bertitel haji ini dibaca sebagai dua indikasi: pertama, meningkatnya taraf ekonomi, dan kedua, meningkatnya jumlah orang-orang soleh di Indonesia. Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola pada sebuah acara diskusi televisi dengan sengit membantah hipotesis yang kedua ini. Menurutnya tak ada hubungan antara kesolehan ritual (haji) dengan kesolehan sosial. Alasan yang dikemukakan sosiolog ini sederhana, bahwa koruptor besar maupun kecil di Indonesia, kalau di KTP tercantum beragama islam hampir bisa dipastikan pernah berhaji[1]. 
Jika hipotesis sosiolog ini benar, bagaimana cara membaca ‘kesolehan’ kelompok islam garis keras yang ramai didiskusikan pada tahun 80-an itu ? Mereka berjuang  atas nama jihad mengorbankan jiwa raga untuk islam ? Dalam logika linier, modus keberagamaan kelompok islam garis keras ini lebih soleh dibandingkan orang-orang yang bertitel haji di atas. Tandanya adalah ‘tindakan sosial’ bersifat asketik dan altruistik yang melekat pada kelompok islam garis keras. Altruistik merupakan buah loyalitas atas nilai-nilai non material. Dalam kerangka Emile Durkheim, altruisme ini merupakan bentuk tindakan kesholehan yang mempunyai implikasi serius pada solidaritas sosial.
Namun, kerangka Durkheimian ini pada era modern agaknya tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan mendasar atas pertanyaan: “apakah agama mempunyai fungsi sentrifugal atau sentripetal ?” Kesulitannya adalah pada ukuran moral yang menjadi pijakan untuk mengukur sebuah tindakan. Modernisme yang bertumpu pada filsafat moral utulitarian selain menyuguhkan janji prosperity (baca: kemudahan dalam menghadapi alam), juga menggelar jenis rasionalitas yang dalam banyak hal menindas virtue kemanusiaan. Sehingga relasi sosial selalu diformat dalam rasionalitas instrumental. Disinilah persoalannya: kalau modus keberagamaan fundamentaslime dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan dan ketertiban; maka bentuk rasionalisme instrumental yang diusung modernisme itu sendiri  sesungguhnya sebuah bentuk fundamentalisme baru disepanjang peradaban manusia. Disini, rasa keamanan manusia terusik oleh dua jenis fundamentalisme ini hadir secara bersama-sama di pengujung abad ke-21 ini.


Penelusuran Perspektif: Kecenderungan Global

Amitai Etzioni, sosiolog Israel-Amerika kelahiran 1930, berkarir di  University of California,  dalam The Moral Dimension Toward a New Economics  me-wanti-wanti hadirnya pertarungan sistem moral yang bekerja dalam sistem ekonomi. Pertarungan sistem moral ini dimulai, paling tidak, gelagatnya dapat dibaca sejak menguatnya teknologi informasi (baca: globalisasi). Apa itu pertarungan sistem moral ?