Paradigma
Ilmu Sosial
Paradigm
sebagai sebuah konsep, yang kita tahu selama ini, tepatnya dalam penggunaan
sehari-hari, dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu pemikiran yang bersifat mendasar sehingga ia
menjadi sandaran bagi pemikiran selanjutnya yang bersifat elementer. Misalnya,
kalau orang menyebut istilah ‘shifting
paradigm’, yang dimaksud adalah perubahan mendasar dalam berfikir yang
kemudian diikuti perubahan-perubahan lainnya yang bersifat elementer. Tentu saja
pengertian semacam ini tidak salah, tetapi tidak cukup! Kita akan melacak
melalui cara yang analitik, apa dan
bagaimana konsep ini digunakan dalam ilmu sosial.
Konsep
paradigma (paradigm) pertama sekali digunakan oleh Thomas Kuhn[1]
dalam buku yang diterbitkanya pada tahun 1962, The Structure of Scientific Revolutions. Yang membuat buku ini booming adalah dua hal. Pertama, gagasan
Kuhn dalam buku ini merevisi pandangan lama tentang pertumbuhan ilmu
pengetahuan. Pandangan awal perkembangan
ilmu pengetahuan itu tumbuh secara evolusi, atau acapkali disebut sebagai
kumulatif. Kedua, Kuhn menawarkan suatu cara bagi ilmu-ilmu sosial, khususnya ilmu sosial murni
(sosiologi), dalam mempelajari disiplin
ilmu mereka.
Term
paradigma merupakan konsep kunci untuk menganalisis perkembangan ilmu
pengetahuan. Pandangan kritis terhadap
Kuhn disampaikan oleh Margaret Masterman[2]
. Wikipedia menulis, “she criticised
Thomas Kuhn for his use of the concept ‘Paradigm’. This criticism was accepted
by Thomas Kuhn and was crucial in the shift of the concept ‘Paradigm’ to
‘Incommensurability’ “. Kritik
Masterman bahwa Kuhn tidak memberikan elaborasi definitive terhadap apa yang
dimaksud dengan paradigma. Kuhn
menggunakan konsep ini secara ‘longgar’ sehingga dalam analisis Masterman,
konsep paradigm digunakan oleh Kuhn
tidak kurang dari duapuluh satu
pengertian (George Ritzer:1985;5). Masterman memilah-milah penggunaan konsep
paradgima oleh Kuhn yang duapuluh satu
pengertian itu kedalam tiga kategori. Namun demikian, pemilahan, atau tepatnya
pengelompokan, konsep paradigm menjadi
tiga bagian yang dilakukan Masterman
meskipun cukup analitik tetapi masih bersifat ambigu. Ini pendapat
Robert Frederich. Ia membantu mendefinisikan paradigm secara ketat,
sebagai a fundamental image a dicipline has of its subject metter.
Pemilahan
Masterman ini meskipun menurut Frederich dipandang mengandung ambigu namun diperlukan
secara analitik. Pemilahan ini adalah: Pertama, paradigma metafisik. Paradidgma
ini merupakan konsensus terluas dalam
suatu disiplin ilmu. Mengacu pada (kesepakatan) ilmuwan yang memusatkan
perhatian terhadap suatu yang ada, yang sama-sama menjadi pusat perhatian
mereka. Kesepakatan terhadap ‘yang adaa’ ini kemudian disebut sebagai satu komunitas
ilmuwan. Jadi, tentu ada banhyak komunitas ilmuwa yang batas-batasnya disandarkan atas suatu kesepakatan kepada
‘yang ada’ -- yang menjadi pusat perhatian mereka. Kedua, paradigma sosiologis. Pengertian ini mengacu pada penemuan
(yang amat kokoh) sehingga mendapat kesepakat umum. Kuhn menyebutnya
sebagai exemplar. Dalam ilmu sosial
murni seperti sosiologi, misalnya adalah karya Max Weber dan
karya Emile Durkheim. Kedua karya ini mendapat pengakuan dan diterima
secara umum dikalangan ilmuwan sosial. Ketiga, paradigma konstrak. Paradigm
jenis ini merupakan konsep yang paling sempit dintara tiga paradigma.
Dengan
demikian kalau kita harus menarik simpulan, paradigma itu bersifat gradatif
atau berundak-undak tingkat mendasarnya dan kedalamannya. Kalau ada pertanyaan bernada protes bahwa,
katanya “kita harus melakuan perubahan paradigmatik (shifting paradigm)”, persoalannya pada level mana yang ia maksudkan
perombakan paradigmatic itu. Tetapi, anyway, diskusi
pada aras paradigma akan membantu untuk merumuskan tentang apa yang
harus dipelajari dan persoalan-persoalan apa yang musti dijawab serta bagamiana
(cara) menjawabnya. Perhatikan tiga pilahan paradigm yang dirumuskan Masterman
di atas, misalkan pada level paradigm sosiologik, disini terdapat satu pandangan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan dari cabang ilmu ini.