Senin, 12 Desember 2016

Realisme Kritis dalam "Sosiologi Kepoilisian"


Realisme Kritis dalam “Sosiolosi Kepolisian: Relasi Kuasa Polisi dengan Organisasi Masyarakat Sipil"


Berikut adalah makalah diskusi Bedah Buku Sosiologi Kepolisian karanangan Dr. Sutrisno, Penerbit Yayasan Obor Indoneisia, 2016. Diskusi ini diselenggarakan oleh Sekretariat Program Doktor  Ilmu Kepolisian  PTIK pada  29 November 2016. Makalah ini mengkonsentrasikan  sisi epistemology yang mendasari penggunaan metodologi.


     Prolog

Pada era Orde Baru Polri  mempunyai fungsi diantaranya sebagai stabilisator pembangunan. Pada posisi ini kepolisian tidak berdiri sendiri dalam mendefinisikan realitas keamanan, fungsi stabilisator pembangunan acapkali  ditengarai oleh sejumlah kalangan menimbulkan masalah terkesampingkannya hak-hak individu sebagai warga negara dalam kehidupan masyarakat. Pasca Orde Baru negara berupaya menempatkan Polri pada posisi ‘kompatabel’ dengan tuntutan demokrasi[1]. Diantaranya, pertama, dipisahkannya Polri dari militer (TAP MPR VI Tahun 2000); menjadikan Polri sebagai lembaga non-departemen (setingkat menteri) ; menjadikan Polri mitra kerja Komisi DPR RI; mengubah struktur anggaran; membentuk Kompolnas (UU No.2/2002). Kedua, pada kurun ini pula terjadi reformasi  organisasi negara, lembaga-lembaga kenegaraan, dan dibentuk banyak sekali lambaga dan komisi independen (ouxylary organ).

Perubahan struktural ini  merupakan konfigurasi baru relasi kekuasaan Polri di sepanjang sejarah. Persoalannya, apakah sejumlah upaya perubahan ini cukup memberi ruang bagi Polri dari bentuk relasi kekuasaan berdimensi  dominatif ? Dan selanjutnya, bagaimana implikasi dari kemandirian lembaga pengendali tata kelola keamanan ini?

Pada era sebelumnya, relasinya dengan masyarakat (sipil) bersifat superior/dominanitf:  polisi medefinisikan sendiri tentang bagaimana ia harus bertindak mendefinisikan realitas. Perubahan di tubuh kepolisian ini tidak bisa segera mampu mengikuti ekspektasi masyarakat sebagaimana diurai dalam di atas.  Tanpa harus mengingkari kontestasi normatif  bahwa tidak ada lembaga diluar institusi kepolisian (sebagai artikulasi negara) yang mempunyai monopoli atas sarana coersion: pada pasca reformasi menjadi sangat sensitif penggunaan sarana coersion sehingga perlu legitimasi pada batas – batas tertentu.   



Metodologi :

Realisme  Kritis dan Konseptualisasi

Realisme Mengacu pada : 1) realitas (sosial) tidak terikat pada si subyek. “di luar sana”;  2) realitas berundak-undak.

1)   Realitas berada “di luar sana”. 

Tiga raksasa sosiologi klasik menyandarkan konstruksi teorinya pada  realisme kritis.   Ted Benton ( 2001: 131) menyebut,  All three (Marx, Weber  and Durkheim) were committed to the existence of social realities independent of the beliefs held about them by individuals...

Untuk memahami ‘cara kerja’ realisme kritis ini, menarik menengok bagaimana salah satu raksasa sosiologi itu menggunakanya. Misalnya, Karl Marx. Sejumlah konsep yang digunakannya seperti: kepentingan; kesadaran palsu dan kesadaran asli; hegemoni (ini dari neo-marxian, Antonio Gramsci); eksplotitasi; dan seterusnya tak bisa difahami tanpa berangkat dari kerangka realisme ini.

Konsep “konflik kepentingan”, misalnya. Kalangan Marxian menggunakan  konsep konflik kepentingan ini utamanya mengacu pada aspek structur  hubungan antar kelompok manusia atau peran (role). Struktur hubungan untuk menjelaskan fenomena konflik kepentingan tidak bisa difahami melalui observasi  interaksional tatap muka. Pada tahap tertentu tak perlu pula wawancara. Struktur hubungan sosial eksploitatif tak terlalu relefan diamati pada interaksi tata muka. Tak perlu tertipu dengan (layaknya permainan) drama sebagaimana yang dilakukan kaum intersksionis simbolik.  Meskipun interaksi tatap muka antara aktor kelas pekerja dengan kapitalis itu  kelihatan mesra, bagi kalangan marxian tidak begitu perduli dengan interaksi tatap muka mesra ini.

Yang dilihat oleh Marx adalah struktur relasi dalam hubungan antar peran dalam proses produksi  (dalam format hubungan antar kelas sosial).  Sehingga kalangan Marxian tidak mungkin menggunakan instrument wawancara bertanya tentang “apakah Anda dieksploitasi?” atau “apakah Anda berkonflik dengan mereka?”   Fenomena eksploitasi cukup ditelusuri pada  angka-angka dari bekerjanya system produksi (system ekonomi). Jika secara angka dalam bekerjanya system produksi ini terdapat indikasi eksploitasi maka cukuplah disimpulkan adanya eksploitasi; tidak perlu lagi  mewawancara aktorr atau kelompok untuk menelusuri  apakah aktorr dieksploitasi. Ini yang disebut ‘realitas di luar subyek’.

Dalam kerangka semacam itu  jika metode wawancara tetap dilanjutkan dan aktor/subyek ini memberikan jawaban bahwa tidak ada eksploitasi dalam hubungan social, bagi seorang  realis akan tetap lebih mempercayai angka-angka. Jelaslah, ini menggambarkan realitas yang berundak. Gambaran ini adalah tentang realitas obyektiv dan realitas subyektiv. Artinya ada eksploitasi di situ (realitas obyektiv) tetapi aktor tak merasa dirinya dieksploitasi (realatas subyektiv). Fenomena keterpilahan antara onbyektiv dengan subyektiv dalam kerangka semacm ini selanjutnya oleh Marx disebut dengan konsep false consciousness atau kesadaran palsu.  

Konseptualisasi: Relasi Kuasa. Nah, konsep “relasi kuasa”  itu juga meletakan perhatian pada struktur sosial untuk memotret hubungan antar  kelompok peran sosial.  Secara metodik tidak bisa  meletakan metode yang handal pada wawancara, yang acapkali subyek menegasakan hubungan antar actor yang harmonis.

Jadi, apa yang utamanya dilihat ? Diantara elemen struktur sosial itu yang penting adalah menganalis pergeseran otoritas institusi pasca jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Ya, otoritas dulu yang dielaborasi, bukan kekuasaan (power). Kedua konsep ini, otoritas dan kekuasaan  berbeda secara mendasar. Kekuasaan merupakan tindakan sosial yang ‘didasari’ pada tafsir atas otoritas (legal formal). Dengan demikian kekuasaan pada dasarnya adalah soal tafsir atas teks legal. Kekuatan tafsir di kalangan anggota kepolisian, misalnya, terletak pada haerarkhi kepangkatan dan jabatan yang disandangnya. Disini haerarkhi dan jabatan menjadi sumber daya kekuasaan. Ini hanya sebuah misal. Dalam ilmu politik sumber daya kekuasaan itu bisa massa, dana, jabatan, keahlian, dan seterusnya.  Polisi sebagai sebuah entitas sosial mempunyai (kekuatan) tafsir atas legal formal sejauh menyangkut tugasnya terhadap apa yang akan dilakukannya.

 Pada perkembangan kontemporer kemudian Michel Foucoult memperluas jangkauan kekuasaan, bahwa regulasi itu tidak melulu berangkat dri suatu teks tertulis alias ada dimana-mana, maka kekuasaan pun ada dimana-mana. Tindakan kepolisian yang berasal dari tafsir atas otoritas (legal formal) bukan hadir pada lingkungan sosial yang hampa, karena harus bersisnggungan dengan entitas sosial diluar dirinya. Persinggungan ini di sini dalam buku ini adalah utamanya dengan organisasi masyarakat sipil.

Menganalisis otoritas-otoritas merarti  membedah tekstual-regulatif normative. Tentu, pergeseran didalamnya -- dan keluarnya regulasi -- tidak steril dari pertarungan kekuasan dengan aneka basis sosialnya.    Lihat undang undang yang bergeser, TAP MPR,  Perkap, dan seterusnya tak lebih dari soal pertarungan kepentingan entitas sosial.

Perubahan sosial yang terjadi pasca jatuhnya Orde Baru utamnya pada dua hal. Pertama, runtuhnya otoritas utama pendefinisi realitas (yang cenderung bersifat tunggal yang diartikulasikan melalui Pak Harto); dan kedua, kejatuhan Pak Harto adalah berarti  tercecernya otoritas-otoritas pendefinisi realitas.  Otoritas pendefinisi realitas ini berserak secara tidak merata. “ketakmerataan” ini pada dasarnya adalah sebuah tarik-menarik keluasan otoritas antar (peran) lembaga. Seberapa luas, otoritas kepolisian mengendalikan tata kelola keamanan; seberapa peran masyarakat sipil; dimana ruang control, dan seterusnya. Disinilah persinggungan relasi kuasa insitusi kepolisian dengan organisasi masyarakat sipil itu. 



“Realita berada di luar sana” dalam Relasi Kuasa Polisi dengan OMS (RKPOMS).  RKPOMS betumpu pada data media massa.  Tentu saja, Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa  gambaran media massa tentang sebuah realitas tak selalu mencerminkan realaitas yang sesungguhnya.  Tetapi, gambaran media masa tentang sebuah realitas adalah realitasnya itu sendiri. Opini bukanlah realitas; tetapi tetap ia adalah sebuah ‘realitas opini’.  Bukan berarti Peneliti tak perlu memasuki kebenaran koheren dari sebuah opini, tetapi Peneliti perlu berkesadaran bahwa realitas ini berundak, yaitu: ada opini sebagai  realitas sendiri; ada pula kebenaran koherensi obyek opini.  Sebagaimana opini public tentang suatu hal tidaklah selalu menyajikan kebenaran yang diopinikan: tetapi  opini tetaplah sebuah realitas yang riil’, yaitu: realitas opini. Bahkan realitas ini empiris.

Kalau media atau public menggambarkan  bahwa Si Fulan adalah seorang koruptor, dalam realisme difahami bahwa media atau public memandang bahwa Fulan  itu koruptor.[2] Titik . Tidak lebih dari itu. Peneliti tak bisa memasukan padangan pribadinya.  Ini yang dimaksud ‘realitas ada di luar sana’.  Kalau public ketakutan karena hantu, padahal  peneliti meyakini bahwa hantu itu tidak ada, maka Peneliti tak perlu menyimpulkanbahwa “public takut pada angan-angannya sendiri”; tetapi harus disimpulkan bahwa “public takut  karena ada hantu”. Sekali lagi: realitas ada ‘di luar sana’.

Pengertian bahwa “realitas di luar sana” maksudnya  dalam membaca data atau realitas tidak terikat pada persepsi si subyek (Peneliti maupun subyek yang diteliti). Ini utamanya cara yang dipakai Emile Durkheim dalam memperlakukan fakta social. Peneliti tidak bisa mengatakan bahwa apa yang dipersepsi media atau public itu salah secara koheren atau benar.

2. Realitas berundak-undak. Singkatnya dalam realisme ‘kebenaran’ difahami bersifat gradatif. Rumusan ini tak mudah difahami tanpa menelusuri Imanuel Kant perihal nomena-fenomena. Hemat saya, kesadaran bahwa realitas bersifat berundak adalah sebuah kerendahatian. Sifat ini dianjurkan, bukan sekedar oleh para akademisi sejati tetapi juga oleh agama, agama apa saja. Peter Berger menyebutnya sebagai ‘rendah hati terhadap realitas’. Tidak arogan.

Sisi Kant yang cukup membantu menyingkap  realisme adalah pada: “tinggalkanlah nomena! Geluti saja  fenomena!”. Fenomena mengacu pada dua dimensi : yaitu  semacam realitas ‘empiris’[3] dan mempunyai pola. Bukanlah kapasitas kita, manusia,  di ruang akademik manapun  untuk menangkap nomena. Mengapa ? Karena tidak akan nyampe. Soalnya nomena itu adalah ruang ‘kebenaran hakiki’[4]. Disini tak jadi soal kalau istilah kebenaran dipertukarkan dengan’realitas’, dan juga istilah ‘hakiki’ dipertukarkan dengn ‘sejati’. Jadi ‘kebenaran hakiki’ sama dengan mengatakan ‘realitas hakiki’ -- bukan pada persitilahan ini persoalannya. Apa itu kebenaran/realitas hakiki ?  Ribuan tahun para filosof tak pernah selesai mendiskusikan ikhwal ini. Tak pula sepakat. Muaranya pada pandangan biner antara Plato dengan Aristoteles: debat panjang mana yang paling sejati  antara ‘roh’ dan materi. Manusia beragama meletakan realitas hakiki itu pada non-materi (roh?). Nah, disinilah rumitnya.  Saya kira marilah kita hengkang saja dari diskusi topik semacam ini disini[5]. Singkat kata, sekali lagi yang dipesankan Kant, bahwa bukan kapasitas kita memasuki ruang nomena.  Usaha  manusia menangkap gejala kebenaran, bukan kebenaran  itu an sih. 

Jadi, apa yang dimaksud dengan realitas yang berundak ?  Dalam ulasan pendek di atas, Kant dengan sendirinya meletakan keberundakan realitas itu! Yaitu, ada realitas sejati, ada realitas biasa yang manusiawi. Kebenaran/realitas sejati tak pernah bisa dijangkau  melalui instrumen penelitian ilmiah biasa; sementara realitas ‘yang manusiawi’-lah yang menjadi gelanggang penelitian ilmiah. Ini pun masih mempunyai keberundakan. Peralatan penelitian sosial, misalnya, dalam kandungan konsep triangulasi mengindikasikan perolehan pengetahuan yang berundak itu.

Mari kita periksa proposisi ini. Misalnya pada triangulasi data berikut ini.  Antara data media massa; data wawancara; dan data dokumen adalah tiga (jenis) data yang bisa saling cross-check. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan masing-masing data ini ditempatkan  ‘berdiri sendiri’ karena realitas masing-masing berbeda -- sebagai pengetahuan bersifat gradatif. Yang dimaksud ‘berdiri sendiri’ juga bisa mempunyai mekanisme control, semacam triangulasi internal . untuk mengecek kebenaran informasi yang disampaikan media massa tertentu bisa pula dicek melalui pemberitaan media masa lain; begitu juga apa yang dikatakan informan bisa dicek melalui informan lain.

Laporan media massa “x”, misalnya, menyebut bahwa pejabat bernama Fulan melakukan penyalahgunaan wewenang. Bagi realisme tidak perlu laporan ini dipercayai sepenuhnya; tetapi sekaligus tidak perlu pula dinegasikan (ditolak kebenarannya)[6]. Yang perlu dicerna, realitasnya bahwa media massa “x” menyebut bahwa Fulan melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Titik.  Inilah yang dimaksud bahwa (laporan) media massa merupakan realitas sendiri. Bagaimana menilai kebenaran tentang Fulan ? Begini diantara cara termudah. Laporan media massa tentang Fulan ini adalah undakan pertama. Pengetahuan si Peneliti tentang Fulan yang paling awal. Ketika media massa lain memberikan laporan yang tidak berbeda, maka masuk pada undakan ke dua; kemudian, misalnya Si Fulan tidak melakukan jawab atau serangan menuntut balik terhadap media pemasok berita itu, mungkin ini bisa masuk undakan ketiga. Ketika proses criminal justice system bekerja dan berhasil memasukan Si Fulan ke hotel prodeo maka ini undakan kerakhir.

Tidak perlu kaku meletakan undakan-undakan itu. Bisa saja dalam kisah lain  data dokumen yang sinkron dengan laporan media massa –jika ini bisa diperoleh -- diletakan sebagai undakan kedua. Ini misal saja. Prinsip dalam realisme adalah bahwa realitas (=pengetahuan) itu berundak-undak nilai kebenarannya. Apakah Peneliti perlu melakuan check (triangulasi) dengan cara mewawancarai langsung kepada subyek yang bersangkutan (Si Fulan) ?  Ada dua pendapat dalam menjawab pertanyaan ini.

Pendapat pertama, tidak perlu, karena prinsip realisme tentang ‘realitas di luar sana’ akan ditarik pada ‘realitas di dalam sini’. Maksudnya, jawaban subyektif tidak mempunyai ruang dalam realisme. Fulan akan memberikan jawaban subyektif-difensif. Pendapat kedua, adalah perlu mewawancarai Fulan sebagai bagian dari check – triangulasi. Sejauh sasaran utamanya pada rangkaian argumentasi ‘kemasukakalan’ terhadap bantahan. ‘Kemasukakalan’ dalam realisme, lagi-lagi tidak melampaui posisi peletakan realitas yang ‘di luar sana’. Dalam kerangka ini pada akhirnya bantahan tak terlalu mempunyai bobot dalam membangun undakan realitas jika dibandingkan dengan dokumen yang dimilliki. Maka, pada akhirnya menghubungi subyek penelitian dalam konteks semacam ini lagi-lagi kembali pada bobot koonfirmasi pada data dokumentasi:  bukan lagi pada data wawancara.



Ilustrasi lain. Para penganut sturkturalis-durkheimian mempercayai bahwa elemen struktur sosial yang terpenting adalah hukum positive, semacam norma hukum yang tertulis. Meskipun eksistensi corak dan warna hukum (tertulis) diletakkan sebagai variable dependen dari perkembangan devition of labour (pembagian kerja), tetapi elemen utama struktur sosial untuk melihat perikelakuan masyarakat adalah hukum tertulis ini. Nah, dalam konteks realisme hukum positive (tertulis) ini diletakan sebagai undakan pertama (pengetahuan awal) dalam memotret perilaku masyarakat manusia. Perikelakuan manusia tentu bukan hanya diformat oleh hokum positive, maka disinilah undakan-undakan berikutnya diperlukan. Karena persoalannya perikelakukan manusia tidak sesederhana hukum tertulis itu. Harus dibedakan antara ‘yang normative’ hukum positiv dengan ‘realitas perikelakuan’ masyarakat. Hukum tertulis yang difungsikan sebagai data dokumen dalam penelitian adalah undakan pertama untuk memahami perikelakuan masyarakat. Undakan kedua, ketiga, keempat adalah data-data observasi, dokumen yang lain,  dan wawancara. Durkheim menyebut undakan-undakan ini sebagai fakta sosial. Kepadatan penduduk (density) adalah fakta sosial lain yang mempengaruhi perikelakuikan masyarakat masnusia, bahkan soal moral.

  Jadi, secara minimal tidak salah melihat perikelakuan masyarakat manusia dari sisi hukum positiv sebagai sebuah data dokumen. Tetapi sekali lagi cara ini adalah cara paling minimalis. 









*  Dipresentasikan pada acara Diskusi Bedah Buku, 29 November 2016, Program Doktor Ilmu Kepolisian – PTIK, Jakarta.

[1] . “Tuntutan demokrasi” ini, hemat saya adalah terminologi yang musti diberikan tanda apostrop. Karena pada dasarnya format tuntutan ini masih terus bergerak. Tak bisa dipungkiri sebagai sebuah bangsa yang berdemokrasi pencarian format ini pun belum berhenti. Indikasinya pada arus  perubahan terhadap regulasi level hulu (konstitusi)  hingga level menengah (undang undang,  cq. tetang kepolisian)    
[2] . Bedakan dua propsisi ini : “media atau public memandang bahwa Fulan  itu koruptor” dengan “Fulan koruptor”. Kedua proposisi ini sejauh bisa ditangkap secara empiri adalah tergolong realitas (ya, realitas riil).

[3] . ‘Empiris’ juga perlu diberi apostrop.  Saya tidak ingin menutup diskusi bahwa istilah ini sudah selesai sebagaimana di tangan empirisme logic, jadi seakan pula ilmu pengetahuan yang digeluti di bangku akademik adalah sejenis empirisme logic ini. Ini cupet. Alias mata kuda. Kalau begitu filsafat menjadi tak punya tempat di universitas-universitas. Jadi, sekali lagi, ‘empirik’ tak perlu difahami secara sempit.

[4]  Seorang fisikawan mengatakan bahwa sebuah kabel tembaga mempunyai aliran listrik hanya melalui gejala nyalanya bolham (bola lampu). Fisikawan ini  tak perlu mengeluarkan tenaga mengamati lompatan energi yang berlari di kabel tembaga itu. Karena memang mengamati lompatan eneergi listrik di kabel itu tidak lah efektif, efesien (dan, bahkan naif!).

[5]  Kalau saya ingin cepat lepas dari diskusi semacam  ini tak pula perlu disimpulkan  bahwa saya cenderung seorang materialis semacam yang dianut kebanyakan ontologi  marxian.  Ini pikiran cupet  Kawan diskusi saya meyerang  RKPOMS sebagai karya yang tak jelas ontologinya. Bagi saya sulit memberikan jawaban pendek – apa lagi kalau komentar itu lepas semacam pengadilan in absentia.

[6] . Media massa, sebagai sebuah komunitas pemasok informasi mempunyai caranya sendiri dalam mengontrol isi pemberitaannya. (Percayalah!) ada kode etik di dalamnya; ada dewan yang berfungsi pula menegakan etik ikhwal pemberitaan itu. Meragukan informasi yang dipasok  media massa pada akhirnya sama dengan meragukan elemen-elemen demokrasi sebuah bangsa.

Apa itu Baik ?




Konfusius pernah ditanya, “Apakah baik apabila seluruh desa menyukai seseorang ? “ 
“Tidak”, jawabnya.
“Yang baik adalah  apabila seluruh orang baik di desa menyukainya, dan orang jahat di desa membencinya”

T. Byram Karasu,
Dalam  Seni Berdamai dengan Hati,
Prenada 2003;7

Minggu, 04 Desember 2016

Warning !




Akan datang kepada manusia
tahun-tahun yang penuh tipu daya,
dimana pendusta dipercaya dan orang jujur didustakan.
Penghianat diberi amanah
dan orang yang amanah dikhianati

---Hadist Riwayat Al-Hakim---

Rabu, 27 Juli 2016

Orang Besar Tak Selalu Besar



Tentu saja! Tidak setiap orang besar mempunyai jiwa yang besar pula

Bayangkan saja orang besar yang kebetulan nyangkut di dalam baju kebesaran, bukan karena memang dia besar tetapi sekali lagi hanya karena bajunya saja yang kebesaran. Orang sejenis ini biasanya sangat ‘bajuisme’. Baju itu dianggap segala-galanya. Tak bisa hidup nyaman tanpa baju kebesaran. Biasanya juga ciri yang paling menonjol adalah mengedepankan ‘aku’-nya; tidak problem solving oriented tetapi ‘aku’ oriented. Kalau tidak memberikan kontribusi kepada ‘aku’-nya tidak bergerak. Dia melengos.
Tentu saja orang sejenis ini menderita. Penderitaannya yang paling dalam adalah ketidaksadarannya terhadap penyakit yang diidapnya; dia merasa sehat, padahal sesungguhnya sakit. Ini sejenis schizopherenia. Akibat khrinyanya adalah tidak otentik, split personality.  Eh... disini jangan bicara Tuhan di atas sana yang tak begitu riil baginya. Ini juga prinsip yang dipegangnya secara latent, karena dia juga solat, puasa, ikut tausyiyah dan seterusnya.
Prinsip terakhir yang dipeganggnya ini tentu juga sejenis penyakit paling akut. Yaitu tidak bisa membedakan ‘yang riil’ dengan ‘yang imaji’. Pengkategorian ini sederhana. Segala sesuatau yang memberikan kontibusi bagi dirinya di dunia, kehormatan, status yang melekat dalam bajunya, itulah yang disebut ‘yang riil’:  segala di luar itu ya ‘tidak rill’ alias imaji. Jadi Tuhan dengan segala atribusi kegaiban dan rencana-NYA pada dasarnya dipandnag tidak riil.
Betapa baju kebesaran itu penting. oleh karena itu baju kebesaran ini harus dipertahankan entah bagaimana caranaya, tak peduli pat gulipat. Injak sana-sini. Manipulasi sono-sini. Kadang kadang marah tidak pada tempatnya itu perlu, karena akting ini bagian dari skenario untuk menutupi kebodohannnya.
Allahuma ba’id....naudzubillah tsuma naudzubillah.....


Catatan
Baju kebesaran = harta dan tahta (dan wanita).

Rabu, 27 April 2016

Tentang Insyaallah vs. Kepastian


Makna “Insyaallah” didalam Islam

           Pagi ini ada pengajian di Mesjid Darul ilmi,  mohon izin saya alpa. Siap salah.  Ada suatu yang mendesak untuk saya tulis, sebelum saya lupa atau sibuk yang lain.  Mendesak bangt. Begini, semalam saya mendapat posting video via Wats Up tentang seorang  sahabat yang pindah agama dari islam.   Diantara alasan convert (pindah agama) ini adalah analisinya  pada kata ‘insyaallah’. Kata ‘insyaallah’ ini difahami olehnya bahwa dalam Islam tak ada kepastian dan jaminan Allah masuk surga. Orang mslim kalo ditanya, apakah Anda, (dijamin) masuk surga ?  Jawabannya, “insyaallah”.  Jawaban semacam ini difahami oleh sahabat yang murtad tadi sebagai ‘tidak pasti’. Menurutnya, untuk apa memeluk agama kalo nggak pasti  mengantar ke surga!

Bagi saya keberagamaan – salah-benar sebuah agama -- tidak bisa berhenti disimpulkan  pada sisi-sisi elementer  tanpa menariknya kepada dimensi teologik. Yang mendasar adalah persoalan teologik atau ketuhanan ketimbang budaya atau sosiologik yang bersifat elementer. Bagaimana memisah yang elementer dengan yang subtantif ? Mudah. Caranya, pertama,  pada bagaimana agama memandang Tuhan; Kedua, bagaimana agama memandang kebaikan. Ketiga, bagaimana agama memandang/menempatkan akal. Melalui kerangka ini setiap yang elementer bisa dijelaskan benang merahnya pada aspek teologik. Tentu saja surga adalah persoalan penting, tetapi bukan surganya yang harus didiskusikan tetapi bagaimana menempatkan surga dalam kerangka itu.  Yang elementer harus bisa dilacak dan dijelaskan dari sisi teologiknya.

Sabtu, 16 April 2016

Modus Beragama

Modus  Beragama Ala Candu
Sebuah Penelusuran Metode Keberagamaan
             Kalau cara keberagaman dikotak-kotak dalam sejumlah kategori, manakah keberagamaan yang paling ‘derestui’ oleh Allah ? Misalkan cara keberagamaan ini dikategori sebagai berikut:  fundementallis, konservativ, moderat, atau kalau masih boleh menyebut liberal. Kategori semacam ini marilah kita sebut sebagai kategorik sosiologik.  Sejumlah kategori ini mempunyai jarak yang lumayan jauh dengan kategori yang ada dalam Al Qur’an. Al Qur’an menyebut, misalnya kedalam kategori orang-orang yan shalih, munafik, an kafir. Atau, pada sisi lain dalam kategori beriman dan tidak beriman. Apakah ketegori semacam fundementallis, konservativ, dan moderat, atau kalau masih boleh menyebut liberal  itu  dapat disandarkan dengan kategori yang dikonstruksi di dalam Al Qur’an ?  Jika tidak maka berarti memang tidak ada hubungan antara orang-orang konservatif dengan kesholehan.
             Hemat saya sementara ini, tidak ada hubungan antara ketegori yang dibuat sosiologi dengan konstruksi dalam kkitab suci. Sehingga tidk perlu orang liberal itu otomatis masuk neraka, karena misalnya konsep liberal tidak musti disejajarkan dengan munafik atau kafir. Pada lain sisi dalam pandangan liberal, orang orang yang bermodus fundamentalis atau konservatif disebutnya sebagai cara beragama yang tidk mau sedikit berfikir menangkap pesan-pesan subtantif agama. Bahkan, bagi kalangan moderat atau liberal,  kalangan  konservatif itu justru memanipulasi agama (hanya) untuk ‘kamuflase’. Kalangan konserfatif  sangat senang sekali mengeksploitasi ibadah. Misalnya ibadah haji atau umroh diletkkannya sebgai ‘kesenangan spiritual’.   Apa yang salah dengan ini?  Konstruksi berfikir kalangan konservatif semacam ini mudah sekali terpeleset meletakkan spiritualitas sebagai suatu ‘komoditas’. Cerita-cerita di tengah masyarakat tetang komodifikasi umroh mudah menggeser agama ini sebagai ‘agama para kapitalis’.
Bayangkan, atas nama sebuah  ‘kesenangan spiritual’ di depan ka’bah ia menumpulkan diri dari ratusan bahkan ribuan manusia yang tetangganya yang jauh kekurangan. Tak perlu berdiskusi panjang  tentang apa yang bisa diperbuat terhadap kalangan marjinal karena toh artikulasi sensitifitas ini bisa seribu satu cara! Diantaranya membantu begitu saja menhyekolahkan anak-anak kelompok marjinal, daripada bertamasya spiritual. Soal spiritual toh bisa pula diartikulasikan seribu satu cara tanpa harus melempar uang tak karuan atas nama spiritual.  Atas nama ‘kesenangan spiritual’ tumpulnya  sensitifitas terhadap penderitaan tetangga menjadi absyah. Tentu saja, bisa koment trhadap tulisan saya ini sebgai penuh su'uzdon dan kesumat atas orang-orang yang umroh berulangkali. Kita bebas berkomentar. Bagi saya adalah aneh umroh  berulang tanpa rasa risi terhadap masih hadirnya tetangga sebelah rumah dan keluarga jauh yang tak mampu bayar SPP dan seterusnya. Bagaimana kita mau mengingkari realitas  semacam ini masih dalam kerangka su'uzdhon ?  Bukankan malah sebaliknya, siapa yang sesungguhnya ber-su'uzdhon!
Setelah pulang umroh ia seperti manusia yang tersucikan, tanpa berkorelasi positif terhadap perbaikan kualitas kemanusiaan tangga kiri kanan. Ketersucian ini ironis,  kembali ke kampung halaman yang penuh ketimpangan, kesenjangan, marjinalisasi.  Lebih gila:  ia seperti orang terpilih karena diberi kesempatan umroh berulang-ulang tak seperti tetangganya yang kekurrangn. Lantas, apa fungsi islam sebagai elan vital  penyelesaian persoalan kemanusiaan yang selama puluhan dan ratusan kali dicontohkan nabi-nabi ?  Islam mengajarkan bahwa kita tak bisa cuci tangan atas ketimpangan dan penderitaan orang-orang sekitar kita.
Tetapi, hari ini agama bergeser menjadi candu!
 
 


Minggu, 10 April 2016

Yang Naif dalam Beragama


Yang Naif Dalam Beragama

            Apa yang bahaya dalam perilaku keagmaan ?  Pertanyaan ini biasa dialamatakn pada fenomena hadirnya fundamentalisme, untuk menganalisis mengapa agama yang pada dasarnya hadir  penuh kasih tetapi justru sebaliknya. Rupanya belakangan ini pertanyaan semacam ini bukan alamat untuk fundamentalsi saja tetapi bisa juga untuk menjadi bahan renungan dimensi keagamaan kita.  Fundamentalis itu adalah takfiri, mudah sekali mengkafirkan orang yang tak sejalan. Istilah ‘tak sejalan’ mempunyai pengertian  yang serba luas. Misalnya saja, sekedar gerak solat yang berbeda sudah masuk pada kategori ‘diluar dirinya’. Sekedar mengkui keunggulan Kahlifah Ali dari Khalifah yang lain juga masuk kategori ‘kelompok lain’. Sekedar tidak mengikuti pengajian di kelompoknya dipandang sebagai orang ‘dari luar sana’; atau paling tidak menjadi sebuah senjata penghukuman sosial lebih lanjut.    Kemudian, konon, ini yang paling umum: fiqih menjadi alat ukur utama perilaku keagamaan. Padahal islam bukan hanya fiqh. Didalamnya ada filsafat, tashauf, dan ilmu kalam. Para takfiri itu paling malas mempelajari filsafat, tashauf, dan ilmu kalam. Merreka tidak berfikir: apakah betul yang mereka fahami tentang sebuah perintah itu memang sebagaimana yang dikehendaki Allah ?   Apalagi belajar sosiologi yang mengantarkan relatifitas  konstruksi fiqh.

Kalau konstruksi fiqh ini berubah karena persoalan relefansi dengan dunia sosial, maka pada dasarnya filsafat, tashauf, dan ilmu kalam cenderung bersifat ‘tetap’; kalau fiqh berifat publik maka yang lain itu bersifat sangat personal. Bagi filsafat, tashauf, dan ilmu kalam agama  pada dasarnya adalah sial pertanggungjawaban personal. Tidak demikian bagi fiqh.

Kekerasan agama pertama sekali dialamatkan pada persoalan tafsir. Tentu saja, perihal bagaimana orang menafsir teks suci  bisa saja dilacak dari dimensi sosiologisnya. Sebuah tafsir tidak lepas dari konteks sosial yang melingkupinya. Dua soal :  pertama menyangkut  teks nya itu sendiri, dan kedua  soal realitas sosialnya.  Lihat saja apa yang terjadi setelah jatuhnya kekhalifahan. Beberapa tahun setelahnya terjadi pemboycotan ulama terhadap umara. Komunitas muslim terpecah-pecah. Yang prinsip secara sosiologis adalah dewan penasehat dalam Syura itu lumpuh. Apa akibatnya ? sebagian pemimpin pemerintahan memanipulasi fiqh, tentu untuk kepentingannya sendiri. Lihat misalnya literatru Abu Ameenah Bilal Philips dalam Sejarah dan Evolusi Fiqh (2015).  Dari sini tidak sulit difahami, muncul pemicu ijtihad-ijtihad individual.