Jumat, 25 Desember 2015

Pembacaan Konflik Aras Negara


 

Pembacaan Konflik  Aras Negara

(sebuah pendekatan epistemologi-marxian)

 

Abstract

Masyarakat modern (baca: kapitalisme) dengan kehadiran negara, mengalami blunder dalam mengendalikan konflik dan potensi konflik. Betapa tidak, secara subtantif kehadiran negara sendiri tidak bisa mengambil jarak dengan kelas sosial. Jadi, negara  mengalami persoalan didalam dirinya sendiri, ia tidak mampu menghindar dari kontradiksi internal. Refleksi  terhadap negara dengan kerangka semacam ini dipenghujung tahun 2015 melalui gonjang-ganjing  saham Freeport menjadi menemukan relefansi.

 

Kata Kunci

Konflik Kelas, Demokrasi, Negara

 
Prolog

Memasuki abad ke-21 dimana kapitalisme mulai menapaki kematangannya, dan dua dasawarsa yang lalu negara “pendaku” sosialis-komunis semacam Uni Sovyet[2] rontok, justru di pusat kapitalisme --di New York -- terbit sebuah buku kecil,  Why Read Marx Today?[3]   Buku kecil yang terbit tahun 2002 ini ditulis Jonathan Wolff, seorang filsuf University College London.  Pertanyaan dasar buku ini, bagaimana masyarakat sampai bisa mengorganisasikan dirinya sendiri atas dasar kelas? 

Pertanyaan ini penting karena sifatnya yang  subtantif dalam membedah fenomena konflik (konflik sosial) sejak awal terbentuknya masyarakat hingga berkembangnya organisasi masyarakat yang kompleks pada hari ini. Bagi Marx, gejala kelas merupakan manifestasi konflik sosial, paling tidak konflik yang bersifat latent. Proposisi semacam ini (konflik laten)  belakangan sudah mulai di-sensitif-i kalangan otoritas keamanan (atau khususnya Polri) dalam pengendalian konflik sosial melalui formulasi konsep yang sangat umum dikenal sebagai Faktor Korelatif Kriminogen (FKK). Kalau demikian, apa yang difahami kalangan otoritas keamanan tentang FKK dalam format grand discourse kapitalisme yang tampil dalam wajah demokrasi hari ini ?  Bagaimana formulasi FKK merespon konsep ‘kelas’-nya Karl Marx?  Bagaimana pula, paling tidak, secara strategik kepolisian dan otoritas keamanan lain mengendalikan/mengontrol FKK? Kalau, toh kepolisian mengalamatkan jawabannya pada strategi Polmas, sejauh mana ia mempunyai kompatibilitas dengan rezim sistem sosial yang menjadi wacana besar kapitalisme ini (yang didalamnya termasuk rezim politik, rezim ekonomi) ? Pada era Orde Baru otoritas keamanan hadir di parlemen (sebagai utusan golongan) sehingga bisa secara langsung memberikan warna pada setiap regulasi menyangkut keamanan dan tata kelolanya. Hari ini, kehadiran otoritas keamanan di parlemen tentu dipandang menodai demokrasi.

Tentu saja tulisan pendek ini tak hendak menjawab sejumlah pertanyaan besar semacam itu. Namun, sejumlah pertanyaan pelik itu diperlukan sebagai lanskap persoalan pengendalian keamanan hubungnnya dengan sistem sosial yang sublim seperti hari ini.  Hemat penulis di luar pertanyaan semacam ini  masih ada persoalan mendasar dalam regulasi. Yaitu, terminologi konflik sosial dalam Undang-Undang Nomor 7/2012 Pasal 1 cenderung didefinisikan sebagai gejala yang bersifat fisik,

Konflik adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.

 Tentu saja pendefinisian konflik sosial dalam regulasi ini mereduksi realitas yang sesunggunya, kareana prinsip definisi ini menegaskan bahwa tidak ada konflik sejauh tidak ada benturan fisik dengan kekerasan. Barangkali konsekwensi dari regulasi yang berpijak pada filsafat moral utilitarian, bahwa yang (bisa) dikenai hukum hanyalah gejala yang bersifat “positiv” (= hukum positiv). 

Senin, 14 Desember 2015

Politics and Goverment in Indonesia


Bedah Buku

Muradi.2014. Politics and Governance in Indonesia:  The police in the era reformasi, Routledge, London and New York

------------------------------------------------------------------------------------------

Sutrisno

 

Polri pasca pisah dengan TNI menjadi perhatian serius  buku ini. Utamnya, tentu saja, menelusuri ikhwal  yang membelit ‘bekerjanya’ Polri:   sebagaimana ditulis pada hal.3, ”... to discuss how the process the Polri’s disassociation from the ABRI has been working...”   Profesionalisme dan independensi Polri diletakkan sebagai  sentra penelusuran  penulisan. Dua konsep ini – meminjam cara weberian – merupakan  orientasi  dalam mengkonstruksi ‘tipe ideal’, sehingga seluruh energi – termasuk pertanyaan yang dibangun – pada dasarnya berputar-putar pada dua konsep itu.   

 

Mencari  faktor  profesionalisme dan independensi  Polri

Bagaimana menyasar faktor yang dapat menjelasakan persoalan profesionalisme dan independensi  Polri  ?  

Hemat saya, cara penelusuran untuk menemukan faktor-faktor profesionalisme (dan independensi) Polri  yang dipakai Saudara Muradi menggunakan langgam functional explanation [1]. Kalau merujuk pada raksasa ilmu sosial cara ini ketemu pada sosok Emile Durkheim. Tentu saja, pentipologian eksplanasi (atau penelitian) semacm ini  bersifat “longgar” saja.  Tetapi, dalam acara Bedah Buku semacam ini  mendiskusikan tipologi eksplanasi ini agaknya  penting dalam kerangka “kesadaran” perspektiv : bahwa realitas sosial  itu betapapun dilihat secara kuat dan komprehensif  tetap saja bersifat perspektival. Tipologi berpikir Durkheimian-functionan explanation merupakan  mainstream  di bangku-bangku akademik. Tipologi  diluar mainstreim, misalnya, model yang dipakai mazdhab Frankfurt, ‘materialis’-marx,  hermetitika, dan yang ditawarkan kalangan posmodern (Derrida, Foucault, Richard Rorty) hemat saya merupakan  tipologi minor. 

Meskipun  pendekatan struktural fungsional juga  mempunyai keragaman namun pada prinsipnya, epistemologi yang dipakainya memandang realaitas sebagai  ‘homeostatik’: masyarakat selalu bergerak ke arah keseimbangan, keteraturan; masyarakat diikat oleh konsensus bersama. Bagaimana memandang “persoalan”, yang ipso facto menjadi perhatian penelitian ini ? (in case, konsen Sdr. Muradi pada profesionalisme dan independensi Polri post pisahnya dari ABRI).  “Persoalan” yang secara umum  acapkali depahami sebagai kesenjangan das sein dengan das solen,  disini  dalam  pendekatan Durkheimian,  mendefinisikan sebagai: elemen-elemen tidak memberikan kontribusi terhadap homeostatik/integrasi; elemen itu diprediksi dalam  keadaan disfungsi atau malfungsi.

    Oleh karena itu kalau ada “persoalan” dalam sebuah entitas sosial maka untuk menjawabnya harus dirunut pada elemen-elemen sosial yang membangunya. Karena asumsinya elemen-elemen sosial yang lain itulah yang memengeruhi hadirnya  “persoalan” (persoalan profesionalisme dan independensi Polri). Tetapi kemudian, mengapa elemen yang lain itu rusak hingga mempengarhui profesionalisme Polri ?  Jawabnya, karena elemen yang rusak itu dipengaruhi elemen yang lainya yang rusak juga. Ya, mengapa elemen yang lainnya itu rusak ? Jawabnya, ya, elemen yang rusak itu disebabkan oleh elemen lain yang rusak juga.  Begirtu seterusnya.  Ini watak penjelasan ‘homeostatik’ yang menggunakan analogi biologis.  Istilah ‘elemen sosial’ tidak mempunyai difinisi yang ketat. Sehingga yang dimaksud  bisa institusi, bisa sistem, bisa lembaga, bisa budaya, regulasi, dan lain-lain. Tetapi yang jelas istilah itu tidak dialamatkan pada “kepentingan”, karena “kepentingan” adalah bahasa materialisme-marxian. Jadi, perlu digarisbawahi, tidak ada kosa kata ‘kepantingan’ atau benturan ‘kepentingan’ sehingga tidak ada pula konsep-konsep derivasinya yang meliputi ‘dominasi’, ‘hegemoni’, ‘eksploitasi’  dan seterusnya.  

 

            Kritisisme dalam Fungsionalime Struktural

Tentu saja, bukan berarti  penjelasan struktural fungsional itu tidak bisa kritis dibandingkan dengan pendekatan materialisme-marxian dan Madzhab Frankfurt. Konsep-konsep seperti disfungsi dan malfungsi menjadi bentuk ‘kritisisme’ pendekatan yang subtantif digunakan Sodara Muradi.   

Jumat, 19 Juni 2015

Menakar Ilmu Kepolisian


Menakar Ilmu Kepolisian

(Sebuah Penelusuran Sosiologik)


Most police agencies do not see science

as critical to their everyday operations.

 Science is not an essential part of this police world.

(Hanak and Hofinger, 2005; Jaschke et al., 2007). 

(https://www.ncjrs.gov)


Selain Hull, adalah Immanuel Wallerstein yang  menegaskan bahwa konstruksi ilmu pengetahuan dapat dilacak dari kekuatan sosial yang mengitarinya. Koherensi bidang ilmu pengetahuan -- apalagi ilmu sosial --  tidak pernah ‘telanjang bulat’ sebagaimana ketelanjangan formula mati-matika. Maka dengan demikian sisi pragmatik akan lebih mendominasi aspek legitimasi sebuah ilmu. Padahal sisi pragmatik ini  memerlukan persandarannya pada rezim politik. Dengan berdiri di pundak Hull dan Wallerstein,  tulisan ini merupakan sebuah  pembacaan rancang bangun ilmu kepolisian di Indonesia didalam kontestasinya dengan rezim sosial- politik. 

Key Words: Epistemologi, Ilmu Kepolisian, Kekuatan Sosial (social force).

Prolog
Ide-ide ilmu pengetahuan sebagian besar dibentuk oleh pengaruh kekuatan sosial (social force) yang melingkupinya. Postulat semacam ini ekstrim, tetapi dapat ditemukan dalam literatur-literatur yang cukup otoritatif. Misalanya, dalam tulisan David Hull (1988), Rose (1976), dan Imanuel Wallernstein yang sempat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Lintas Batas Ilmu Sosial. Barangkali untuk sekedar membuat lebih moderat, formulasi proposisi ini (perlu) bergeser menjadi berikut : “ide-ide ilmu pengetahuan dipengeruhi kekuatan sosial, tetapi kemudian ilmu pengetahuan ini mempunyai logikanya cara kerja  sendiri”.  Istilah ‘cara kerja’ dalam konteks ini merupakan formulasi dari sebuah prosedur atau syarat yang dilalui. ‘Cara kerjanya sendiri’  mengacu pada koherensi metodologik.  Dengan demikian, syarat dari sebuah pengetahuan dan kumpulan gagasan atau pemikiran untuk bisa disebut sebagai ilmu bukan sekedar memenuhi dua kriteria, yaitu ktiretia metodologik dan kriteria nilai, tetapi masih perlu memasukan syarat sosiologik di dalamnya.  

Dalam persyaratan itu jangankan Ilmu Kepolisian, Ilmu Hukum pun yang usianya sudah ratusan tahun dalam dekade terakhir ini di Eropa Barat dibongkar kembali status keilmuannya. Kalau Ilmu Hukum dipandang eksis sejak ratusan tahun melalui Universitas Bologna, Italia (1088) yang memasukannya sebagai sebuah bidang ilmu[1], maka Ilmu Kepolisian (ala Indonesia) eksis melalui hadirnya PTIK pada tahun 1946 di Mertoyudan, Jawa Tengah. Antara ‘Bologna” dengan “Mertoyudan” mempunyai jarak waktu 858 tahun, atau sekitar 13 generasi. Yang perlu diberikan catatan, istilah “eksis” dalam kerangka ini adalah mengacu pada ‘legitimasi sosiologis’. Artinya, melalui konstruksi sosial-lah eksistensi ilmu itu dipandang hadir. Bedakan pengertian ‘legitimasi sosiologis’ ini  dengan posisinya dalam ‘kekuatan koherensi’. Kekuatan koherensi mengacu pada the truth in itself : kebenaran itu tanpa perlu definisi sosial sudah benar didalam dirinya.  Legitimasi sosiologis paling tidak mengandung dua dimensi, pertama adanya komunitas yang menekuni ilmu itu; dan,  kedua, menyangkut nilai guna (utility/pragmaic) ilmu itu sendiri. Sementara kebenaran koherensi tidak membutuhkan dua hal itu meskipun tentu saja kedua  hal itu akan mengikutinya.

 Alih-alih, dalam pergumulan epistemologik bukan pula hanya Ilmu Hukum yang mendapat serangan balik, tetapi termasuk di dalamnya Sosiologi (khususnya  Sosiologi Mazdab Kiri) dan Ekonomi Neo-Klasik. Filsuf Hungaria Imre Lakatos[2] menempati posisi penting dalam pembongkaran itu. Lakatos bahkan mengkategorikan Pseudosains atas beberapa (cabang) “ilmu”, misanya  Psychoanalisys Freud, Marxisme (khususnya marxismen abad 20), Psychiatry, Biology Lysenko, Quantum mekanik Bohr, Astonomy Ptolemy.

Rekan-rekan Ilmu Hukum selayaknya berterimakasih  kepada pemrakarsa arus balik yang meragukan ilmu hukum sebagai ilmu.  Meminjam kerangka falsifikasi Popper, kehadiran oponen semacam ini akan mendewasakan ilmu hukum itu sendiri.  Falsifikasi Popper tentu tidak harus diletakkan sebagai senjata pamungkas bagi khasanah pengembangan bidang ilmu. Untuk kebutuhan koherensi sebuah bidang ilmu meskipun Falsifikasi Popper ini hadir sebagai koreksi terhadap konsep Verifikasi Rudolf Carnap (1922), namun tentu yang datang belakangan ini tidak selalu dapat menegasikan sepenuhnya dari yang lahir lebih dahulu. 

Gejala ‘arus balik’ ini  mengindikasikan adanya semacam kekuatan sosial baru (social force) yang mendongkel “epistemologi”  bidang-bidang  ilmu di atas. Ilustrasi lain juga terjadi dalam ilmu ekonomi. Istilah “ekonomi politik” sebagai sebuah cabang dari  ilmu ekonomi yang populer  sejak abad delapanbelas dihapus pada paruh kedua abad sembilanbelas  setelah pemberlakuan teori ekonomi liberal. Mengapa?  Bagi liberalisme, paling tidak liberalisme ala paruh kedua abad sembilanbelas,   istilah “politik” perlu dilucuti dari “(ilmu) ekonomi”, alasannya perilaku ekonomi lebih merupakan cermin dari psikologi, bukan politik [3]. Kemudian pada dasawarsa tahun 70-an “ekonomi politik” bangkit lagi dari kuburnya setelah mendapat energi epistemologi dari  Sosiologi Madzhab Frankfurt[4]. 

Sabtu, 14 Maret 2015

Teori Kritis Madzhab Frankfurt



Teori Kritis
(Madzhab Frankfurt)

Sutrisno


Ä Prolog; Pandangan umum
            Ikon dalam pengembangan Teori Kritis ini adalah mengupas rasionalitas yang bekerja dalam masyarakat modern. Sangat tepat Perdue memberikan judul pembahasan teori ini dengan “Cultural Irrationality”. Prinsipnya, budaya yang berkembang dalam masyarakat modern menjegal perkembangan rasio (rasio yang sejati), ia sebut sebagai “irrational”. Kondisi ini dimulai dari aufklarung yang mengagungkan kebebasan manusia dari dunia magis (utamanya dalam The Dialectic of Enlightment, dari Adorno dan Hokheimer). Rupanya dalam perkembangan masyarakat pengagungan rasio yang bertitik tolak dari abad pencerahan itu  melulu menonjolkan jenis rasio yang instrumental[1] (dalam One Dimentional Man – Herbert Macuse)
Dari titik tolak ini teorinya mempunyai bobot kritis. Kritis dalam pengertian ini dialamatkan pada dua komponen: (epistemologi) ilmu sosial pada saat itu dan struktur masyarakat modern.  Kedua komponen yang menjadi sasaran tembak ini dianggap membelanggu emansipasi manusia. Secara umum Teori Kritis membongkar bagaimana cara-cara sistem mendominasi; menutup mata masyarakat dalam kegiatannya untuk menjamin reproduksi dalam kerangka kesinambungan sistem itu.  Dari sisi ini teori kritis mewarisi tradisi Marx, meskipun ia juga mengkiritik Marxisme ortodok yang dditerminisme ekonomi itu.
Berikut ini adalah ornamen dalam bangunan Teori Kritis ini.

Ä George Lucaks (1885-1971)
          Karena paling getol mengembangkan sisi subyektif pemikiran marxist, maka  Lucaks-lah yang paling menonjol sebagai pewaris Hegelian-Marxist (paling tidak, begitulah pendapat Perdue[2]). Tiga karya Lucaks yang dipandang monumental, The Soul and Its Forms; The Theory of Novel, dan History Class Consiousness. Untuk kepentingan pengembangan diskusi ini (Teori Kritis), History Class Consiousness-lah yang paling penting, meskipun secara umum sepanjang karyanya menunjukan perhatian pada “kesadaran”. 

            Fetishism of Comodities (Pemujaan Komoditas)
            Elaborasi konsep ini memperkuat (sturktural) marxis; menarik hubungan antara tingkat ekonomi, ideologi, ekonomi dan politik. Ketika hubungan-hubunganmanusia dikomoditikan, yang ditemukan kemudian adalah “hantu obyektivitas” (phantom objecktivity). Produk atau sesuatu yang dihasilkan dalam proses produksi terpisah dari buruh yang mengerjakannya, produk itu ada “di luar sana”. Dari pendekatan semacam ini pekerja selalu dalam kondisi tak berdaya, komoditas sebagai sebuah proyek raksasa yang mengalahkan apa saja dari sisi manusia.

            Reifikasi
            Konsep ini digunakan untuk menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern-kapitalis manusia disejajarkan dengan benda-benda yang (bisa) diperjualbelikan. Hunungan-hubungan sosial menjadi “obyek”yang dapat dimanipulasi, dan diperdagangkan. Jadi, merujuk Weber, rasionalitas dikonstruksikan melulu dalam kerangka instrumental. Konsep reifikasi selain digunakan sebagai pensejajaran manusia sebagai benda, juga kritik terhadap positivisme (saintisme)

Kamis, 12 Maret 2015

Komunikasi dan Rekayasa Sosial




Komunikasi dan Rekayasa Sosial:
Kajian sosiologis terhadap kegiatan komunikasi

 “Komunikasi” sebagai sebuah konsep pada dasarnya bukanlah terminologi yang  akrab di dalam  literatur sosiologi,  jika misalnya,  dibandingkan dengan konsep “interaksi” dan “relasi”.  Tentu saja  karena interaksi hampir merupakan ‘subject matter’. Tentu saja harus ditarik  garis  tegas Antara ‘komunikasi’ dengan ‘interaksi’. Pembedaan ini untuk menegaskan ruang lingkup antara disiplin ilmu yang meletakkan konsentrasi pada dua konsep utama ini. Semantara komunikasi merupakan kata generic, bahkan dalam perkembangannya ia menjadi sebuah kajian tersendiri. Sementara ‘interaksi’ tetap menjadi subjeck matter sosiologi. Namun demikian   Garbner (dalam Bungin:2006; 30) lah yang mensejajarkan komunikasi dengan interaksi. Tentu saja banyak sekali definisi tentang “komunikasi”, tetapi menyamakanya begitu saja dengan “interaksi” akan menemui sejumlah persoalan, utamanya menyangkut pertumbuhan dan perkembangan aspek komunikasi belakangan ini.
Konstruksi definisi Theodornoson and Theodornoson (1969) dipegangi secara umum, seperti sebuah pengertian baku, meskipun tentu saja masih ada acuan definisi lain. Communication menurutnya mengacu pada penyebaran informasi, ide-ide, sikap atau emosi dari seorang atau kelompok kepada yang lain (atau lain-lainnya) terutama melalui simbol-simbol.  Misalnya saja, onong Uchyana juga mempunyai definisi yang mendekati Theodornoson pada prinsipnya adalah proses penyampaian pikiran atau gagasan  dalam pengertian yang luas. Dalam  definisi yang dipakai Onong Uchyana, misalnya, bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pikiran dalam pengertian yang luas.  
Betapapun terdapat perbedaan penekanan dalam definisi itu, pada dasarnya merupakan ‘kesepakatan’ jika mengurai komponen yang terlibat dalam proses komunikasi ini. Komponen-komponen proses komunikasi itu adalah: komunikator (communicator), pesan (massage), media (media), dan komunikan (communicant).

Aspek Sosiologis
Kalau kita pegang definisi yang digunakan Theodornoson di atas, didalam  proses penyebaran informsai  banyak sekali variable sosial yang terlibat didalamnya. Variable sosial itu bukan sekedar komponen yang berperan dalam proses sebagaimana yang disebut di atas, yaitu komunikator, pesan, media, dan komunikan. Tetapi variable sosial itu “memasuki” mempengaruhi cara pada  kerja setiap komponen komunikasi.
   Disinilah aspek-aspek sosial (sosiologis) berperan. Apakah  aspek-aspek  sosiologis itu? Yang harus diperhatikan pada tahap paling awal adalah kondisi struktur sosial yang melingkupi proses penyampaian pesan itu. Faktor struktur sosial ini, misalnya saja, yang akan ‘membengkokan’ koherensi pesan atau informasi yang disampaikan. Anda tidak bisa berpidato atau memberi ceramah dalam bahasa yang akademis di tengah-tengah petani yang rata-rata berpendidikan tidak tamat SMP. ‘Bicaralah dalam Bahasa kaummu’, demikian kalau tidak salah ujaran sebuah hadis.  Ini sebuah ilustrasi vulgar perihal struktur sosial yang bekerja dalam prosess komunikasi. Ada hal lain.  Coba kita bayangkan sebuah permainan penyampaian pesan berantai sebagaimana yang dipertunjukan dalam infotainment di media televisi. Perhatikan, apa yang membuat pesan itu menjadi bias ?   Pesan itu – dalam permainan sederhana ini – kemungkinan bias karena utamanya disebabkan faktor yang sederhana, yaitu ‘gangguan’ pada alat komunikasi. Gangguan alat komunikasi ini mempunyai pengertian yang luas, pada prinsipnya ikhwal fisika atau alam. Tetapi, marilah kita berfikir dari sekedar persoalan faktor alam atau fisika, yaitu faktor sosial tadi. Tidk menutup kemungkinan bias penyampaian pesan itu karena faktor latar belakang actor yang terlibat permainan itu relative berbeda. Cara berfikir manusia sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Kekuatan yang dimaksud disini adalah perihal sosialisasi. Ini diantaranya diskusi perihal struktur sosial yang terlibat mempengaruhi pecahnya pesan di dalam komunikasi.  Kita akan diskusikan faktor struktur sosial ini secara tersendiri di bagian belakang.

Rabu, 04 Maret 2015

Perihal Memahami Begal



Perihal Memahami  Begal

Sutrisno

Atas fenomena begal yang ramai belakangan ini  Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah dengan institusi pendidikan kita dan berharap akademisi melakukan riset serius atas fenomena ini. Dua hari kemudian kriminolog Ronny Nitibaskara menulis di harian Kompas (28/2/2015). Kriminolog ini secara ekspresif dan informatif  memberikan penjelasan perihal asal-usul jenis kejahatan jalanan ini. Namun demikian, dalam konteks kebutuhan ‘pragmatik’, paling tidak sebagai sebuah wawasan  bagi aktor negara  memahami ikhwal begal serta asal usulnya sebagaimana ulasan Ronny Nitibaskara adalah satu hal, hemat saya masih dibutuhkan penjelasan yang bersifat “menukik”, misalnya yang mendasar justru terletak pada pertanyaan, “mengapa fenomena begal (baru) membuncah memasuki  tahun ini ?  dan, mengapa membegal ? ”
Pertanyaan semacam ini mengandung dua orientasi. Pertama, melalui pertanyaan ini berarti identifikasi secara jernih sejumlah faktor langsung maupun tidak langsung kaitannya  dengan  fenomena begal yang telah meresahkan masyarakat belakangan ini. Poinnya, pengetahuan terhadap pembedaan faktor langsung dan tidak langsung ini kaitannya dengan aspek praksis yang akan dilakukan oleh otoritas negara. Tentu yang dimaksud otoritas negara dalam kaitan ini bukan berhenti pada kepolisian. Orientasi kedua, pertanyaan semacam ini secara sealigus agaknya mementahkan analisis yang melulu berangkat dari perspetktif makro yang merunut dari struktur sosial yang menghasilkan ketimpangan ekonomi.  Pasalnya, struktur sosial semacam  ini tidak hanya eksis sekedar dalam waktu dekat ini. Bukan cerita baru bahwa struktur sosial yang meminggirkan kelompok tertentu telah hadir sejak tahun 70-an, sebuah dekade  dimana kita sebagai bangsa menikmati kelimpahan minyak. Kemudian, hingga kini secara  trial and error kita sebagai bangsa merekonstruksi struktur yang bersahabat bagi sesama. Hemat saya, atas merebaknya begal ini yang harus disadari bahwa aparat kepolisian bukanlah insitusi tunggal dimana  alamat responsibilitas itu harus diletakan. Pada sisi lain kepolisian tidak perlu ‘difensif’, dengan berpandangan miring terhadap media  bahwa seakan-akan ada skenario yang membesar-besarkan realitas begal ini. Pemberitan media atas maraknya begal di sejumlah lokasi tentu merupakan  informasi yang berguna bagi masyarakat. Apalagi bagi mereka yang berkaitan langsung terhadap keamanan dirinya, informasi ini menjadi kompas kewaspadaan.  

Perspektif  Messo
Pendekatan pada level struktur makro atas fenomena begal diantaranya sebagaimana disinggung dalam artikel Ronny Nitibaskara tentu saja tidak bisa diabaikan, namun dalam kerangka metodologik struktur makro diletakkan dalam posisi conduciveness. Artinya, Struktur-makro tidak bisa menjelaskan gejala yang dimaksud  secara langsung, ia hanyalah sebuah prakondisi yang masih membutuhkan prasyarat untuk manifes sebagai sebuah fenomena begal. Alih-alih  analisis pada struktur-makro  hanya relefan sejauh  gejala yang dimaksud atau yang diamati telah memenuhi unsur untuk dikategorikan sebagai sebuah masalah sosial. Istilah ‘masalah sosial’ sekedar untuk menunjukan penekanan bahwa gejala yang  diamati bukanlah merupakan  realitas psikologis.  Apakah fenomena begal telah memasuki kategori sebagai masalah social ?  Iya, karena paling tidak  secara statistik kejadian begal  menunjukan pola (trend).
Keterbatasan analisis pada level struktur makro dalam menjelaskan realitas semacam begal telah menjadi perhatian sejumlah sosiolog. Misalnya saja Peter L. Berger et al. (1973).  Baginya   struktur sosial yang memproduksi ketimpangan dalam jangka waktu tertentu merupakan stimulan bagi lahirnya kantong-kantong sosial baru (new-social enclaves). Variasi kantong-kantong marjinal ini tentu saja secara otomatis bervariasi pula cara-cara mengartikulasikan perilaku pelanggaran hukum. Tidak mudah menyeberang dari kantong sosialyang satu ke kantong sosial yang lain.  Teknologi komunikasi dan internet yang oleh Daniel Bell (1974) dilihat sebagai instrumen yang mengerutkan dunia (dunia semakin mengecil atau menyatukan dunia), dalam kerangka Berger justru memecah agen-agen sosialisasi dalam kantong-kantong social itu tadi. Setiap kantong sosial  dengan agen sosial khusus mengkonstruksi budaya yang juga eksklusif (sub-culture). Melalui kerangka semacam ini kelompok-kelompok begal meskipun berangkat dari struktur sosial yang sama, mereka sama-sama ‘korban’ struktur social,  namun mempunyai  cara kerja yang berbeda. Data Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa kelompok Lampung mempuyai tradisi yang paling kejam dibandingkan kelompok begal lain.
  Disini Berger merevitalisasi pendekatan  marxian pada dua dimensi.  Pertama, kalangan Marxian  membaca struktur sosial yang dimaksud melulu dalam basis ekonomi, padahal individu adalah aktor aktif yang menafsir. Kedua, struktur sosial yang memproduksi ketimpangan  dibaca oleh kalangan Marxian secara ‘kacamata kuda’ sebagai biang keladi yang melahirkan perilaku menyimpang di kalangan kelompok sosial yang termarjinalkan. Poin kedua inilah yang paling digemari oleh  sejumlah akademisi maupun peneliti sosial di lingkungan kita untuk membaca perilaku menyimpang dan kejahatan jalanan. Teori ini seperti ‘kunci inggris’ yang bisa untuk menjelaskan realitas sosial apa saja, sehingga terasa othak-athik gathuk  yang cenderung  hiperbolik. Paling tidak akan kehilangan daya analitik.   
Merujuk Berger struktur sosial yang memproduksi ketimpangan (marjinalisasi) tidak hanya memecah formasi masyarakat pada kantong-kantong sosial secara herarkhis (stratifikatif), namun  secara otomatis membuka peluang deferensiatif. Kondisi ini konsekwensi dari  pluralisasi kehidupan sosial.  Dalam pluralisasi kehidupan sosial akan selalu dibayang-bayangi pecahnya lembaga kontrol sosial. Efektifitas lembaga pengendalian sosial yang resmi cenderung melemah karena harus “berbagi” dengan institusi lain, utamanya tarikan kuat lembaga-lembaga non-formal. Atau dalam formulasi yang terbatas lembaga semacam ini adalah kelompok-kelompok pertemanan (peers group). Yang prinsip, daya tarik lembaga non formal ini terletak pada  tawaranya dalam penyelesaian persoalan hidup sehari-hari. Membegal adalah salah satu cara penyelesaian persoalan itu, ia merupakan cara yang paling “rasional” –karena mudah -- dibandingkan cara-cara lain. Masyarakat dan tentu juga negara “menyediakan” lembaga non-formal semacam ini. Negara bisa mengontrol lembaga formal dan semi formal, tetapi tentu saja tidak menjangkau lembaga-lembaga non formal. Untuk melakukan begal syaratnya Hanya membutuhkan sedikit skill dan beberapa kawan.
Maka jika harus ditarik rekomendasi dari cara berfikir Berger,  dalam jangka pendek adalah bagaimana membuat ‘pekerjaan’ membegal yang mudah ini menjadi sulit. Caranya, memberikan informasi kepada masyarakat sebanyak-banyaknya dan sedetail-detailnya ikhwal begal ini. Masyarakat mempunyai daya kuratifnya sendiri. Kebijakan ‘tembak di tempat’ terhadap begal sebagai sebuah solusi jangka pendek akan efektif jika memang kebijakan ini terbukti atau memang terjadi. Disini akan lebih efektif pada cara kerja undercover anggota kepolisian, bukan pada patroli. Dalam jangka menengah ada baiknya kedepan kepolisian sebagai lembaga resmi mempunyai media sendiri yang secara khusus memasok informasi mengenai kejahatan jalanan.  




Minggu, 22 Februari 2015

Voltaire



manusia menggunakan pikirannya hanya sebagai pembenaran atas ketidakadilan mereka, dan memperalat pidato untuk menyembunyikan pemikiran mereka.
Voltaire, Filsuf Perancid (1694 – 1778)