Perihal Memahami Begal
Sutrisno
Atas fenomena
begal yang ramai belakangan ini Wakil
Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah dengan institusi
pendidikan kita dan berharap akademisi melakukan riset serius atas fenomena
ini. Dua hari kemudian kriminolog Ronny Nitibaskara menulis di harian Kompas (28/2/2015). Kriminolog ini secara
ekspresif dan informatif memberikan
penjelasan perihal asal-usul jenis kejahatan jalanan ini. Namun demikian, dalam konteks kebutuhan ‘pragmatik’, paling tidak sebagai sebuah wawasan bagi aktor negara memahami ikhwal begal serta asal usulnya
sebagaimana ulasan Ronny Nitibaskara adalah satu hal, hemat saya masih
dibutuhkan penjelasan yang bersifat “menukik”, misalnya yang mendasar justru
terletak pada pertanyaan, “mengapa fenomena begal (baru) membuncah memasuki tahun ini ?
dan, mengapa membegal ? ”
Pertanyaan semacam
ini mengandung dua orientasi. Pertama,
melalui pertanyaan ini berarti identifikasi secara jernih sejumlah faktor
langsung maupun tidak langsung kaitannya
dengan fenomena begal yang telah
meresahkan masyarakat belakangan ini. Poinnya, pengetahuan terhadap pembedaan
faktor langsung dan tidak langsung ini kaitannya dengan aspek praksis yang akan
dilakukan oleh otoritas negara. Tentu yang dimaksud otoritas negara dalam
kaitan ini bukan berhenti pada kepolisian. Orientasi kedua, pertanyaan semacam ini secara sealigus agaknya mementahkan
analisis yang melulu berangkat dari perspetktif makro yang merunut dari
struktur sosial yang menghasilkan ketimpangan ekonomi. Pasalnya, struktur sosial semacam ini tidak hanya eksis sekedar dalam waktu
dekat ini. Bukan cerita baru bahwa struktur sosial yang meminggirkan kelompok
tertentu telah hadir sejak tahun 70-an, sebuah dekade dimana kita sebagai bangsa menikmati
kelimpahan minyak. Kemudian, hingga kini secara trial
and error kita sebagai bangsa merekonstruksi struktur yang bersahabat bagi
sesama. Hemat saya, atas merebaknya begal ini yang harus disadari bahwa aparat
kepolisian bukanlah insitusi tunggal dimana
alamat responsibilitas itu harus diletakan. Pada sisi lain kepolisian
tidak perlu ‘difensif’, dengan berpandangan miring terhadap media bahwa seakan-akan ada skenario yang
membesar-besarkan realitas begal ini. Pemberitan media atas maraknya begal di
sejumlah lokasi tentu merupakan informasi
yang berguna bagi masyarakat. Apalagi bagi mereka yang berkaitan langsung
terhadap keamanan dirinya, informasi ini menjadi kompas kewaspadaan.
Perspektif
Messo
Pendekatan pada
level struktur makro atas fenomena begal diantaranya sebagaimana disinggung
dalam artikel Ronny Nitibaskara tentu saja tidak bisa diabaikan, namun dalam
kerangka metodologik struktur makro diletakkan dalam posisi conduciveness. Artinya, Struktur-makro tidak
bisa menjelaskan gejala yang dimaksud secara
langsung, ia hanyalah sebuah prakondisi yang masih membutuhkan prasyarat untuk
manifes sebagai sebuah fenomena begal. Alih-alih analisis pada struktur-makro hanya relefan sejauh gejala yang dimaksud atau yang diamati telah memenuhi
unsur untuk dikategorikan sebagai sebuah masalah sosial. Istilah ‘masalah
sosial’ sekedar untuk menunjukan penekanan bahwa gejala yang diamati bukanlah merupakan realitas psikologis. Apakah fenomena begal telah memasuki kategori
sebagai masalah social ? Iya, karena
paling tidak secara statistik kejadian
begal menunjukan pola (trend).
Keterbatasan
analisis pada level struktur makro dalam menjelaskan realitas semacam begal telah
menjadi perhatian sejumlah sosiolog. Misalnya saja Peter L. Berger et al. (1973).
Baginya
struktur sosial yang memproduksi
ketimpangan dalam jangka waktu tertentu merupakan stimulan bagi lahirnya
kantong-kantong sosial baru (new-social enclaves).
Variasi kantong-kantong marjinal ini tentu saja secara otomatis bervariasi pula
cara-cara mengartikulasikan perilaku pelanggaran hukum. Tidak mudah menyeberang
dari kantong sosialyang satu ke kantong sosial yang lain. Teknologi komunikasi dan internet yang oleh
Daniel Bell (1974) dilihat sebagai instrumen yang mengerutkan dunia (dunia
semakin mengecil atau menyatukan dunia), dalam kerangka Berger justru memecah
agen-agen sosialisasi dalam kantong-kantong social itu tadi. Setiap kantong
sosial dengan agen sosial khusus
mengkonstruksi budaya yang juga eksklusif (sub-culture).
Melalui kerangka semacam ini kelompok-kelompok begal meskipun berangkat dari
struktur sosial yang sama, mereka sama-sama ‘korban’ struktur social, namun mempunyai cara kerja yang berbeda. Data Polda Metro
Jaya menyebutkan bahwa kelompok Lampung mempuyai tradisi yang paling kejam
dibandingkan kelompok begal lain.
Disini Berger merevitalisasi pendekatan marxian pada dua dimensi. Pertama,
kalangan Marxian membaca struktur sosial
yang dimaksud melulu dalam basis ekonomi, padahal individu adalah aktor aktif
yang menafsir. Kedua, struktur sosial
yang memproduksi ketimpangan dibaca oleh
kalangan Marxian secara
‘kacamata kuda’ sebagai biang keladi yang melahirkan perilaku menyimpang di
kalangan kelompok sosial yang termarjinalkan. Poin kedua inilah yang paling
digemari oleh sejumlah akademisi maupun
peneliti sosial di lingkungan kita untuk membaca perilaku menyimpang dan
kejahatan jalanan. Teori ini seperti ‘kunci inggris’ yang bisa untuk
menjelaskan realitas sosial apa saja, sehingga terasa othak-athik gathuk yang
cenderung hiperbolik. Paling tidak akan
kehilangan daya analitik.
Merujuk Berger
struktur sosial yang memproduksi ketimpangan (marjinalisasi) tidak hanya
memecah formasi masyarakat pada kantong-kantong sosial secara herarkhis (stratifikatif),
namun secara otomatis membuka peluang deferensiatif.
Kondisi ini konsekwensi dari pluralisasi
kehidupan sosial. Dalam pluralisasi
kehidupan sosial akan selalu dibayang-bayangi pecahnya lembaga kontrol sosial.
Efektifitas lembaga pengendalian sosial yang resmi cenderung melemah karena
harus “berbagi” dengan institusi lain, utamanya tarikan kuat lembaga-lembaga
non-formal. Atau dalam formulasi yang terbatas lembaga semacam ini adalah
kelompok-kelompok pertemanan (peers group).
Yang prinsip, daya tarik lembaga non formal ini terletak pada tawaranya dalam penyelesaian persoalan hidup
sehari-hari. Membegal adalah salah satu cara penyelesaian persoalan itu, ia
merupakan cara yang paling “rasional” –karena mudah -- dibandingkan cara-cara
lain. Masyarakat dan tentu juga negara “menyediakan” lembaga non-formal semacam
ini. Negara bisa mengontrol lembaga formal dan semi formal, tetapi tentu saja
tidak menjangkau lembaga-lembaga non formal. Untuk melakukan begal syaratnya
Hanya membutuhkan sedikit skill dan beberapa kawan.
Maka jika harus
ditarik rekomendasi dari cara berfikir Berger, dalam jangka pendek adalah bagaimana membuat
‘pekerjaan’ membegal yang mudah ini menjadi sulit. Caranya, memberikan
informasi kepada masyarakat sebanyak-banyaknya dan sedetail-detailnya ikhwal
begal ini. Masyarakat mempunyai daya kuratifnya sendiri. Kebijakan ‘tembak di
tempat’ terhadap begal sebagai sebuah solusi jangka pendek akan efektif jika
memang kebijakan ini terbukti atau memang terjadi. Disini akan lebih efektif
pada cara kerja undercover anggota
kepolisian, bukan pada patroli. Dalam jangka menengah ada baiknya kedepan
kepolisian sebagai lembaga resmi mempunyai media sendiri yang secara khusus
memasok informasi mengenai kejahatan jalanan.